ARTIKEL HUKUM
Penipu adalah nama yang disematkan pada seorang pelaku penipuan, sementara korbannya disebut sebagai telah orang yang telah tertipu. Dalam stelsel delik hukum pemidanaan, yang diancam sanksi pidana ialah adanya motif serta modus dari sang pelaku penipu, bukan dari adanya pihak yang telah tertipu sebagai unsur atau syarat mutlak terpenuhi suatu delik penipuan.
Untuk memulai ulasan, penulis akan menguraikan perbedaan antara “motif”, “modus”, dan “tujuan” dari suatu niat batin (mens rea) dari sang pelaku, alias sang penipu. Yang disebut dengan “tujuan”, ialah apa yang hendak dicapai oleh sang pelaku. Sementara, “modus” menjadi instrumen atau “alat” guna melancarkan niat buruk untuk mencapai tujuan dengan cara yang dilarang oleh hukum dan diancam dengan sanksi pemidanaan berdasarkan asas legaltias.
Terakhir, ialah perihal “motif”, yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa hukum dalam hal ini suatu tindak pidana yang mengandung unsur “kesengajaan” (dolus) maupun “kelalaian” (culpa). Khusus untuk tindak pidana seperti penipuan, motifnya selalu berupa kesengajaan, yang kerap kali bersifat terencana untuk merugikan suatu target yang merupakan pihak calon korban—hampir jarang terjadi penipuan secara spontan, bila tidak dapat dikatakan bahwa tidak pernah terdapat penipuan yang terbit secara spontan.
Khusus pula dalam delik pidana penipuan, untuk dapat dipidana dan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap sang pelaku penipuan, cukup dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan, telah dapat ditarik kesimpulan serta benang-merah adanya “motif” serta “modus”, sementara “tujuan” tidak harus telah tercapai—sehingga tidak harus selalu ada pihak korban “tertipu” namun cukup sebatas “calon korban” sebagai pihak pelapornya.
Karenanya, delik pidana penipuan tidak mensyaratkan modus telah berhasil melancarkan aksinya merugikan korban, namun adanya “motif” serta “modus” semata sudah cukup untuk dapat menjerat pelaku dan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis pemidanaan secara sah dan meyakinkan. Dengan kata lain, “potensi” dapat tertipunya calon korban, telah cukup menjadikan pelaku sebagai pesakitan di “meja hijau”—sehingga “tujuan” tidak selalu harus tercapai, derajatnya minimumnya ialah “potensi” tertipu. Calon korban yang cukup waspada, tidak mudah akan tertipu. Namun yang kurang waspada atas “modus” eksplisit, akan cenderung tertipu dengan mudah.
Perihal “motif” penipuan, karena selalu berwujud “kesengajaan” (niat atau kehendak) dari sang pelaku, maka faktor apakah sang korban telah melakukan suatu tindakan kehati-hatian secara cukup memadai atau tidaknya, tidaklah juga menjadi syarat mutlak untuk dapat dipidananya sang pelaku. Hal ini menyerupai delik pencurian, dimana pemillik rumah tidak mengunci pintu pagar rumahnya tidaklah menjadi alasan pembenar bagi sang pelaku pencurian untuk melakukan aksi pencurian.
Sama halnya, sekalipun sang pelaku penipuan menggunakan penampilan yang sama sekali tidak meyakinkan, dimana sang korban percaya begitu saja sehingga akhirnya tertipu, maka tetap saja sang pelaku akan dijerat delik penipuan, tanpa dapat berkelit bahwa sang korban itu sendiri yang lengah dan ceroboh “sehingga dapat tertipu dengan mudahnya” sekalipun akting sang penipu saat melakukan aksinya sama sekali tidak meyakinkan.
Pada dasarnya, karakteristik yang menjadi genus dari delik penipuan, ialah “penyalah-gunaan” kepercayaan dan itikad baik yang diberikan oleh korban mereka. Seseorang warga negara tidak dapat dituntut untuk senantiasa berprasangka buruk terhadap warga lainnya, sehingga karenanya negara yang harus melindungi setiap warga negaranya dari setiap bentuk “modus” penipuan dengan membuat ancaman hukuman pidana penipuan.
Kini, bahasan selanjutnya akan difokuskan pada telaah perihal “modus” sebuah penipuan. Rumusan pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal penipuan, tergolong sangat sempit dan terlampau minim perlindungannya bagi warga masyarakat, mengingat “modus” yang dikenal didalamnya hanya seperti menggunakan martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong dengan maksud untuk memberikan hutang atau menghapuskan hutang yang pada esensinya dapat merugikan pihak yang menjadi sasaran “modus” penipuan.
Sebagai contoh, suatu kantor penipuan menampilkan wajah staf yang penuh senyum, bersahabat, baik hati, ramah, manis dalam tutur kata, sehingga calon korbannya mudah terjerat masuk “perangkap” yang telah di-setting sedemikian rupa sehingga calon korban menjadi mulai mudah menaruh kepercayaan, tidak menaruh curiga, dan kemudian menjadi lengah (kendor kewaspadaannya) untuk selanjutnya “ditipu” dan “tertipu”. Apakah menampilkan wajah bersahabat dan bertutur kata sopan serta manis, adalah tergolong tipu muslihat, martabat palsu, atau rangkaian kata-kata bohong?
Dari contoh sederhana di atas, kita dapat melihat, bahwa “modus” penipuan dapat berbentuk implisit (secara halus, terselubung) dan juga dapat secara eksplisit. Yang diatur dalam rumusan pasal pemidanaan terkait penipuan dalam KUHP, sifatnya ialah semata “modus” yang eksplisit, semisal “tipu muslihat”, pastilah mengandung rangkaian kata-kata bohong yang eksplisit yang menjurus jebakan. Sangat berlainan dengan penipuan dengan “modus” implisit, yang menitik-tekankan pada suatu “pengkondisian” agar sang target / calon korban menaruh kepercayaan kepada sang pelaku.
Contoh dari “tipu muslihat”, semisal tidak sebagai pemilik suatu objek benda, namun mengaku-ngaku sebagai pemiliknya dan menawarkan kepada peminat yang hendak membelinya. Selalu terdapat rangkaian kata-kata bohong dalam “tipu muslihat”. Namun dalam “modus” implisit, konteksnya ialah bertopang pada jebakan yang disusun dan ditata sedemikian rupa, seolah-olah tampak wajar dan lumrah saja, sehingga calon korbannya sama sekali tidak menaruh curiga sedikit pun, sehingga “modus” implisit dalam satu sisi jauh lebih terencana dan lebih sukar terdeteksi—sangat berbeda dengan “modus” eksplisit ketika seseorang mengaku sebagai pemilik suatu benda, namun ternyata tercatat data yuridisnya atas nama kepemilikan orang lain, sehingga mudah dikenali dan diidentifikasi modusnya oleh calon korban dengan kewaspadaan paling minimum sekalipun.
Sederhananya, dalam “tipu muslihat”, kebohongan dan penipuan telah terjadi sejak dari sejak semula awal terjalinnya hubungan komunikasi antara sang pelaku dan pihak korban. Berbeda dengan “modus” implisit, penetrasi awal dilakukan secara lembut, tampak penuh perhatian, baik hati, halus, tampak wajar, dan sukar diidentifikasi oleh para korbannya sehingga tidak mengundang kewaspadaan atau kecurigaan barang secuil pun, sebelum kemudian “tusukan” terjadi secara mendadak dan seketika pada episode “pamuncak”-nya oleh sang pelaku penipuan, bagai tukikan suatu manuver 180 derajat. Jebakan psikologi dan mental mewarnai aksi “modus” implisit, dimana unsur kurangnya kewaspadaan pihak korban menjadi tidak kurang relevan—berbeda dengan “modus” eksplisit.
Karenanya, kejahatan yang melibatkan “modus” implisit selalu lebih jahat derajat kejahatannya, yang kerap kali dilakukan oleh aktor intelektual yang memang intelek. Contoh, tampaknya seolah wajar—sekali lagi, seolah-olah wajar—bilamana pasokan menipis, maka harga di pasaran akan meningkat. Namun, bisa jadi semua itu adalah “modus” terselubung kalangan pelaku usaha yang melakukan aksi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Penipuan terhadap konsumen demikian, tidak pernah mengakibatkan pemidanaan delik penipuan terhadap para pengusaha pelakunya, namun hanya sebatas diterapkan sanksi administrasi dan denda lewat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Itulah bukti konkret, bahwasannya rumusan pasal pidana penipuan kita masih sangat sempit dan dangkal pengaturan rumusan unsur-unsur pasalnya. Belum ada perlindungan hukum yang optimal dari negara terhadap segenap warganya dari “modus” penipuan secara implisit.
Begitupula pada unsur alternatif seperti “martabat palsu” yang menyerupai “musang berbulu domba”, sifatnya terlampau eksplisit—musang, namun memakai bulu atau kostum domba—sebuah contoh ilustrasi yang sangat eksplisit. Namun dalam konteks manusia, “martabat palsu” dengan demikian hanya dapat dimaknai, sebagai contoh, bukan atau tidak tercatat sebagai seorang anggota polisi, namun mengenakan seragam dan atribut layaknya seorang anggota kepolisian ataupun menggunakan alat-alat layaknya mobil dinas kepolisian. Kesemua itu masih dalam wujud “modus” eksplisit.
Sebaliknya, dalam “modus” implisit, seseorang pelakunya tetap memakai wajah sebagai seseorang manusia, tidak mengenakan jubah layaknya model seorang malaikat bersayap lengkap dengan bundaran cahaya di atas kepalanya, hanya saja menggunakan tutur kata yang halus, sopan, manis, baik, penuh empati, dan bersahabat—meski sejatinya beringas, jahat dalam tutur kata, kasar dalam berbicara, dan sebuas binatang buas yang gemar memakan sesamanya selayaknya seekor serigala kalaparan watak aslinya, yang akan memakan siapa pun yang djumpai olehnya demi kepentingan isi perutnya sendiri, jika perlu merampok nasi dari piring profesi milik orang lain tanpa rasa malu ataupun takut.
Bila seorang penipu yang jahat dan beringas, sejak semula menampilkan wajah dan perangai yang kasar serta beringas, dapat dipastikan para targetnya tidak akan mudah menaruh kepercayaan ataupun rasa aman menjalin komunikasi dan relasi dengan sang pelaku yang sedang menebar “jebakan” lewat pesona palsunya. Namun, sekali lagi, bertutur kata halus dan lembut, serta sopan, adalah hal yang wajar-wajar saja sifatnya, lumrah, dan kita tidak pernah dituntut untuk berpraduga negatif terhadap orang lain yang bersikap lembut dan sopan terhadap kita. Bahkan seseorang bertampang preman, tidak dapat kita larang untuk berbicara sopan dan santun terhadap kita—bahkan sering kali kita puji bila menjumpai preman semacam itu.
Berhubung “modus” implisit sangat “halus” dan terselubung sifatnya, maka khusus untuk konteks “modus” implisit terkait “motif” penipuan, harus disertai adanya “tujuan” yang tercapai secara sempurna dan menjadikan adanya “korban”, bukan lagi sekadar potensi dirugikan, untuk dapat dijeratnya pelaku penipuan yang menggunakan “modus” implisit sebagai bagian dari aksi rencana jahatnya menipu—hal tersebutlah yang menjadi letak pembeda paling utama dari penipuan yang mensyaratkan telah terjadinya kerugian dan penipuan yang tidak menjadikan telah terjadinya kerugian sebagai prasyarat mutlak untuk dapat dimintainya pertanggung-jawaban pidana bagi sang pelaku.
Secara khusus pula, penulis merasakan adanya kebutuhan urgensi untuk memberikan ancaman hukuman pidana yang lebih berat bagi pelaku penipuan dengan kriteria “modus” implisit ketimbang pelaku dengan “modus” eksplisit. Salah satunya pelaku penipuan dengan “modus” implisit yang digunakan oleh penipu bernama PT. Auditsi Utama yang dipimpin oleh dua otak intelektual penipuan, Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia, dimana 200 jam kerja konsultasi hukum dengan modal biaya penulis pribadi selaku konsultan hukum yang disewa oleh PT. Auditsi Utama demi kepentingan pribadi Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia yang bersengketa dengan suatu PT. PMA, tidak kunjung dilunasi hingga saat kini.
Bagi penulis, tidak ada pengusaha yang lebih bodoh ketimbang merusak nama dan citra mereka sendiri demi fee konsultasi yang tidak seberapa nilainya untuk mereka “makan” tanpa dibayarkan dan ingkar janji terhadap kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Bahasan ini sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat umum dan publik, agar mewaspadai “modus” implisit penipuan oleh PT. Auditsi Utama yang dipimpin oleh penipu bernama Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia—dimana publikasi ini sebagai salah satu sanksi dari penulis bagi sang pelaku penipuan tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.