Korban Selalu Berhak untuk Marah, Hanya Mayat yang Dituntut untuk Tidak Boleh dan Tidak dapat Murka Ketika Dizolimi

ARTIKEL HUKUM
Janganlah kita menghakimi orang lain yang berteriak dan menjerit kesakitan karena disakiti, sebagai seseorang yang kita nilai sebagai “tidak sopan”—seolah perilaku sang pelaku yang menyakiti korban adalah cukup sopan untuk dipuji, sementara sang korban yang hanya patut dikritik dan dicela karena menjadi korban yang menjerit kesakitan. Terdapat berbagai norma sosial di tengah budaya kita yang kurang cukup sehat dan kurang ramah terhadap korban, sangat menyerupai korban pemerkosaan di Timur Tengah, yang justru diasingkan / dikucilkan oleh masyarakat dan keluarganya sendiri (dianggap sebagai “aib” bagi keluarga), alih-alih mengutuk perilaku sang pelaku, bahkan sampai pada tahap membakar hidup-hidup sang korban yang kemudian mengandung janin pasca pemerkosaan.
Pepatah mengatakan, jangan salahkan asap namun salahkan api yang melatar-belakangi yang menjadi penyebabnya. Seorang korban tidak pernah dapat dipsersalahkan karena menjerit, persis menyerupai hak setiap orang untuk menjerit ketika kakinya digigit oleh anjing rabies. Anjing rabies itulah yang bermasalah, bukan orang yang menjadi korban dan menjerit.
Anda menuntut terlampau banyak dan tuntutan Anda menjadi irasional ketika seseorang dituntut untuk bersikap “sopan” dengan menunjukkan sikap secara bodoh berupa diam “seribu bahasa” ketika disakiti. Sama bodohnya ketika seorang bayi baru lahir dengan usia 3 bulan yang menangis, sang orangtua atau kerabatnya merasa terganggu, kemudian mengancam sang bayi yang seolah dapat mengerti bahasa manusia: “Nina bobo, Nina bobo, jika tidak bobo di-GIGIT NYAMUK.”—anak sendiri yang masih baby, disumpahi digigit nyamuk. Sungguh anomali sosial yang terjadi masif secara vulgar di depan mata kita dalam keseharian, mudah kita jumpai setelah kita membuka pintu gerbang kediaman kita dan menyaksikan sendiri berbagai perilaku tidak logis masyarakat kita.
Si bayi yang tidak sopan, ataukah orangtuanya yang tidak sopan? Si baby yang menuntut terlampau banyak, ataukah kita dan si orangtua yang menuntut terlampau banyak, seolah dirinya sendiri ketika baru lahir tidak pernah merengek dan menangis? Apakah bayi yang menangis, adalah suatu hal yang salah yang tidak wajar? Justru bayi yang tidak pernah menangis, itulah gejala paling bermasalah! Bagaimana mungkin seorang orangtua yang telah dewasa dan memiliki daya pikir dewasa, memperlakukan bayinya sendiri, seperti memperlakukan seorang mayat?
Si bayi masihlah bayi, kita jangan menuntut dirinya untuk mampu berbicara maupun berpikir selayaknya orang dewasa. Sama seperti ketika orangtua meminta anak-anaknya untuk memahami kondiri sang orangtua, sementara kita tahu bahwa si anak belum percah mencicipi dunia orang dewasa—justru sebaliknya, sang orangtua yang pernah menjadi seorang kanak-kanak sehingga lebih patut menuntut dirinya sendiri untuk memahami dunia anak-anak. Kita hendaknya jangan menuntut terlampau banyak secara serampangan.
Tidak terkecuali dalam pertandingan kesebelasan sepak bola, keluar sebagai pemenang dan pihak yang kalah adalah hal yang biasa, namun tampaknya tidak bagi suporter (“bonek”) kita, dimana kalah dimaknai sebagai sebuah penghinaan yang harus dibalas dengan respond berupa tindakan anarkis (alias “hinaan”. Lihat, betapa subjektif suatu istilah “hinaan”), dimana kesebelasan yang memenangkan pertandingan dan “mempercundangi” tim yang mereka bela, artinya telah melecehkan dan menghina sehingga layak dianiaya dan dikeroyok beramai-ramai. Jika perlu, tim yang memenangkan kompetisi itu akan dilapor pidana dengan tuduhan “mencemarkan nama baik” tim kesayangan yang mereka “elu-elukan”. Lihat pula, betapa subjektifnya terminologi hukum “pencemaran nama baik”—si pasal “karet”.
Bagaimana mungkin, seorang orangtua menuntut bayinya sendiri untuk meniru “kehebatan” dan “prestasi” dari seorang mayat yang tidak akan “mengaduh” sekalipun kakinya disundut api atau karena kelaparan? Penulis tidak pernah habis pikir dengan kelakuan umum masyarakat Indonesia yang sudah begitu tinggi tingkat pendidikannya, mampu bermain gadget canggih yang bahkan tidak mampu penulis operasikan, ternyata begitu dangkal dalam kemampuan berpikir rasionalnya. Tersenyum getir sekaligus pahit satiris, itulah kesan yang timbul ketika menghadapi cara berpikir (paradigma) sosial masyarakat kita.
Yang bermasalah, bukanlah seseorang yang menjerit karena kesakitan, namun ialah mereka yang melakukan perbuatan yang memicu jeritan kesakitan sang korban, dan yang kedua : ialah terutama mereka yang menghakimi korban akibat jeritannya yang dinilai “tidak sopan” demikian, tanpa pernah mau bertanya “apa yang menjadi penyebab si korban menjerit”?
Menyakiti orang lain sehingga sang korban menjerit, adalah perbuatan buruk—lantas, mengapa seolah kemudian dibuat kesan atau citra, bahwa yang tabu dan tercela ialah orang yang “mengaduh”, protes, atau menjerit kesakitan ketika dirinya tersakiti? Meski demikian, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, ada jenis orang yang lebih kejam dari itu, yakni mereka yang gemar atau terbiasa menghakimi orang lain yang menjadi korban, dengan diberi stigma julukan sebagai “tukang marah”, “pemarah”, “marah-marah seperti orang gila”, dan segala hinaan maupun pelecehan lainnya (harassment), TANPA PERNAH MAU BERTANYA APA SEBAB YANG MELATAR-BELAKANGINYA, TERLEBIH MEREKA TAHU ADA PELAKU PENYEBAB DAN SIAPA PELAKU YANG TELAH MENYAKITI SI KORBAN NAMUN SEOLAH MENUTUP MATA ATAS ULAH SI PELAKU (MEMUNGKIRI) DAN SEMATA-MATA MENYALAHKAN / MENGHAKIMI PIHAK KORBAN SEBAGAI “TIDAK SOPAN”.
TUKANG MARAH”, dan segala celaan tidak sedap didengar lainnya.
Saat tulisan dini disusun oleh penulis, masyarakat Papua sedang “panas-panasnya” berorasi dan berdemonstrasi dengan memasang spanduk, berteriak, menjerit, hingga mengibarkan bendera “bintang kejora”. Pemerintah RI, justru mengkriminalisasi para warga Papua yang melakukan aksi aspirasi jeritan mereka (luapan ekspresi) lewat segala aksi teatrikal mereka tersebut, tanpa pernah masyarakat kita mau mengakui apa latar-belakang penyebab yang mendahului tercetusnya aksi demikian.
Sama halnya dengan yang terjadi pada rakyat Timor-Timur sebelum kemudian menuntut kemerdekaan menjadi negara merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang kini bernama “Timor Leste”. Jika kita menyimak laporan hasil investigasi dan penelitian lembaga pemantau hak asasi manusia internasional, pelanggaran di Timor-Timur oleh Bangsa Indonesia, terbilang cukup tidak manusiawi, sehingga adalah wajar dan tidak menjadi tabu bagi rakyat Timor-Timur untuk “memekik” dan menuntut pemisahan diri dari NKRI. Yang tidak “sopan” ialah sang pelaku, bukan hak kita untuk mencela pihak korban. Kita tidak dapat dibenarkan untuk memutar-balik fakta dengan mencoba mendiskreditkan “jeritan” korban.
Penulis sangat memahami betul perasaan rakyat Papua yang menjerit, dan betapa perasaan mereka terluka akibat perlakuan sesama Warga Negara Indonesia yang non-Papua (sebuah istilah yang diametral). Bagaimana pun, mereka adalah “korban”, dimana korban berhak untuk menjerit dan berekspresi—sekalipun belum secara resmi dinyatakan sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam Konstitusi NKRI. Mereka tidak boleh dituntut untuk bersikap santun dan sopan, karena mereka terluka dan tersakiti. “Menjerit” adalah dan menjadi bagian dari hak mereka, dimana adalah kewajiban sang pelaku untuk menghormati harkat dan martabat warga negara lainnya. Mereka adalah manusia, yang dapat terluka, memiiki perasaan, darah dan daging, serta SUARA JERITAN tanpa terkecuali—sama seperti Anda dan kita semua!
Sama seperti ketika penulis telah begitu banyak berkorban dalam menghadirkan publikasi ilmu hukum dalam website yang penulis bangun dan asuh dengan demikian banyak (tak terhitung lagi besarnya) pengorbanan waktu, biaya, serta tenaga. Namun, alih-alih berterima-kasih, ribuan pelanggar yang menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis, justru tanpa merasa bersalah dan dengan demikian lancang berani menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, semata-mata untuk MEMPERKOSA PROFESI penulis selaku konsultan hukum yang sudah jelas mencari nafkah dari menjual jasa TANYA-JAWAB.
Bahkan, terlebih ironis, mereka menggunakan tipu-daya dan rangkaian kebohongan semata agar dapat dilayani dengan tujuan menipu pihak penulis (modus) tanpa perlu membayar tarif konsultasi SEPERAK PUN (motif dari si pelaku yang menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis). Membalas air susu, dengan perkosaan terhadap profesi penulis—tidak ada yang lebih ironis dari fakta demikian. Namun itulah yang terus terjadi hingga saat kini, sekalipun para pelakunya tergolong berpendidikan tinggi.
Penulis menyebutnya sebagai perilaku yang lebih hina daripada pengemis, bahkan mencari makan dan memupuk kekayaan dengan cara merampok nasi dari piring profesi orang lain yang sedang mencari nafkah segala legal dari cucuran keringat dan segala pengorbanan penulis selama membangun karir dan profesi sebagai konsultan hukum. Pengemis manakah, yang memiliki masalah hukum ketenagakerjaan, terlebih masalah tanah, masalah pailit, dsb? Adalah wajar bila penulis bukan lagi sekadar marah-marah, namun MURKA SEJADI-JADINYA. Faktanya, lebih ironis lagi, tidak sedikit pihak-pihak yang justru mencela “murka” pihak penulis, tanpa sedikit pun empati pada penulis selaku korban “perkosaan” terhadap nafkah profesi penulis, serta tanpa sedikit pun mencela pihak-pihak yang telah secara lancang “memperkosa” profesi penulis.
Orang-orang jahat, orang-orang yang “sudah putus urat malunya”, orang-orang yang terbiasa melanggar, orang-orang yang tidak takut dan tidak malu berbuat jahat, tidak patut diperlakukan secara sopan dan penuh tata krama. Sopan-santun harus bersifat bertimbal-balik (prinsip resiprositas / resiprokal), dalam artian kedua belah pihak harus sama-sama memperlihatkan itikad baik dalam suatu hubungan sosial maupun hubungan profesional bisnis.
Ketika salah satu pihak saja yang dituntut untuk bersikap sopan, santun, penyabar, pemurah, itu adalah suatu kebodohan dimana perampokan terhadap dirinya akan menjadi demikian mudah—bahkan jika perlu mengundang sang perampok untuk memasuki rumah dan menjamunya, suatu nasehat yang sangat tidak bijaksana. Atau, sang perampok bahkan akan menegur sang korban selaku tuan rumah, ketika rumahnya disambangi oleh sang perampok: “Sssst, jangan teriak, tidak sopan! Berisik saja, mengganggu kerjaan saya yang sedang sibuk merampok rumah Anda. Anda tidak malu pada tetangga Anda, teriak-teriak seperti itu?”—itulah yang penulis sebut, ketika si pelaku kejahatan yang justru menghakimi dan mengkuliahi korban-korbannya.
Berdiam diri, hanya diam seribu bahasa ketika disakiti dan diperlakukan secara tidak patut dan tidak adil, itulah pintu gerbang masuknya aksi-aksi pelecehan maupun bullying. Diharapkan ilustrasi lewat kisah berikut, dapat cukup memberi pemahaman secara sederhana, sebagaimana analogi dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, dengan perumpamaan singkat yang tepat sasaran sebagai berikut:
SI ULAR JAHAT
Cerita mengenai ular dalam buku ini diturunkan dari sebuah cerita Jataka Kuno, salah satu bagian dari Tripitaka yang dituturkan langsung oleh Sang Buddha dan didokumentasikan oleh para murid-muridnya dalam bentuk perkamen-perkamen kuno. Cerita ini menunjukkan bahwa untuk ‘peduli’, tidak selalu berarti menjadi lembek, lemah, dan pasif.
Seekor ular jahat hidup di sebuah hutan pada pinggir sebuah desa. Dia kejam, licik, dan jahat. Dia akan menggigit orang untuk senang-senang—demi kesenangannya belaka. Ketika si ular jahat sudah memasuki umur lanjut usia (menurut perhitungan tahun ular tentunya), dia mulai merenungkan apa yang terjadi pada para ular ketika mereka mati.
Selama hidupnya, si ular telah sering melecehkan agama dan ular-ular yang menurutnya naif dan bodoh, percaya saja pada omong-kosong seperti itu. Sekarang dia mulai tertarik pada agama, seperti yang sudah-sudah.
Tidak jauh dari liangnya, pada sebuah puncak bukit, tinggal seekor ular suci. Semua orang suci bertempat tinggal di puncak bukit atau gunung, demikian juga ular suci. Ini sudah tradisi. Tidak pernah kita dengar orang suci tinggal di rawa-rawa.
Suatu hari, si ular jahat memutuskan untuk mengunjungi sang ular suci. Ia memakai jas hujannya, kacamata hitam, dan topi supaya teman-teman satwanya tidak mengenali dirinya. Kemudian dia mulai merayap ke atas bukti menuju Vihara sang ular suci.
Ia tiba ketika ceramah sedang berlangsung. Sang ular suci duduk di atas sebuah batu dengan ratusan ular mendengarkan dengan penuh perhatian. Si ular jahat merayap di pinggiran kerumunan, dekat dengan jalan keluar, dan mulai ikut mendengarkan ceramah.
Makin didengarkan, makin terasa masuk akal, si ular jahat membatin. Ia mulai merasa yakin, lalu terinspirasi, dan akhirnya, tercerahkan!
Seusai ceramah sang ular suci, si ular jahat menghadap sang ular suci, dengan berlinang air mata, dia mengakui kejahatannya selama ini, dan berjanji, mulai sekarang dia akan menjadi ular yang sama sekali berbeda.
Dia bersumpah di depan hadapan sang ular suci, untuk tidak lagi menggigit manusia. Dia akan menjadi ular baik. Dia akan mulai menunjukkan kepedulian. Dia akan mulai mengajarkan kepada ular-ular lain bagaimana menjadi baik dan memaafkan, pemurah. Dia bahkan memasukkan uang ke kotak dana di dekat jalan keluar (saat semua ular melihatnya, tentu saja).
Walaupun sesama ular dapat bercakap-cakap, itu terdengar seperti desis yang sama bagi telinga manusia. Si ular jahat, eh maksudnya, si mantan ular jahat, tidak bisa mengatakan kepada orang-orang bahwa dia sekarang pecinta damai.
Orang-orang desa masih menghindarinya, walaupun mereka mulai bertanya-tanya atas lambang Cinta Damai Internasional yang disematkan dengan jelas di dadanya.
Suatu hari seorang penghuni desa, asyik mendengarkan walkman-nya, berjingkrak-jingkrak tepat di sebelah si ular, dan si ular sama sekali tidak menyerang; dia hanya tersenyum seperti halnya pemuka agama, penyabar dan tenang.
Semenjak itu, orang-orang desa menyadari bahwa si ular jahat tidak lagi berbahaya. Mereka berjalan melewati si ular sewaktu dia duduk bersila dalam meditasinya di luar liangnya. Lalu beberapa anak nakal dari desa mulai tergoda untuk mengganggunya.
“Hei, tukang rayap!” mereka mengejeknya dari jarak yang aman. “Tunjukkan taringmu, jika kamu memang punya, hai cacing kegedean. Dasar dodol, tempe, bikin malu spesiesmu saja!”
Dia tidak suka dipanggil tukang rayap, walaupun ada benarnya juga, ataupun cacing kegedean, tetapi bagaimana dia bisa membela diri? Dia sudah bersumpah tidak akan menggigit, bertekad menjadi orang suci dan baik-baik. Pemurah, dan penyabar, itulah citra diri makhluk suciwan. Tidak boleh marah, apalagi marah-marah.
Menyaksikan si ular sekarang begitu pasif, anak-anak itu menjadi makin berani dan kini mulai melemparinya dengan batu maupun gumpalan tanah. Mereka tertawa kalau ada lemparan mereka yang mengenai si ular. Si ular mengetahui bahwa dia bisa saja merayap cukup cepat untuk menggigit semua anak-anak itu, sebelum Anda usai mengucapkan “World Wildlife Fund”.
Namun sumpahnya mencegah dia melakukan hal itu. Lalu anak-anak itu makin mendekat dan mulai memukulinya dengan tongkat. Si ular menerima pukulan yang menyakitkan itu, tetapi sekarang dia sadar, bahwa dalam dunia nyata, kita harus tegas menjadi jahat untuk melindungi diri.
Ternyata agama hanyalah omong-kosong. Kemudian ia membuat keputusan baru, dengan itu ia merayap sambil menahan sakit ke atas bukit untuk mengunjungi sang ular suci “palsu”, dengan tujuan untuk melepaskan sumpahnya.
Sang ular suci melihatnya datang, dengan tampang menyedihkan, serba lusuh dan lecet-lecet, lalu bertanya kepadanya, “Kenapa kamu?”
“Ini semua salahmu!” si ular jahat mengeluh, menuduh dengan tampang masam, tanpa basa-basi.
“Apa maksudmu ‘ini semua salahku’?” protes sang ular suci.
“Kamu mengajarkan diriku untuk tidak menggigit. Sekarang lihat apa yang terjadi pada diriku ini! Agama mungkin cocok di vihara, tetapi tidak dalam kehidupan nyata.....”
“Oh, kamu ular bodoh!” sang ular suci menyela, “Oh, ular dungu! Oh, ular tolol! Memang benar aku menyuruhmu berhenti menggigit, tetapi aku tidak pernah menyuruhmu berhenti berdesis kan?”
Terkadang, dalam kehidupan, orang suci sekalipun harus “mendesis” untuk menjadi baik, tetapi tidak ada yang perlu menggigit.
Seseorang yang hanya pandai menjadi kritikus, komentator, penonton, lalu dengan sadisnya merasa berhak menghakimi dan membuat penilaian serampangan terhadap korban yang menjerit sebagai “tidak sopan”, tanpa pernah bertanya apa yang membuatnya menjerit secara “tidak sopan”, juga tidak pernah mengulurkan tangan untuk menolong maupun membantu ketika dirinya menyaksikan langsung dengan mata-kepala sendiri sang korban teraniaya dan terluka sehingga menjerit.
Perilaku penghakiman demikian oleh sesama warga, sama artinya diam-diam justru membela perilaku buruk sang pelaku kejahatan (alih-alih mencela perbuatan pelaku yang menjadi penyebab), dan disaat bersamaan justru menyalahkan pihak korban karena menjerit. Apa pula sukarnya menjadi seorang komentator dan kritikus? Semua orang dapat menjadi komentator dan kritikus yang produktif dalam mencela—dunia kita ini tidak pernah kekurangan seorang komentator dan kritikus, yang sayangnya, tidak pernah “bercemin” untuk mengomentari perilaku dirinya sendiri, alias menjadi komentator buruk ketika berkaitan dengan perilaku dirinya sendiri.
Api, adalah “penyebab”. Sementara, asap, tidak terkecuali sebuah jeritan oleh korban, adalah sebuah “akibat”, bukan sebab. Sayangnya, dan terlebih ironisnya, warga negara Indonesia yang telah dewasa dan mengenyam edukasi cukup tinggi, bahkan belum mampu memilah mana yang menjadi atau siapa yang menjadi “sebab” dan mana yang merupakan “akibat”, bahkan justru kian mendiskreditkan korban dengan secara tidak seimbang membiarkan atau tidak mengutuk perilaku pelaku yang telah menganiaya / mem-bully / melukai sang korban.
Sama seperti ketika seorang ibu dari seorang anak autis, seringkali ibu tersebut diberi stigma oleh masyarakat kita sebagai seorang ibu yang “dingin”—sekalipun sebetulnya sikap “dingin” demikian ialah “akibat” letihnya mental menghadapi seorang anak penderita autis, bukan sebagai suatu “sebab”. Namun pernahkah kita berpikir sampai sejauh itu? Kita lebih cenderung menghakimi dan mencela orang lain tanpa berpikir secara matang dan mempertimbangkan posisi seseorang yang kita observasi, alias sebagai kritikus yang hanya pandai berkomentar tanpa pernah merasakan langsung ibu dari seorang anak penderita autis—apa pula hak kita untuk mengomentari kehidupan milik orang lain?
Lucu sekalipun konyol dan ironis, tiga perasaan menjadi satu dalam memandang perilaku warga negara negeri tercinta kita ini. Dimana pihak korban, justru kian di-diskreditkan, dikucilkan, dicela, dipandang rendah, jika perlu dipasung, sementara perbuatan si pelaku seolah-olah dibiarkan, diabaikan, dan sama sekali tidak dicela (alias dilestarikan). Korban yang justru dicela oleh warga negara kita yang lebih pandai menghakimi korban ketimbang menghadirkan keadilan bagi si pelaku, alih-alih berani mencela si pelaku. Korban, dalam segala sudut pandang, selalu rentan terhadap pelaku kejahatan, maupun terhadap para komentator berhati dingin demikian. Empati, seolah menjadi barang “mahal” yang tidak terjangkau bagi seorang korban.
Fakta empirik demikian terjadi masif di tengah masyarakat kita, mulai dari lingkungan pergaulan, politik, dan sosial di sekolah, perkantoran, hingga lingkungan pemukiman kita tinggal sehari-hari. Negeri Indonesia ini, adalah negeri yang ramah dan toleran terhadap perilaku jahat, sementara demikian intoleran dan sadis terhadap korban yang menjerit dan memekik. Akal sehat warga negara negeri ini, telah tergantikan dengan akal sakit orang-orang sakit secara akal manusia—suatu degradasi semangat humanistis menjelma hewanisasi.
Seorang hakim yang baik, tidak akan serta-merta mencela seseorang yang menjerit nyaring sebagai “tidak sopan”—namun akan selalu memberi kesempatan mendengarkan keterangan sang korban, dan bertanya padanya, “Apa yang membuat Saudara/i menjerit demikian kencang?Kita tidak pernah perlu mendengar celaan dari orang-orang dungu (dan tidak punya kewajiban untuk mendengarkan mereka), cukup kita mendengarkan suara hati kita sendiri, dan menyuarakan apa yang ingin diserukan oleh suara hati kita tersebut. Anda dan penulis bukanlah seorang mayat yang hanya dapat diam bungkam, namun seorang manusia yang mampu merasa dan bersuara.
Tidak selamanya silent is golden. Apakah melaporkan ke pihak berwajib, pun akan dinilai sebagai 'tidak sopan'? Akhir kata, sebagai pesan penutup dari penulis, tidaklah perlu kita hiraukan perkataan para kritikus yang hanya pandai mengomentari, namun miskin dalam empati terhadap korban yang menjerit. Kejahatan terjadi secara subur, ketika terjadi paduan rumus sebagai berikut: Ada NIAT + ada KESEMPATAN + ada budaya sosial yang IRASIONAL = SUPRIME CRIME FACTOR. Janganlah berdiam diri ketika hendak disakiti, dilukai, maupun dirugikan. Namun, TUNJUKKAN TARING Anda!
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.