Menggugat Budaya Etiket Ketimuran

ARTIKEL HUKUM
Budaya dan etiket (norma sosial 'sopan-santun') moralitas Ketimuran, konon dianggap dan dinilai sebagai peninggalan budaya terluhur dalam sejarah peradaban manusia, bersanding dengan konsep hak asasi manusia (HAM) yang diusung oleh negara-negara Barat modern. Bila konsep perihal hak asasi manusia dinilai terlampau timpang dan tidak dapat berjalan ideal tanpa disertai konsep kewajiban asasi manusia (KAM), maka bukan berarti konsep etiket Ketimuran tidak memiliki cacat-cela sama sekali.
Setidaknya terdapat sebuah budaya etiket Ketimuran yang kurang dapat penulis setujui untuk penulis terapkan sebagaimana didikan budi pekerti etiket Ketimuran sosial-kemasyarakatan kita, dimana dalam artikel singkat inilah akan kita lakukan “uji moril” bersama terhadap sampel sebuah etiket Ketimuran bernama “menghormati dan menaruh hormat kepada mereka yang telah memutih rambutnya” maupun “menghormati mobil pengangkut jenazah” (kita tidak tahu siapa jenazah di dalamnya, karenanya yang terjadi sebenarnya ialah dihormatinya “mobil pengangkutnya”, bukan jenazah yang diangkut olehnya). Dua objek telaah itulah, yang dalam kesempatan kali ini akan bersama-sama kita bedah dan bahas secara ringkas namun padat.
Semestinya, seseorang dinilai bukan dari segi “rambut memutih” atau “rambut masih segar bugar”, atau dari “masih bernafas” ataukah “sudah dipeti-matikan”. Seseorang individu dan pribadi manusia, seyogianya dinilai, dihormati, serta diberi penghormatan dan penghargaan atas perilaku-perilakunya ketika masih hidup, maupun ketika masih muda, sehat, dan kuat. Tiada orang yang sudah uzur berperilaku layaknya seorang preman yang melakukan aksi premanisme—pernahkah Anda melihat?
Semua preman hingga seorang kepala mafia sekelas gengster di negara manapun, ketika dirinya telah tua, maka tubuhnya telah ringkih dan lemah, terlampau lemah untuk mengintimidasi korban-korbannya yang lebih muda, karenanya orang-orang yang telah tua selalu memainkan sebuah trik (tanpa bermaksud menuduh) yang oleh penulis disebut sebagai “play innocent” alias “bermain lugu dengan wajah tanpa bersalah apapun”—karena tubuh mereka telah renta-tua, maka satu-satunya strategi untuk mengambil kesempatan dan keuntungan ialah “play victim” alias “berlagak lemah dan suciwan” (mengapa juga masyarakat kita selalu mengidentikkan orang yang sudah uzur sebagai orang-orang suciwan, atau orang muda seketika itu juga akan distigma sebagai berakal pendek (belum matang) dan orang yang sudah memutih rambutnya akan seketika dinilai lebih arif-bijaksana serta lebih dewasa ketimbang anak-anak muda bergaya “punk”, sekalipun faktanya tidak sedikit diantara orang-orang berusia dewasa maupun tua yang bersikap kekanak-kanakan.
Padahal, bisa jadi sang lanjut usia ketika masih muda, adalah seorang anak “punk” sejati, menjadi anggota jaringan Triad Hongkong yang kerap tawuran berdarah, dan melakukan berbagai kejahatan yang sangat sadistik. Kita janganlah menilai seseorang lewat wajah yang berkeriput dan rambut memutih serta tidak lagi dapat menakuti atau merampok orang-orang lain yang lebih muda darinya, karena Anda akan terkecoh sebagaimana telah penulis urai pada paragraf sebelumnya.
Sama halnya, masih perihal budaya Ketimuran, kita sebagai seorang pria diharuskan memberikan tempat duduk bagi wanita dengan perut dalam kondisi mengandung janin. Terdapat sebuah wacana yang cukup menarik dari seseorang warga yang tidak penulis kenal, bahwasannya agar “bersalin” di rumah sakit pemerintah tidak ditanggung dari dana Jaminan Kesehatan Nasional yang dibayar oleh iuran masyarakat pembayar iuran, karena dana Jaminan Kesehatan Nasional ternyata banyak dihabiskan oleh kalangan ibu-ibu yang hendak bersalin—yang mana semestinya sel sperma sang suami yang paling harus dimintai pertanggung-jawaban, bukan warga pembayar iuran yang harus menanggung dan urun-rembuk lewat iuran bulanan.
Sementara, sebagaimana kita ketahui, bersalin bukanlah penyakit, atau bisa juga dikatakan sebagai “penyakit yang dicari-cari sendiri” bila memang bersalin dianggap dan dikategorikan sebagai penyakit. Karenanya, sejatinya para kaum pria berhak untuk memberi respon ketika seorang wanita hamil menghardik kaum pria yang tidak ingin memberi tempat duduk baginya, “Bukan urusan saya, Anda sendiri yang cari PENYAKIT.”
Tidak berhati nurani? Lantas, apa bedanya dengan kaum bapak-bapak yang berperut super “buncit”, apakah juga dibolehkan meminta keistimewaan serupa? Mengapa juga dan dari sejak kapankah, mencari penyakit sendiri dapat menjadi alibi untuk menuntut diperlakukan secara istimewa? Apakah akal sehat penulis yang sedang sakit sehingga sukar memahami semua fenomena semacam ini, ataukah “akal sakit (milik) orang sakit” yang menjadi supremasinya?
Mari kini kita sedikit berandai-andai dan berimajinasi penuh fantasi, agar “uji moril” kita tidak sekadar menjadi hipotesis atau berakhir dan berhenti sebagai wacana belaka, dengan harapan kita bersama dapat mendobrak kekakuan dan sifat “kolot” budaya Ketimuran kita yang selama ini begitu dibangga-banggakan seolah lebih superior dari segi peradaban daripada kaum Barat yang individualistis-egoistik.
Bayangkan, ketika penjahat kelas kakap sekelas Setya Novanto menjelma pria tua berusia lanjut berumur 80 tahun, sang Setya Novanto tentunya akan tampak bijaksana, lemah-lembut, jinak tidak menggigit (karena memang tidak dapat lagi menyakiti, giginya sudah “ompong”), tidak serakah (terpaksa, karena dirinya sudah didiagnosa diabetes oleh dokter, penyakit khas para lanjut usia), serta tiada lagi track record buruk seperti korupsi atau sejenisnya ketika dirinya telah berusia sepuh (karena memang sudah tidak kuat lagi, karena prinsip asasnya yang berlaku disini ialah : “power tends to corrupt, no power means cann’t corrupt anymore”).
Ketika kita berjumpa sang Setya Novanto uzur pada sebuah gerbong kereta ataupun bus yang penuh padat disesaki penumpang yang berdiri berjejalan tidak mendapat tempat untuk duduk, maka tanyakanlah pertanyaan singkat sederhana berikut ini kepada diri Anda sendiri masing-masing : “Apakah saya akan memberikan tempat duduk ini kepada bajingan keparat koruptor biadab macam si Setya Novanto tua yang kini berdiri di depan hadapan wajah saya ini?” Tidak menampar wajahnya pun, semestinya sang Setya Novanto uzur sudah merasa cukup beruntung, janganlah mengharap lebih daripada itu.
Bila Anda adalah seorang pribadi yang “sok moralis”, maka inilah vonis dari penulis bagi Anda : Anda adalah orang terbodoh di semesta ini. Selalu terdapat garis pemisah tegas, antara berjiwa dermawan dan bersikap bodoh. Pepatah menyebutkan, hendaknya kita menimbang “bibit, bebet, dan bobot” seseorang sebelum memberi pertolongan kepada orang dimaksud (kabar buruknya, harta hasil sang Setya Novanto masih cukup banyak sehingga kemungkinan untuk kita berjumpa dengannya pada sebuah kendaraan umum, sangatlah kecil peluangnya).
Tubuh Setya Novanto tua boleh jadi sudah uzur, tampak ringkih-rapuh mudah patah, namun siapa yang tahu bila otaknya masih bekerja menyusun serangkaian modus jahat dengan maksud untuk kembali merampok uang rakyat lewat kroni-kroninya yang masih bercokol pada berbagai partai politik maupun di parlemen? Seseorang yang telah uzur, hanya lemah dari segi fisik untuk melakukan kekerasan fisik, namun tidak persoalan isi pikirannya.
Kini mari kita beralih pada bahasan perihal seorang mayat yang telah dingin dan terbujur kaku-beku-bisu pada kotak berukuran ½ kali 2 meter. Undang-Undang tentang Lalu Lintas memang memberi prioritas bagi mobil pembawa jenazah untuk lebih dahulu melintasi jalan umum dan meminta prioritas dari para pengguna jalan lainnya. Namun orang yang sudah mati, secepat apapun dirinya tiba dan diberi keistmewaan prioritas, apakah akan hidup kembali? Mengapa sudah mati saja, masih juga meminta keistimewaan dan merepotkan orang-orang yang masih hidup? Mengapa yang sudah mati, alih-alih membuka jalan bagi yang masih hidup, justru menghambat jalan orang-orang yang masih hidup?
Bila sudah mati saja demikian merepotkan dan membuat gaduh pengguna jalan lainnya, maka bagaimana diri yang bersangkutan ketika masih hidup? Ketika sudah mati saja disumpah-serapahi oleh pengguna jalan lain yang terganggu oleh bunyi sirine mobil pembawa jenazah lengkap dengan iring-iringan konvoi sanak-keluarganya yang “norak” berkendara dalam gerombolan besar sembari membawa bendera kuning, seolah sebuah kavaleri segerombol “kuda besi” yang hendak pergi berperang dan menjajah benteng dinasti tetangganya, maka bagaimana dengan bentuk sumpah-serapah terhadap diri bersangkutan ketika masih hidup?
Janganlah “sok moralis”, sebagaimana telah berulang-kali penulis berikan peringatan di muka. Bayangkan, kini mari bayangkan dalam benak pikiran terliat Anda, bagaimana jika sang mayat dalam mobil jenazah tersebut ternyata adalah seorang Setya Novanto yang meninggal dunia? Apakah dirinya berhak, berhak atas keistimewaan dan kembali membuat kerugian bagi masyarakat pengguna jalan setelah merugikan masyarakat luas terkait mega korupsi e-KTP? Dapat kita lihat dan rasakan sendiri, repotnya warga mengurus e-KTP, dimana ketika telah terbit e-KTP sekalipun ternyata kualitasnya buruk dan cetakan warna hurufnya mudah sekali rusak.
Ketika dalam perjalanan pada sebuah kereta ataupun bus, dan kita mendapati adanya anak muda yang duduk, sementara terdapat penumpang lainnya yang telah berusia lanjut (lansia) hanya dapat berdiri tanpa mendapati adanya tempat duduk lain yang tersisa, maka kita tidaklah dapat meminta terlebih memaksa anak muda tersebut untuk mengalah dan memberikan tempat duduknya kepada sang lanjut usia. Kita tidak pernah tahu bagaimana perilaku sang lanjut usia dikala masih muda, bisa jadi ketika masih muda dan kuat dirinya adalah orang yang kejam, korup, jahat, dan buruk perilakunya. Siapa yang tahu? Bila berprasangka buruk itu buruk, mengapa juga harus berprasangka baik?
Jika Sang Buddha bersabda, bahwa seseorang tidak ditentukan baik atau buruknya karena kelahirannya, namun karena perbuatannya—maka penulis tampaknya perlu menambahkan sedikit tambahan, bahwasannya seseorang pun bukan dinilai baik atau buruknya karena usia tua atau sudah menjadi jenazah, namun oleh perilakunya ketika masih muda.
Semua anak muda manapun, kelak lambat-laun cepat atau lambat akan menjelma lansia pula, sama seperti sang lansia pernah pula menikmati masa mudanya, karenanya bila sang anak muda hendak berdana tempat duduk pada lansia, maka itu baik, namun bila tidak bersedia mengalah pada sang lansia, maka kita tidak punya hak untuk mencela terlebih meminta dan memaksa sang pemuda untuk memberikan tempat duduknya pada sang lansia penumpang lainnya.
Karenanya, tidak semua budaya ataupun tradisi Ketimuran adalah baik adanya. Tradisi dan budaya Ketimuran yang baik dan masih relevan, patut dilestarikan, sementara budaya yang kurang baik secara akal sehat tidaklah perlu kita wariskan pada generasi penerus kita. Budaya Ketimuran lebih banyak mewajibkan anak-anak muda, sementara budaya Barat dalam konsep hak asasi manusianya lebih menekankan kebebasan (meski terkadan “keblablasan”). Penulis dengan demikian, menawarkan budaya baru yang penulis sebut atau namakan sebagai “budaya akal sehat”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.