Makna Berketerampilan dalam Hukum, Betapa Pendidikan Tinggi Hukum telah Menyesatkan Mahasiswa Mereka

ARTIKEL HUKUM
Terdapat perbedaan yang kontras, antara berteori “ria” dan berketerampilan. Berteori, suka atau tidak suka, mau tidak mau, sang pelaku dan pendengar teori terpaksa harus berpanjang-lebar. Itulah nasib sebuah teori, teori menjadi sekadar bagi memuaskan nafsu berteori semata dan belaka. Semakin tampak kompleks dan rumit, akan semakin dianggap “canggih”. Sebaliknya, berketerampilan menuntut syarat yang berkebalikan dengan sebuah teori.
Selama bertahun-tahun penulis menjalani dan berkecimpung dalam bidang Profesi Hukum di Tanah Air, namun tidak pernah sekalipun penulis mencoba mencari data hukum dengan sumber dari jurnal hukum terlebih skripsi, disertasi, maupun tesis hukum yang bertebaran bagai lembaran-lembaran “sampah” di dunia maya—karya-karya tulis akademik tersebut benar-benar tercampakkan menyerupai nabis sebuah “sampah” di tong sampah.
Mengapa? Sederhana saja alasannya, semua produk karya tulis ilmiah teoretis tersebut, bersifat : bertele-tele, tidak praktis, “gemuk” penuh “lemak”, kering analisa (sekadar sibuk kutip-mengutip teori milik orang lain, tidak to the point, tidak tepat-guna, membuang-buang waktu, tidak fokus, dan tidak applicable. Semakin dibaca, semakin membuat “pusing” pembacanya—alih-alih mencerahkan. Terkadang bahasannya tidak “nyambung”, tidak jelas arahnya, atau bahkan si penulisnya tidak paham atas apa yang ditulisnya sendiri, dengan hasil kesimpulan yang “mengambang”, “klise”, dan “ambigu” tanpa menawarkan suatu ketegasan bagi pembacanya.
Kita tidak dapat menyalahkan mahasiswa maupun akademisi yang membuat jurnal, skripsi, disertasi, maupun tesis yang memang sejak semula dirancang untuk demikian “gemuk”, namun miskin substansi. Hal tersebut wajar saja, mengingat bila seorang “jenius” hukum sekalipun sedang mengikuti sidang skripsi, sebagai contoh, hanya semata membuat uraian sesingkat telaah hukum sesederhana dan se-simple ulasan-ulasan hukum sebagaimana penulis publikasikan dalam website hukum ini, maka dapat dipastikan dirinya tidak akan diluluskan—bahkan akan dianggap sebagai pemalas, tidak berbobot (tidak mengutip banyak teori buku-buku sehingga diasumsikan “tidak tahu apa-apa”). Skripsi hanya sebetal 2 halaman? Itulah sebabnya, tiada fresh graduate lulusan Fakultas Hukum yang benar-benar siap pakai dalam dunia praktik yang seringkali justru hanya membutuhkan “2 halaman” itu.
Tidak pernah ada surat gugatan yang baik dan efektif yang mencantumkan sedermikian “gemuk-berlemak” teori-teori sebagaimana karya tulis ilmiah akademisi. Efektivitas gaya tulis seorang praktisi, bersifat unik dan memiliki satu pola yang sama, yakni : praktis dan tidak bertele-tele. Begitupula, tiada Legal Opinion yang dibutuhkan klien bila isinya menyerupai karya akademisi semacam jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi pada berbagai Perguruan Tinggi Hukum di Tanah Air.
Nasib yang sama dijumpai pula pada buku-buku ilmu hukum kita, bertele-tele dan kental nuansa teoretis yang tidak benar-benar pernah dapat dipakai saat berhadapan dengan Hakim di Pengadilan. Apakah kita akan mengutip teori “canggih” tentang keadilan dari tokoh sekaliber John Rawls saat membuat gugatan maupun pledooi? Siap-siap saja kalah di persidangan bila surat gugatan maupun pledooi dipenuhi teori-teori demikian. Itulah dunia praktik, keliru besar ketika kita menyamakan antara sidang skripsi atau disertasi dengan persidangan dalam ruang peradilan yang sebenarnya.
Pada negara-negara dengan budaya hukum Common Law, sebagai contoh, definisi “ilmu hukum” hanyalah satu, dimana para Sarjana Hukum mereka kompak menyatakan bahwa “ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi”—tepat guna, aplikasinya dapat seketika digunakan sebagai keterampilan berhukum, dan tidak bertele-tele. Bandingkan dengan berbagai penulis teks-teks buku ilmu hukum di Indonesia, lebih sibuk berteori yang cenderung bertele-tele, mengakibatkan masing-masing dari penulis tersebut membuat definisinya sendiri tentang “apa itu hukum” dan harus ditelan oleh para mahasiswa mereka—sungguh suatu upaya “buang-buang waktu” yang tidak berfaedah dan melanggar prinsip kemanfaatan.
Sebagai contoh, apakah seorang direksi suatu Perseroan Terbatas, dapat menuntut pesangon ketika dipecat oleh Rapat Umum Pemegang Saham? Seorang praktisi, akan membuat jawaban singkat dan sederhana saja, yakni jawaban “ya” atau “tidak” disertai dengan kaedah preseden yang relevan. Sementara kalangan akademisi, cenderung membuatnya tampak rumit (meski sejatinya amat sangat sederhana dan simple saja), diperumit dan diperkeruh pula dengan segala macam “tetek-bengek” teori, yang ujung-ujungnya tiada suatu ketegasan apapun dalam kesimpulannya, analisa yang ambigu (cerminan dari tiadanya keberanian berpendapat), dan tidak tepat guna—alias tidak dapat diaplikasikan secara praktis dalam praktik. Teori yang bernasib hanya sekadar menjadi praktik, atau sebagai memenuh-menuhi rak buku pada perpustakaan berdebu yang hanya menunggu rayap dan kutu buku untuk menjamahnya.
Kini, penulis akan membuka rahasia “cara berpikir” (paradigma atau mind set) kalangan praktisi hukum, yang 180 derajat bertentangan dengan cara berpikir kalangan akademisi. Praktisi, menghendaki kepraktisan akibat tuntutan pekerjaan dan tuntutan klien yang “tidak banyak waktu” dan tidak akan bersedia membuang-buang waktu berharga mereka untuk setumpuk teori yang belum tentu applicable.
Tuntutan dalam dunia praktik tersebutlah yang pada gilirannya, melahirkan solusi praktis yang disebut sebagai “keterampilan” berhukum. Terampil, artinya bukan sekadar “jago” berteori, namun benar-benar mampu mengaplikasikan secara efektif dan efisien—bukan bergenit-genit dan berpuas diri dengan kubangan teori layaknya akademisi yang kerap disebut sebagai “berpuas diri berliang dan mengungkung diri di menara gading” yang “tidak membumi”.
Dunia praktik adalah dunia dalam zona “pragmatis”. Sebaliknya, dunia teori adalah dunia tempat para pelaku “kegenitan” asyik dan sibuk berteori namun akan “tergagap-gagap” ketika menyentuh aspek kepraktisan. Kabar buruknya, baik kalangan “praktisi murni” dan kalangan “teoretis murni”, keduanya berdiri pada sudut yang sama-sama ekstrim. Berlainan dengan itu, penulis memilih untuk berdiri pada area yang disebut sebagai zona “moderat”—alias tidak menjadi pragmatis yang membenarkan segala cara demi kemenangan seperti suap-menyuap, dan tidak juga selalu berlindung dibalik dalil-dalil teori yang “tidak membumi”.
Praktik yang praktis, “saking” praktisnya, sampai-sampai mafia hukum lebih praktis ketimbang Sarjana Hukum yang menghabiskan bertahun-tahun umurnya untuk studi ilmu hukum, sepraktis menyuap aparatur penegak hukum untuk memenangkan perkaranya. Apakah itu yang kita kehendaki, wajah praktik hukum kita diwarnai aksi para praktisi-praktis (spekulan) demikian? Teori tidak akan mampu menyuap seorang hakim, namun kekuatan uang suap dapat membeli sebuah putusan—itulah pola pikir praktisi-praktis yang murni.
Praktik yang teoretis, sebagai kubu sebaliknya, dapat digambarkan seperti ruang sidang diisi oleh para profesor hukum yang memberi kuliah berpanjang-lebar super membosankan dan bertele-tele, mengakibatkan hakim maupun pengunjung sidang terlelap-tertidur “saking” bosannya atas kuliah teori yang bertele-tele dan “tidak membumi”. Apakah kita benar-benar punya waktu untuk mendengarkan segala “omong kosong” demikian?
Seluruh publikasi dalam website ini, penulis rancang sebagai hasil perpaduan “resep” unik antara teori dan kepraktisannya untuk dipraktikkan, menjadi suatu formula yang penulis sebut sebagai “pengetahuan berketerampilan”, alias dapat dipraktikkan dalam dunia nyata, bukan sekadar memuaskan keingintahuan, namun juga dapat diaplikasikan menjadi sebentuk keterampilan praktis dalam praktik (applicable).
Bagaimana caranya, membuat yang rumit dan kompleks, menjadi lebih mudah untuk dipahami secara ringkas dan padat, tanpa berpanjang-lebar, tanpa tertele-tele, tanpa berteori “ria” (yang mana semangat untuk berteori untuk sekadar bagi kepentingan teori itu sendiri semata), dan seketika mudah dipahami serta dipraktikkan dalam dunia nyata? Bagaimana mentransformasikan teori menjadi keterampilan praktik? Itulah tantangan seorang praktisi yang moderat—bukan praktisi yang “pragmatis” ala mafia kasus.
Sebaliknya, yang menjadi monumen kegagalan dan kekeliruan besar kurikulum dan metode perkuliahan pada bangku Pendidikan Tinggi Hukum di Tanah Air (lebih parah kondisinya dalam program studi Strata Dua Magister dan Strata Tiga Doktoral ilmu Hukum), segala sesuatu yang sangat sederhana, dibuat menjadi seolah-olah dan seakan-akan demikian kompleks, rumit, membutuhkan ratusan halaman untuk ditelaah dan dibahas—semata agar terlihat “intelek”. Penulis ulangi, “kegenitan” berteori “ria” semata agar terlihat “intelek”. Maaf saja, penulis tidak pernah punya waktu yang berharga untuk dibuang-buang demi sekadar sibuk berteori “ria”.
Itulah sebabnya, tiada pernah ada orang hukum maupun orang awam hukum yang berminat membaca publikasi skripsi, tesis, maupun disertai yang dipublikasi secara luas oleh berbagai Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta meski dapat diakses secara mudah lewat layar monitor komputer (terlebih layar sempit gadget dan telepon genggam) yang menuntut efisiensi dan efektifitas waktu dalam mengakses kajian hukum secara tepat-guna dan applicable.
Berbagai Perguruan Tinggi Hukum kita, terlebih program studi Magister maupun Doktoral Hukum, ironisnya, lebih sibuk mencetak teoretis ketimbang praktisi yang dibekali keterampilan praktik. Para mahasiswanya telah dikondisikan dan dibiasakan untuk membuat segala sesuatunya yang sebetulnya sederhana dan simple, menjadi tampak demikian rumit, ribet, serta kompleks—penulis menyebutnya sebagai “anti education”, alias bertentangan dengan prinsip utama dari pendidikan itu sendiri, yakni dalam rangka mencetak tenaga terampil. Seseorang semestinya membayar mahal untuk dapat menjadi seseorang yang “terampil”, bukan untuk menjadi seorang ahli / pakar dalam “berteori”. Teori tidak pernah dapat “dimakan”.
Mereka yang mampu menyuguhkan bahasan hukum secara sederhana, ringkas namun padat, tepat guna dan applicable, itulah yang akan mampu bersaing dan bertahan dalam kerasnya kompetisi dunia kerja. Sementara bagi mereka yang lebih menyukai untuk menyibukkan diri “bergenit ria” dengan berpanjang-lebar berteori, siap-siaplah masuk ke dalam gudang yang penuh debu, alias tidak laku di pasaran.
Tulisan singkat ini sekaligus menjadi “warning” bagi mereka yang merasa bangga menempuh Pendidikan Tinggi Hukum pada berbagai Perguruan Tinggi ilmu Hukum di Indonesia, karena sesungguhnya mereka telah “disesatkan” dan “tersesatkan”. Dengan segala keterbukaan penulis membuka fakta empirik, dunia dan lapangan kerja tidak pernah membutuhkan seorang teoretis—kecuali bila Anda hanya berminat menjadi seorang dosen yang memang diberi gaji untuk berceloteh perihal teori.
Mereka yang memiliki keterampilan (terampil), itulah yang akan mampu bertahan dan dibutuhkan oleh masyarakat pengguna jasa praktisi hukum, sekalipun tanpa memiliki sederet gelar akademik. “Anti education”, dicerminkan dari skripsi dan tesis yang demikian tebal sekalipun sederhana dan simple saja duduk permasalahan sebenarnya.
Edukasi yang sesungguhnya ialah, bagaimana membuat yang rumit menjadi semudah melepas simpul yang kusut dalam satu atau dua goresan tinta dan argumentasi. Mereka yang berkecimpung dalam dunia praktik, menghirup harumnya semerbak aroma bunga-bunga di kebun bunga dan menikmatinya, sekalipun harus menghadapi resiko tersengat lebah dan teriknya sinar matahari yang membakar kulit. Sementara kalangan akademisi yang teoretik, hanya sekadar menjadi penonton dari atas menara gading mereka—kesepian, kering, dan tidak pernah benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Sudah saatnya, berbagai Perguruan Tinggi Hukum kita diubah namanya, menjadi “Museum”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.