ARTIKEL
HUKUM
Bergulir isu perubahan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), yang diusulkan oleh Lembaga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang
ditengarai merasa gerah akibat kerap tertangkap dalam OTT (operasi
tangkap-tangan) yang dilakukan oleh KPK terhadap para anggota DPR yang terbukti
melakukan aksi kolusi. Masyarakat luas, mulai dari akademisi, rakyat umum,
hingga aktivis, terbagi dalam dua pendapat yang sama hebatnya tentang wacana
untuk membuat semacam Lembaga Pengawas khusus yang khusus mengawasi kinerja dan
operasional KPK.
Secara logika sederhana, cukup dengan “logika (milik) rakyat”, adalah
tidak dapat diterima oleh akal sehat bahwa KPK butuh semacam lembaga pengawas.
KPK lebih menyerupai lembaga intelijen, dimana aksi intelijen bersifat rahasia,
sehingga pengawasan terhadap aksi intelijen sama artinya memata-matai aksi KPK
itu sendiri, sehingga sifat rahasia dari operasi intelijen itu sendiri menjadi
bias maknanya bilamana KPK dibawah monitoring suatu lembaga lain yang diberi
“merek” atau kemasan nama sebagai “Dewan Pengawas KPK”.
KPK, berdasarkan latar-belakang dibentuknya KPK, KPK didirikan dengan
jiwa atau semangat sebagai Lembaga Pengawas, bukan sekadar Lembaga Negara,
sehingga menjadi tidak logis jika Lembaga Pengawas juga membutuh pengawas untuk
mengawasi. Betul bahwa kalangan profesi Hakim dibawah Lembaga Yudikatif
terdapat lembaga pengawas bernama Bawas Pengawas Mahkamah Agung RI (Bawas MA
RI), namun Bawas MA RI dibentuk oleh Ketua MA RI, bukan lembaga yang independen
dan terpisah dari MA RI. Namun yang tidak pernah ada di negeri ini, dan belum
pernah terjadi, lembaga pengawas justru disebutkan perlu diawasi oleh lembaga
pengawas lainnya, kecuali wacana dibentuknya Dewas Pengawas KPK ini.
Kejaksaan memiliki lembaga pengawas bernama Komisi Kejaksaan, namun
Komisi Kejaksaan tidak diawasi oleh lembaga pengawas manapun. Begitupula
Lembaga Kepolisian, ada pengawasan dari lembaga pengawas bernama Kompolnas,
Ombudsman, dan Propam (Propam berada dibawah struktur Lembaga Kepolisian),
namun baik Kompolnas, Ombudsman, maupun Propam tidak diawasi oleh lembaga
pengawas manapun. Di Kemiliteran, TNI, terdapat lembaga pengawas bernama
Provost, namun Provost itu sendiri dibentuk oleh Panglima tertinggi TNI dan
tidak terdapat Lembaga Pengawas yang mengawasi kinerja Provost.
Profesi Hakim, Jaksa, maupun anggota DPR, meski diawasi oleh lembaga
pengawas internal maupun lembaga pemerintahan yang diperlengkapi Inspektorat
Jenderal, masih juga tertangkap oleh KPK para hakim, jaksa, dan berbagai
anggota DPR maupun Aparatur Sipil Negara lainnya, sekalipun sudah terdapat
demikian banyak pengawas yang mengawasi lembaga-lembaga tersebut?
Justru akrena KPK adalah Lembaga Pengawas itu sendiri, sehingga menjadi
seolah “Jeruk makan JeruK”, bila KPK masih dinilai perlu untuk diawasi oleh
lembaga pengawas semacam Dewan Pengawas KPK. DPR pengawasnya siapa? Justru KPK
adalah pengawasnya Lembaga DPR itu sendiri. Sehingga, dapat dikatakan, KPK
sejatinya tidak membutuhkan lembaga pengawas, namun KPK adalah lembaga pengawas
itu sendiri, yang bertugas mengawasi kinerja DPR maupun pemerintah.
Kita tidak pernah butuh membuang waktu dan berwacana dengan memperdebatkan
bahwasannya setiap lembaga butuh pengawas. Lantas, jika memang demikian perlu
pengawasan, siapakah yang mengawasi Lembaga Pengawas tersebut? Siapa jugakah
yang pada gilirannya akan mengawasi sang Lembaga Pengawas? Siapa jugakah yang
perlu mengawasi dari Pengawas dari sang Lembaga Pengawas?
Entah mengapa, para pengusun kebijakan di negeri ini, terlampau banyak
membuang waktu, energi, serta polemik untuk hal-hal yang tidak berfaedah,
seolah negeri ini kekurangan Pekerjaan Rumah-nya. Mungkin saja, “Dewan Pengawas
KPK” itu sendiri yang menjadi salah satu subjek yang perlu diawasi dan disadap
oleh KPK, alias menambah banyak beban tugas KPK dalam berkegiatan.
Apakah masih belum cukup, kasus-kasus tertangkapnya pejabat Inspektorat
Jenderal maupun BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) oleh KPK, yang mana notabene
pada tersangka yang tertangkap tersebut bertugas dalam bidang pengawasan dan
akuntabilitas manajemen pemerintahan? KPK, berdasarkan sejarah kelahirannya,
memang dibentuk untuk mengawasi Lembaga Pemerintahan berserta dengan alias
tidak terkecuali dengan berbagai Lembaga Pengawas yang ada maupun yang akan
ada.
Sebagian elit politik serta kalangan yang menghendaki pembentukan Dewan
Pengawas KPK, mendalilkan dengan penuh percaya diri (yang terlampau percaya
diri), jika masyarakat ada yang tidak setuju dengan pembentukan Dewan Pengawas
KPK maupun amputasi hak penyadapan oleh KPK, maka dapat mengajukan uji materiil
(judicial review) ke hadapan Mahkamah
Konstitusi RI. Namun, kita tidak boleh melupakan sejarah, bahwa KPK adalah satu-satunya
“Lembaga Pengawas MK RI” yang tercatat pernah
menangkap tangan Hakim dan Ketua MK RI itu sendiri (lihat kasus Akil Mochtar
dan Patrialis Akbar).
Kita juga perlu belajar dari pengalaman dimana MK RI secara ultra petitum, dengan melampaui apa yang
dituntut dan dimohonkan oleh pihak
Pemohon Uji Materiil, Majelis Hakim MK RI dengan suara bulat justru melemahkan
serta mengamputasi kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi MK RI, sehingga
sudah dapat diprediksi MK RI akan kembali membuat dirinya tidak kasat mata oleh
pengawasan lembaga manapun, tidak terkecuali KPK, dengan turut berjemaah “menggembosi”
(mempreteli) kekuatan KPK sebagaimana nasib Komisi Yudisial RI yang saat kini hanya
menjadi sekadar “pajangan” belaka.
Kita tidak dapat berharap banyak dengan melihat rekam jejak dan track record Mahkamah Konstitusi RI yang
etentunya menaruh dendam terhadap KPK karena pernah mencoreng wajah lembaga “penafsir
konstitusi” (the sole intrepreter of
constitution) tersebut—seolah rakyat jelata tidak memiliki hak untuk
memaknai konstitusi negara mereka sendiri dengan “logika (milik) rakyat” yang murni,
sederhana, dan tidak dipolitisir.
Bila menyebutnya sebagai upaya “penguatan” (terhadap) KPK, namun substansinya
justru memiliki motif tersembunyi (hidden
agenda) berupa “pelemahan” terhadap KPK, sama artinya para wakil rakyat
kita di parlemen sedang berupaya membodohi serta membohongi dan berkhianat
kepada rakyat yang telah memilih mereka. Tidak selamanya, undang-undang adalah produk
hukum yang sakral—karena aroma politik tercium sangat kental.
Jika kita mau berpikir secara lebih terbuka, hakim pada Pengadilan Ad Hoc (Khusus) Tipikor yang akan
menentukan, apakah dakwaan dan penuntutan oleh KPK adalah patut atau tidaknya. Begitupula
tersangka tindak pidana korupsi (Tipikor) yang telah ditetapkan oleh KPK, masih
diberi kesempatan untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri setempat
bila memang KPK telah melakukan mal-yuridis, sehingga menjadi pertanyaan logis:
dimana letak urgensi pembentukan Dewan Pengawas KPK?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.