Status Tersangka Korupsi Bukanlah Objek Praperadilan, Hanya Praperadilan Pidana Umum Bukan Tipikor yang dapat Mengamputasi Penetapan Status Penyidikan

ARTIKEL HUKUM
Apakah Beban Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Bersifat Sumir dan Semu?
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membuat putusan bahwa alat bukti paling minimum dalam perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) disamakan dengan delik pidana umum, yakni minimum dua alat bukti untuk dapat menetapkan status seseorang sebagai Tersangka / Tersidik, maupun Terdakwa. Belum cukup sampai disitu, Mahkamah Konstitusi RI kembali mengabulkan uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh kuasa hukumnya Fredrick Yunadi sang Pengacara Kepala “Bakpao”, dengan memutuskan bahwa status Tersangka dapat digugat praperadilan ke hadapan pengadilan yang hanya diputus oleh satu orang Hakim (bukan Majelis Hakim) dan tiada upaya hukum apapun yang dimungkinkan terhadap putusan praperadilan—alias “obstruction of justice” yang dilegalkan.
Namun, Mahkamah Konstitusi RI seolah “sengaja” melupakan (meski mustahil tidak menyadari dan tidak mengetahui), bahwa antara Tipikor dan Tindak Pidana Umum memiliki karakteristik yang berlainan dari segi stelsel pembuktian maupun sifat kejahatannya. Undang-Undang Tipikor itu sendiri telah menegaskan dalam bagian penjelasan resminya, bahwa Tipikor merupakan jenis “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime) yang harus serta perlu menggunakan pendekatan yang juga diluar langkah-langkah yang biasa—mengingat pelakunya selalu ialah “white collar crime” yang intelek, berkuasa, dan tersistematis. Kedua, stelsel pembuktian dalam Tipikor maupun Tindak Pidana Pencucian Uang, bukan menerapkan cara-cara “pembuktian normal”, namun menggunakan hukum acara yang bernama “beban pembuktian terbalik” (shifting the burden of prove).
“Beban pembuktian terbalik” bermakna, Jaksa Penuntut Umum yang merumuskan Surat Dakwaan yang pada umumnya diwajibkan oleh hukum acara pidana untuk membuktikan dakwaannya, kewajiban demikian oleh Undang-Undang Tipikor lewat penerapan asas “lex spesialis derogat legi generalisdibalik (shifting) keberlakuannya menjadi beban kewajiban Terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut dalam Surat Dakwaan terkait kepemilikan harta kekayaan maupun unsur-unsur Tipikor yang didakwakan bilamana yang diuntungkan ialah pihak ketiga (dalam kasus seperti kolusi dan korupsi, bisa jadi yang menerima keuntungan hasil kejahatan dan menikmatinya ialah pihak lain, tidak harus sang pelaku itu sendiri sebagaimana telah diakomodasi oleh pengaturan delik Undang-undang Tipikor, biasanya untuk menyamarkan asal-usul harta kekayaan lewat praktik “money laundring”).
Tuntutan agar Jaksa Penuntut Umum Mampu menghadirkan alat bukti ke hadapan persidangan guna membuktikan dakwaan, hal tersebut merupakan paradigma “Tindak Pidana Umum”, bukan stelsel “beban pembuktian terbalik”. Bila dalam kasus Tipikir masih dituntut penerapan sistem pembuktian demikian, maka apa bedanya antara Hukum Acara Tipikor dan Hukum Acara Pidana Umum?
Res ipsa locuitur, yang bermakna “the thing speaks for itself”, atau bila diterjemahkan sebagai : “benda tersebut itu sendiri yang berbicara dan mengisahkan kejadian”. Sehingga, bila Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, mendakwa seorang tersangka kasus Tipikor dengan disertai 2 (dua) atau lebih alat bukti, semisal bukti sadapan / rekaman pembicaraan disertai bukti dokumen maupun keterangan saksi mata, maka itu artinya tiada lagi istilah “beban pembuktian terbalik”, karena “sudah terbukti” dan “sudah dibuktikan”.
Adalah menimbulkan kontroversi, bilamana Jaksa Penuntut Umum pada KPK mendakwa seseorang telah melakukan Tipikor tanpa satupun alat bukti yang mampu dihadirkan ke persidangan—karena kaan dinilai melanggar agar “presumption of innocence” (praduga tidak bersalah). Maka, adalah lebih moderat menerapkan regulasi pra-putusan Mahkamah Konstitusi RI, yakni cukup berbekal 1 (satu) buah alat bukti, maka selebihnya pihak Terdakwa itu sendiri yang harus membuktikan bahwa asal-usul hasil kekayaannya, sebagai tidak atau bukan hasil dari tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang. Paradigma semacam itulah yang penulis nilai benar-benar menerapkan filosofi dibalik asas “beban pembuktian terbalik”, penindakan hukum secara “diluar biasa” atas kejahatan yang sifatnya juga “diluar biasa”.
Ketika Jaksa Penuntut Umum penyusun Surat Dakwaan masih diwajibkan beban untuk membuktikan bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana sesuai perbuatan yang didakwakan terhadapnya berdasarkan alat bukti yang diajukan ke hadapan persidangan yang terbuka untuk umum. Pertanyaannya, jika harus sudah ada alat bukti terlebih dahulu sebagai prasyarat tuntutan, maka itu artinya bukanlah “beban pembuktian terbalik” yang sejati, namun hukum acara pidana biasa, sehingga istilah “beban pembuktian terbalik” menjelma “omong kosong” alias jargon semata.
Mengapa harus “beban pembuktian terbalik”? Tidak ada tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terang-benderang, namun selalu dilakukan secara tersembunyi dan tertutup rapat, bahkan dilindungi oleh instrumen hukum yang rumit, canggih, dan terselubung, sehingga dibutuhkan penindakan dan penegakan hukum secara “diluar” dari biasanya. Karenanya, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menjadikan status Tersangka sebagai objek praperadilan hingga kewajiban mengantungi minimal dua alat bukti sebelum mendakwa seorang Tersangka Tipikor, hal demikian jelas konstruksi berpikir (paradigma) “Tindak Pidana Umum”, bukan Tipikor.
Banyak tokoh hukum yang menyatakan bahwa “beban pembuktian terbalik” hanya jargon karena Undang-Undang Tipikor tidak mengatur secara tegas perihal “beban pembuktian terbalik”. Namun siapapun dapat membaca sendiri, bahwasannya pengaturan dalam Undang-Undang Tipikor telah demikian tegas mengatur perihal “beban pembuktian terbalik” serta aplikasinya, sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK Indonesia NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
PENJELASAN
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Mengapa disebut sebagai “hak” untuk membuktikan bahwa sang Terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum? Karena hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari asas “beban pembuktian terbalik”, dimana adalah kewajiban bagi Terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya “bersih” dari aksi korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Namun sekaligus juga sebagai hak bagi Terdakwa untuk melepaskan pembelaan diri dan membenarkan dakwaan Jaksa Pentuntu.]
Penjelasan Resmi Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Alat bukti yang sudah ada merupakan 1 (satu) buah alat bukti, sementara Terdakwa yang ternyata kemudian gagal untuk membuktikan dirinya bersih dari segala tuduhan merupakan alat bukti ke-2 (kedua)—maka genap sudah alat bukti minimum yang setidaknya 2 (dua) buah alat bukti. Sehingga, dalam stelsel Tipikor, 1 (satu) alat bukti bersumber dari Jaksa Penuntut Umum, dan 1 (satu) alat bukti berikutnya bersumber dari penerapan asas “beban pembuktian terbalik” itu sendiri.]
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Pembuktian dilakukan saat pemeriksaan di sidang pengadilan, sehingga bukan merupakan ranah praperadilan untuk mengintervensi dan mengamputasi proses penyidikan bagi penyidik guna pengumpulan alat bukti yang masih “on process”.]
Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Kaedah normatif di atas bahkan tidak mensyaratkan adanya alat bukti apapun dari pihak Jaksa Penuntut Umum, dalam konteks harta benda milik Terdakwa yang belum didakwakan. Karenanya, Jaksa Penuntut Umum cukup mengumpulkan minimal 1 (satu) buah alat bukti yang dapat membuktikan adanya indikasi Tipikor terhadap sebagian harta milik Terdakwa, dimana harta selebihnya menjadi murni “beban pembuktian terbalik” yang dipikul pihak Terdakwa.]
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Penjelasan resmi Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Penjelasan Resmi Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut. Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK Indonesia NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Dengan demikian perlu kita pahami, penerapan prinsip “beban pembuktian terbalik” bukanlah wajah lain dari asas “praduga bersalah”, namun “asas proporsional” dimana masing-masing pihak baik Jaksa Penuntut Umum maupun pihak Terdakwa masing-masing dibebani setidaknya menghadirkan paling tidak 1 (satu) buah alat bukti (kecuali pihak Terdakwa melepaskan “hak”-nya untuk membantah)—alat bukti yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum guna membuktikan dugaan terjadinya Tipikor, sementara alat bukti yang diajukan Terdakwa membuktikan bahwa harta hasil kekayaan miliknya adalah “bersih” atau upaya membuktikan bahwa tuduhan korupsi maupun kolusi tidak terbukti adanya.
Maka, genap sudah alat bukti minimum berupa 2 (dua) buah alat bukti—1 (satu) buah alat bukti dari pihak Jaksa Penuntut Umum, dan alat bukti ke-2 dari pihak Terdakwa berdasarkan penerapan asas “beban pembuktian terbalik”. Demikian penjelasan SHIETRA & PARTNERS yang paling rasional, paling proporsional, serta paling relevan untuk dapat kita terapkan bersama. Akhir kata, perlu kita pahami benar, bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi menerapkan hukum acara pidana yang berbeda dengan karakteristik penindakan terhadap “tindak pidana umum”, mengingat karakternya sebagai “extra ordinary crime”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.