Cara Membedakan antara Hukum dan Politik

ARTIKEL HUKUM
Betul bahwa hukum adalah “produk politik”, namun politik pun adalah produk dari hukum. Menjadi sukar untuk membedakan mana yang lebih dahulu, namun Cicero pernah menyampaikan, bahwa dimana ada komunitas sosial, disitulah hukum terbentuk. Hukum adalah produk konsensus politik, dimana sebelum terciptanya konsensus politik tersebut, hukum tidak tertulis dapat dipastikan tumbuh terlebih dahulu di tengah-tengah komunitas masyarakat (salah satunya ialah konvensi ketata-negaraan).
Namun, bagaimana cara mudah bagi kita untuk dapat membedakan antara “hukum” dan “politik”? Mudah saja (setidaknya secara teori), yakni dengan membuat indikator sederhana sebagai berikut : Segala sesuatunya yang tidak dapat diprediksi, itulah politik. Maka, dapat juga kita tarik kesimpulan, hukum WAJIB bersifat dapat diprediksi dalam derajat yang paling maksimum—analogi tersebut penulis adaptasi dari falsafah budaya hukum Common Law, dimana berlaku asas “the binding force of precedent”.
Ironisnya, jika kita konsisten menerapkan indikator yang penulis pinjam dari konsep Common Law tersebut di atas, tampaknya tiada yang benar-benar dapat kita sebut sebagai “hukum” di Indonesia. Terlampau banyak dapat kita jumpai putusan-putusan yang simpang-siur, inkonsistensi antar putusan, disparitas vonis antar putusan, hingga kerap terjadi penegakan hukum “tumpul ke atas dan tajam ke bawah” (realita yang benar-benar menggambarkan realita). Dimanakah letak dapat diprediksinya bila praktik berhukum di Indonesia menjelma aksi spekulasi demi spekulasi bagai “bola liar” yang menggelinding tanpa arah yang pasti?
Antara “hukum diatas kertas” dan “hukum di dalam praktik”, dapat menjadi demikian kontras dan tidak kongruen, mengingat daya ikat preseden belum diakui di Indonesia—sekalipun Mahkamah Agung Belanda, Hoge Raad, telah secara resmi berpindah haluan kepada kiblat Common Law, sehingga praktis praktik berhukum di Indonesia tergolong telah tertinggal di belakang.
Hukum, wajib bersikap tegas, imparsial, dan eksplisit. Sementara itu, politik bersifat “politis”, sumir, parsial, dan subjektif-diplomatis. Mengingat karakter antara hukum dan politik demikian “berjarak”, maka tidaklah mengherankan bila produk hukum yang dibentuk oleh parlemen di Indonesia, kerap bernuansa politis. Sebaliknya, pada negara-negara dengan sistem budaya hukum Common Law, lebih menekankan faktor pembentukan hukum negara mereka dengan pendekatan “judge made law” yakni penerapan preseden dan yurisprudensi di ruang peradilan itu sendiri.
Sekalipun aturan normatif hukum di-“bidani” oleh proses politik di Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif yang kental akan aroma negosiasi, namun mencampur-aduk antara hukum dan politik dalam tataran praktik, dapat menjelma kerusakan sendi-sendi bernegara, yang salah satunya memerlukan figur “wibawa hukum”—ketika reputasi parlemen merosot di mata masyarakat, maka wibawa hukum akan turut rusak secara sendirinya, dimana kepercayaan masyarakat terhadap hukum terkikis dan timbul bibit-bibit antipati publik terhadap hukum. Penegakan hukum yang “macet” karena masyarakat tidak merasa sebagai konstituennya, maka pergerakan negara menjadi tidak stabil, selalu diwarnai oleh “letupan-letupan” sosial.
Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada hukum—bahkan mulai menaruh curiga terhadap hukum yang dinilai membawa muatan kepentingan politis segelintir pihak—maka kita tidak lagi dapat mengharap agar masyarakat kita patuh terhadap hukum. Sebaliknya, pelecehan terhadap hukum akan lahir lewat pecahnya aksi demonstrasi masyarakat kita dalam menentang keberlakuan penerapan norma hukum yang dibentuk oleh parlemen.
Dampak tidak langsungnya sangat kentara, iklim investasi turut bergejolak, antar sesama anggota masyarakat timbul sikap saling curiga, lahirnya segregasi sosial dan keterpecahan. Pada gilirannya, kita akan menghabiskan energi dan waktu untuk berpolemik dan berdebat, alih-alih membangun negeri ini secara kompak bahu-membahu ditengah iklim persaingan global yang begitu menekan.
Kini penulis akan beralih pada isu lainnya, bahwa negeri berhukum yang baik salah satunya dicirikan dari tidak kerapnya regulasi dibentuk dan diubah dalam tempo waktu yang pendek. Hukum, sebagai “produk politik”, seyogianya dirancang dan di-“godok” secara “matang” sebelum “dilempar” ke masyarakat selaku pengguna (public users) dan pengemban hukum. Kerapnya aturan normatif hukum dibentuk dan kemudian diubah, mencerminkan betapa cerobohnya proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga menyerupai sikap seolah hendak menjadikan ratusan juta warga negara kita sebagai “tikus percobaan” pada laboratorium raksasa.
Salah satu tragedi yang sangat memprihatinkan, Mahkamah Agung RI yang seyogianya paling memahami dinamika praktik berhukum di peradilan, ternyata kerap merumuskan dan melahirkan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung berisi kaedah normatif hukum yang mengikat umum namun kerap dikoreksi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung yang diterbitkan pada tahun berikutnya, seolah “tambal-sulam” dan sedang “bereksperimen” dengan social-cost yang sangat berisiko tinggi terciptanya ketidakpastian hukum dan merosotnya wibawa hukum di mata masyarakat kita yang sudah dijenuhkan oleh berbagai pemberitaan putusan-putusan kontroversial.
Tidaklah keliru bila kita membuat julukan sebagai “republik coba-coba”, “konstitusi coba-coba”, “regulasi coba-coba”, lalu putusan pun bersifat “coba-coba”. Pemerintah yang baik, tidak menjadikan masyarakatnya sendiri sebagai objek “percobaan”, namun sebagai subjek yang berdaya dan diberdayakan. Berbagai demonstasi dan orasi masyarakat luas yang menentang produk legislatif, merupakan gambaran konkret betapa masyarakat kita tidak dilibatkan dalam proses politik pembentukan regulasi yang mengikat publik atau yang berdampak luas bagi kepentingan umum.
Adalah menjelma mimpi buruk, ketika antara hukum dan politik tidak lagi dapat dibedakan secara tegas oleh masyarakat maupun dalam praktik di ruang persidangan. Atau, politik yang menyaru sebagai hukum, atau kepentingan politik yang berlindung dibalik aturan normatif hukum, atau ketika hukum menghamba pada kepentingan segelintir atau sekumpulan elite-elite politik.
Ketika wajah praktik hukum dinodai oleh manuver-manuver politik, hukum menjadi diremehkan, ditentang, dan dicurigai oleh masyarakat kita, dan kehilangan wibawanya. Patuh terhadap hukum tidak lagi menjadi tuntutan bagi masyarakat kita, bahkan dipandang sebagai “musuh” yang harus diwaspadai. Hukum semestinya menjadi “kawan” bagi publik yang bersifat mendidik, dapat dipercaya, mengedukasi, mendewasakan, dan melindungi.
Profesionalisme menjadi jawaban yang paling rasional. Untuk menuju kursi di parlemen, para calon anggota legislatif merupakan bagian dari Partai Politik yang bertarung dalam kancah perpolitikan. Namun ketika mereka telah duduk sebagai anggota legislatif, maka politik seyogianya “berhenti” dan murni menjadi bagian faktor penggerak hukum—dengan cara itulah, antara hukum dan politik dapat benar-benar berjalan pada koridornya masing-masing tanpa saling menodai.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.