Cara Menghitung Masa Kerja dalam Kontrak Kerja Berjenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Rasionalisasinya

ARTIKEL HUKUM
Modus pemutusan hubungan kerja (PHK) “secara sepihak” (hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial di Indonesia tidak mengenal istilah PHK diluar lembaga peradilan, sehingga sejatinya hanya berupa “PHK secara politis” de facto belaka, bukan PHK dalam artian yuridis de jure sesungguhnya), semakin menunjukkan gelagat-gelagat liar dalam praktik dewasa ini, dimana penyalah-gunaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan pelanggarannya terjadi secara masif oleh kalangan pelaku usaha di Tanah Air—seolah negara tidak serius menegakkan aturan normatif hukum ketenagakerjaan dan tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat dan angkatan kerja yang dibiarkan “berdarah-darah” digempur oleh ketimpangan ekonomi dan lemahnya daya tawar kalangan pekerja / buruh di Tanah Air.
Dapat disebutkan, setiap perusahaan dengan jumlah karyawan yang mencapai diatas seratus orang pegawai, mulai merasa “nyaman-nyaman” saja menabrak kaedah normatif hukum ketenagakerjaan dengan mengikat seluruh karyawannya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sekalipun jenis pekerjaannya bersifat tetap, sekalipun disertai pasal-pasal “masa percobaan” (brobation), sekalipun kontrak kerja tidak didaftarkan pada otoritas setempat dibidang ketenagakerjaan, dan sekalipun menabrak rambu-rambu yang telah digariskan oleh aturan hukum terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Mengapa kecenderungannya, saat kini seluruh pekerjaan dan seluruh pekerja diikat oleh kalangan pelaku usaha dengan jenis perikatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, alih-alih sebagai pekerja tetap sekalipun sejatinya jenis dan fungsi pekerjaannya bersifat permanen? Tidak lain karena, pemerintah dan praktik peradilan seolah memberikan insentif bagi kalangan pelaku usaha yang melanggar kaedah normatif ketenagakerjaan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu—alih-alih memberikan penghukuman yang membuat efek jera menjerakan, yang disaat bersamaan justru memberi disinsentif bagi kalangan rakyat banyak selaku pekerja / buruh.
Dengan kata lain, kalangan pelaku usaha sejatinya telah melakukan antisipasi kalkulatif, yakni perbandignan antara resiko kerugian “loss” dan potensi keuntungannya (profit) masih jauh lebih banyak menggunakan praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam mengikat setiap pekerjanya. Ketika antara potensi keuntungan dan resiko kerugian, masih bersifat jauh timpang, dimana resiko kerugiannya sama sekali tidak memberikan efek jera, maka selamanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu akan dipandang sebagai sebentuk insentif bagi sang pelaku usaha. Perlu kita ketahui, cara berpandang kalanagn pengusaha di Tanah Air masih menerapkan kebijakan kalkulasi bisnis, bukan kalkulasi etik maupun kalkulasi normatif hukum.
Betapa tidak, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang SHIETRA & PARTNERS jumpai selalu mengandung dan mengatur klausul-klausul yang serba “berat sebelah”, secara masif melanggar norma hukum ketenagakerjaan, “menabrak” kebolehan dan larangan yang sudah tegas-tegas digariskan oleh hukum terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dan selalu semata menguntungkan pihak pemberi kerja dan disaat bersamaan memberatkan pihak pekerja semisal diatur di dalamnya “escape clause” bagi pemberi kerja untuk sewaktu-waktu berkelit dan memutus hubungan kerja secara sepihak dan disaat bersamaan mencekik sang pekerja yang “dikunci” serta tidak dapat banyak berkutik hingga sangat menyerupai seorang “sandera” yang tersandera sementara pihak pelaku usaha selalu bebas kapan pun dirinya hendak “meloloskan” diri dari perikatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Mengapa pelanggaran demikian, masih terus terjadi bahkan trennya menunjukkan kecenderungan kian masif dan tersistematis seolah kalangan pengusaha di Tanah Air tidak kunjung menunjukkan gejala-gejala jera sekalipun telah banyak putusan pengadilan yang menghukum kalangan pelaku usaha karena pelanggaran kaedah normatif hukum ketenagakerjaan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu demikian?
Karena vonis hukumannya masih jauh lebih ringan dan jauh lebih rendah daripada insentif mengikat setiap pekerjanya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Itulah jawaban paling logis dan yang paling rasional serta paling relevan yang seringkali SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik. Secara statistik dari pengamatan pribadi penulis, pekerja kontrak yang hak-haknya dilanggar semisal melakukan jenis pekerjaan tetap namun diikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan kemudian di-PHK secara sepihak, antara pekerja kontrak yang mengajukan upaya hukum gugatan dan yang hanya bersikap pasrah, perbandingannya dapat mencapai lebih dari 1 berbanding 10.000 (1 : 10.000), alias 1 orang pekerja kontrak yang menggugat perusahaan tempatnya bekerja berbanding 10.000 pekerja kontrak yang hanya pasrah dan pasif menerima keadaan sekalipun mereka tahu aturan hukum yang melindungi hak-haknya telah terlanggar dan dicederai.
Itulah insentif pertama bagi kalangan pelaku usaha yang mengikat setiap pekerjanya dengan jenis “kerja kontrak”. Insentif kedua, tidak lain ialah perihal diamputasinya hak seorang pekerja kontrak atas “Upah Proses” yang selama ini menjadi tumpuan andalan seorang pekerja kontrak ketika jenis pekerjaannya ialah pekerjaan tetap atau ketika terdapat cacat pada “syarat formal” pembentukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sehingga sejatinya “demi hukum” menjelma Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT, alias pekerjaan tetap), namun praktik para lembaga peradilan hingga Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi RI tetap berpendirian memangkas hak-hak seorang pekerja kontrak atas “Upah Proses” yang setidaknya dapat mencapai enam bulan Upah.
Memang, hukum ketenagakerjaan mengatur pula lembaga yang bernama “pegawai pengawas ketenagakerjaan” pada masing-masing satuan tuan Dinas Tenaga Kerja setempat. Namun, petugas dari pegawai pengawas demikian seringkali hanya menanggapi laporan dari banyak buruh dalam ukuran masif. Yang terjadi di lapangan, ialah sebaliknya, pengusaha memutus hukum kerja pekerja kontraknya secara parsial, alias satu demi satu, pada tanggal yang saling berbeda sehingga suara mereka tampak lemah bila seorang diri menghadap Dinas Tenaga Kerja.
Tiada juga jaminan maupun kepastian tindak lanjut atas laporan seorang pekerja kepada Pegawai Pengawas, selain membuat “gerah” dan “marah” pelaku usaha sehingga sangat menyerupai “perang dingin” berkat kebijakan negara yang meng-“adu domba” antara sang buruh dan sang pemberi kerja sementara pemerintah hanya asyik menjadi penonton dari bangku penonton.
Kerap terjadinya pemutusan hubungan kerja sebelum masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu benar-benar berakhir tanggal efektifnya, terutama modus guna menghindari kewajiban pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), kalagann pelaku usaha memanfaatkan dengan baik “celah hukum” dalam hukum ketenagakerjaan, yakni tiada potensi resiko terkait penghukuman pembayaran “upah proses” sekalipun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dinyatakan cacat formil dalam proses pembentukannya karena pekerjaannya berjenis pekerjaan tetap sehingga “demi hukum” menjelma jenis Pekerja Permanen.
Tiadanya resiko potensi dihukum pembayaran sejumlah “upah proses” ketika sang pekerja kontrak menggugat kejadian pemutusan hubungan kerja yang dialami olehnya, dan sekalipun jenis pekerjaan sejatinya bersifat tetap alias bukan musiman (ciri khas jenis Pekerja Tetap), itulah yang menjadi insentif bagi seluruh kalangan pelaku usaha untuk memanfaatkan dengan baik guna mengeksploitasi Pekerja kontrak.
Maka, resiko terbesar dari diputusnya hubungan kerja disaat masih berlakunya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, ialah dihukumnya pihak pemberi kerja berupa kompensasi senilai sisa masa waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang diputus ditengah jalan. Sementara kita ketahui, yang paling patut dan paling “worthed” untuk diajukannya sebuah gugatan perdata termasuk terkait hak-hak normatif buruh, ialah minimal 6 bulan upah.
Sebagai contoh, untuk kalangan Pekerja Tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), sekalipun masa kerjanya ialah kurang dari satu tahun, maka hak atas pesangon akibat pemutusan hubungan kerja ialah sebesar 1 bulan Upah. Namun, yang dikejar oleh sang buruh ialah “Upah Proses” lewat gugatan terhadap PHK yang dialami olehnya ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebaliknya, kebalikan dengan itu, seorang Pekerja Kontrak, secacat apapun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu bersangkutan, “jaring pengaman” (safety nett) berupa “Upah Proses” telah diamputasi oleh praktik peradilan baik Mahkamah Agung RI maupun oleh Mahkamah Konstitusi Ri. Dengan kata lain, yang hanya dapat diperjuangkan oleh kalangan Pekerja Kontrak hanyalah sisa masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Ketika sisa masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berjumlah kurang dari 6 bulan sisa masa kerja, maka apakah layak gugatan terhadap PHK yang dialami oleh sang Pekerja Kontrak, untuk diajukan ke hadapan persidangan dengan segala konsekuensi dan resiko sosial-yuridisnya? Tepat pada titik itulah pihak pelaku usaha memanfaatkan posisi rentan kalangan seorang Pekerja Kontrak. Kerap kali, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diputus saat sisa masa kerja tersisa kurang dari 6 bulan masa kerja.
Agar tidak menjalma kekecewaan yang amat sangat, berikut usul dan saran dari SHIETRA & PARTNERS bagi setiap kalangan pekerja yang ditawarkan pekerjaan dengan jenis ikatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu: Setiap ikatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu harus asumsikan masa berlaku kontraknya itu minus 6 bulan—mengingat sekalipun benar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terdapat cacat formil sehingga “demi hukum” menjelma Pekerja Tetap, sang pekerja tetaplah tidak diberikan “Upah Proses”.
Jika sisa kontrak dibawah 6 bulan lalu terjadilan skenario terburuk, di-PHK secara sepihak, adalah sebentuk kerugian bagi sang Pekerja Kontrak itu sendiri sekalipun dipastikan dapat menang dalam gugatan melawan sang pemberi kerja—belum lagi resiko putusan yang tidak dapat dieksekusi, disamping rusaknya nama sang penggugat di mata calon pemberi kerja lainnya (social cost).
Karenanya, jika seorang calon pegawai ditawarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu selama 2 tahun, asumsikan masa kerja dalam kontrak kerja tersebut ialah sebatas 1,5 tahun. Bila masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur hanya 1 tahun, maka asumsikan masa kerja efektif pada kontrak tersebut hanyalah 0,5 tahun. Pertanyaannya ialah, apakah patut dan layak, menerima tawaran pekerjaan semacam itu? Ingatlah selalu, surat pengalaman kerja atau surat referensi atau istilah lainnya, dengan keterangan masa kerja dibawah 1 tahun itu sama artinya merusak dan mematikan reputasi sang pekerja itu sendiri.
Bila tugas dan fungsi kerja Anda hanyalah sebatas pegawai administrasi perkantoran, bukanlah hal yang utama untuk dicemaskan. Namun bila sang calon pegawai kontrak adalah seorang programmer, yang telah merancang dan menciptakan program software dengan tingkat kerumitan tinggi selama hampir satu satu tahun bekerja, namun kemudian diputus beberapa bulan sebelum masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu benar-benar berakhir, maka setiap ide, gagasan, serta karya besar sang programmer akan tampak seperti tengah “dirampok” oleh sang pelaku usaha.
Kembali lagi, pilihannya ada di tangan sang calon pekerja, apakah perikatan masa kerja kurang dari 2 tahun dalam suatu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, layak atau tidak untuk diambil dan diperjuangkan. Jangan pernah mengharap ataupun memiliki keyakinan semu, bahwa seolah berkinerja baik dapat menjadi jaminan akan keberlangsungan hubungan industrial, bahkan mengharap menjelma / diangkat sebagai Pekerja Tetap. Realita membuktikan, semua itu hanyalah harapan semu, alias iming-iming guna mengeksploitasi mental dan psikologi kalangan Pekerja Kontrak. Mungkin peribahasa bagi pekerjaan jenis perikatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu : Habis manis, sepah dibuang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.