Cara Menghadapi Mental Pengemis Minimarket yang Meminta Uang Receh Kembalian Hak Konsumen untuk Didonasikan

ARTIKEL HUKUM
Adalah tanggung-jawab pelaku usaha minimarket maupun toko kelontong lainnya untuk menyediakan uang “receh” sebagai uang kembalian kepada konsumen, bukan sebaliknya pihak konsumen yang bertanggung-jawab untuk itu—mengapa? Dapat saja konsumen yang kita wajibkan menyediakan uang pas hingga ke nilai “sen”, namun yang terjadi kemudian ialah antrian pembeli di depan meja kasir akan “mengular”, sehingga yang paling rasional dibebani kewajiban untuk menyediakan uang kembalian secara paling efisien ialah pihak pelaku usaha minimarket itu sendiri.
Apa yang akan penulis uraikan di bawah ini, adalah pengalaman pribadi penulis yang sebetulnya sudah lama menjadi masalah klise “penyakit” kalangan toko-toko penjual produk-produk di seluruh penjuru ibukota kita. Mulai dari tidak mengembalikan uang “receh” untuk dana kembalian yang menjadi hak dari konsumen dan menggantikannya dengan sebuah permen “murahan” yang tidak diinginkan. Janganlah kita katakan “receh” menjadi hal remeh-temeh. Jika saja satu konsumen (bagaimana pun) telah dirugikan sejumlah seratus Rupiah, maka bila dalam satu hari terdapat seribu konsumen, maka dapat kita totalkan dan kalikan sendiri untuk satu bulan hingga satu tahunnya dana milik konsumen yang “dikorupsi” oleh sang pelaku suaha.
Secara falsafah hukum, ketika pelaku usaha memasang label harga pada produknya hingga nominal ratusan Rupiah, sebagai contoh Rp. 8.400; Rp. 12.700; Rp. 2.300; Rp. 46.900 (angka tanggung semacam terakhir ini yang kerap kita jumpai sebagai jebakan “mental” oleh pelaku usaha yang bermental “curang”), bahkan masih juga hingga kini penulis jumpai nominal angka seperti Rp. 178.575 atau Rp. 145.750. Maka, artinya, bila pelaku usaha menetapkan harga jual produknya dengan angka-angka atau harga-harga nominal demikian, maka pertanyaan logisnya ialah : siapakah yang sebetulnya paling bertanggung-jawab untuk senantiasa menyediakan uang “receh” dana untuk keperluan “uang kembalian” demikian?
Bila pelaku usaha mendalilkan bahwa mereka tidak menyediakan uang “receh” untuk kembalian atas pembayaran bagi pembelian produk dengan nominal yang tertera secara tidak genap ribuan Rupiah semacam demikian, maka dapat dipastikan pihak konsumen akan kesulitan dan mendapati kesukaran, karena tidaklah efisien bagi warga untuk pergi kemana-mana secara mobile dan berbelanja dengan menenteng serta koin-koin “receh” kemana pun mereka pergi pada kantung saku baju ataupun kantung saku celana para konsumen, terlebih untuk ukuran sebuah dompet. Hanya Mesin kas milik pelaku usaha pada gerai tokonya yang paling rasional untuk dibebani tanggung jawab demikian untuk dipersiapkan.
Pelaku usaha “nakal” yang belum merasa cukup dengan margin harga sebagai sumber keuntungan penjualannya, dapat saja secara sengaja memasang label harga demikian, dengan harapan pihak konsumen tidak mampu membayar secara tepat, semisal nominal barang seharga Rp. 19.200 sehingga akan membayar dengan harga penggenapan dengan kelebihan Rp. 1.000 dengan lembaran uang senilai Rp. 20.000 sebagai pembayarannya. Lalu, pihak kasir toko berdalih, tidak memiliki uang kembali, sehingga adakah pilihan bagi pihak konsumen selain untuk “merelakannya”? Dengan demikian, “merelakan” ternyata tidak selalu identik dengan “kesuka-relaan”, karena bisa jadi “kerelaan” sang konsumen demikian dilandasi unsur “keterpaksaan” secara terselubung mengingat telah terjebak dalam jebakan “trik dagang” tidak sehat demikian.
Kedua, kini kita akan membahas perihal dana promosi merek dagang. Sebagaimana kita ketahui, dana promosi untuk mempromosikan merek dagang atau merek usaha adalah suatu “cost” yang sangat diperhitungkan oleh pelaku usaha manapun. Lalu, bagaimanakah cara mendapat dana segar untuk promosi yang “murah” atau bahkan “seperak pun tanpa perlu merogoh kocek saku” milik sang pelaku usaha itu sendiri? Itulah tepatnya, yang kerap terjadi lewat penyalah-gunaan alibi “bakti sosial” yang bermuara dari menghimpun dana dari publik maupun konsumen, dengan embel-embel jargon bernada sakti “donasi untuk ... , ... , ...”.
Dana segar yang berhasil dihimpun dari embel-embel “donasi” demikian (mengapa juga toko komersiel yang jelas-jelas sedang mengejar profit-keuntungan, menyaru sebagai lembaga sosial menyerupai yayasan yang demikian perduli pada urusan sosial maupun bakti sosial?), kemudian dipakai sebagai dana segar “menggiurkan” untuk melakukan “CSR” (corporate social responsibility) untuk melakukan bakti sosial, bagi-bagi sembako, pembangunan tempat ibadah, pembagian buku bagi murid-murid sekolah, dsb—tentu saja, dengan memasang serta spanduk merek dagang mereka tentunya tidak terlewatkan, bukan wajah-wajah para donatur yang telah berdonasi.
Dalam perspektif kalangan pelaku usaha (yang jelas-jelas sedang mengejar profit, bukan mengejar cost untuk mengeluarkan biaya untuk berdana), CSR merupakan strategi bisnis paling jitu dengan agenda tersembunyi (hidden agenda, “ada udang di balik batu”) dibaliknya selalu adalah sebagai sarana untuk mempromosikan merek dagangnya agar dikenal masyarakat dan dekat di hati masyarakat, karena akan dikenal publik sebagai “pengusaha baik hati, dermawan, dan murah hati disamping suka memberi”.
Dari berbagai pemberitaan maupun press release sejumlah media massa maupun harian koran yang pernah penulis saksikan, tiada satupun minimarket di negeri ini yang ketika melakukan bakti sosial, menerangkan kepada khalayak ramai maupun kepada media bahwa seluruh dana untuk kegiatan CSR yang mereka selenggarakan didanai oleh para konsumen berbagai gerai ritel mereka. Mereka, para petinggi minimarket tersebut bahkan tidak menjelaskan, seberapa kecil proporsi pendanaan CSR tersebut yang disisihkan dari keuntungan bisnis mereka selama ini, dan berapa persentase dana CSR yang berasal dari dana pihak ketiga semisal konsumen toko-toko ritel yang “dirampok” dananya lewat uang-uang “recehan” demikian.
Bahkan, penulis menerangai, seluruh dana CSR didanai sepenuhnya bersumber dari dana-dana yang dihimpun dari uang “recehan” milik konsumen mereka, lalu menjadi dana segar untuk mempromosikan brand produk ataupun perusahaan milik sang pelaku usaha lewat baksos, bakti sosial yang seringkali menjadi alat untuk merenggut hati masyarakat luas. Praktik demikian, penulis terangai telah lama berlangsung tanpa adanya pengawasan dan kontrol yang berarti dari otoritas negara.
Saat di-foto dan diliput oleh sejumlah media, para petinggi minimarket tersebut tersenyum “pongah” bak malaikat baik hati yang pemurah dan penuh kebaikan hati moralis disamping sangat dekat di hati masyarakat. Lihat, siapakah yang paling mendapat keuntungan dibalik dana-dana yang dihimpun dari pihak ketiga, lengkap dengan spanduk merek dagangnya dipasang serta terpampang demikian besarnya, menjelma “super brand” yang dicintai oleh masyarakat dan dekat di hati publik yang ikut tersenyum saat di-foto?
Sementara kita ketahui, yang disebut dengan murni (pure) CSR, ialah dimana kesemua dana CSR bersumber dari kas keuangan yang disisihkan dari laba usaha sang pelaku usaha itu sendiri, bukan dari dana yang dihimpun dari pihak ketiga seperti uang “receh” para konsumen yang “dipaksa” (secara politis-sosiologi) untuk “berdonasi”. Pemerintah, sudah seharusnya bersikap tegas dengan melarang pihak pelaku usaha komersil untuk menghinpun dana dari publik sekaligus menyalurkannya dengan kemasan CSR yang memakai logo merek pelaku uasha bersangkutan, namun harus diserahkan pada suatu yayasan independen yang memang bergerak dibidang sosial-kemasyarakatan yang telah terakreditasi oleh pemerintah serta tidak terafiliasi dengan sang pelaku usaha, dimana pihak yayasan yang kemudian menyalurkan dana tidak boleh memasang logo ataupun menyebutkan merek minimarket kepada pers maupun penerima donasi, karena itu sama artinya yayasan dijadikan sebagai alat atau agen promosi brand minimarket demikian.
Tiada CSR yang murni CSR. Sebagai contoh, Yayasan Djarum, ketika ditegur oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada pertengahan tahun 2019, karena terbukti telah mengeksploitasi ribuan anak-anak peserta seleksi atlet muda yang diberikan baju seragam dengan brand salah satu produsen produk tembakau, dengan alasan menjaring talenta guna diberi beasiswa (dengan perbandingan antara anak-anak yang mengikuti seleksi dan dibuat mengenakan baju dengan brand produsen produk tembakau demikian, dan anak-anak yang betul-betul diberi beasiswa, sangat tidak seimbang).
Ketika pemerintah bersikap tegas, menyatakan bahwa Yayasan Djarum boleh tetap mengadakan auditsi anak-anak muda bertalenta dalam bidang olah-raga bulutangkis, dengan syarat tidak mencantumkan ataupun memampang logo sang produsen produk tembakau pada baju maupun tempat diadakannya event, ternyata juru bicara Yayasan Djarum “merajuk” dan menutup dirinya, bahkan membuat kontra-narasi yang menyudutkan pemerintah yang sudah sangat baik menjaga keberlangsungan dan kesehatan generasi muda dari paparan iklan maupun produk tembakau.
Masih kental ingatan kita pada medio tahun 2017 silam, Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana tercatat dalam register Nomor 16/Pdt.G/2017/PN.Tng., telah menolak gugatan PT. Sumber Alfaria Trijaya (pengelola waralaba Alfamart) yang menggugat Komisi Informasi Pusat (KIP) dan donatur sekaligus konsumen Alfamart, Mustolih Siradj. Masala bermula ketika pihak minimarket menolak untuk membuka informasi ke publik soal pertanggung-jawaban dana sumbangan konsumen Alfamart. Putusan berlanjut hingga tahap kasasi yang tercatat dalam register perkara Nomor 533 K/Pdt.Sus-KIP/2018, dengan kutipan amar putusan: “Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. SUMBER ALFARIA TRIJAYA, TBK.”.
Alih-alih bersikap transparan terhadap konsumen sekaligus donatur, Alfamart justru menggugat konsumen dan sekaligus donaturnya sendiri, bahkan memilih untuk “repot-repot” hingga tahap kasasi. Kemanakah donasi disalurkan? Selama ini praktik minimarket yang menghimpun donasi dari uang “receh” kembalian pembelian konsumen, telah berlangsung sejak lama, pernahkan kita selaku konsumen sekaligus donatur, mendapat akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana-dana donasi demikian? Begitu sukarkah, bersikap transparan terhadap donasi “uang recehan” konsumen seolah sang pemilik dan pengemola minimarket demikian “miskin”-nya?
MA Perintahkan Alfamart Buka Pengelolaan Donasi dari Pembeli
Mahkamah Agung RI telah menguatkan putusan Komisi Informasi Pusat yang memerintahkan Alfamart membuka pengelolaan donasi dari konsumen. Alfamart mungkin hanya memandang itu sebagai “hal remeh-temeh” dibalik “uang receh”. Namun, ketika kita kalkulasi jumlahnya atas jutaan konsumen dalam satu tahunnya (praktik demikian telah berlangsung lama bahkan belasan tahun), maka apakah masih dapat kita berdalih bahwa transparansi donasi adalah hal yang “remeh”?
Bila memang “remeh”, mengapa pihak minimaket lebih memilih membayar mahal pengacara kondang sekaliber Yusril Izra Mahendra untuk menggugat konsumen dan donaturnya sendiri yang bahkan hingga tahap kasasi? Pengacara wahai pengacara, Anda tidak punya idealisme, siap mati membela yang membayar sekalipun sudah jelas klien Anda sedang “menzolimi” rakyat kecil.
Kasus bermula saat seorang konsumen, Mustolih Siradj, berbelanja ke Alfamart. Saat membayar, kasir memberikan pilihan apakan uang kembalian akan disumbangkan atau dikembalikan. Setelah dipikir-dipikir, jumlah uang donasi “receh” yang berhasil terkumpul dari seluruh gerai Alfamart tidaklah sedikit jumlah serta nominalnya. Sebagai salah satu penyumbang, Mustolih meminta transparansi informasi penggunaan donasi tersebut.
Tetapi pihak Alfamart tidak memberikan jawaban memuaskan sehingga Mustolih memperkarakan Alfamart ke hadapan Komisi Informasi. Mustolih meminta PT. Sumber Alfaria Trijaya Tbk membuka data donasi yang dihimpun olehnya ke publik, dimana wajar bila kemudian KIP mengabulkan permohonan sang konsumen.
KIP memerintahkan Alfamart memberikan salinan aliran dana bantuan ke Mustolih sejak mulainya program kegiatan sosial dijalankan, serta salinan penyaluran sumbangan, seperti jumlah penerima sumbangan donasi, sejak kegiatan sosial dilakukan oleh pihak minimarket.
Memang patut disayangkan, bisa jadi pihak manajemen Alfamart menggunakan dana donasi yang dikumpulkan dari “koin receh” konsumennya sendiri, namun kemudian digunakan untuk menyewa pengacara mahal semacam Yusril Ihza Mahendra guna menggugat donatur sekaligus konsumennya sendiri ke pengadilan.
KIP dalam putusannya, menghukum serta mewajibkan pihak Alfamart untuk membuka informasi yang diminta Mustolih, karena laporan pertanggung-jawaban penggunaan dana donasi menjadi hak dari pihak donatur. Begitu sukarkah, membuka transparansi pengelolaan dana donasi dari konsumen, sementara sudah sejak dahulu kala berbagai minimarket di republik ini menghimpun dana donasi dari konsumennya?
Selaku konsumen, pihak Mustolih menyatakan tidak anti-donasi. Namun, dia meminta transparansi sumbangan yang dikumpulkan pihak perusahaan yang jelas-jelas sedang mengejar profit tersebut. Memang, menurut penulis kita selaku konsumen, seyogianya hanya memberi dana donasi kepada yayasan yang memang berkecimpung fokus semata pada kegiatan sosial, bukan pada korporasi “komersiel pengejar profit” yang menyaru sebagai “perusahaan amal”.
Yusril merasa keberatan dengan alasan hakim yang menyatakan bahwa keputusan KIP tak bisa digugat. Jika memang KIP tidak bisa digugat, maka keputusannya bisa sewenang-wenang, menurut sang pengacara kondang. Namun, Yusril tampaknya membias, sebab bila Alfamart tidak dapat digugat, sama artinya Alfamart dapat mengelola dana donasi secara sewenang-wenang.
Mustolih meminta Alfamart membuka dokumen-dokumen yang perlu diketahui publik. Di antaranya, izin pengumpulan donasi dari Menteri Sosial atau Dinas Sosial sejak pertama kali diajukan serta standar penyaluran donasi. Singkatnya, selaku donatur sekaligus konsumen, dirinya menuntut lewat KIP agar Alfamart terbuka soal penggalangan dana serta penyalurannya. Alhasil, pada tahun 2016, Majelis Komisioner KIP mengharuskan Alfamart membuka informasi penggalangan donasi kepada publik.
Alih-alih membuka laporan pertanggung-jawaban kepada publik sebagai bentuk transparansi “good corporate government”, pada awal tahun 2017 justru Mustolih digugat Alfamart. Apakah laporan pertanggung-jawaban pengelolaan dana yang dihimpun dari publik, bukan merupakan informasi milik publik sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi? Yusril menyatakan bahwa Alfamart tidak terima dengan putusan KIP, semata karena putusan tersebut mewajibkan Alfamart membuka “informasi perusahaan” kepada publik. Tampaknya Bung Yusril perlu kembali mengulang pelajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
PT. Sumber Alfaria Trijaya Tbk., pemilik francise minimarket Alfamart, Alfamidi, dan Lawson. Sudah jelas bahwa korporasi raksasa tersebut sudah demikian kaya-raya secara materi, sehingga tidaklah etis justru meminta dana donasi dari konsumen, alih-alih merogoh kocek dengan menyisihkan sebagian keuntungan laba bisnis usaha sebagai satu-satunya sumber pendanaan kegiatan sosial perusahaan (bila memang laporan demikian adalah “informasi (milik) perusahaan”. Sang pemilik minimarket sejatinya tidaklah butuh menghimpun donasi dari publik, capital atau arus modal dan keuntungan bisnis tahunan sang korporasi, dipastikan sudah jauh lebih kaya-raya ketimbang para konsumennya.
Sebagai konsumen yang telah menyumbang, digugat pula. Sosok Mustolih bagaikan seorang “solo ranger”, berjuang seorang diri menghadapi korporasi raksasa bermodal kuat.  Mulanya, setiap kali kita hendak membayar, kita pasti ditanya hendak menyumbang atau enggak lewat ruang “receh” kembalian pembayaran, Rp. 100 atau Rp. 200. Mustolih pada mulanya menyumbang saja, namun hal demikian terus berlangsung dan berulang kali terjadi selama bertahun-tahun hingga bisa mencapai ratusan kali donasi demikian terjadi sejak sang minimarket pada pertama kalinya meminta sumbangan pada tahun 2012.
Lama-lama Mustolih menjadi terganggu. Timbul pertanyaan dibenak kita, selalu dimintai sumbangan? Di satu sisi, apa hak kita sebagai donatur. Ketika negara tidak proaktif mengawasi dan menindak praktik korporasi yang menyaru sebagai lembaga sosial demikian, maka kita selaku konsumen yang harus proaktif dan tidak boleh tinggal diam dijadikan “sapi perahan” pihak korporasi raksasa yang sedang demikian rakusnya mengejar profit dari usaha komersialnya di tengah-tengah publik.
Apa dasar Alfamart meminta sumbangan? Apalagi korporasi dimaksud tersebut merupakan perusahaan besar, dengan capital gain tahunan yang sangat besar dengan ribuan gerai francise dalam dan luar negeri, tidaklah mungkin sekonyong-konyong meminta donasi ke konsumennya yang belum tentu lebih kaya secara materi dari sang korporasi.
Nilai sumbangan itu nilai nominalnya kecil sekali—itulah tepatnya trik bisnis curang ala korporasi bertajuk “menjadi raksasa lewat keserakahan”, bermain dalam tataran psikologi konsumen yang seringkali irasional dan kerap meremehkan hal-hal yang dianggap remeh-temeh, tanpa mau menyadari intensitas serta kuantitasnya (yang yang disebutkan terakhir itulah yang sejatinya disasar atau dikejar sang korporasi bertajuk “keserakahan sebagai sumber dana segar menggemukkan pundi-pundi korporasi serakah”).
Seperti semua orang yang diminta uang “recehan” seperti itu, kita pastinya akan berpikir bahwa “kikir” sekali jika tidak memberikan. Berlanjut, sebagai bagian dari langkah investigasinya, Mustolih lalu mengumpulkan sekitar 12-15 struk yang berisi data sumbangan Mustolih dan memberanikan diri menulis surat kepada Direktur Utama PT. Sumber Alfaria Trijaya, Tbk. pada November 2015. Mustolih meminta informasi terkait penyelenggaraan sumbangan yang dilakukan Alfamart. Identitas dan bukti-bukti struk turut dilampirkan ke dalam surat. Seminggu kemudian surat tersebut langsung direspon. Isinya, maaf kami (Alfamart) tidak bisa memberikan data-data yang Anda minta.
Mereka mengaku sudah melakukan penyelenggaraan sumbangan sesuai peraturan yang berlaku. Soal transparansi, mereka memberikan Mustolih dua link url berita dari media sosial. Link itu berisi siaran pers mereka, yang tentunya, merupakan program CSR yang memakai merek dagang mereka sehingga seluruh donasi para konsumen dipakai sebagai dana segar untuk mempromosikan merek gerai minimarket bersangkutan, yang disinyalir para penerima donasi maupun pers peliput tidak mengetahui bahwa sumber dana donasi seluruhnya bersumber dari dana milik pihak ketiga, alias bisa jadi pihak minimarket tidak menyisihkan sebagian kecil pun laba usahanya untuk “dana promosi brand” yang dikemas dengan kemasan “CSR”.
Sebenarnya data-data yang diminta Mustolih sangatlah wajar dan tidak berlebihan karena standar saja dokumen yang biasa memang dibentuk dalam kegiatan amal dan penyaluran dana donasi publik, yakni panitianya siapa, izinnya mana, laporan audit dari kantor akuntan publik ada atau tidak, dan siapa penerima manfaat ini. Mustolih cukup meminta salinannya saja, tidak perlu yang asli untuk diberikan. Menurut peraturan, pihak pemberi donasi berhak mendapatkan keterangan-keterangan transparansi dan akuntabilitas demikian, karena melibatkan uang masyarakat umum (konsumen selaku publik). Total sumbangan yang diterima grup Alfamart tergolong besar. Pada 2015 saja mencapai Rp. 33,6 miliar—dana segar “tanpa perlu merogoh kocek dari kantung kas korporasi sendiri” guna dana promosi brand.
Pihak pengelola minimarket menolak memberikan data-data dimaksud meski telah Mustolih mintakan dalam surat tanggapan lanjutan. Salah satu lembaga yang kompeten dibidang keterbukaan informasi, ialah KIP. Yang menjadi persoalan, KIP mengurus badan publik yang dibiayai oleh APBN. Namun, bukankah dana yang bersumber dari publik, juga adalah dana milik publik serta dengan segala pertanggung-jawabannya?
Sama seperti universitas swasta, sekalipun bukan universitas “plat merah”, namun sengketa internal didalamnya antara mahasiswa dan pihak rektorat, dapat bersengketa juga di Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena, fakir miskin dan anak terlantar sejatinya dipelihara oleh negara, sehingga kegiatan swasta yang menghimpun dana dari publik pun dapat dianalogikan sebagai kewenangan negara untuk mengatur dan mengintervensi. Sama juga seperti pengelolaan keuangan kas Rukun Tetangga, apakah tidak bisa disengketakan di KIP karena sifatnya swadaya masyarakat sipil?
Pertanyaan besarnya, menurut Mustolih, ada apa dengan Alfamart? Dimintai data oleh donaturnya, justru lebih memilih menyewa pengacara papan atas berbiaya tinggi dimana dana donatur bisa-bisa habis terpakai untuk membiayai pengacara mahal semacam itu, yang bicaranya di depan pers selalu “dipelintir” agar menjadi tampak sesuai dengan kepentingan sang klien pengacara bersangkutan. Seperti peristiwa Grasi Antasari sang mantan Ketua KPK, disebutkan oleh Yusril bahwa grasi ada dua jenis, yakni grasi yang mengaku bersalah dan grasi bagi terpidana yang tidak mengaku bersalah.
Yusril pula yang kemudian menjadi kuasa hukum HTI melawan pemerintahan Jokowi yang membrendel izin operasional HTI, seolah Yusril membenarkan praktik-praktik ilegal yang hendak merobohkan konstruksi dasar fondasi tata negara bangsa dari NKRI berdasarkan Pancasila dan bentuk negara Republik menjadi negara khilafah, sementara dirinya mengaku sebagai profesor Hukum Tata Negara—alias telah membelot dari dasar Tata Negara Indonesia, pembangkangan terhadap ideologi negara yang setara dengan sebuah “desersi”. Yusril yang bila memenangkan gugatannya selaku kuasa hukum HTI (dan itulah tujuan pengacara bersangkutan), maka resikonya Pancasila terancam runtuh digerogoti oleh ideologi HTI yang tidak mungkin berjalan berdampingan dengan Pancasila yang menekankan kebhinekaan dan kemajemukan.
Bung Yusril mengklaim “tidak dapat didikte”, namun mengapa opininya di depan publik selalu demikian parsial membenarkan perilaku para kliennya? Seburuk-buruknya pengacara Setya Novanto, Frederick Yunadi, dalam penilaian penulis masihlah lebih buruk pengacara organisasi radikal yang hendak meruntuhkan fondasi paling penting dari ideologi negara, yakni Pancasila. Dengan kata lain, Yusril Irza Mahendra bersikap KONTRA terhadap Pancasila, dan sejak saat itulah penulis tidak lagi menaruh hormat terhadap sosok sang pengacara senior satu ini—yang lucunya kemudian menjadi pengacara Presiden Jokowi saat Pemilihan Umum 2019.
Mustolih mengira Alfamart sebagai perusahaan terbuka akan secara ksatria menerima keputusan KIP. Ternyata, pihak minimarket diwakili oleh kantor hukum Ihza & Ihza membuat siaran pers ke media. Kalau Yusril yang dimajukan (Yusril Ihza Mahendra, pemilik Ihza & Ihza Law Firm) pasti panjang urusannya, menurut Mustolih. Alhasil, Mustolih dijadikan sebagai tergugat terkait sengketa yang sudah jelas-jelas merupakan hak donatur.
Yang penulis sayangkan, Yusril selaku pengacara dan profesor hukum, mengapa tidak memberi edukasi yang baik bagi kliennya selaku korporasi penghimpun dana dari publik, alih-alih menggugat donaturnya sendiri yang kian mencoreng wajah sang klien itu sendiri, agar menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik, benar, transparan, maupun akuntabel? Itulah yang paling penulis sayangkan dari berbagai manuver bisnis hukum sang pengacara senior, seolah memberi teladan kurang baik bagi para siswanya maupun bagi para juniornya. Bisa dikatakan, berkat upaya hukum gugatan hingga kasasi yang diajukan Yusril, kini gerai minimarket bersangkutan selaku klien sang pengacara, menjadi “bulan-bulanan” publik maupun netizen—termasuk penulis yang kini memboikot minimarket bersangkutan.
Penulis kira upaya hukum kontraproduktif demikian justru merugikan klien dari sang pengacara itu sendiri, baik menang maupun kalah. Pihak Alfamart patut bersyukur Yusril selaku kuasa hukumnya kemudian kalah dalam persidangan. Apa jadinya bila Mustolih selaku salah satu konsumen / donatur, yang justru dikalahkan oleh pengadilan berkat gugatan sang pengacara yang disewa oleh Alfamart?
Adalah wajar bila Mustolih menyayangkan perilaku Alfamart dan pengacaranya yang tidak mendidik demikian, karena dapat menjadi preseden buruk bagi konsumen dan masyarakat. Kita sudah jadi konsumen dan menyumbang, akan tetapi ketika meminta keterbukaan informasi pengelolaan dana donasi justru kemudian digugat—tidak tanggung-tanggung pula, lewat pengacara kondang berbiaya mahal.
Mustolih juga akan memperkarakan klaim Alfamart yang mengakui sumbangan konsumennya sebagai CSR (Corporate Social Responsibility). Itu bertentangan dengan hukum. CSR, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diambil dari sebagian margin keuntungan atau laba perusahaan, bukan dari dana pihak ketiga. Alfamart sudah menjelma perusahaan raksasa, tanpa dana donasi dari publik pun, mereka mampu melakukan CSR dengan dana dari “kocek” saku sendiri. Sehingga, kita patut bertanya, apa motif sebenarnya dibalik penggalangan dana demikian dari konsumennya selaku publik?
Kementerian Sosial memang memberikan izin bakti-sosial bagi Alfamart, namun di dalamnya dicantukan bahkan Penyelenggara wajib memberikan informasi jelas dan transparan kepada para donaturnya selaku masyarakat, disertai data yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau bentuknya siaran pers kira-kira datanya seperti apa? Uang miliaran rupiah hanya ditulis dalam satu lembar rilis? Itu namanya penggelapan bila tidak dapat diaudit dan tidak transparan. Tidak mungkin Alfamart tidak memiliki divisi hukum yang mengetahui aturan main penghimpunan dana dari publik. Mereka tahu, namun pura-pura tidak tahu. Ada apa gerangan?
Bukan cuma Alfamart, yang tidak transparan dalam mengelola dana donasi yang dihimpun untuk disalurkan. Dalam keputusan Kementerian Sosial tentang pemberian izin, ternyata ada juga Alfamidi dan Lawson sebagai satu grub usahanya. Transparansi pengelolaan dananya ternyata kalah dengan panitia Agustusan. Karenanya Mustolih menasehati agar pihak Alfamart harus belajar kepada panitia Agustusan tentang arti demokrasi, yakni transparansi dan akuntabilitas. Jika pihak Alfamart menolak untuk patuh dan tuntuk terhadap hukum di Indonesia, maka mari kita persilahkan Alfamart dan berbagai grub usahanya untuk hengkang “angkat kaki” dan berjualan di luar teritori Indonesia.
Satu hal yang membuat paradigma berpikir penulis dan cara berpikir Mustolih sangatlah kongruen, yakni ketika Mustolih memberi kritik bagi Kemensos, seharusnya tidak memberikan izin pengumpulan sumbangan kepada perseroan berorientasi laba profit komersiel. Yang diberikan izin itu seharusnya lembaga yang nirlaba, seperti organisasi masyarakat, yayasan, LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan sekolah. Sekarang akhirnya tidak jelas, Alfamart itu tempat cari keuntungan atau sumbangan? Mencampur-aduk antara kegiatan komersiel berorientasi profit dan kegiatan semacam organisasi nirlaba, dapat mengecoh konsumen karena bermain dalam ranah psikologi konsumen yang kerap-kali tidak sadar sedang dieksploitasi dengan embel-embel kemasan “kegiatan sosial” alias kegiatan usaha berorientasi profit yang menyaru sebagai lembaga sosial—sehingga keputusan konsumen bisa jadi tidak dilandasi kesadaran sepenuhnya.
Apakah Mustolih adalah “tukang cari ribur” atau “tukang onar”, alias suka “bikin gaduh”? Apa tujuan Mustolih melakukan semua itu? Mustolih hanya mendudukkan posisinya sebagai “social control” saja. Jika bermasalah pada bagian hulu, maka dapat dipastikan bagian hilirnya juga bermasalah.
One man show? Kadang kala ide Mustolih sering disebut “utopia”. Bisa dibilang cari penyakit sendiri, cari susah sendiri. Rata-rata sesama rekan Mustolih menyebutnya sebagai “kurang kerjaan”. Mustolih punya keyakinan perjuangannya adalah sebagai edukasi publik. Kalah-menang, itu konsekuensi saja. Tapi bagaimana Mustolih berlatih membangun argumentasi hukum dan kepedulian sosial, itulah bagian dari edukasi publik oleh seorang Mustolih.
Banyak masalah yang sebenarnya serius, tetapi publik umum selama ini tidak peduli atau tidak menyadarinya. Perjuangan Mustolih semacam kuliah umum ke publik untuk membuka mata dan “melek” hukum, “melek” hak-hak publik selaku konsumen dan selaku warganegara yang setara harkat dan martabatnya di depan hukum. Grub usaha Alfamart, membukukan laba usaha tahun 2016 senilai Rp 601,59 miliar, alias laba bersih Alfamart meningkat 33% pada 2016. Pertanyaan besar bagi kita bersama, mengapa Alfamart jika memang mau melakukan bakti sosial, mengambil saja sebagian kecil laba usaha tahunannya untuk menjadi dana CSR?
Apapun alasan pihak asosiasi pengusaha ritel komersiel di Indonesia dalam berkilah, apakah mereka sanggup membantah postulat demikian, bahwasannya sang korporat itu sendiri sudah jauh lebih makmur secara harta materi kekayaan ketimbang konsumennya sendiri, mengapa masih memungut donasi dari konsumen untuk tujuan CSR? Mengapa dana CSR tidak dipungut saja dari kas pribadi sang pemilik korporasi yang jelas-jelas setiap tahunnya mencetak laba usaha miliaran hingga ratusan miliar Rupiah?
Bila memang pengumpulan donasi “sukarela” dari konsumen yang merupakan bentuk dukungan pihak minimarket atas aksi kemanusian yang dijalankan oleh lembaga sosial maupun lembaga non pemerintah (NGO), atau sebagai wujud itikad baik pihaknya untuk berperan aktif membantu menggalang dan menyalurkan bantuan dari konsumen—yang pada umumnya dari uang kembalian pembayaran belanja konsumen—kepada masyarakat yang membutuhkan, pertanyaan besarnya, berapakah proporsi dana pribadi pihak minimarket berbanding proporsi dari dana pihak ketiga dalam suatu dana saluran kegiatan CSR? Adalah tidak mungkin bila 100% dananya dari pihak ketiga, lantas menjadi dana segar “promosi brand” terselubung.
Bila sang pengelola minimarket menolak dikategorikan sebagai “badan publik”, mengapa juga hingga kini masih menghimpun dana donasi dari publik lewat uang “receh” kembalian uang pembayaran konsumen? Jika ingin CSR, maka cukup merogoh-kocek dari kas sebagian margin keuntungan usaha sang korporasi, maka dipastilah dana CSR tidak akan pernah kekurangan, karena SANG MINIMARKET ITU SENDIRI SUDAH JAUH LEBIH MILIONER KETIMBANG KONSUMENNYA, MENGAPA MASIH JUGA MEMINTA DONASI DARI KONSUMEN (alias salah alamat)? Dimana-mana, pengumpul sumbangan harus lebih miskin ketimbang donaturnya, bukan sebaliknya. Bisnis adalah bisnis, etika bisnis tidak dapat membenarkan korporasi berorientasi profit menyaru sebagai lembaga nirlaba sehingga membuat bias psikologi konsumen.
Penulis menyempatkan diri juga mencari tahu bagaimana “wajah” penyaluran donasi terjadi, sebagaimana tajuk berbagai pemberitaan pada situs-situs berita online mewartakan. Dugaan penulis ternyata menemukan relevansi dan afirmasinya. Sebagaimana telah penulis tengarai, berbagai minimarket tersebut menjadikan dana donasi konsumennya sebagai dana segar “lebih dari murah (karena tidak perlu merogoh kocek dari saku sendiri” untuk menjual branding merek dagangnya dengan kemasan istilah “bakti sosial” atau “CSR”. Coba saja ketik pada mesin pencarian dnegan kata kunci sebagai berikut : “Indomaret Alfamart salurkan bantuan sosial”, dan lihatlah bagaimana pihak pemilik minimarket yang mendapatkan “kredit” (kredibilitas) dari masyarakat serta reputasi sebagai dermawan dan penolong yang kian dekat di hati masyarakat.
Fakta yang tidak terbantahkan, bahwa tudingan penulis bukan sekadar tudingan kosong belaka, bahwa biaya untuk cost branding dihimpun dengan cara tidak etis yakni meminta sumbangan dari konsumen, yang tidak lain ialah meminta sumbangan bagi biaya promosi sang pelaku usaha minimarket dengan kemasan slogan “donasi untuk fakir miskin” (alias menyalah-gunakan nama fakir miskin, menggerakkan niat konsumen untuk mendanakan uang “receh” miliknya, alias “penipuan” itu sendiri), ialah ketika menyimak apa yang menjadi salah satu pertimbangan hukum putusan KIP yakni bahwasannya Alfamart mengabungkan penggunaan dana donasi dengan laporan tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dalam laporan tahunan perseroan (annual report) tahun 2015. Semiskin itukah, owner dari Grub Usaha Ritel dimaksud? Raksasa bisnis dan korporasi dengan ribuan gerai di dalam dan di luar negeri, namun selalu haus akan dana publik.
Hasil sumbangan harusnya dilaporkan secara terpisah dari laporan CSR Termohon (SAT) sesuai dengan UU No 40/2007 dan PP No 47/2012,” kutipan putusan Majelis Komisioner KIP. Kegiatan menghimpun donasi dan penyalurannya wajib diaudit oleh akuntan publik independen. Menjadi pertanyaan, mengapa Kementerian Sosial tidak melakukan penindakan secara tegas terhadap korporasi “serakah” demikian, dengan mencermati keganjilan penggunaan dana donasi konsumen Alfamart, mengingat standar akuntansi pastilah akan memberikan catatan “merah” terhadap manajemen minimarket yang menjadikan dana donasi sebagai “dana segar CSR” alias biaya promosi branding milik sang korporasi minimarket. Pihak petinggi Alfamart dalam siaran pers mendalilkan bahwa donasi konsumen telah diaudit auditor independen, maka dapat penulis pastikan itu adalah auditor “bodong” alias “audit sponsor” guna formalitas belaka, karena jelas-jelas melanggar standar akuntansi yang sudah sangat dipahami oleh auditor manapun.
Adalah mustahil divisi hukum korporasi sebesar itu tidak memahami kaedah normatif Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur, tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Modus yang kemudian terjadi, seluruh dana CSR dihimpun dari publik, lalu menjadi dana segar untuk strategi promosi branding dengan gebrakan yang sangat mengena pada hati masyarakat, yakni CSR semacam bakti sosial yang mengandung muatan hidden agenda berupa personal interest berupa marketing terhadap branding milik minimarket itu sendiri.
Perhatikan apa yang tercantum dalam official website Indomaret yang penulis akses dari https:// indomaret .co.id/korporat/seputar-indomaret/kegiatan/ pada tanggal 30 November 2019, pukul 21.24 WIB : “Untuk meringankan beban korban bencana banjir, Indomaret menyalurkan bahan makanan dan air mineral ke posko banjir di... ; Bantuan Indomaret untuk korban gempa. Indomaret melanjutkan aksi sosialnya dalam program ‘peduli pendidikan’ Indomaret, sejumlah siswa mendapat beasiswa.” Yang manakah yang merupakan murni dari penyisihan laba hasil usaha? Mengapa juga Indomaret menyalurkan donasi dari para konsumennya yang majemuk, semata kepada suatu organisasi keagamaan tertentu, sementara banyak organisasi sosial nirlaba lain yang lebih bersifat netral dari segi keagamaan yang parsial sifatnya? Bila kesemua aksi sosial demikian bersumber dari profit laba hasil usaha sang minimarket, maka mengapa juga masih merasa perlu menghimpun dari dari konsumennya bila pihak minimarket itu sendiri dana anggaran CSR-nya sudah lebih dari cukup untuk melakukan kegiatan sosial demikian?
Personal branding (promosi merek), dapat dilakukan lewat banyak channel, salah satunya dapat berupa sponsorship olahraga, dan yang biasa dijadikan pilihan yang dianggap paling jitu selalu ialah “CSR”. Karenanya, CSR menyasar pada personal branding, karenanya tidaklah penting antara “CSR dari menyisihkan laba usaha korporasi” ataupun “CSR dari dana donasi konsumen”—TUJUANNYA ADALAH SATU DAN SATU ARAH, YAKNI : PERSONAL BRANDING ITU SENDIRI, bukan “CSR” untuk “CSR” itu sendiri, namun “CSR” yang menghamba pada strategi bisnis “personal branding”.
Berikut inilah contoh konkretnya, diakses dari https:// finance. detik. com/advertorial-news-block/d-2977528/ke-sinilah-donasi-uang-receh-konsumen-alfamart-disalurkan, diakses pada tanggal 30 November 2019 pukul 21.40 WIB, dapat kita lihat sendiri motif terselubung dibalik CSR dengan dana galangan dari uang “receh” milik konsumen:
Menggunakan donasi konsumen periode 1 Februari – 30 April 2015 sebesar Rp 6.949.230.470, Alfamart menyalurkan 30.000 kacamata gratis untuk anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan jarak dekat.”
“Alfamart juga bekerjasama dengan Habitat for Humanity Indonesia untuk merekonstruksi rumah layak huni bagi keluarga pra-sejahtera. Program bernama Kampung Alfamart ini menggunakan donasi konsumen periode 1 – 31 Mei 2015 yang terkumpul sebesar Rp 2.640.754.074.” (Teknik marketing bernama “branding”, itulah tujuan dibalik sebuah CSR, CSR dengan sumber dana laba usaha maupun dari dana pihak ketiga seperti uang receh milik konsumen, dipakai untuk tujuan promosi merek usaha itu sendiri, namun dikemas secara halus dan terselubung. Sejatinya kekayaan hasil usaha pihak Alfamart lebih dari cukup untuk mendanai CSR tanpa perlu menghimpun dana pihak ketiga.)
Karenanya, menjadi serba terbalik, mengapa tidak pihak gerai minimarket itu sendiri saja yang berdana bagi konsumennya dengan kurangi nominal receh itu? Toh, cuma receh, mengapa masih ditagih juga ke konsumen? Toh minimarket tersebut jelas-jelas lebih kaya dari konsumen, mengapa justru tidak mau berdana bagi konsumennya dengan memberi potongan nominal “receh” yang hanya “recehan remeh-temeh” demikian?
Jika betul pihak minimarket tersebut berdonasi bagi fakir miskin, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah : PERNAHKAH ANDA DAN KITA MENYAKSIKAN GERAI MINIMARKET TERSEBUT MENERIMA ATAU BAHKAN MENGUNDANG PARA PENGEMIS YANG BUTUH MAKAN DAN MINUM, LALU DISAMBUT DENGAN SUKACITA DAN TANGAN TERBUKA, DIBERI MAKAN DAN MINUM TANPA PUNGUTAN BIAYA SEPESER PUN PADA GERAI-GERAI MEREKA? Adalah “omong kosong” mengumandangkan akan menyalurkan bagi kegiatan sosial, bila para pengemis yang menggelandang di depan toko-toko gerai minimarketnya saja dibiarkan kelaparan dan kehausan. Ribuan gerai mereka dibuka dari Sabang hingga Merauke, sementara hanya mengejar profit dan menarik keuntungan dari para masyarakat dan konsumennya, sementara tidak ada satupun gerai tersebut yang menerima gelandangan dan fakir miskin. KITA BERBICARA REALITA, FAKTA LAPANGANA YANG TIDAK TERBANTAHKAN, BUKAN TEORI. Bisakah Anda membantah fakta di depan mata yang demikian kasatmata demikian?
Sebagai penutup, bila ada diantara pembaca—yang pastinya pernah mengalami fenomena “mendadak miskin” para pebisnis ritel minimarket demikian—dikemudian hari menemui gelagat serupa dari minimarket manapun, maka tips teknik komunikasi cerdas berikut dapat para pembaca pelajari dan pergunakan untuk melihat efektivitasnya menjadikan strategi bisnis tidak sehat kalangan pengusaha ritel demikian dapat menjadi bumerang bagi pihak pengelola minimarket itu sendiri. Adegan dialog berikut nyata terjadi sebagaimana dialami sendiri secara langsung oleh penulis baru-baru ini, sebagai sebentuk testimoni atau ulasan atas “etika” bisnis minimarket bersangkutan:
Indomaret : “Kembalian uang Rp. 400-nya mau didonasikan saja?”.
Penulis (dengan nada seolah terkejut bercampur heran) : “Indomaret butuh donasi? Konsumen harus berdonasi untuk Indomaret?”.
Indomaret : “Bukan untuk Indomaret, tapi untuk program sosial pembersihan sungai.”. (Ssupervisor kasir yang mengambil-alih perbincangan demikian dari sang kasir, namun tidak menyebutkan sungai manakah yang hendak dibersihkan. Membersihkan sungai adalah tugas pemerintah, mengapa juga pihak minimarket satu ini begitu rajinnya hendak menjadikan konsumennya menjadi “pahlawan kesiangan”?)
Penulis : “Indomaret sudah lebih kaya dari para konsumennya, mengapa masih meminta dana dari konsumen?”.
Indomaret (kali ini dengan nada tidak suka) : “Bukan untuk Indomaret, tapi untuk BAKTI SOSIAL.
Penulis (tidak boleh gentar saat menghadapi modus pembodohan publik dari korporasi yang jelas-jelas sedang menyasar serta mengejar profit laba usaha dengan menyaru sebagai berkegiatan layaknya sebuah “yayasan” sosial) : “Tadi sudah saya bilang, Indomaret sudah lebih kaya daripada para konsumennya. Mengapa tidak meminta dana dari indomaret saja?”.
Indomaret (jika masih mencoba membuat pembenaran diri) : “Jika Anda tidak punya jiwa sosial, ya sudah”.
Penulis (bagaimana jika ada pembeli lain yang turut antri dan mendengarkan? Itu hal yang bagus, kabar bagus, agar bisa turut mengedukasi para konsumen lainnya agar menjadi konsumen yang cerdas dan berdaya) : “Mengumpulkan dana dari publik, wajib ada izin dari Kementerian Sosial. Mana izinnya, saya mau lihat, perlihatkan!”.
Indomaret (jika masih mencoba membuat pembelaan diri) : “Ada izinnya, tapi di kantor pusat. Jika tidak mau berdana, ya sudah, tidak perlu banyak bicara”.
Penulis : “Konsumen berhak berbiara. Konsumen bukan sapi perahan. Kalau begitu ini toko cabang tidak berhak memungut dana donasi dari publik, kan hanya kantor pusat Anda yang punya dan bisa perlihatkan. Sama juga, jika ada tempat ibadah minta dana ke sini (indomaret), pasti kalian selaku karyawan Indomaret akan bilang bahwa hanya kantor pusat yang bisa mengeluarkan sumbangan untuk masyarakat, kirim saja proposal sumbangan ke kantor pusat. Standar berganda itu namanya. Bukan kali ini saja Indomaret mengatas-namakan donasi dari uang receh kembalian harga pembelian konsumen, tapi sudah dari bertahun-tahun lampau. kini, saya minta laporan transparansi, akuntabilitas, dan pertanggung-jawaban dikemanakan dan digunakan untuk apa dana-dana donasi yang dahulu dan selama ini direlakan oleh konsumen? Saya selaku konsumen dan donatur, berhak untuk menerima laporan pertanggung-jawaban dari Indomaret. Bahkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas pun menyebutkan pihak yang berkepentingan berhak untuk mengajukan Audit Investigasi terhadap perseroan.”.
Ternyata, dan akhirnya, diberikanlah koin “receh” beberapa buah keping uang logam nominal Rp. 200 kepada penulis, uang kembalian yang memang menjadi hak dari penulis (mengapa juga kita harus merasa malu terlebih merasa sungkan untuk mempejuangkan apa yang memang menjadi hak kita, toh kita tidak sedang mencuri nasi dari piring orang lain terlebih mengemis, itu hak kita selaku konsumen. Tidak pernah ada istilah “mengemis apa yang menjadi hak kita sendiri”. Jadilah pengacara bagi diri kita sendiri. Bila kaum pengacara dikenal sebagai kaum yang “tidak punya malu”, bermuka badak, maka kita pun dituntut untuk perlu bersikap berani untuk memperjuangkan harkat dan martabat diri kita sendiri.
Ternyata, pihak kasir memiliki cadangan uang-uang “receh”, mengapa masih meminta pada konsumen untuk mendanakan uang “receh” kembalian sekalipun pihak kasir Indomaret sejatinya memiliki uang “receh” kembalian dimaksud pada mesin kasnya? Entah manajemen Indomaret yang memang membuat SOP “modus” demikian, ataukah perilaku karyawannya. Yang jelas, mengambil untung secara curang demikian sangatlah tidak etis. Indomaret itu sendiri saja, yang berdonasi bagi konsumennya yang tidak lebih milioner seperti kekayaan harta Indomaret, dengan mengurangi nominal beberapa ratus Rupiah dalam total belanjaan—BUKAN SEBALIKNYA.
Dan, mengapa juga masyarakat Indonesia begitu penuh gengsi—sehingga mudah “dimakan” dan “termakan” gengsinya sendiri—dimana banyak diantara kita tidak mampu berkata tegas “TIDAK” untuk hal-hal yang secara prinsipal sangat tidak etis demikian. Tidak ada salahnya untuk juga mampu menjawab dan berkata “TIDAK” disamping selalu “mengiyakan”. Jika memang ada diantara pembaca yang lebih menyukai kata-kata diplomatis dan kurang menyukai gaya komunikasi konfrontasi ala penulis yang memang selalu frontal dalam bertutur-kata, maka berikut usul dan rekomendasi tanggapan dari penulis (efektif dalam menghadapi rekan, sahabat, ataupun kenalan yang menjelma “agen sosial untuk keperluan korporasi berorientasi profit yang sejatinya sedang menerapkan strategi komersil menghimpun dana promosi dibalut CSR dengan menghimpun dana donasi dari publik) : “Kebetulan saya lebih suka berdana sendiri secara langsung”.
Merasa belum cukup merauk banyak keuntungan “kotor” lewat displai tata letak produk yang dijajakan namun tidak sesuai label harga pada rak yang terpampang di depan produk bersangkutan, baik minimarket, supermarket, maupun hypermarket kerap membuat kita terheran-heran mendapati label harga yang tidak konsisten atau tidak sinkron dengan barang yang dipajang di atas raknya, bahkan pernah penulis temukan minimarket dengan selebaran promosi yang ternyata mengecewakan karena berbeda dengan kenyataan tatkala dikunjungi—sehingga kini penulis memberi hukuman (selaku konsumen dan bagian dari warga masyarakat) dengan tidak lagi berbelanja pada minimarket bersangkutan, bila tidak sangat terpaksa.
Sudah tidak terhitung lagi banyak-seringnya peristiwa yang penulis alami sendiri, antara produk dan label harga display ternyata berbeda (jebakan mentalnya terletak pada memanfaatkan celah kebanyakan sikap konsumen yang “ceroboh” dan tidak menyadari telah dikecoh demikian sehingga tidak melakukan klaim ataupun penelitian ulang dalam struk belanja, ataupun merasa antara klaim dan waktu yang terbuang untuk mengurusi klaim demikian sangatlah tidak layak), atau modus-modus yang tidak kalah lazimnya seperti produk dipajang pada rak dengan label yang untuk produk yang berbeda.
Bila pemerintah serius melindungi hak-hak konsumen (publik), maka setiap korporasi komersiel berorientasi mengejar profit yang menghimpun dana donasi dari konsumennya, maka dana donasi yang terhimpun wajib diserahkan pada suatu yayasan independen yang memang bergerak dibidang sosial-kemasyarakatan yang telah terakreditasi oleh pemerintah serta tidak terafiliasi dengan sang pelaku usaha, dimana pihak yayasan yang kemudian menyalurkan dana tidak boleh memasang logo ataupun menyebutkan merek minimarket kepada pers maupun penerima donasi, karena itu sama artinya yayasan dijadikan sebagai alat atau agen promosi brand minimarket demikian.
Itulah pesan yang selalu penulis gaungkan dan tekankan dalam berbagai kesempatan. Tujuannya agar pelaku bisnis yang jelas-jelas sedang mengejar profit tidak menyaru sebagai seorang “sosialis” nirlaba, dan agar mendesak agar bila suatu korporasi memiliki niat murni untuk hendak melakukan “CSR” (baca : personal branding), maka cukup mengalokasikan sebagian laba hasil usahanya sendiri untuk kegiatan bakti sosial.
Terakir, namun bukan yang paling akhir, kepada Bung Yusril, Anda bukan hanya telah melukai perasaan dan sanubari Mustolih, namun Anda juga telah menantang dan melecehkan seluruh konsumen minimarket bersangkutan, dimana Mustolih adalah wakil dari para konsumen yang selama ini dimintai donasi demikian oleh pihak minimarket yang dibela oleh pihak Bung Yusril. Terhadap pengacara yang hendak meruntuhkan fondasi negara (Pancasila), maka Anda tidaklah patut menjadi pengajar Hukum Tata Negara di Indonesia, Anda ibarat kader HTI itu sendiri karena mendukung, membela, memperjuangkan, bahkan menggugat negera demi kepentingan HTI itu sendiri, sama artinya Anda sedang menantang seluruh agen pluralisme di Indonesia.
Tetap saja, yang paling menyedihkan ialah Presiden Jokowi, yang justru menyewa Bung Yusril sebagai pengacara saat ajang pesta rakyat Pemilu 2019—seolah tiada pasokan nama pengacara kondang lain yang lebih menjiwai falsafah negara (Pancasila). Tidak kalah ironisnya dengan Prabowo yang mengajukan gugatan dengan tuduhan bahwa Jokowi melakukan kecurangan pada proses Pemilu ke Mahkamah Konstitusi RI, namun kemudian justru menjadi hamba (Menteri Pertahanan) dari presiden terpilih yang semula dituduhnya sebagai pelaku kecurangan sehingga digugatlah olehnya.
Apakah Prabowo masih memiliki harga diri? Untuk apa juga Pemilu berbiaya mahal ini, bila sejak dari semula kedua calon presiden tersebut duduk bersama di sebuah warung kopi, dan “bagi-bagi kekuasaan” tanpa harus mengadu-domba rakyatnya sendiri sampai “berdarah-darah”, yang mereka klaim sangat mencintai para rakyatnya. Memang negeri yang sangat ironis, menyerupai negeri “dagelan”, aneh tetapi nyata adanya. Kepada sang profesor Hukum Tata Negara, Bung Yusril, mohon terangkan apakah mungkin sistem khilafah berjalan beriringan dengan Pancasila tanpa merusak fondasi ketatanegaraan Indonesia? Yang disebut dengan idealisme, artinya memiliki pendirian, bukan begitu mudahnya disetir oleh klien pembayar tarif. Salah sebagai salah, benar sebagai benar, itulah opini hukum yang berpendirian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.