Antara Teks Norma Hukum, Konteks, dan Asumsi

ARTIKEL HUKUM
Tiada yang lebih “bodoh”, dariapda seorang warga negara yang mematuhi hukum secara membuta—sama ekstrimnya dengan seseorang yang sama sekali tidak mematuhi hukum. Mengapa? Karena: Pertama, hukum tidak menuntut warga negaranya untuk mematuhi hukum secara membuta—bahkan dapat disebutkan “terlampau banyak pengecualian dalam pengaturan norma hukum”. Kedua, aturan atau norma hukum bertopang pada sebuah asumsi, dimana ketika asumsi tersebut gugur, maka norma yang bertopang padanya juga turut berguguran.
Menjadi warga negara yang patuh hukum, adalah baik. Namun lebih baik lagi menjadi warga negara yang cerdas dalam berhukum—itulah tujuan dari hukum, mencerdaskan bangsanya sesuai amanat konstitusi. Hukum tidak dapat dibenarkan pada praktiknya untuk menjadikan warga negara yang diaturnya untuk menjelma seorang “robot” yang tunduk mutlak pada program yang ditanamkan kepadanya.
Aturan hukum, bagaimana pun adalah buatan manusia, dan tidak ada aturan hukum yang telah sempurna adanya, namun justru memiliki kodrat sebagai “selalu tertinggal satu langkah di belakang dinamika sosial yang terus berkembang dan berevolusi”, sementara aturan hukum bersifat rigid sampai ia kembali direvisi oleh pembentuk undang-undang, bila tidak dapat kita sebut proses pembentukannya terdapat motif terselebung yang sangat patut untuk diragukan (law as a tool of crime, alias kental nuansa “ayat-ayat sponsor”, demikian kaum Critical Legal Studies menyebutkan secara sinis namun selalu relevan sekalipun di tengah iklim negara demokratis seperti Indonesia).
Bila kita take it for granted, begitu saja terhadap semua norma hukum yang mengatur setiap sendi hidup warga negara, maka kita tidak pernah memerlukan upaya hukum seperti judicial review, guna menyesuaikan norma hukum yang telah “usang” untuk dihadapkan kepada realita sosial yang besar kemungkinan telah jauh berubah sejak kondisi sosial era sang pembentuk peraturan perundang-undangan. Upaya hukum uji materiil, ialah sikap pemberontakan oleh warga negara terhadap suatu norma yang dimohonkan untuk diuji dan dibatalkan.
Berbicara secara falsafah, norma hukum selalu bersifat “berpasangan”. Berpasangan terhadap apakah? Tidak lain tidak bukan, norma hukum selalu berpasangan dengan sebuah “asumsi” yang belum tentu sesuai dengan realita yang dihadapi oleh sang subjek hukum (pengemban hukum). Penulis tidak akan membahasnya secara abstrak, untuk memudahkan pemahaman kita bersama maka penulis akan memberikan ilustrasi konkret sehari-hari yang bisa kita pantau, alami, dan rasakan sendiri.
Suatu hari, penulis bermaksud hendak menaiki kereta rel listrik pada suatu stasiun kereta yang dikenal karena kepadatan penumpangnya, mengingat berada pada pusat grosir niaga produk garmen di pusat kota. Ketika kereta dimaksud tiba, dan penulis telah siap untuk naik, namun setelah menunggu selama beberapa menit, para penumpang kereta yang telah tiba di stasiun tujuan akhir tersebut, tidak kunjung turun, namun memadati pintu keluar-masuk secara berjejer sehingga tidak menyisakan ruang sejengkal pun bagi penumpang yang hendak masuk dari luar, sekalipun kondisi dalam gerbong telah kosong.
Para penumpang yang hendak turun, tidak dapat turun karena penumpang yang hendak naik justru berdiri tepat berjejeran di depan pintu, membentuk “pagar betis”, tidak memberi jalan bagi penumpang yang hendak keluar untuk turun. Setelah kondisi “deadlock” demikian berlangsung selama sekian menit tanpa ada yang mengambil inisiatif, pada akhirnya penulis mengambil inisiatif untuk menyelinap masuk dari bawah ke dalam gerbong lewat sisi samping pintu keluar-masuk kereta.
Alangkah terkejut, terdapat dua kejadian yang sangat mendadak dan mengejutkan mental, terjadi semacam “putar balik logika moril”. Pertama, terdapat seorang “bule” dari atas yang menutup jalan penulis ketika hendak naik, sementara dirinya tidak kunjung turun setelah sekian lama ditunggu, sehingga penulis bergantung (tidak bisa naik, juga tidak bisa turun kembali). Di luar, kondisi lebih “menghakimi” lagi, salah seorang calon penumpang lainnya menggurui penulis agar “memberi jalan bagi yang akan turun terlebih dahulu”.
Komentar penghakimannya sangatlah “benar”, namun tidak tepat pada waktunya dan tidak tepat pada kondisinya. Saking padat dan “crowded”. Ketika tiba momen ketika calon penumpang lain mendukung penulis untuk terus naik, maka penulis langsung mengerahkan tenaga mendorong si “bule” yang menghambat di pintu keluar-masuk kereta, barulah “deadlock” cair, seluruh penumpang dari luar dapat naik, dan tak lama kemudian penumpang yang dari dalam dapat turun. Di dalam, kondisi gerbong ternyata kosong melompong, sehingga konyol sekali jika penumpang dari luar terus berlama-lama menunggu penumpang dari dalam untuk turun—namun tidak kunjung turun-turun dari gerbong, justru saling memasang “pasar betis”.
Jika saja ada kesempatan bagi penulis untuk mengajukan pembelaan diri seperti di persidangan, dimana seorang terdakwa diberi juga kesempatan untuk bersuara sesuai kesadaran nuraninya, bahwa para penumpang dari dalam gerbong tersebut telah diberi waktu yang sangat toleran untuk turun, namun tidak juga kunjung turun, justru menghambat pintu keluar-masuk. Ketika penumpang dari dalam tidak juga kunjung turun, justru menghambat pintu keluar-masuk yang juga menjadi hak dari penumpang yang hendak naik, apakah salah jika kemudian penumpang dari bawah “meringsek” naik?
Tidaklah salah si “pahlawan kesiangan” untuk berkomentar penuh penghakiman “beri jalan bagi yang mau turun dahulu!”, namun bila / sepanjang konteksnya ialah asumsi bahwa baik penumpang di luar dan penumpang di dalam sama-sama tertib, dan penumpang dari dalam yang hendak turun tidak memakan seluruh celah pintu keluar-masuk, bukan justru tidak kunjung turun sekalipun telah diberi waktu yang lebih dari cukup oleh calon penumpang dari bawah yang telah bersabar menunggu penumpang dari atas untuk turun. Jika si komentator sedikit mau lebih cerdas, ia semestinya mengkomentari penumpang dari luar yang hendak naik yang berpadat-padat merintangi pintu keluar masuk sehingga yang hendak turun tidak dapat turun.
Pemerintah demikian ketat mengatur pembatasan jumlah kendaraan bermotor yang melintas di jalanan ibukota kita, namun hal tersebut konteks asumsinya ialah kondisi moda transportasi umum kita telah baik. Sejauh pengalaman pribadi penulis, menaiki moda transportasi umum pada jam sibuk, berpotensi tinggi membuat tulang rusuk kita retak terdesak oleh penumpang lain yang berdesak-desakan—maka asumsi bahwa opsi menggunakan transportasi umum kita telah baik, gugur oleh fakta realita yang berbicara lain.
Karenanya, upaya pemerintah untuk membatasi kendaraan bermotor untuk melintasi sejumlah jalan protokol ibukota, menjadi patut untuk diragukan. Penulis selalu berkata dalam hati, “bisa-bisa pulang tidak selamat, menaiki bus dan kereta milik pemerintah ini”. Tidak ada pengguna kendaraan bermotor yang bersenang hati bermacet-macetan, namun keterpaksaan membuat mereka enggan beralih ke kendaraan umum.
Contoh kedua, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia. Betul, kita tidak perlu bantah-membantah bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dirampas oleh orang lain, sekalipun oleh otoritas negara. Namun, teks selalu diiringi oleh konteks. Asumsi dari pengaturan hak asasi manusia demikian, ialah sang subjek hukum bersangkutan juga menghormati hak asasi manusia lainnya dengan tidak menjadi pembunuh, perampok, pengedar obat terlarang, pelaku begal, korupsi, dan sebagainya. Ketika asumsi tersebut gugur oleh fakta empirik (realita), maka norma hak asasi manusia tersebut juga turut gugur. Sesederhana itu saja sebenarnya logika dibalik falsafah ini.
Lalu ketika kita diatur oleh Undang-Undang tentang Lalu Lintas, dimana lampu lalu-lintas harus ditaati, menyala warna merah artinya harus berhenti, dan lampu hijau menyala artinya dibolehkan untuk melanjutkan perjalanan laju kendaraan bermotor yang kita lajukan. Namun bagaimana jika lampu lalu-lintas tersebut padam, tidak menyala? Sebagaimana kita lihat sendiri, bahwa aturan tersebut, norma hukum lalu-lintas, berdiri pada asumsi bahwa fasilitas lampu lalu-lintas dalam kondisi optimal dan hidup. Namun, Anda tidak akan menemukan asumsi demikian tertulis secara “leterlijk” dalam undang-undang dimaksud, bahwa lampu lalu-lintas selalu hidup dalam kondisi menyala dan dapat berfungsi optimal. Akal sehatlah yang kemudian mengaturnya—akal sehat menjadi “hukum diatas hukum”.
Seandainya lampu tersebut dalam kondisi rusak, tidak menyala, Anda tunggu sampai bumi ini menjelang “kiamat” sekalipun untuk dapat kembali menyala hijau baru Anda merasa berhak untuk kembali melanjutkan perjalanan kendaraan yang Anda kemudikan, maka selamanya Anda tidak akan bisa melanjutkan laju kendaraan Anda. Aturan hukum bertopang pada asumsi, ketika asumsinya runtuh, norma tersebut pun invalid secara sendirinya.
Terdapat adagium hukum, berbunyi : “Tegakkan hukum, sekalipun langit runtuh”. Hukum, dibentuk, dengan latar belakang asumsi dan konteks negara dengan “langit yang tidak runtuh”. Menjadi pertanyaan, mengapa juga kita merasa dituntut untuk mematahui dan menegakkan hukum secara membuta, bila hukum itu sendiri merupakan “variabel bebas”, sementara “variabel terikat”-nya justru ialah fakta empirik alias realita ketika kita “benturkan” dengan asumsi yang melatar-belakanginya.
Bila seseorang merasa bangga sebagai warga yang patuh hukum secara membuta, sekalipun “langit harus runtuh”, maka cobalah untuk menghadapi kondisi demikian, dan penulis dapat memastikan diri yang bersangkutan akan juga melanggar dengan tetap melanjutkan perjalanan pada akhirnya setelah letih menunggu lampu hijau tidak kunjung kembali menyala. Rasionalisasi, itulah bagian dari asas pragmatis yang juga diakui oleh hukum dari segi falsafah disamping asas keadilan dan kepastian hukum.
Jika penyidikan dan penyelidikan berupa tindakan menyadap, dimana penyadapan harus didahului izin tertulis dari suatu lembaga pengawas atau ketua pengadilan (maka dapat dipastikan tiada lagi operasi tangkap tangan terhadap kalangan hakim), maka hal demikian bukanlah lagi aksi penyadapan alias operasi intelijen. Meminta izin, artinya bukanlah lagi sadap-menyadap. Menurut kamus, menyadap artinya dilakukan secara “sembunyi-sembunyi, diam-diam, tidak secara terang-benderang”. Apakah asumsi yang menjadi konteksnya? Asumsinya ialah sang calon disadap adalah berlatar-belakang orang biasa, ataukah orang-orang intelek dan berkuasa?
Hukum acara pembuktian pidana mengenal istlah “illegitimate evidences” alias alat bukti yang dihimpun untuk membuktikan telah terjadinya kejahatan dan membuat terang siapa pelakunya, namun dikumpulkan dengan cara yang tidak sesuai prosedural hukum acara, sebagai lawan kata dari “legitimate evidences”. Prosedur tidak sekadar prosedur, ketika, sekali lagi dan kembali lagi, asumsi dasarnya haruslah juga sesuai dengan realita / fakta empirik yang terjadi dan melingkupinya.
Sebagai contoh, kejahatan oleh pelaku kejahatan “kerah-putih” (“white collar crime”), selalu melakukan aksi kejahatannya secara tersusun rapih, terencana, tersistematis, terselubung, dengan sangat bersih menutupi celah maupun alat bukti yang mungkin dapat tercecer dan di-“endus” oleh aparatur penegak hukum. Karena itulah, perlu ada “illegitimate evidences” semisal aksi sadap-menyadap guna menghimpun bukti telah terjadinya tindak kejahatan seperti korupsi dan kolusi. Menghadapi kejahatan “kerah-putih” dengan prosedur penegakan hukum konvensional, dapat dipastikan “tumpul” dan “tidak tersentuh”.
Kita tidak dapat selalu berasumsi, bahwa pelakunya adalah seorang “penjahat yang dungu”, alias tidak mampu menyusun siasat konspirasi kejahatan yang demikian rapih dan rapat. Asumsi yang dibangun terhadap dua jenis kejahatan, juga saling berbeda antara “ordinary crime” dan “extra-ordinary crime”.
Singkat kata, berangkat dari pemahaman demikian, kita dapat mulai memaklumi, bahwasannya teks selalu berkelindan dengan konteks yang melingkupinya, juga untuk mencocokkan dengan asumsi yang melandasi dan menjadi legitimasi dari pengaturan suatu norma hukum. Ketika validitas asumsinya tidak lagi relevan, maka validitas norma bersangkutan akan invalid dan gugur secara sendirinya. Itulah juga latar-belakang pembentukan istilah “diskresi” dan “contra legem”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.