Seekor Semut Tidak Pernah Menjerit Kesakitan, apakah Artinya Tidak Pernah Sakit dan Tidak dapat Merasakan Perasaan Terluka?

ARTIKEL HUKUM
Beberapa waktu lampau, penulis sempat mendengarkan perbincangan dengan dialog sebagai berikut, antara seorang warga dan seorang pakar kesehatan yang disiarkan pada suatu media. Sang warga, “Ibu Dokter, mohon diteliti, mengapa semut-semut yang kecil itu selalu sehat dan tidak pernah jatuh sakit.” Sang pakar kesehatan memberi tanggapan secara simpatik tanpa bernada menghakimi (mungkin sambil tersenyum geli), dengan kalimat singkat dan sederhana saja sebagai berikut: “Bapak, itu semut-semut tidak bisa bicara. Jika saja semut-semut kecil itu bisa bicara seperti kita manusia, mungkin saja mereka akan mengaduh atau mengeluh karena sedang sakit demam atau nyeri karena encok dan flu.”
Lama setelah dialog demikian mengendap dalam memori ingatan penulis, yang terus mengusik penulis untuk membuat tulisan singkat ini, kini menjadi objek renungan bagi penulis dalam mengamati realita di sekitar kita. Bersikap diam, atau membisu, bukanlah dan tidak dapat kita maknai sebagai tiada rasa kecewa, sakit, ataupun terluka. Itulah esensi yang dapat penulis petik sekaligus terapkan dalam mencermati lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan domestik seperti kediaman dan tetangga kita yang saling berbatasan—terutama bagi seorang kepala negara, janganlah menunggu “ditegur” atau hingga rakyat harus mengeluh resah bahkan “mengangkat senjata” hendak menumbangkan kepala negara agar pemimpin negaranya bersedia untuk lebih menaruh perhatian bagi rakyat jelatanya, atau untuk mendengarkan keluhan dan kesulitan hidup mereka selama ini akibat kurangnya perhatian dan empati dari para penyelenggara dan pemimpin negara. “Modal” berupa empati sudah cukup untuk kita mengetahui makna paling implisit dari suatu sikap diam dan kekecewaan yang sekalipun tidak pertunjukkan secara oral-eksplisit oleh orang-orang ataupun pihak lainnya.
Mengingat masyarakat di tengah-tengah kita, terutama Bangsa Indonesia demikian tidak logis cara berpikirnya, sekalipun rata-rata telah berpendidikan cukup tinggi (bahkan terbilang sangat tinggi, seperti dicerminkan lewat latar belakang para narapidana tersandung kasus korupsi) cenderung kekanakan (sebagaimana dicerminkan dari dialog di atas), tidak berakal sehat, kurang rasional, serta mengandung muatan cacat berpikir yang fatal, seolah seseorang yang hanya berdiam diri ketika disakiti artinya “senang dan tidak bekeratan ketika disakiti, dilukai, ataupun dirugikan”, maka tiada pilihan lain bagi kita untuk mengambil sikap tegas berupa keberanian untuk berteriak dan mejerit sejadi-jadinya.
Mereka yang selama ini bersabar, sejatinya sedang menghimpun energi kemarahan yang tidak tersalurkan, bagai memadatkan energi pada ruang hampa dalam dirinya sendiri, yang pada puncaknya bila itu terus berlangsung, siap-siaplah untuk sebuah “ledakan” emosi dan kemarahan. Namun, jangan pernah salahkan “akibat” korban yang hanya membuat “reaksi” kemarahan memuncak, salahkan apa dan siapa yang menjadi “penyebabnya” alias “biang keladi” dibalik kesemua peristiwa yang terjadi.
Orang-orang jahat yang terus saja melakukan kejahatan serupa setiap harinya, siap-siap saja memanen “bom waktu” demikian, dimana konflik tidak akan lagi dapat terelakkan. Jika sudah sedemikian terjadi, maka siapa yang paling patut dipersalahkan? Luapan emosi seringkali terjadi akibat akumulasi kemarahan ataupun perasaan terluka yang memuncak, itulah setidaknya perspektif ilmu psikologi dalam mencermati berbagai aksi apa yang disebut oleh para kriminolog sebagai ajang “pembalasan dendam”, jarang yang terjadi secara spontan.
Ironisnya, pada sisi yang lain masyarakat kita juga menganut pola ataupun paham berpikir yang sangat tidak humanis (bila tidak dapat disebut sebagai pola berpikir yang cukup terbelakang), yakni ketika seorang korban menjerit kesakitan karena dilukai ataupun dirugikan oleh pihak lain, maka sikap “mengaduh” demikian akan dimaknai sebagai “tidak sopan”. Berdiam diri, disalakan. Berteriak pun, tetap dipersalahkan.
Mungkin itulah nasib orang-orang kecil, harus dan hanya boleh diam, seperti seekor yang kecil tidak berdaya. Hanya seekor singa yang boleh “mengaum”, meski selama ini sang singalah yang lebih banyak memangsa dan menyakiti kaum satwa lainnya, seperti si kelinci yang jinak dan baik hati yang “innocent” namun tidak dapat bersuara ketika diterkam sang singa “penguasa” hutan rimba. Seolah-olah, terlahir sebagai warga kecil adalah sebuah kesalahan itu sendiri—setidaknya di republik ini.
Pernah suatu ketika, tetangga yang berseberangan dengan kediaman penulis, melakukan hajatan yang digelar pada jalan umum di depan kediaman rumah keluarga penulis, dimana untuk keluar-masuk dengan berjalan kaki dari dan ke kediaman penulis pribadi pun tidak disisakan sejangkal petak tanah pun karena diokupasi oleh pargelaran hajatan demikian hingga merambah persis di depan pintu pagar kediaman penulis. Praktis, halaman depan kediaman dan jalanan umum milik publik dipakai oleh segelintir pihak yang tidak bertanggung-jawab.
Ketika sang tetangga yang sama kembali menggelar hajatan pernikahan anaknya yang lain, lagi-lagi ritual okupasi jalan umum dan halaman depan rumah warga yang berseberangan dipakai untuk kepentingan pribadi sang pemilik acara hajatan. Ketika penulis kali ini melakukan komplain, warga lain dari daerah lain yang tidak terdampak yang juga menghamba pada sang pemilik acara yang notabene seorang pejabat kepala kelurahan setempat, mengatakan dengan nada arogan : “Ini penguasa sedang ingin buat hajatan, kenapa dilarang?
Siapa yang melarang orang lain untuk hajatan? Sang pemilik acara adalah orang berada dan berkecukupan, seorang pejabat Lurah, dimana dirinya sejatinya sanggup menyewa ruang pernikahan pada hotel terdekat yang banyak dijumpai di tidak jauh ibukota ini. Namun mengapa sampai harus merenggut hak-hak warga yang saling bertetangga, dan mengapa juga harus merampas hak publik pengguna jalan milik umum? itulah akibat mental korup “pejabat korup”. Orang kuat tidak membutuhkan izin dari warga terdampak untuk melakukan kegiatan usaha ilegal, untuk mengokupasi tanah milik warga lain ataupun jalan milik umum, ataupun untuk menyakiti dan merugikan (power always tends to corrupt, ALWAYS).
Bahkan, ketika kendaraan milik penulis yang ditaruh masih pada halaman depan pagar kediaman rumah penulis, saat hendak menutup pintu pagar rumah, ditabrak oleh kendaraan milik sang “penguasa”, sang penguasa tidak turun dari kendaraaannya untuk meminta maaf. Ternyata, seorang penguasa yang kuat secara ekonomi maupun secara politis, juga tidak perlu meminta maaf pada korbannya. Korban yang berlatar-bekalang rakyat jelata ternyata hanya boleh dan hanya bisa berdiam diri dan menjadi penonton saja ketika hak-hak nya dilanggar. Terbukti beberapa tahun kemudian, sang Lurah dicopot dari jabatannya, karena disinyalir melakukan korupsi aset milik Pemerintah Daerah setempat yang dijadikan objek kos-kosan secara ilegal. Mengapa juga penulis selaku warga pemilik rumah, harus mengalah kepada seorang PEJABAT (yang ternyata) KORUP?
Kita selaku warga, hidup dalam kondisi serba-salah di republik ini. Jika memilih untuk bersikap diam (menjadi “anak manis”), maka dapat dipastikan ulah para manusia-manusia “serakah” akan menjadi-jadi dan meraja-lela tidak terhentikan dan tidak terkontrol akibat “libido” nafsu keserakahannya menjadi menjelma raja-raja kecil ataupun raja-raja jalanan di komunitas lingkungan bertempat tinggal kita. Sebaliknya, ketika kita mendapati hak-hak kependudukan dan hak-hak perdata maupun hak-hak sipil kita terlanggar dan terlukai, komplain dan suara-suara ketidak-setujuan yang kita lontarkan akan dinilai sebagai upaya “melawan penguasa”, cerminan sikap “tidak sopan”, hingga distigma sebagai “jagoan” atau bahkan menjadi “pahlawan di siang bolong”.
Namun, di atas semua itu, keburukan paling utama dan paling mencolok dari perilaku wajah bangsa bernama Republik Indonesia ini yang sangat sukar untuk dapat penulis pahami meski umur penulis telah mencapai hampir separuh abad lamanya lahir, tumbuh, serta besar di republik ini, ialah ketika seseorang warga berteriak dan menjerit karena hak-haknya tercederai oleh pihak lain, maka sang warga yang berteriak dan menjerit yang akan dicela, dihina, serta dilecehkan—sementara di saat bersamaan mereka tidak mencela, tidak mengkritik, dan tidak menegur perilaku buruk warga lainnya yang melukai dan mencederai hak-hak sang korban, alias lebih pandai menghakimi korban yang sedang dalam posisi lemah tersudutkan (mental “bullying”, sasaran empuk yang sedang rapuh dan rentan), tanpa berani untuk menantang dan bahu-membahu turut melawan pelaku kejahatan yang sebenarnya (disaat bersamaan mempertontonkan sikap pengecut para warga “komentator” demikian).
Penonton memang lebih pandai mengkritik, ketimbang menjadi pemain di lapangan. Namun ketika diminta menjadi pemain, mereka bermain lebih buruk daripada pemain yang selama ini mereka kritisi. Pihak korban, rentan akibat budaya “tidak logis” pola berpikir masyarakat umum kita. Ternyata, khusus terutama pada republik ini, seorang korban seolah-olah tidak memiliki hak untuk menjerit dan berteriak kesakitan.
Apakah perlu, Konstitusi NKRI diamandemen dengan tujuan memasukkan hak untuk menjerit sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia? Mengapa juga, untuk hal sesederhana ini masih harus ditulis pada konstitusi negara, sampai juga harus penulis ajarkan dan susah payah penulis tulis serta publikasikan kepada khalayak ramai? Apakah pendidikan moral sesederhana ini, tidak pernah diajarkan pada bangku Sekolah Dasar maupun pada lembaga informal seperti keagamaan? Ataukah akibat “sindrom lupa”, sehingga perihal moralitas dan etika, dilupakan dan ditanggalkan begitu saja, menjelma manusia dan masyarakat yang “pragmatis-ekonomikus”?
Pernah juga terjadi, penulis meluangkan waktu produktif untuk jauh-jauh menuju suatu instansi yang berwenang guna melaporkan bobroknya aksi kolusi dan korupsi pada aparatur sipil negara dalam memberikan pelayanan publik (tanggung jawab, kewajiban civil servant, sehingga hendaknya tidak dimaknai masyarakat yang harus mengemis-ngemis dan memohon-mohon agar mendapat pelayanan publik yang memang menjadi hak setiap warga negara). Namun, jangankan laporan penulis ditanggapi, dicatat dan dimintai detail peristiwa pun tidak, hanya tidak lebih dari setengah menit dan penulis diminta untuk meninggalkan ruang kantor sang pejabat yang “sok sibuk” meski pokok atau isu laporan penulis bukanlah hal sepele dan telah jauh-jauh datang dengan berbagai kesukaran dan waktu yang tersita di perjalanan, yakni korupsi berjemaah suatu dinas pemerintahan—apakah ini adalah hal yang sepele, isu yang remeh-temeh?
Maka, adalah penting untuk mengutarakan apa yang kita alami dan rasakan, agar tidak mudah untuk dibodohi. “Berarti, dapat saya simpulkan dari indikasi tiadanya keseriusan pihak Bapak dan Ibu dalam menanggapi laporan saya ini, terlebih untuk menindak-lanjuti, satu instansi ini sekaligus Anda semua adalah pejabat KORUP, bagian dari konspirasi dan komplotan persekongkolan korupsi berjemaah ini! Mengapa, Anda tersinggung ketika saya nyatakan bahwa Anda semua adalah pejabat KORUP yang makan dari uang hasil KORUPSI maupun KOLUSI?
Inilah kata-kata pamungkas yang selalu penulis lontarkan bagi mereka yang menyalah-gunakan kewenangan maupun kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, maupun kekuasaan massa terhadap pihak warga sipil yang lemah, “Saya tidak gentar jika Anda semua saat kini juga ingin memukul atau menghantam kepala saya, mengeroyoki saya yang seorang diri ini tanpa senjata, jika perlu sampai tewas. Saya tidak takut dengan penjahat semacam kalian. Ada hukum karma, HUKUM KARMA yang mencatat semua ini, mengapa juga saya harus takut jika ada hukum karma yang akan mengadili dan membalas SEMUA perbuatan jahat kalian. Saya ataukah Anda semua, yang semestinya takut?
Masalah paling serius dan paling akut dari bangsa di negeri ini, ialah minimnya—bila tidak dapat disebut tiadanya—rasa malu ataupun rasa takut untuk berbuat kejahatan. Masyarakat kita, bangsa kita di Indoensia ini, menilai bahwa jika kejahatan dilakukan secara berjemaah, maka tiada yang perlu ditakuti dan juga tiada yang perlu dirasakan malu, karena kesemuanya mempertontonkan perilaku vulgar “seronok” serupa. Seolah-olah, dilakukan secara berjemaah menjadi legitimasi untuk melakukan perbuatan serupa, dimana yang “tampil beda” alias melawan arus, justru dinilai sebagai “aneh sendiri” dan akan dijadikan “musuh bersama” para koruptor dan harus disingkirkan dari komunitas korup mereka oleh sebab dirasakan sebagai “duri dalam daging” yang menyakiti dan mengancam “pesta korupsi” mereka.
Uniknya, perilaku “seronok” serupa seperti aksi nudisme yang memasuki ruang-ruang publik tanpa busana, dianggap sebagai dosa besar atau setidaknya tidak sopan dan layak dijadikan objek “main hakim sendiri”—namun mengapa aksi seperti korupsi, penelantaran terhadap laporan / aduan warga masyarakat, kekerasan fisik, hingga usaha-usaha ilegal melanggar hukum yang secara masif dipertontonkan di muka umum, hingga kelas-kelas sektor informal seperti pedagang daging ayam pada lapak-lapak di pasar tradisional yang menjual daging ayam dengan campuran bahan pengawet berbahaya bagi kesehatan konsumennya lengkap dengan pewarna tekstil agar kulit ayamnya tampak kuning “tidak pucat”, dipandang bukan sebagai hal sejahat dan sememalukan seperti aksi nudisme yang juga sama “seronok” dan vulgar berjemaaahnya?
Orang-orang dungu, dengan bangga menggali lubang kuburnya sendiri, bukan hanya karena diakibatkan kesengajaan, namun juga diakibatkan oleh kelalaian mereka gagal untuk mewaspadai perbuatannya sendiri, demikian sabda yang disampaikan oleh Sang Buddha. “Lalai” yang dimaksud dalam sabda Sang Buddha, bukan hanya lalai dalam mendengar jeritan orang-orang yang menjadi korban kelalaian kita, namun juga lalai untuk mengintrospeksi diri, apakah perbuatan maupun kegiatan usaha kita meresahkan warga sekitar ataukah tidak, apakah perilaku kita merugikan dan melukai ataupun mengganggu dan menyakiti orang lain ataukah, TERLEPAS APAKAH PARA KORBAN-KORBAN TERSEBUT MENGELUH, MENJERIT, BERTERIAK ATAU TIDAKNYA. Bahkan, bahasa tubuh pun sudah cukup menjadi komunikasi bagi mereka yang cukup mau untuk lebih peka dan berkesadaran jernih dan berperilaku adil terhadap sesama warga.
Kesadaran yang jernih dan kejujuran, menjadi syarat utamanya disini—sementara justifikasi dan pembenaran diri menjadi musuh utamanya. Demikian kerap kali untuk kita renungkan bersama. Untuk mudahnya, ingat selalu kisah dialog sederhana sebagaimana penulis babarkan pada pembuka ulasan singkat ini, mengenai si semut-semut kecil yang pendiam, “si anak manis” karena sopan tidak pernah mengeluh ataupun menjerit kesakitan mengutarakan perasaannya SEKALIPUN KITA INJAK HINGGA MEREKA TERPINCANG-PINCANG DENGAN BAHASA TUBUH MERINTIH-RINTIH AKIBAT ANGGOTA TUBUH MEREKA YANG PATAH DAN RUSAK. Diam dan bisu, bukan artinya tidak punya perasaan—Andalah yang tidak punya perasaan karena sewenang-wenang membuat asumsi “ngawur-egoistik” demikian.
Diam dan bisu bukan dimaknai sebagai mereka senang dan suka diperlakukan secara tidak patut. Adalah irasional dan cacat cara berpikir sebagian besar diatara kita sendiri yang demikian serakahnya hingga sampai-sampai berasumsi bahwa orang-orang dan hewan-hewan kecil tersebut “anteng-anteng” dan “senang-senang” saja sekalipun diperlakuakn secara tidak patut, disakiti, hingga dirugikan—sekalipun kita semua mengetahui betul, tiada satupun makhluk hidup di muka bumi ini yang masih memiliki perasaan, yang senang ketika diperlakukan secara tidak patut, secara tidak adil, terlebih dilukai, diganggu, dirugikan, dan disakiti.
Hendaknya cara berpikir yang sempit tidak menjadi bumerang bagi diri kita sendiri, karena bisa jadi kita dan Anda semua sedang dengan bangganya menggali lubang kubur bagi diri kita sendiri, membeli tiket jalan tol bebas hambatan menuju neraka. Tiada yang lebih bodoh daripada perilaku lalai dan asumsi tidak logis semacam itu, bahkan lebih terkesan sebagai “konyol” dan kekanakan.
Apakah Anda akan senang, perasaan Anda tidak terluka, ketika kemudian properti antau bahkan anak-cucu Anda yang disakiti, dilukai, dan dirusak oleh pihak lain? Apakah Anda akan “legowo” dan menerima perlakukan tidak patut demikian? Bila sanak-keluarga dan properti orang lain bisa Anda sakiti dan rugikan, maka mengapa Anda berpikir properti dan sanak-keluarga Anda dikemudian hari tidak akan dapat diperlakukan serupa oleh orang lain, atau setidaknya oleh Hukum Karma?—hendaknya dan harap masing-masing dari kita mengingat betul pesan penutup dari penulis dalam kesempatan berharga ini. Bila Ana bisa menyakiti orang lain, maka Anda pun tidak akan luput dari nasib serupa, itulah cara bekerjanya Hukum Karma yang Universal sifatnya--tiada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.