Pidana Menggelapkan Harta Milik Sendiri, sebuah Salah Kaprah Fatal Lembaga Peradilan maupun Penyidikan dan Penuntutan di Indonesia

LEGAL OPINION
Question: Hampir sepuluh tahun lalu, keluarga kami membuat usaha dalam bentuk Perseroan Terbatas. Usaha keluarga ini hanya dimiliki internal anggota keluarga sendiri, mulai dari pemegang saham, direksi, maupun komisarisnya. Selama ini memang pembukuan keuangan perusahaan tidak demikian ketat ataupun rapih, sebagaimana perusahaan milik keluarga pada lazimnya, karena namanya juga usaha keluarga sehingga “kas bon” yang tidak tercatat menjadi biasa.
Baru-baru ini perusahaan dijual kepada investor diluar keluarga, pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan darah dengan kami. Namun, setelah saham perseroan sepenuhnya diakuisisi oleh pihak luar tersebut, pemegang saham baru kemudian melaporkan pidana terhadap direksi pemilik lama dari perseroan ke pihak kepolisian, dan bahkan jaksa pun mengajukan tuntutan berlanjut hingga persidangan, dengan tuduhan telah terjadi penggelapan terhadap harta milik perseroan beberapa tahun lampau saat masih dijabat direktur lama.
Namanya juga usaha keluarga, percuma juga jika segala aktivitas bisnis dicatat secara mendetail karena pemegang sahamnya juga masih satu keluarga. Yang perlu kami tanyakan dan ketahui, apa bisa pemegang saham baru yang kini ambil-alih kepemilikan perusahaan, mempermasalahkan perbuatan direksi lama saat perusahaan masih dimiliki oleh direksi lama bersangkutan, dengan tuduhan penggelapan?
Brief Answer: Istilah “mengelapkan harta milik sendiri”, hanya dapat dijumpai pada kasus-kasus pidana penggelapan terhadap harta “gono-gini” antar pasangan suami-istri, karena memang sifatnya sebagai “harta bersama”—sehingga sejatinya tidak murni seutuhnya harta milik sang terpidana itu semata. Sehingga, tidak pernah ada relevansi antara “tindak pidana penggelapan” dan “harta milik sendiri”, terlebih mengistilahkannya sebagai “penggelapan terhadap harta milik sendiri” sebagai dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Seorang pelaku usaha yang mengakuisisi Perseroan Terbatas, tidak dimaknai memiliki hak secara retroaktif (berlaku surut) untuk menuntut seseorang pemegang saham lama yang juga merangkap jabatan direksi saat sebelum perseroan diakuisisi oleh pemegang saham baru. Betul bahwa hak dan kewajiban pemilik lama beralih kepada pemilik / pemegang saham baru saat terjadinya akuisisi, namun yang perlu diingat ialah bahwa dapat diasumsikan bahwa segala tindakan direksi bersangkutan pada tahun buku kegiatan usaha sebelum terjadinya akuisisi, telah pula disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang eksis pada tahun buku lampau tersebut (mengingat baik direksi maupun komisaris merangkap pula sebagai pemegang saham, alias merupakan lumrahnya sebuah “usaha keluarga”).
PEMBAHASAN:
Adapun yang paling relevan untuk ditempuh oleh pemegang saham atau pemilik baru perseroan, ialah hanya sebatas upaya hukum pemidanaan dengan tuduhan “penipuan”, alih-alih tuduhan telah melakukan “penggelapan”. Saat pemilik perseroan menawarkan proposal jual-beli saham yang dimiliki olehnya kepada suatu investor calon pemilik baru perseroan, maka pastilah akan disuguhkan dokumen berisi rincian laporan laba dan rugi perseroan, neraka keuangan, pembukuan, hingga catatan “Equity to Debt ratio” dalam posisi paling aktual pada tahun buku terakhir demikian yang menggambarkan “potret” kondisi paling konkret kekayaan bersih perseroan (dan poin terakhir itulah yang paling terpenting).
Bila ternyata laporan kondisi keuangan paling teraktual tersebut tidak menggambarkan posisi sebenarnya dari kondisi harta kekayaan dan kewajiban perseroan yang ditawarkan oleh pemilik perseroan, sehingga mengecoh investor yang terdorong batinnya untuk membeli, maka hal tersebut menjadi indikator mutlak tidak terbantahkan bahwa telah terjadi tindak pidana “penipuan”, alih-alih menyebutnya sebagai “penggelapan”.
Patut kita catat dan garis-bawahi, yang diakuisisi oleh pemegang saham baru ialah kondisi paling teraktual atau paling terakhir dari neraca keuangan dan harta kekayaan maupun kewajiban perseroan, bukan harta kekayaan perseroan saat masih berlangsung bertahun-tahun lampau. Karenanya, calon investor yang cukup teliti, sebelum berminat membeli suatu perseroan, kerap meminta pemilik lama perseroan untuk melakukan “revaluasi aset” untuk memperlihatkan / mengungkap kondisi sehat atau tidaknya perseroan secara paling aktual saat kekinian, bukan pada saat kondisi lampaunya.
Karenanya juga, adalah mustahil dan salah-kaprah mendasar bila seorang direksi yang bertahun-tahun lampau dijabat secara rangkap jabatan oleh pemilik lama perseroan, didakwa dengan dakwaan “penggelapan”. Karena, yang semata punya hak untuk keberatan dan melakukan gugatan ataupun tuntutan tidak lain ialah RUPS pada tahun buku lampau tersebut (yakni sang pemilik lama yang merangkap jabatan sebagai direksi itu sendiri), bukan RUPS pada tahun terkini setelah terjadinya akuisisi perseroan.
Karenanya pula, menjadi rancu ketika pihak penyidik memproses laporan aduan dari pemilik baru dari perseroan dengan tuduhan “penggelapan” kepada pihak direksi lama perseroan yang saat bertahun-tahun lampau itu yang juga merangkap selaku organ RUPS dari perseroan. Apanya yang “digelapkan”, bila yang dibeli oleh pihak pembeli / pengakuisisi ialah kondisi paling terakhir dari laporan keuangan maupun laporan revaluasi aset perseroan dimaksud bila yang diakuisisi memang ialah aset perseroan?
Karenanya, pemahaman mengenai “tempus delicti” menjadi sangat penting serta esensial bagi pihak penyidik agar tidak secara serampangan menetapkan seseorang sebagai terdakwa kasus “penggelapan” dalam lingkup korporasi. Tempus delicti merupakan istilah dalam ilmu hukum pidana yang dimaknai sebagai “waktu kejadian perkara” (WKP).
Mengapa penentuan “tempus delicti” menjadi penting? Tempus delicti menjadi penentu hukum positif yang berlaku (aturan pemidanaan tidak boleh berlaku surut), serta penentu siapakah yang paling berhak untuk mengadukan ataupun membuat laporan pemidanaan. Kegagalan memilah setiap aspek dari tempus delicti demikian, yang kemudian terjadi ialah “kriminalisasi” itu sendiri, terutama terhadap seorang pemilik lama perseroan dalam suatu usaha milik keluarga yang juga merangkap sebagai organ perseroan lainnya seperti sebagai direksi maupun sebagai komisaris dari perseroan.
SHIETRA & PARTNERS sejauh ini telah beberapa kali memberi konseling perihal hukum perseroan yang menjelma pemidanaan terhadap klien-klien yang menghadapi upaya kriminalisasi demikian oleh para penegak hukum berdasarkan laporan aduan dari “pemilik baru” perseroan, atas suatu usaha keluarga yang semula dikelola dan dimiliki oleh “pemilik lama” perseroan sebelum kemudian ditawarkan dan dijual kepada pihak ketiga dimaksud.
Pengecualian hanya dimungkinkan terjadi, yakni ketika perseroan dibeli atau diambil-alih oleh pemegang saham baru, direksi yang semula menjabat masih dibiarkan tetap menjabat sebagai direksi untuk tahun buku berikutnya (sekalipun kasus semacam ini jarang terjadi pada perusahaan-perusahaan bermodal besar). Namun, setelah efektif terjadinya akuisisi, pihak direksi ternyata masih juga tidak memberlakukan “good corporate governance” (tidak mengubah kultur kebiasaannya selama masih menjadi pemilik perseroan), dengan menyalah-gunakan wewenangnya dengan tidak menyadari bahwa dirinya kini tidak lagi merangkap jabatan sebagai pemilik perseroan, maka pemilik baru perseroan barulah dapat mengadukan dan memproses perkara “penggelapan”, yakni terhadap “penggelapan” dengan tempus delicti tahun buku sekarang ini—alih-alih terhadap tempus delicti pada tahun buku sebelum perseroan diakuisisi.
“Kalimat sakti” yang SHIETRA & PARTNERS tawarkan sebagai solusi untuk mematahkan berkas sangkaan, dakwaan, maupun tuntutan pihak penyidik maupun jaksa penuntut umum, ialah pencantuman secara berulang-ulang logika sederhana berikut dalam pledooi, yakni: “Mungkinkah seseorang dipidana karena menggelapkan HARTA KEKAYAAN MILIK SENDIRI?” Seorang hakim yang masih memiliki akal sehat dalam memeriksa dan memutus perkara semacam itu, tahu betul bagaimana harus memberi amar putusan terhadap para terdakwa yang diseret ke hadapan persidangan karena alasan “menggelapkan harta milik sendiri”—suatu dagelan seolah penyidik kepolisian maupun kejaksaan kita demikian “kurang kerjaan” sementara masih begitu banyak para kriminal berkeliaran di luar sana yang tidak tersentuh oleh hukum.
Akuisisi, kerapkali menjadi celah pintu masuknya kriminalisasi bagi pemilik lama perseroan, itulah sinyalemen dari berbagai kasus korporasi yang selama ini SHIETRA & PARTNERS tangani, terutama akuisisi terhadap “perusahaan (milik) keluarga”, dimana tata kelola dan pembukuan keuangan bersifat tidak terstandar dan tidak tercatat secara rapih, dimana “mind set” atau pola berpikir pengurusnya masih memandang bahwa badan hukum Perseroan Terbatas milik keluarga adalah miliknya sendiri, sehingga perihal keuangan maupun dari segi administratif wajar tidak demikian berjalan secara taat asas secara ideal—mengingat fakta fakta empiris-sosiologisnya yang perlu mulai dipahami kalangan penegak hukum ialah, bahwa antara sang pengurus dan pemilik perseroan, adalah orang yang sama, sebagai tipikal atau ciri khas “perusahaan keluarga”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.