ARTIKEL HUKUM
Mengapa kita kini menjelma menjadi orang yang begitu “tidak percaya-an”? Mungkin begitulah nasib setiap kalangan Sarjana Hukum, mendapat stigma demikian dari masyarakat umum. Menjadi seseorang yang tidak mudah percaya, adalah bagian dari tuntutan hidup pada era dimana sebuah ucapan dan kepercayaan dengan mudahnya oleh seseorang lainnya diingkari dan dicampakkan seolah tiada makna derajatnya. Kita tentunya harus belajar dari pengalaman betapa sukarnya “memegang” kata-kata orang lain pada zaman ini.
Seorang Sarjana Hukum, memang “dirancang” dan dilatih untuk serba “negative thinking”. Kalangan diluar hukum, kadang tidak mampu memahami latar belakang profesi kalangan Sarjana Hukum, dan secara sewenang-wenang memberikan julukan demikian bagi kalangan Sarjana Hukum. Kalangan Sarjana Hukum tidak jarang diberi stigma sebagai “orang rewel”, apapun menuntut agar “hitam di atas putih”, pasal per pasal substansinya pun diperdebatkan hingga berlarut-larut.
Di tengah zaman kerapnya terjadi ingkar-janji, “mengambil kesempatan dalam kesempitan” (terutama tatkala kondisi lemahnya pengaturan kedudukan salah satu pihak dalam kontrak), bahkan praktik penipuan yang sewaktu-waktu dapat terjadi tanpa kita duga ataupun harapkan, adalah memang tugas dan tanggung-jawab kalangan profesi hukum untuk mengantisipasi dan memitigasinya. Apakah Anda mengharapkan, dipandu oleh seorang Sarjana Hukum yang justru bersikap “tidak rewel” dan merasa tidak pernah butuh bukti akta perjanjian atau kontrak apapun?
Justru, akta berupa perjanjian kontraktual atau bahkan lembaga seperti akta notaris yang membuat suatu akta menjadi berkekuatan hukum dengan emblem “otentik”, telah menjadi tuntutan tren dunia kontemporer, dimana ucapan seseorang subjek hukum tidak lagi dapat dipegang kepercayaannya secara utuh dan gamblang. Sekalipun telah dibuat dalam bentuk “tertulis”, ternyata masih kerap terjadi ingkar-janji, bahkan berupaya berkelit dengan berbagai cara memungkirinya, sehingga berujung pada gugatan wanperstasi.
Bila masyarakat kita memang dikenal jujur adanya, maka untuk apa hukum kontrak perjanjian maupun profesi seperti notaris dibentuk dan dibutuhkan oleh negeri ini? Hampir tidak pernah lagi kita jumpai praktik perjanjian bisnis secara lisan, mengingat masifnya ingkar-janji oleh kalangan masyarakat kita sendiri. Anda dan kita sendiri yang justru mencari-cari perkara bila masih mengandalkan perjanjian secara lisan, karena tidak mau belajar dari pengalaman buruk yang ada sebelum-sebelumnya. Bisnis berbicara ketegasan, bukan ke-sungkan-an. Hari ini teman / rekan bisnis, esok hari belum tentu masih menyandang gelar “teman”. Adakah kita hendak mengambil dan menempuh resiko yang sejatinya tidak perlu dan berbiaya mahal demikian?
Bila selama ini masyarakat kita memang benar-benar jujur karakter dan perilakunya, maka tidak akan pernah ada satu pun kontrak atau perjanjian tertulis dalam praktik bisnis maupun praktik apapun di Indonesia ini. Justru karena “lidah tak bertulang”, kita dituntut untuk bersikap “rewel” untuk “mencegah daripada mengobati”, “antisipasi daripada menyesal dikemudian hari”.
Hanya orang bodoh yang tidak mampu belajar dari berbagai pengalaman buruk orang lain maupun dirinya sendiri mendapati berbagai ingkar janji yang pernah dialami olehnya, dan akan dikodratkan untuk menjadi korban penipuan selanjutnya yang berjatuhan. Bila terdapat kontrak yang dilanggar, itulah wanprestasi. Namun, vonis nasib bagi mereka yang dilanggar janjinya akan tetapi tiada “hitam di atas putih”, itulah penipuan—“mangsa empuk” korban penipuan. Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, namun juga ada kesempatan yang ironisnya bisa jadi dibuka sendiri kesempatan itu oleh sang korban.
Ada lagi julukan “penghakiman” yang kerap dilontarkan oleh masyarakat kita secara kerap ditujukan secara “salah alamat”. Di tengah maraknya berbagai modus penipuan hingga kejahatan, sehingga sebagai warga negara yang cerdas kita perlu bersikap waspada dan penuh perhatian. Mengapa masyarakat kita, sebagai contoh, tidak menjuluki seseorang yang mengunci kendaraannya ketika di parkir, sebagai suatu tempat sebagai “terlalu overprotective”? Karena masyarakat kita telah melihat terlampau banyaknya aksi pencurian di tengah masyarakat kita itu sendiri, bahkan ditengah “siang bolong”, karenanya pemilik kendaraan yang tidak “negative thinking” mengantisipasi pencurian tidak pernah mendapat pujian dari anggota masyarakat kita—bahkan patut mendapat celaan “orang ceroboh”.
Sebaliknya, dalam banyak hal lainnya, pihak-pihak yang bersikap kritis, teliti, dan cermat dalam hal prosedur, aturan, maupun hal-hal detail, kerap diberi stigma sebutan sebagai “tukang protes” hingga “tukang marah”. Beruntung bila Anda memiliki banyak buah karma baik, sehingga selalu berjodoh dengan orang-orang yang baik dan beritikad baik terhadap Anda (memiliki sehabat dan komunitas tempat tinggal yang baik, adalah berkah utama, babar Sang Buddha). Namun bila karma Anda kurang cukup baik sehingga selalu berjodoh dengan orang-orang jahat yang seolah menjadi magnet yang selalu tertarik untuk menyakiti dan merugikan Anda, maka adalah wajar bila dirinya menjadi seseorang yang dingin, penuh waspada, kritis, hingga bahkan “ketus” dan “tegas”.
Penelitian menyebutkan, rata-rata ibu dari seorang anak yang mengidap autis, adalah ibu yang bersikap “dingin” pada sang anak. Namun, yang tidak banyak diketahui oleh publik, sikap “dingin” seorang ibu dari anak autis, adalah sebagai suatu “akibat”, bukan sebagai “sebab”. Karena sikap seorang anak autis sangat menguras emosi serta energi secara tidak temporer, seringkali sang ibu menjadi terkuras serta letih secara mental dan fisik, sehingga akibatnya menjadi “dingin”. Orang-orang luar, mungkin akan melakukan stigmatisasi, alias “penghakiman”, dengan menyebut sang ibu sebagai “orang dingin”—namun mereka tidak pernah mau mengetahui latar-belakang dan penyebabnya.
Seseorang menjadi “tukang protes” hingga disebut sebagai “tukang marah” (pemarah) atau “tukang ribut”, sejatinya adalah hak setiap orang untuk menjadi marah, protes, serta melakukan komplain, sepanjang dirinya memiliki argumentasi yang logis dan rasional dibalik keberatan yang dialami atau terhadap apa yang memiliki bobot muatan moralnya.
Sementara “marah-marah” tanpa alasan, itu menandakan dirinya sendiri yang bermasalah. Pertanyaannya, apakah moral masyarakat umum kita, telah benar-benar dapat disebut sebagai bangsa beradab, aman, dan dapat dipercaya? Mengapa juga kini berkembang wacana agar tamu yang datang dan menetap lebih dari 1 x 24 jam, wajib melapor? Jika pemerintah sampai bersikap penuh kewaspadaan demikian, itulah cerminan belum amannya negeri ini.
Namun, sekali lagi, ditengah-tengah keadaan dan kondisi masyarakat kita yang kian suka “menyerempet”, adalah wajar jika seseorang warga menjadi “pemarah”—contoh, faktor tidak beretikanya para pengendara kendaraan bermotor kita di jalan raya, mengakibatkan kerap para pengemudi yang melajukan kendaraannya secara “sopan” akan menjelma seorang “pencaci-maki” (pemaki) dan “pengutuk” bagi pengendara lain yang ugal-ugalan dan arogan di jalanan.
Menjadi warga negara yang sopan, santun, lembut, penyabar, baik hati, pemurah, pemaaf, pendiam, penurut, “pelupa”, pemalu, tidak pelit, sama artinya menjadi sasaran “mangsa empuk” dari seorang “serigala memakan serigala”. Bila terdapat seorang penjahat, kriminal, penjarah, penipu, birokrat korup, pengusaha serakah, ataupun orang-orang tidak bertanggung-jawab lainnya yang ingin mengambil keuntungan dari Anda dengan mengorbankan hak-hak Anda, maka orang-orang bertipe sopan, lembut, penyabar, pemurah, pendiam, dan pemaaf hingga penurut dan “pelupa” itulah yang akan selalu di-“incar” dan dijadikan target yang paling “empuk nan menggoda”. Bahkan, demikian menggodanya, air liur pun sampai-sampai menetes membayangkan betapa empuknya sang calon mangsa.
Bagaikan bunga ataupun buah-buahan yang tumbuh di pinggir jalan kediaman rumah seorang warga, seolah adalah “dosa” bila dibiarkan tumbuh tanpa “iseng” untuk dipetik dan dicuri buahnya. Karenanya, bangsa Indonesia sangat jarang menanam tumbuhan buah-buahan di pinggir jalan. Kalau pun berbuah, maka dipastikan raib oleh tangan-tangan pencuri. Itu adalah “akibat” (tidak lagi berminat merindangi jalan dengan tumbuhan buah), bukan sang pemilik tanah sebagai “sebab”-nya.
Penulis berikan contoh sederhana yang terjadi pada sebuah negara bernama Australia, sebagai perbandingan yang kontras dengan fenomena yang terjadi sebaliknya di Indonesia. Banyak pepohonan buah jeruk ditanam oleh pemilik rumah pada pekarangan kediamannya yang tidak dibatasi pagar. Ketika buah jeruk tersebut tumbuh, ternyata buah-buah jeruk itu tidak ada seorang pun warga lain yang mencurinya, bahkan sampai-sampai buah-buah tersebut pada akhirnya jatuh ke tanah secara sendirinya saking telah masaknya dan kemudian ditemukan pemiliknya telah membusuk di tanah setelah beberapa waktu ditinggalkan.
Tidak terkecuali, sama seperti ketika sebagian rakyat turun ke jalan menolak undang-undang maupun perubahan undang-undang yang dibentuk oleh parlemen Republik Indonesia. Rakyat yang melakukan aksi protes hingga demonstrasi, diberi stigma sebagai “tukang protes”, “tukang demo”, hingga “sukar diatur”. Namun, mengingat ditengah maraknya anggota Lembaga Legislatif kita tertangkap dalam “operasi tangkap tangan” (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka adalah wajar saja bila rakyat kita menjadi memiliki “rasa tidak percaya” ketika Undang-Undang tentang KPK diubah dengan Undang-Undang yang baru. Ketidak-percayaan, adalah sebagai sebentuk “akibat”—bukan sebagai “sebab”. Teks, tidak pernah terlepas dari konteks.
Bila Anda adalah seorang gadis, memakai pakaian serba terbuka di negara-negara dengan penduduk pria yang memiliki peradaban yang cukup tinggi, adalah hal yang aman-aman saja untuk dilakoni. Namun kita di Indonesia, dimana penulis sebagai seorang “pria”, sukar untuk mendapati “pemandangan indah” demikian di Indonesia, mengingat masifnya para “predator” di Indonesia yang kerap berkeliaran mengintai gadis-gadis untuk dilakukan perbuatan asusila secara memaksa. Jangan salahkan pula kalangan gadis-gadis di Indonesia jarang merias dirinya hingga tampak cantik-memikat-gemulai di tempat umum, mengingat wanita yang tidak merias wajahnya dan jarang merawat rambutnya pun kerap menjadi korban pelecehan seksuil. Jangankan wanita dewasa, anak-anak gadis bocah pun tidak luput menjadi korban para “predator” demikian.
Sama halnya, ketika kita mempertanyakan, mengapa investor asing justru memilih negara-negara di kawasan ASEAN lainnya alih-alih menanamkan modalnya di Indonesia? Apakah mereka adalah “investor yang kikir” ataukah “rasis”? Di tengah maraknya tren pembentukan Peraturan Daerah-Peraturan Daerah berbasis keagamaan tertentu yang intoleran terhadap kebebasan berkeyakinan, menurut Anda apakah hal demikian menjadi insentif atau justru disinsentif bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia? Sikap investor asing yang menolak menanamkan modalnya di Indonesia, merupakan “akibat” keberadaan Perda-Perda demikian yang seolah hendak meng-cluster-kan diri, bukan sebagai “sebab”.
Sama halnya, mengapa hukum dan berbagai aturannya yang membatasi kebebasan warga perlu diatur dan ditetapkan serta ditegakkan secara konsisten dan tegas? Apakah regulator selaku pembentuk hukum perlu diberi stigma sebagai “mengekang” kebebasan penduduk dan warga negaranya sendiri? Mengingat “manusia adalah serigala bagi sesamanya”, maka berlakulah pepatah klasik : Hukum tanpa demokrasi, adalah diktatoriat. Namun, demokrasi tanpa hukum, adalah “chaos”, kekacauan itu sendiri. Pihak regulator memang seharusnya dan memiliki tuntutan untuk bersikap tegas dan menjadi pengatur demi menciptakan dan menjaga ketertiban umum (social order).
Sama seperti ketika kalangan perbankan ataupun lembaga pembiayaan lainnya, mensyaratkan jaminan berupa agunan, sekalipun pihak debitor telah menjanjikan akan melunasi hutangnya. Kita tidak dapat menstigma kalangan perbankan sebagai “kikir”, terlebih sebagai “ribet” dalam prosedurnya untuk dapat mengucurkan dana kredit pada seorang debitor. Mengingat kerap terjadi tunggakan hingga gagal bayar selama demikian lama, bahkan sang debitor mengajukan gugatan terhadap kreditornya sendiri, maka adalah wajar bila kalangan perbankan menjadi demikian prosedural dan penuh tata-cara yang demikian “prudent”, penuh kehati-hatian hingga menekankan prinsip “know your customers”.
Sama juga halnya, setiap kalangan profesi yang melakukan usaha penyedia barang maupun jasa, dapat dipastikan memiliki SOP (standard operational procedures) maupun kebijakan “syarat dan ketentuan” layanan. Tiada SOP maupun ketentuan ketat “term and condition” demikian, sama artinya Anda membuka diri terhadap praktik-praktik yang penulis sebut sebagai “perkosaan” terhadap profesi Anda. SOP maupun kebijakan tegas “syarat dan ketentuan” layanan, dibentuk justru untuk mengantisipasi pelanggaran maupun pihak-pihak yang tidak tertutup kemungkinan memiliki itikad tidak baik terhadap sang profesional.
Sebagai contoh konkret, penulis bahkan sampai harus “menyembunyikan” dan tidak sembarangan menampilkan nomor kontak kerja profesi penulis pada website profesi penulis ini, mengingat masifnya (kini tercatat hingga ribuan ID telah penulis masukkan dalam daftar blacklist) penelepon hingga pengirim pesan yang meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN, bahkan menuntut untuk tetap dilayani tanpa adanya rasa malu.
Bisa dikatakan, kini penulis secara terpaksa telah menutup akses komunikasi dari pihak-pihak “pemerkosa profesi konsultan” tersebut untuk dapat menghubungi penulis—sebagai “akibat”, bukan “sebab”. Karenanya, adalah wajar bila setiap kalangan profesi Konsultan Hukum menjadi “pelit ilmu” terhadap publik, dan baru hanya akan membuka pengetahuan hukumnya kepada klien pembayar tarif jasa konsultasi.
Karenanya pula, jangan pernah terjebak dalam paradigma kaku untuk selalu menjadi “anak manis” seperti : pendiam, pemurah, pemaaf, penyabar, penuh sopan-santun, bertata-krama lembut, karena pada akhirnya diri kita sendiri yang akan terjebak oleh keinginan untuk tampil dan dinilai sebagai “anak manis” demikian. Jadilah pribadi yang fleksibel, bukan seseorang yang serba rigid dalam hal “pembawaan diri”. Ketika dibutuhkan ketegasan, jadilah tegas dan berani, jika perlu keras dalam ujaran. Menghadapi orang-orang baik dan berbudi pekerja, maka kita perlu bersikap lembut dan pemurah juga penuh maaf. Menghadapi orang-orang serakah yang hendak “memakan” apapun yang dijumpai olehnya, maka kita perlu bertransformasi sebagai seorang pribadi yang penuh kesiap-siagaan, siap berkonfrontasi, pendebat, dan “perhitungan”.
Kemampuan untuk menempatkan diri dalam setiap jenis keadaan, adalah bagian dari seni kecerdasan membawa diri—ia tidak bergantung pada komentar pihak luar. Sebagai contoh, untuk watak penulis pribadi, penulis akan menyerupai sebuah “cermin” yang memantulkan wajah mereka itu sendiri—ketika berjumpa orang baik hati, penulis akan membalas kebaikan hatinya, sebanyak dua kali lipat jika perlu. Ketika menghadapi orang-orang yang berniat buruk, maka penulis akan bersikap sama kerasnya. Mencoba menjadi “anak / orang manis”, dalam segala kondisi dan situasi, bukanlah sebuah “kecerdasan sosial”, namun sebuah kedunguan karakter, alias tidak memiliki pendirian ataupun sikap diri, akan mudah untuk didikte, dibodohi, serta di-“ombang-ambing” ataupun di-bully dan dipermainkan.
Mengingat berbagai modus kejahatan dan para kriminal terus merajela dan berkeliaran seolah tidak tersentuh oleh hukum di tempat-tempat umum, dan seolah dipelihara oleh negara yang tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat kita saat benar-benar sedang dibutuhkan, karenanya, ditengah komunitas bangsa ini yang bahkan penjara pun tidak mampu memuat para kriminil yang sedemikian masifnya, menjadi seorang “kritis”, “tukang protes”, hingga “tukang marah” adalah suatu bentuk keharusan dan tuntutan dari keadaan dan situasi zaman dari suatu negara—kecuali bila Anda membuka diri sebagai “mangsa empuk”.
Perlu penulis kembali tegaskan, menjadi “pemarah” hingga “tukang protes”, kerapkali terjadi sebagai “akibat”, bukan sebagai “sebab”-nya. Itulah yang harus mulai Anda dan kita semua pahami dan pilah secara arif dan bijaksana, alih-alih lebih pandai untuk menghakimi dan memberi stigma secara prematur kepada orang lain. Tidak perlu pula kita hiraukan komentar orang lain atas pendirian tegas diri kita, kerena rata-rata anggota masyarakat kita adalah seorang “penghakim” (hakim masyarakat) yang buruk. Sementara, diri kita, adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas diri kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.