KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tiada Pidana Tanpa Kehendak Bebas, sebuah Kisah tentang Dominasi Kode Genetik DNA seorang Manusia

ARTIKEL HUKUM
Disebutkan dalam berbagai laporan hasil penelitian para pakar “genom”, terdapat salah satu atau lebih kromosom pada kode genetik “penyusun” manusia yang bertanggung-jawab atas suatu dorongan / impuls bagi seseorang tersebut untuk melakukan aksi kriminil. Sifatnya laten, dapat diwariskan pada keturunan selanjutnya, (dengan asumsi) sepanjang tidak terjadi mutasi genetik. Bila penyakit mental maupun penyakit medik fisik dapat diturunkan pada generasi penerus, maka mengapa “faktor kriminogen” juga tidak dapat diturunkan?
Bila genetik atau kode DNA manusia memang demikian deterministik, maka sifatnya bukan lagi sekadar “dorongan” atau “impuls” belaka, namun imperatif-koersif sehingga tidak dapat dan tidak lagi kita sebagai manusia berkuasa atas diri kita sendiri untuk menahan diri ataupun melakukan koreksi diri—sehingga tiada pidana akibat “tekanan batin yang demikian besar” (salah satu “alasan pemaaf” dalam doktrin ilmu hukum pidana).
Bila genetik memang demikian deterministik, maka apalah bedanya kita dengan sebuah robot yang begitu penurut dan patuh pada perintah pemograman yang telah ditanam dalam kepala mereka tanpa sedikit pun membantah ataupun berontak? Dimana letak sisa kemanusiaan kita bila tiada ruang “kehendak bebas” (free will) untuk memilih dan bersikap?
Bila hidup memang demikian deterministik, maka apakah bukan artinya kita semua adalah korban-korban “berjemaah” yang bergelimpangan sepanjang sejarah umat manusia dari diktatoriat genetika yang tidak dapat kita tentukan, karena telah harus dipikul sejak kita lahir dan bertumbuh? Mengapa juga kita mampu belajar dan berubah, sekalipun “blue print” kode genetik telah tertanam dalam setiap sel otak dan tubuh kita?
Bila memang juga sikap baik seseorang manusia yang berbaik hati bukan ditentukan dari sebentuk pilihan berdasarkan “kehendak bebas” orang bersangkutan, maka yang sejatinya mendapat gelar kehormatan sebagai “the man of the year” bukanlah nama sang sosok manusia bersangkutan, namun susunan kode genetik DNA bersangkutan.
Dengan demikian, dapat pula kita sebutkan, bukanlah Albert Einstein yang berhak dan layak menyandang gelar manusia jenius yang tersohor sepanjang sejarah, namun genetik DNA-nya yang bertanggung-jawab untuk itu dan patut dimasukkan ke dalam sejarah keilmuan. Justru adalah Albert Einstein, yang telah “membajak” karya besar yang dihadirkan oleh sang “kode genetik”. Sebagaimana dapat kita tarik hipotesis pada contoh-contoh sederhana di atas, dehumanisasi lewat mendiskreditkan peran “kehendak bebas” seorang manusia beradab, menjadi sekadar susunan kode genetik belaka.
Manusia, seolah diminiaturkan menjadi sekadar rangkaian susunan kode genetik. Manusia hanya menjadi sekadar serangkaian kumpulan sel-sel yang membentuk tubuh dan pikiran, dimana sel-sel tersebut tersusun dari kode genetik yang berisi serangkaian kode-kode perintah dan eksekusi, sang diktator yang bertanggung-jawab atas rancang bangun yang khas masing-masing individu—sebenarnya tidak dapat benar-benar disebut sebagai “khas”, karena semua genetik yang menyusun unsur tubuh dan pikiran kita, adalah hasil turunan dan pewarisan, bukan orisinal diri kita sendiri (dan itulah kabar sekaligus mimpi buruk bagi kita).
Kini, mari kita sekadar mengintip suatu perdebatan sengit yang terjadi secara futuristik, dimana terdakwa pelaku kriminal melakukan pembelaan diri secara holistik dan ilmiah, dengan mengusung tema “saya juga korban dari genetik saya sendiri”, dengan adegan yang menyerupai dagelan sebagai berikut: (jangan remehkan adegan-adegan berikut, karena hanya menyoal waktu untuk benar-benar sampai terjadi dalam realita)
Majelis Hakim : “Jadi, Saudara Terdakwa merasa bahwa Saudara tidak bersalah karena telah melakukan tindak pidana asusila terhadap belasan bocah?
Terdakwa : “Tiada pidana tanpa kesalahan, Yang Mulia. Geen straf zonder schuld, begitu kata orang Belanda. Bagaimana mungkin saya dinyatakan bersalah atas perilaku asusila tersebut, bila saya sendiri ternyata disandera oleh kode genetik saya sendiri?
Majelis Hakim : “Mana buktinya, jika Anda sedang tersandera?
Terdakwa : “Hasil penelitian terhadap DNA saya, menunjukkan adanya pengaruh dari kelainan pada genetik saya. Salah satu kromoson saya yang terkait orientasi seksuil mengalami penyimpangan, sehingga saya adalah orang GILA dalam hal satu ini, dan orang GILA tidak dapat dipertanggung-jawabkan.”
Majelis Hakim : “Jadi maksud Saudara Terdakwa, orang gila itu terbagi-bagi menjadi berbagai macam varian ‘rasa’, ada GILA mencuri meski tidak miskin, ada yang GILA melakukan perbuatan asusila meski sudah punya istri, ada yang GILA membunuh meski dirinya sendiri tidak ingin disakiti. Begitu?
Terdakwa : “Mohon izin untuk menghadirkan keterangan ahli genetik yang telah meneliti kode genetik saya, Pak Hakim!
Ahli Genetik : “Jaksa Penuntut Umum telah salah dalam mendudukkan tersangka yang sebenarnya. Yang bertanggung-jawab atas perilaku yang didakwakan oleh Jaksa, bukanlah Terdakwa yang kini duduk di kursi terdakwa, namun adalah salah satu kromosom yang terdapat dan mengatur hormon yang menjadi pemicu dan penentu cara berpikir sang Terdakwa. Sama seperti ketika kita tidak mampu memilih dilahirkan dengan jenis kelamin apakah saat kita dilahirkan, kita adalah bentukan si ‘Kode Genetik’. Dengan kata lain, Jaksa Penuntut telah salah menuntut orang, demikian Majalis Hakim yang saya muliakan.”
Jaksa Penuntut Umum : “Interupsi! Saya keberatan atas pernyataan Ahli, Yang Mulia Majelis Hakim.”
Ahli Genetik : “Memangnya, Anda atau saya yang paling tahu siapa yang paling bertanggung-jawab atas perilaku manusia. Sikap Anda yang suka membantah itulah, diakibatkan Anda memiliki genetik suka membantah sehingga selalu memproteskan segala hal. Anda juga adalah korban dari genetik Anda sendiri. namun, Anda tidak dapat dipertanggung-jawabakan atas sikap suka protes dan membantah Anda tersebut. Anda menjadi korban dan tersandera tanpa dapat Anda sadari sendiri, dapat kita maklumi bersama, sama persis dengan Terdakwa yang juga menjadi korban dalam semua tragedi yang TIDAK DIINGINKAN ini. Kita semua tentu turut prihatin, namun janganlah mempidana orang yang tidak bersalah, dimana hanya satu dari dari puluhan kromosom baik dalam diri Terdakwa, sungguh menyia-nyiakan.
Majelis Hakim : “Jadi, menurut Saudara Ahli, bagaimana cara kita memberi hukuman pada si aktor pelaku sebenarnya, si kromosom jahat yang paling perlu untuk bertanggung-jawab itu?
Ahli Genetik : “Entahlah, jangan tanya saya. Namun yang jelas, janganlah kita membakar satu lumbung semata hanya karena ada satu ekor tikus di dalam lumbung padi itu, Yang Mulia Bapak Hakim. Salahkanlah orang tua Terdakwa yang telah mewariskan genetik kriminil ini.”
Majelis Hakim : “Terimakasih atas pencerahannya, Saudara Ahli. Jika begitu, mohon untuk dimaklumi dan jangan salahkan saya jika genetik saya memerintahkan saya tanpa dapat saya bantah untuk menghukum mati Saudara Terdakwa sekaligus Saudara Ahli. Sidang dibubarkan.”
Sejatinya setiap individu yang menjadi subjek pengemban kode genetik, memiliki muatan genetik yang tidak sempurna, mengandung sedikit atau banyaknya DNA kode genetik “kriminil”, genetik “gila”, dan genetik “penyakit”, serta berbagai kode genetik “sampah” dan tidak sempurna dan tidak berguna lainnya, sebagai hasil dari evolusi ras manusia, dimana tidak akan pernah evolusi genetik menghasilkan seluruh kromosom genetik yang sempurna karena akan selalu disertai berbagai mutasi dan penyimpangan yang keluar dari lajurnyaitulah kodrat dari evolusi yang bertopang pada mutasi genetik, sehingga tidak akan pernah ada genetika yang sempurna dan tuntas, namun selalu senantiasa berubah dan bermutasi.
Genetika, sebagai kodratnya yang terus bermutasi guna berevolusi, memiliki misi yang bernama “tidak akan pernah tuntas”. Ia terus bergerak dan berubah dari setiap generasi ke satu generasi berikutnya, namun tidak pernah memiliki grand design yang lengkap ataupun tujuan yang hendak dituju sebagai “the final goal”-nya.
Setiap individu pun hanya menerima kode genetik yang diwariskan dari orangtuanya, tanpa dapat memilih ataupun menolak. Kabar buruknya, genetik bermutasi ternyata sekadar demi mutasi itu sendiri semata, tidak ada misi lain dibalik sebuah pergerakan bisu dari sebuah mutasi massal. Tidak ada visi kemanusiaan juga tidak ada visi kejahatan, semua itu hanyalah mutasi belaka, hal yang lumrah dalam sebuah evolusi. Patut juga dicatat, “Genom Project” bukanlah grand design kode genetik manusia yang paling ideal, ia hanyalah “potret” masa lampau dari seorang sampel subjek (sukarelawan) yang dibedah kode genetik tubuhnya.
Seleksi alam menjadikan wanita dengan genetik yang unggul hanya tertarik pada pria yang unggul, dan begitu pula cara kerja sebaliknya, semata merupakan “holocaust alami” sebagai bagian dari evolusi menjaga keberlanjutan genetik yang baik, prima, serta unggul bagi generasi penerus, dan kita inilah hasilnya dari “holocaust massal” nenek moyang dan para leluhur pendahulu kita.
Secara murni, untuk menghapuskan “holocaust” demikian, adalah bertentangan dengan cara kerja evolusi (patut kita ingat kembali, istilah lain dari “evolusi” ialah “seleksi alam”), sepanjang masih dilakukan dengan tanpa paksaan dari pihak manapun, semisal seorang wanita dipaksa menikah dengan seorang lelaki, semata karena dinilai merupakan manusia dengan kecerdasan unggul, sementara manusia-manusia dengan IQ dibawah normal akan dimusnahkan, merupakan “holocaust” yang patut dicegah dan dilarang dalam suatu bangsa beradab.
Meski demikian, ada kabar buruk maka ada pula kabar baiknya. Ketika seseorang mengidab tumor hingga kanker akibat genetik yang bertanggung-jawab atas terbentuknya sel-sel kanker demikian, maka orang tersebut dapat melakukan operasi bedah medis untuk memotong sel-sel kanker. Ketika wajah seseorang perlu “dikoreksi” dari kesalahan akibat genetik seperti “bibir sumbing”, maka bedah plastik estetik wajah (plastic surgery) dapat menjadi solusinya. Itu jugalah, bagi yang merasa “moralis” dengan menentang / mencela pasien “operasi plastik”, maka mengapa diri mereka tidak pernah bersuara lantang menentang operasi pengangkatan tumor?
Singkat kata, kita sebagai manusia tidak pernah menyerah pasrah pada dominasi genetik tubuh kita sendiri—itulah kunci sukses “seleksi alam” yang demikian keras ini. Seorang umat manusia tidak menjadi “korban” dari “taken for granted” dari genetik yang diwariskan padanya. Seorang anak yang lahir dari keluarga kriminil, dapat selalu memilih untuk membuat sejarah dan budaya baru dalam silsilah keluarganya atau sebaliknya “ikut arus”. Kita dapat memilih menjadi subjek pelaku yang berdaya dalam memilih dan membuat keputusan untuk diri kita sendiri, alih-alih menjadi objek yang dibebankan diktatoriat genetik yang menyerupai rezim otoriter tanpa toleransi.
Harus terdapat sesuatu yang berbeda, yang membuat kita berbeda dari dari sebuah “robot” (machine) yang hanya “melulu” mengikuti perintah pemograman yang tidak ubahnya kode genetik. Mungkinkah, kita dapat melakukan negosiasi dengan kode genetik yang bersemayam pada / dalam tubuh kita sendiri? Mungkinkah, DNA kita dapat berkomunikasi dengan kita, membuka diri untuk bermusyawarah, serta berkompromi? Jangan katakan mustahil, namun katakan “Mengapa Tidak?
Sebagai penutup, sebetulnya ilmu psikologi telah lama membuktikan bahwa genetik seorang manusia dapat dikoreksi tanpa perlu melalui rekayasa genetika yang sedemikian canggih dan belum tentu lolos uji moril. Watak kita sekarang ini adalah hasil dari pengasuhan dan pilihan hidup diri kita sendiri dari kecil hingga dewasa, sehingga tidaklah arif selamanya berlindung dibalik kedok dalil “korban” dari dominasi kode genetik diri kita sendiri.
Salah satunya ialah cabang disiplin ilmu psikologi yang populer disebut dengan julukan “grafologi” (graphology), dimana tulisan tangan seseorang mencerminkan watak internal (inner minds and characters) dari seseorang, dimana watak internal demikian dapat dikoreksi dan dididik atau diberi edukasi lewat membuat kebiasaan baru dalam menorehkan dan membuat bentuk huruf yang berlainan dari sebelumnya—semacam terapi karakter pasien yang sangat populer di kalangan psikolog kontemporer.
Terapi berupa latihan secara disiplin untuk mengubah cara / gaya dan bentuk huruf dalam tulisan tangan kita, yang kemudian dibiasakan, pada gilirannya ternyata dapat mengubah watak internal seseorang. Dari contoh sederhana ini saja, kita sudah mampu menangkap pesan tersiratnya, bahwasannya watak internal diri seseorang bukan dominasi yang tidak dapat diubah, diarahkan, dikoreksi, dan dibentuk ulang. Jika kita dapat mengubah yang di dalam diri lewat merubah bentuk dan cara kita menulis dalam keseharian, maka mengubah kode genetik dalam diri kita dapat kita mulai dengan membuat perilaku baru dan membiasakannya, dengan begitu kita sedang “menuliskan ulang” kode genetik diri kita sendiri—dan itulah kabar baiknya.
Dengan demikian, kita menjadi manusia yang berdaya, merdeka dari penjajahan kode genetik diri kita sendiri. Itulah, yang disebut sebagai kekuatan dibalik sebuah “kehendak bebas”. Pada kriminil dihukum pidana bukan karena genetik mereka “sebagaimana adanya”, namun dijatuhi vonis akibat perlakuan sewenang-wenang mereka terhadap “kehendak bebas” diri mereka sendiri yang dicampakkan tanpa penghargaan pada esensi kemanusiaan dalam dirinya yang merupakan seorang manusia. Akhir kata, tanpa “kehendak bebas”, maka tiada lagi yang tersisa dari umat manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.