Ambiguitas Istilah Membunuh, Pembunuhan, dan Pelaku Pembunuh

ARTIKEL HUKUM
Membunuh, dalam terminologi hukum dimaknai sebagai merampas atau menghilangkan nyawa milik orang lain secara melawan hukum. Seorang algojo yang melakukan eksekusi hukuman mati terhadap seorang terpidana mati, tidaklah dapat dipidana, karena eksekusi yang dilakukannya tidak tergolong melawan hukum, namun sekadar menjalankan perintah berdasarkan putusan peradilan, sebagai suatu “alasan pembenar” bagi sang algojo untuk mengeksekusi.
Namun, diluar konteks seorang algojo yang sedang menjalankan perintah vonis peradilan, menjadi cukup dilemetik dan proses dialektiknya masih jauh dari kata selesai ataupun memiliki kesimpulan final. Sebagai contoh, seorang kepala keluarga yang tidak memberi nafkah bagi anggota keluarganya, dapat saja dikategorikan sebagai perbuatan Kekerasan dalam (lingkup) Rumah Tangga (KDRT) yang dapat diancam oleh hukuman pidana penjara—dan memang pernah terjadi atau preseden vonis pidana bagi seorang kepala keluarga akibat menelantarkan istri dan anak-anaknya, memang pernah terjadi, bukan sekadar wacana.
Namun ketika seorang istri atau anak kemudian meninggal dunia akibat kelaparan (tidak mendapat nafkah), belum pernah terjadi seorang kepala keluarga divonis pidana sebagai seorang terpidana dengan dakwaan “pembunuhan”. Hakim maupun Jaksa Penuntut Umum pastilah enggan untuk membuat dakwaan “pembunuhan”, terlebih menjatuhkan vonis sebagai “pembunuh” bagi sang kepala keluarga, mengingat dapat saja sang Terdakwa kemudian membuat pledooi pembelaan diri di persidangan, bahwasannya sang anak dan istri juga bisa mengambil inisiatif untuk bekerja dan mencari nafkahnya sendiri, di era modern ini yang mana seorang wanita berkat era emansipasi sudah banyak dapat menjadi seorang wanita karir ataupun seorang anak remaja yang berhasil dalam “bisnis online” secara mandiri dari segi finansial.
Kita tentu setuju dengan dalil pembelaan diri sang kepala keluarga, bahwa dirinya tidak dapat dituduh sebagai telah melakukan “pembunuhan” akibat tidak memberi nafkah bagi anak maupun istrinya, karena tidak jarang kita jumpai dewasa ini wanita karir maupun anak muda yang sukses “berbisnis online”. Namun, mengapa disaat bersamaan seolah kita membiarkan praktik dengan berwajah “standar ganda”, dimana seorang kepala keluarga dapat dipidana dengan vonis sebagai pelaku KDRT akibat penelantaran berupa tidak memberi nafkah bagi anggota keluarganya? Mengapa alasan yang sama, seolah menjadi tabu untuk dikemukakan dalam kasus-kasus dalam rona berbeda?
Sekarang kita beralih pada isu perihal topik yang lebih sensitif, yakni euthanasia. Seorang pasien, sebelum diberikan tindakan medis berupa operasi kepada organ tubuhnya, akan diberikan formulir yang menyatakan kesediaan dan pemahaman bahwa dirinya akan dilakukan tindakan medis demikian. Jika kemudian sang pasien meninggal dunia akibat tindakan medis invasif yang diterima olehnya, dan sang dokter terbukti tidak melakukan mal-praktik, maka tidak ada yang dapat dipersalahkan, karena sang pasien telah menandatangani surat pernyataan memahami dan kesediaan tindakan medis demikian.
Namun, bagaimana dengan sebuah euthanasia? Kita juga memaklumi, tiada tindakan medis berupa operasi pembedahan yang dapat dijamin keamanannya, artinya selalu terdapat potensi berupa peluang: 1.) sang pasien akan tertolong dan sembuh; 2.) sang pasien akan semakin parah keadaannya atau bahkan meninggal dunia seketika itu juga. Bila kita membuka mata dan mengakui adanya potensi atau peluang nomor ke-2 demikian, maka apakah beda antara semua tindakan medik dengan sebuah formulir kesediaan atau bahkan permohonan sang pasien itu sendiri untuk diberikan tindakan medik berupa euthanasia? Setidaknya sebuah euthanasia tidak memberikan harapan semu, juga tidak berbiaya mahal yang kian menekan anggota keluarga sang pasien yang belum tentu berlatar-belakang ekonomi mampu.
Banyak yang berpendapat, suntikan euthanasia sudah dipastikan akan membunuh dan mematikan, alias “kesengajaan sebagai kepastian, yakni kepastian pasti mati”, alias pembunuhan. Pendapat demikian benar adanya, tidak dapat dipungkiri, namun bila kita gali lebih dalam lagi, ternyata terdapat “zona abu-abu” yang jarang dibahas oleh kebanyakan ulasan ilmiah maupun rambu moril yang melingkupinya. Karena, sejauh dapat kita elaborasi, euthanasia tidaklah sesederhana itu, sehingga sejumlah negara masih memungkinkan praktik euthanasia, sekalipun sebagian negara lainnya di dunia masih melarang praktik euthanasia, termasuk Indonesia.
Contoh yang paling problematik, seorang pasien memohon pada tenaga medik, agar memberikan suntikan euthanasia bagi dirinya, yang telah menderita penyakit yang menyakitkan secara menahun, dengan kecenderungan semakin memburuh, dimana dirinya lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya, disamping meringankan beban bagi keluarganya yang telah sangat letih baik dari segi mental maupun ekonomi yang selama ini membiayai pengobatan sang pasien. Namun, sang pasien hanya memohon disediakan sebuah alat suntik dan satu ampul serum untuk dirinya melakukan suntikan euthanasia sendiri terhadap dirinya sendiri, sehingga menjadi seolah seperti sebuah tragedi “bunuh diri” (suicide).
Jika sang dokter atau instlalasi medik yang menyediakan fasilitas untuk melakukan praktik “bunuh diri” demikian, kemudian turut dipidana sebagai “pelaku penyerta” yang memberikan alat untuk pembunuhan demikian, maka aktor utama pembunuhan tersebut juga haruslah turut didakwa dan divonis, yakni sang mendiang yang notabene pasien yang melakukan euthanasia dengan menyuntik serum beracun mematikan ke dalam tubuhnya sendiri. Mungkin akan terlampau jauh, ketika seorang penjual pisau pun dapat turut dipidana ketika menjual sebilah pisau yang ternyata kemudian digunakan oleh pembelinya untuk memotong urat nadinya sendiri di rumah.
Mungkin akan lebih jauh lagi, ketika kita tarik benang merah sebagai contoh, seorang gadis remaja melakukan percobaan “bunuh diri” akibat “putus cinta”, maka apakah artinya sang pacar yang telah membuat sang gadis “patah hati” lalu memutuskan mengakhiri hidupnya, dapat juga turut dihukum pidana sebagaimana seorang kepala keluarga yang melakukan KDRT dengan cara tidak memberi nafkah alias menelantarkan keluarganya sehingga menderita kelaparan akut.
Sama kompleksnya, ketika seluruh kalangan tenaga medis telah melakukan diagnosa kepada sang pasien, dengan hasil kesimpulan bahwa sang pasien hanya mampu bertahan hidup tidak lama lagi, karena kanker yang diderita sang pasien telah mencapai stadium puncaknya yang tidak lagi tertolong oleh tindakan medik apapun. Vonis demikian sudah dapat dipastikan berdasarkan diagnona medik yang profesional, tanpa lagi memberi harapan palsu bagi pasien maupun anggota keluarganya. Maka, apakah sang pasien tidak berhak untuk memohon dilakukan euthanasia terhadap dirinya? Apapun hasilnya, didiamkan, diberikan tindakan medik, atau diberikan suntikan euthanasia, akhirnya akan sama saja.
Dalam praktik di negeri ini, terhadap seorang pasien yang telah divonis “tidak dapat diselamatkan”, sang dokter akan memberi tahu dan mengusulkan agar sang pasien dibawa pulang ke rumah saja oleh anggota keluarganya, karena tiada gunanya tetap dan terus dirawat di rumah sakit—alias menunggu datangnya kematian di rumah sang pasien. Apakah artinya dokter atau rumah sakit tersebut, memiliki keterlibatan terhadap kematian sang pasien, atau bahkan dituntut mengakibatkan kematian? Lantas, dimana letak perbedaannya dengan euthanasia terhadap pasien yang juga sudah mendapat vonis “tidak terselamatkan”?
Euthanasia, dalam satu sisi, hanyalah proses guna mempercepat proses menyakitkan yang mahal harganya demikian, akan dianggap sebagai solusi paling cerdas dan paling masuk akal bagi seorang pasien yang telah kehilangan harapan—terlepas dari pandangan agama yang menyatakan bahwa bunuh diri adalah sebuah dosa besar, maka kita pun mampu berkata balik, seorang istri atau anak yang mati karena kelaparan, adalah salahnya sendiri akibat “bunuh diri” dengan tidak berusaha bekerja dan mencari nafkah sendiri alih-alih bergantung pada sosok seorang suami atau ayah.
Belum lagi ketika kita mempertanyakan pertanyaan dialektik, “apakah segala upaya percobaan bunuh diri, selalu berhasil atau berakhir pada kematian?” Suatu ketika, penulis mencoba mengutarakan, bahwasannya seseorang yang menghisap bakaran tembakau sama artinya menuju kematian, alias “bunuh diri”. Maka apakah artinya, sang pelaku industri tembakau maupun toko ritel yang menjual produk tembakau, juga turut dipidana sebagai pelaku yang mempromosikan aksi “bunuh diri perlahan” demikian? Bahkan, lebih jauh lagi, mati perlahan dengan biaya tinggi dalam pengobatannya, negara dan rakyat pembayar pajak yang harus menanggung subsidi biaya berobat sang penghisap tembakau, sementara yang pada gilirannya menikmati keuntungan ialah sang industri tembakau.
Terdapat sanggahan yang seolah terdengar cerdik, menyebutkan bahwa orang-orang yang kecanduan tembakau, sekalipun setiap harinya menghisap berkotak-kotak linding produk tembakau, si pecandu tidak selalu berkonotasi berujung kematian akibat penyakit yang ditimbulkan oleh produk tembakau. Namun juga terdapat kontra-sanggahan demikian yang sangat cerdas yang penulis dapatkan oleh seorang dokter, yang menyebutkan bahwa : “Orang yang bunuh diri sekalipun, belum tentu mati.”
Kita tahu, setiap perbuatan mengandung konsekuensi dan resikonya masing-masing. Hidup adalah persoalan serangkaian pilihan yang kita buat dan pilih. Jika kita terlampau melebih-lebihkan pemberitaan kecelakaan pesawat terbang yang mengakibatkan kematian seluruh penumpang satu pesawat tersebut, maka kita akan membuat kesimpulan bahwa selamanya kita tidak akan naik pesawat?
Jika kita membaca laporan statistik, kecelakaan maut di jalan raya yang melibatkan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat, ternyata jauh lebih fantastis angkanya ketimbang kecelakaan yang melibatkan pesawat terbang. Namun apakah artinya, kita tidak akan turun ke jalan dengan menaiki atau mengendarai kendaraan bermotor?
Jika kemudian kita mengalami kecelakaan lalu-lintas, apakah artinya kita sedang “bunuh diri” dengan tetap menumpang atau mengendarai kendaraan bermotor sekalipun kita telah mengetahui bahwa jalanan ialah zona yang sangat mematikan? Pada dasarnya, kecelakaan dapat diantisipasi dan dimitigasi. Jika setiap pengguna jalan tertib dalam berkendara, memastikan kinerja kendaraan yang mereka lajukan, maka dapat dipastikan kecelakaan sangat minim dapat terjadi.
Artinya, kecelakaan lalu-lintas adalah kecelakaan dengan faktor yang sangat terukur dan dapat dikendalikan. Sangat berbeda dengan aksi menghisap produk tembakau, dimana penelitian telah menunjukkan angka signifikan atau meningkatnya potensi menderita penyakit mematikan akibat menghisap produk tembakau. Dari sudut pandang inilah, menghisap produk tembakau dapat disimilarkan dengan aksi euthanasia itu sendiri.
Kini kita tiba pada bahasan pamuncak. Alkisah sebuah keluarga yang tergolong keluarga menengah, mengalami tragedi berupa jatuh sakitnya salah satu anggota keluarga mereka, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Masalahnya, selama bertahun-tahun sang pasien dalam kondisi koma, tanpa ada kepastian akan sembuh, bahkan dokter yang menangani pun hanya dapat berupaya berupa menyambung nyawa sang pasien dengan berbagai selang infus dan instrumen medik berbiaya mahal lainnya.
Sang pasien hanya tergeletak layaknya mayat hidup, dengan alat penyokong hidup di instalasi rawat inap medik rumah sakit yang berbiaya sangat tinggi. Keluarga sang pasien “membanting tulang” mencari penghasilan guna membiaya biaya rawat inap sang pasien. Bertahun-tahun terus berlalu dengan kondisi demikian, tanpa ada tanda-tanda perbaikan keadaan. Keluarga dari sang pasien, mulai terlilit hutang akibat biaya medik sang pasien, sekalipun mereka telah bekerja dari pagi hingga subuh. Bahkan sebelum sang pasien nantinya meninggal dunia, keluarga sang pasien kini seolah sudah mendapat vonis hukuman yang menyakitkan.
Perasaan letih dan putus asa mulai menjangkiti keluarga tersebut. Sayangnya, sang pasien tidak dapat berbicara untuk meminta euthanasia, karena dirinya terkapar tanpa kesadaran, koma, sejak bertahun-tahun lampau. Karenanya, sang pasien juga tidak dapat berinisiatif mencabut alat penopang hidup yang berada di sisi ranjang kamar rawat inapnya. Dengan demikian, waktu berjalan bagaikan neraka bagi sang pasien maupun keluarganya.
Bagaimana dengan manajemen dan dokter rumah sakit? Mereka hanya mau tahu, apakah keluarga sang pasien membayar biaya rawat inap sang pasien ataukah tidak. Semua ini bisnis, bahkan kegiatan sosial pun butuh dana. Semua ini rasional, tidak ada yang dapat dipersalahkan. Ketika rumah sakit dituntut tetap melayani tanpa dapat menagih biaya medik, sama artinya Anda menuntut keluarga sang dokter mati “makan batu”, dan Andalah pelaku “pembunuhan” keluarga sang dokter.
Sampai pada akhirnya, salah seorang anggota keluarga sang pasien yang telah demikian putus asa, letih akibat kerja keras yang seolah sia-sia, dan frustasi akibat terlilit hutang yang kian menggunung guna membiayai perawatan sang pasien, memutuskan untuk mencabut alat penopang hidup sang pasien. Jika sang pasien kemudian meninggal akibat alat penopang hidup itu dicabut dari tubuhnya, apakah sang anggota keluarga tersebut, akan dipidana dengan dakwaan “pembunuhan” sebagai seorang “pembunuh” karena semata ada orang yang “terbunuh” (sang pasien yang diputus dari alat medik berbiaya mahal tersebut)? Jika kita menyatakan, delik unsur-unsur pembunuhan telah terpenuhi, berarti seluruh warga negara berlatar-belakang ekonomi kelas menengah terlebih miskin, berpotensi tinggi dikriminalisasi.
Sebaliknya, ketika keluarga sang pasien tidak melakukan pembayaran terhadap tagihan biaya medik demikian, lalu pihak rumah sakit mengambil kebijakan seketika memutus layanan medik yang mengakibatkan sang pasien meninggal dunia, apakah rumah sakit, dokter, dan manajemen rumah sakit tersebut dapat dituntut secara pidana sebagai pelaku pembunuhan? Sekali lagi, praktik hukum di negeri kita sangat kental nuansa “standar ganda”. Belum pernah terjadi, putusan pemidanaan terhadap rumah sakit maupun tenaga mediknya akibat memutus fasilitas medik terhadap pasien yang menunggak biaya penangangan medik.
Lebih jauh lagi, ketika kita menarik tanggung jawab negara, dimana konstitusi menyatakan: fakir miskin dan anak terlantar, dipelihara oleh negara. Artinya, anak-anak yang terlantar akibat tidak diberi nafkah oleh orangtuanya, maupun orang-orang miskin yang terjerat kemiskinan, menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus mereka. Namun, kembali lagi, pernahkah kita menemukan satu pun putusan pemidanaan yang mendudukkan presiden negeri ini sebagai Terdakwa atau Terpidana kasus “pembunuhan” akibat meninggal dunianya seorang tuna wisma fakir miskin ataupun anak terlantar?
Tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk membuat kesimpulan final, akan tetapi sekadar membuka wacana awal. Namun, setidaknya penulis hendak mengungkapkan, bahwa masalah mencabut / merampas nyawa, bukanlah sebuah persoalan yang sederhana, dan tidak sesederhana yang tampak di permukaan.
Banyak faktor emosi serta mental yang terlibat di dalamnya (satu kalimat tidak akan cukup untuk mewakili perasaan mereka yang terlibat di dalamnya), yang hanya dapat dipahami oleh sang aktor para pelaku yang terlibat, bukan hak orang luar untuk membuat penilaian ataupun komentar bernada miring, terlebih intervensi hukum yang kerap menutup matanya dari latar-belakang sosial kejadian demikian, dan semata menerapkan pasal-pasal pemidanaan disertai vonis secara linear.
Tindakan putus asa orang yang putus asa, selalu tidak akan pernah terdengar ideal, karena hidup ini memang jauh dari kata “ideal”. Akhir kata, hendaknya kita tidak pandai dalam membuat komentar terlebih menghakimi kehidupan orang lain, namun mulai mau untuk memahami dan berempati. Belum tentu kita akan lebih “elegan” dari mereka, ketika kita ditempatkan pada posisi yang serba menyudutkan seperti yang mereka alami sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.