Mengecoh Psikologi Konsumen lewat Slogan Promosi Usaha yang Tidak Mencerminkan Fakta Sebenarnya dari Harga Produk maupun Kualitas Barang

LEGAL OPINION
“Perjanjian mencakup tertulis maupun tidak tertulis, termasuk di dalamnya adalah tindakan bersama (concerted action) pelaku usaha.”
 (Kaedah Hukum bentukan Preseden, best practice Praktik Peradilan peradilan Persaingan Usaha Tidak Sehat)
Question: Sebagai masyarakat dan juga sebagai konsumen atau pembeli produk berupa kendaraan motor roda dua, kami terlena dan percaya begitu saja pada salah satu produsen atau pabrikan motor asal Jepang yang mengkampanyekan slogan “ONE HEART” dengan “Salam SATU HATI”-nya. Seolah-olah, pihak produsen kendaraan bermotor tersebut benar-benar cinta dan baik pada kita semua selaku warga masyarakat dan konsumennya.
Namun baru-baru ini barulah terkuak, ternyata di mata mereka (sang produsen kendaraan bermotor), kami selaku masyarakat dan konsumen semata dipandang sebagai objek “sapi perahan”, terbukti dari sudah adanya vonis KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang menguak modus tersistematis adanya kesepakatan banderol harga antara para produsen kendaraan bermotor tersebut. Mengaku-ngaku sebagai “ONE HEART”, “salam SATU HATI”, ternyata melakukan eksploitasi terhadap konsumen yang didudukan sebagai “sapi perahan”, berarti si produsen tidak “loyal” ke masyarakat, tapi masyarakat dibuat “loyal” kepada sang produsen.
Merasa terjebak oleh segala slogan “gimmick” semacam itu, mengapa hukum tidak menjadikan slogan yang bertendensi mengecoh sebagai bumerang bagi pihak produsen itu sendiri, bagaimana pandangan hukumnya tentang hal ini, sementara kita tahu KPPU hanya dapat menghukum dengan jumlah nominal sanksi denda maksimum yang hanya sekian miliar Rupiah, sementara keuntungan yang diraup dari usaha tidak sehat demikian dari masyarakat selaku konsumen dapat mencapai ratusan miliar Rupiah atau bahkan triliunan Rupiah?
Teknologi motor roda dua sudah berumur lebih dari satu abad lamanya, namun mengapa juga negeri ini seolah tidak mampu membuat merek dan produksi motor anak bangsa sendiri, sehingga menjadi ‘babak-belur’ dieksploitasi bangsa penjajah (secara ekonomi)? Adalah tidak masuk akal, jika sampai kapan pun negeri ini masih dikuasai cengkraman dan pendiktean harga oleh pabrikan motor asing. Sebetulnya itu tidak mungkin terjadi bila saja karyawan perusahaan asing, yang sesama orang Indonesia, tidak justru mengikuti dan turut-serta menjajah bangsanya sendiri, seolah belum cukup juga belajar dari kesalahan masa lampau.
Brief Answer: Sudah saatnya pemerintah selaku otoritas negara menerapkan kebijakan atau membentuk peraturan, agar pihak produsen maupun penjual tidak membuat slogan-slogan yang seolah “berjiwa sosial”. Bisnis adalah bisnis, jangan dibalut dengan kemasan “sosial” atau “berjiwa baik hati” lainnya seperti slogan atau jargon “ONE HEART” demikian oleh salah satu produsen kendaraan bermotor yang kini merajai jalanan di Indonesia—sementara sang produsen tidak berkontribusi dalam membangun, menambah baru, ataupun merawat infrastruktur jalan.
Bila senyatanya pemakaian slogan demikian dapat mendatangkan profit usaha, serta tumbuhnya loyalitas konsumen, namun disaat bersamaan tiada loyalitas dari produsen kepada konsumennya secara dua arah bertimbal-balik (resiprosikal), maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana “penipuan”—itulah konsekuensi yuridis pemakaian slogan yang cenderung mengecoh, dengan tipu-muslihat serta martabat palsu seolah “baik hati”, atau “adalah kawan”, lewat “Salam SATU HATI”-nya, yang ternyata hanya untuk memanipulasi psikologi serta mengeksploitasi masyarakat selaku calon konsumen potensial maupun para konsumennya.
Benar bahwa terdapat kelemahan dalam rezim penegakan hukum anti usaha tidak sehat yang selama ini diterapkan oleh KPPU, yakni sebagaimana regulasi terkait Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat saat ulasan ini disusun, denda maksimum yang dapat dijatuhkan oleh negara terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan atau pemufakatan harga secara “jahat” atas pangsa pasar yang dominan dikuasai oleh para pihak produsen yang bersekongkol, hanya sebatas Rp. 25.000.000.000;- sekalipun keuntungan ilegal (secara melawan hukum) yang dihimpun dari dana masyarakat (konsumen) atas praktik ilegal demikian dapat mencapai jauh diatas nilai penghukuman derajat paling maksimum yang diatur oleh undang-undang terkait.
Karenanya, secara kalkulasi stretegi bisnis yang tidak mengedepankan kaedah etis, sekalipun sejatinya sang produsen telah menjelma “korporasi raksasa” (namun ternyata dibangun dari praktik usaha tanpa “etika bisnis”), ancaman sanksi penghukuman oleh KPPU sama sekali tidak berpengaruh terhadap margin profit dari persaingan usaha tidak sehat demikian—alias tidak membawa efek jera. Itulah yang disebut dengan “hukum tumpul bagi kapitalis namun tajam bagi masyarakat kelas bawah”.
Haruslah terdapat instrumen pemidanaan disamping sanksi denda maupun sanksi administratif, guna membuat efek jera para produsen “nakal” yang mengeksploitasi konsumennya lewat segala tipu-muslihat berupa persekongkolan jahat yang bahkan disertai jargon kemasan semacam slogan-slogan bernuansa “jebakan” demikian—seperti “belanja di sini pasti untung” yang ternyata lebih mahal daripada harga yang dijual kompetitornya, “big sale” yang ternyata produk hasil mark-up label harga, “hanya untuk 10 pembeli pertama” yang ternyata hanya gimmick guna mempermainkan psikologi calon konsumen, atau semacam kalimat bombastis “PROMOSI” yang ternyata gimmick pengecoh belaka.
PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya dari Assegaf Hamzah, bahkan mengajukan upaya hukum terhadap putusan KPPU, setelah KPPU membongkar modus Yamaha yang memberikan data palsu dalam persidangan. Kejamnya kalangan profesi Advokat, hendak memasang “badan” guna membebaskan pengusaha “jahat” sekalipun itu artinya melawan kepentingan atau menjadi “musuh” bagi masyarakat sebangsa berupa jutaan konsumen produk yang dijual sang produsen yang selama ini dibiarkan mendominasi pangsa pasar kendaraan bermotor roda dua di Tanah Air. Itukah yang disebut dengan “officium nobile”, alias profesi yang mulia, melawan dan bertentangan dengan kepentingan publik luas?
PEMBAHASAN:
“Berkaitan dengan dampak terjadinya kartel, Tim Investigator menyatakan yang pada pokoknya bahwa kartel yang terjadi mengakibatkan kenaikan keuntungan Terlapor I, meskipun faktanya angka penjualannya menurun. Dan kartel tersebut mengakibatkan konsumen tidak mendapatkan harga yang kompetitif.”
“Majelis Komisi berpendapat bahwa perjanjian mencakup tertulis maupun tidak tertulis, termasuk di dalamnya adalah tindakan bersama (concerted action) pelaku usaha.”
“Pemberian mandat atau delegasi tidak menghapuskan kewenangan orang yang memberikan mandat dan juga tidak menghilangkan tanggung jawab hukum dari pemberi mandat.”
(Pertimbangan hukum dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04/KPPU-I/2016 tanggal 30 Januari 2017.)
Sifat tipu-muslihat dalam pembuatan jargon maupun slogan usaha, dapat menjadi trik dagang yang bernuansa “penipuan” berujung “kartel harga”, bukan merupakan tuduhan belaka namun tampak konkret dan dapat dibuktikan sebagaimana SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha perkara persaingan usaha tidak sehat register Nomor 04/KPPU-I/2016 tanggal 30 Januari 2017, antara:
1. PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing, sebagai Terlapor I; dan
2. PT. Astra Honda Motor, selaku Terlapor II.
Kedua proden kendaraan bermotor tersebut diduga melanggar norma Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang mengatur larangan: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Dugaan pelanggaran ialah terkait dengan pemasaran Sepeda Motor jenis Skuter Matik 110–125 CC di wilayah Indonesia. Dimana terhadap dugaan adanya praktik persaingan usaha tidak sehat demikian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjatuhkan amar putusan dengan didahului pertimbangan hukum, sebagai berikut:
TENTANG HUKUM
“Setelah mempertimbangkan Laporan Dugaan Pelanggaran, Tanggapan masing-masing Terlapor terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran, keterangan para Saksi, keterangan para Ahli, keterangan para Terlapor, surat-surat dan atau dokumen, Kesimpulan Hasil Persidangan yang disampaikan baik oleh Investigator maupun masing-masing Terlapor, Majelis Komisi menilai, menganalisis, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh para Terlapor;
3. Tentang Aspek Hukum Formil;
3.1 Bahwa dalam kesimpulannya, para Terlapor pada pokoknya menyatakan bahwa:
3.1.1 Bahwa tim investigator telah melanggar prinsip due process of law dalam proses penyelidikan, karena mendatangi atau memasuki kantor Terlapor I, meminta dokumen, serta meminta keterangan pegawai Terlapor I (in casu Yutaka Terada) tanpa pemberitahuan resmi atau panggilan atau tanpa sepengetahuan Terlapor I;
3.1.2 Bahwa selama proses pemeriksaan atau persidangan, tim investigator telah memberikan pernyataan atau pendapat yang berusaha membentuk opini publik yang merugikan Terlapor I;
3.1.3 Bahwa selama proses persidangan tim investigator telah menyampaikan rahasia perusahaan Terlapor I (khususnya bagian market performance); [Note SHIETRA & PARTNERS : Seluruh bukti terkait kejahatan korporasi, tentunya jelas distempel “rahasia” oleh pelaku usaha manapun. Tiada satupun perusahaan dengan kegiatan ilegalnya yang membuka fakta secara terang-benderang kepada publik, sehingga dalil demikian mencerminkan kedangkalan argumentasi kuasa hukum pihak Terlapor.]
3.1.4 Bahwa selama proses persidangan tim investigator tidak dapat menghadirkan saksi Yutaka Terada sehingga keterangan saksi tersebut dalam proses penyelidikan tidak dapat dijadikan alat bukti;
3.1.5 Bahwa selama proses persidangan tidak dibuka dokumen berita acara penyelidikan;
3.1.6 Bahwa dugaan pelanggaran yang disampaikan investigator kurang pihak (Terlapor) karena tidak mengikut-sertakan Produsen skutik lain;
3.2 Bahwa berkaitan dengan kesimpulan para Terlapor terkait dengan due process of law dalam proses penyelidikan, Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut:
3.2.1 Bahwa proses penanganan perkara dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 secara khusus didasarkan pada Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 (selanjutnya disebut “PERKOM Nomor 1 Tahun 2010”) tentang Tata Cara Penanganan Perkara;
3.2.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (6) PERKOM Nomor 1 Tahun 2010 dinyatakan : “Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian, dan hasil pengawasan.”
3.2.3 Bahwa oleh karena itu secara teknis, kegiatan penyelidikan dapat dilakukan oleh tim investigator baik di dalam kantor (pemeriksaan di ruang penyelidikan) melalui panggilan maupun dilakukan oleh tim investigator di luar kantor (penyelidikan lapangan);
3.2.4 Bahwa hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa Investigator dalam melakukan penyelidikan melakukan langkah-langkah paling sedikit sebagai berikut:
a. Memanggil dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, dan Pihak Lain yang Terkait;
b. Memanggil dan meminta keterangan Saksi;
c. Meminta pendapat Ahli;
d. Mendapatkan surat dan atau dokumen;
e. Melakukan pemeriksaan setempat;
3.2.5 Bahwa untuk diketahui pada proses penyelidikan Investigator sudah memenuhi asas-asas due process of law dimana Investigator dalam melakukan melakukan penyelidikan setempat didasari surat tugas;
3.2.6 Bahwa berdasarkan alat bukti tidak ditemukan adanya tindakan pengambilan dokumen secara paksa di tempat oleh investigator, pada faktanya tim investigator adalah melakukan pemeriksaan setempat terhadap saksi Sdr. Yutaka Terada pada tanggal 22 Januari 2015 berdasarkan Surat Tugas;
3.2.8 Bahwa atas dasar peraturan tersebut maka Majelis Komisi menilai proses penyelidikan dan alat bukti yang diperoleh selama proses penyelidikan telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
3.3 Bahwa berkaitan dengan kesimpulan Terlapor terkait pendapat atau pernyataan investigator yang merugikan kepentingan Terlapor, maka Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
3.3.1 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 dinyatakan pada pokoknya dinyatakan bahwa sidang Majelis Komisi dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum;
3.3.2 Bahwa oleh karena itu seluruh fakta dan/atau dugaan pelanggaran yang disampaikan selama proses persidangan tentu diketahui secara umum sehingga pernyataan para pihak termasuk Investigator sepanjang merupakan fakta dalam proses persidangan maka Majelis Komisi menilai hal tersebut tidak melanggar tata cara penanganan perkara (persidangan);
3.4 Bahwa berkaitan dengan kesimpulan Terlapor terkait dengan dibukanya dokumen rahasia perusahaan, Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
3.4.1 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf i Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ditetapkan bahwa kewenangan Komisi dalam hal ini Majelis Komisi antara lain meliputi : mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
3.4.2 Atas dasar ketentuan tersebut Majelis Komisi memiliki kewenangan untuk menentukan alat bukti termasuk dokumen yang diklasifikasikan sebagai rahasia atau tidak;
3.4.3 Bahwa Majelis Komisi menilai bahwa fakta yang disampaikan oleh investigator dalam proses persidangan tidak diklasifikasikan sebagai informasi rahasia, terlebih lagi fakta tersebut memiliki relevansi dengan proses pembuktian dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh para Terlapor;
3.4.4 Bahwa dengan demikian Majelis Komisi menilai dokumen yang dibuka oleh investigator dalam persidangan tidak termasuk dokumen rahasia perusahaan;
3.5 Bahwa berkaitan dengan ketidak-hadiran saksi (Yutaka Terada) dalam persidangan, Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
3.5.1 Bahwa dalam proses persidangan, tim investigator telah mengajukan Sdr. Yutaka Terada (selaku Mantan Direktur Marketing Terlapor I) sebagai saksi yang menguatkan dugaan pelanggaran;
3.5.2 Bahwa pada tanggal 1 November 2016 dan tanggal 21 November 2016, Majelis Komisi telah memanggil saksi Sdr.Yutaka Terada secara patut untuk hadir dalam Sidang Majelis Komisi, namun yang bersangkutan tidak hadir;
3.5.3 Bahwa dalam proses penyelidikan, tim investigator telah memeriksa Sdr. Yutaka Terada sebagai saksi pada tanggal 16 Januari 2015 (berdasarkan surat panggilan No. ... , tanggal 22 Januari 2015 (berdasarkan surat tugas No. ... , tanggal 4 Februari 2015 (berdasarkan surat panggilan No. ... , tanggal 25 Februari 2015 (berdasarkan surat panggilan No. ... dan tanggal 18 Juni 2015 (berdasarkan surat panggilan No. ...;
3.5.4 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf i Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ditetapkan yang pada pokoknya bahwa Komisi dalam hal ini Majelis Komisi memiliki kewenangan untuk menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
3.5.5 Bahwa oleh karena Majelis Komisi tidak serta merta mengabaikan keterangan Sdr. Yutaka Terada yang tertuang dalam berita acara penyelidikan sebagai saksi dalam proses penyelidikan karena telah dilakukan sesuai dengan peraturan berlaku dan berita acara tersebut telah disampaikan pada proses persidangan majelis komisi yang terbuka untuk umum;
3.5.6 Dengan demikian Majelis Komisi menilai bahwa Berita Acara Penyelidikan atas nama Sdr.Yutaka Terada tetap dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti karena telah diperoleh sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; [Note SHIETRA & PARTNERS : Pihak pemberi keterangan tidak hadir dalam proses persidangan, sehingga dianggap haknya untuk membantah BAP telah dilepaskan.]
3.6 Bahwa berkaitan dengan kesimpulan Terlapor terkait dengan tidak dibukanya dokumen berita acara penyelidikan, maka Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
3.6.1 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa proses penyelidikan pada pokoknya merupakan serangkaian kegiatan untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk tujuan kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi atau laporan hasil kajian / penelitian / pengawasan;
3.6.2 Bahwa oleh karena masih bersifat proses mendapatkan alat bukti, maka proses penyelidikan dilakukan secara tertutup dan rahasia karena tidak semua data, dokumen maupun informasi yang diperoleh selama proses penyelidikan relevan atau terkait dengan dugaan pelanggaran; {Note SHIETRA & PARTNERS : Argumentasi yuridis itu jugalah, yang sejatinya memperlihatkan pada kita bahwa sejatinya proses penetapan sebagai Tersangka dalam perkara pidana sama sekali tidak layak menjadi objek praperadilan, bahkan proses penyelidikan ataupun penyidikan dapat sewaktu-waktu diamputasi oleh praperadilan dengan alasan alat bukti yang dimiliki baru berjumlah satu buah, bukan dua buah yang menjadi alat bukti minimum. Untuk menetapkan status seseorang sebagai Tersangka yang dicurigai agar dapat digelegah dan disita, dibutuhkan bukti permulaan yang cukup setidaknya satu alat bukti, dimana alat bukti berikutnya masih proses “on going” sehingga adalah prematur bila proses yang masih “on going” diamputasi akibat praperadilan oleh seorang Tersangka.]
3.6.3 Bahwa oleh karena itu, Majelis Komisi berpendapat tidak dibukanya berita acara penyelidikan dalam proses persidangan tetap dapat dibenarkan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam rangka menjaga kerahasiaan informasi yang disampaikan dalam proses penyelidikan yang tidak relevan dengan dugaan pelanggaran;
4. Tentang Industri Sepeda Motor Skutik;
4.1 Bahwa sepeda motor skuter matik (skutik) pertama kali masuk ke pasar sepeda motor roda dua di Indonesia sekitar tahun 2000;
4.3 Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa peta industri kendaraan bermotor roda dua di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
4.3.1 Bahwa terdapat 6 (enam) perusahaan pemegang merek produk kendaraan bermotor roda dua;
4.3.2 Bahwa kapasitas total produksi secara nasional adalah sebesar 9.620.000 unit;
4.3.3 Bahwa kontribusi atas GDP Otomotif dan Manufaktur adalah sebesar 29% (dua puluh sembilan persen);
4.3.4 Bahwa tingkat kandungan lokal adalah sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
4.3.5 Bahwa jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah lebih dari 2.000.000 (dua juta) tenaga kerja manusia;
4.3.6 Bahwa total populasi kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) kurang lebih 86.000.000 (delapan puluh juta) unit kendaraan;
4.3.7 Bahwa kontribusi pajak dan pungutan adalah sebesar Rp. 7.000.000.000.000,- (tujuh trilliun rupiah);
4.3.8 Bahwa nilai investasi terkait dengan industri kendaraan bermotor roda dua adalah US$ 7.000.000.000 (tujuh milyar dollar Amerika Serikat);
4.4 Bahwa pangsa pasar sepeda motor skuter matik (skutik) pada tahun 2014 diketahui sebagai berikut: ...;
4.5 Bahwa Majelis Komisi menilai industri motor skutik merupakan industri dengan struktur oligopoli ketat sehingga merupakan salah satu industri yang memerlukan pengawasan agar tidak terjadi abuse of market power dan industri tersebut bisa menjadi efisien;
4.6 Bahwa Majelis Komisi menilai Homogenitas Produk dalam kaitannya dengan persaingan (anti trust) bukan terletak pada karakteristik ataupun diferensiasi produk melainkan terletak pada target pasar yang dimasuki dan wilayah edar geografis;
5. Tentang Pasar Bersangkutan;
5.1 Bahwa dalam Laporan Dugaan Pelanggaran dan Kesimpulannya, Investigator menetapkan pasar bersangkutan dalam Perkara A quo adalah Sepeda Motor jenis Skuter Matik 110 – 125 CC yang dipasarkan di seluruh wilayah Indonesia;
5.2 Bahwa atas penentuan pasar bersangkutan tersebut, Terlapor I dan Terlapor II tidak secara tegas menyatakan pendapatnya mengenai pasar bersangkutan (pasar produk dan pasar geografis) namun hanya mempermasalahkan metode penentuan pasar bersangkutan;
5.3 Berkaitan dengan pasar bersangkutan tersebut Majelis Komisi berpendapat sebagai berikut;
5.3.1 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999 didefinisikan mengenai pasar bersangkutan dengan menyatakan; “Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”
5.3.2 Atas dasar ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa pasar bersangkutan memiliki 2 (dua) dimensi yang meliputi:
5.3.2.1 Dimensi produk (relevant product market), atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut;
5.3.2.2 Dimensi wilayah (relevant geographic market), yang terkait dengan jangkauan atau daerah pemasaran;
5.3.3 Pasar produk:
a. Secara umum pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan suatu produk merupakan substitusi ataukah tidak biasanya dilihat dari sisi kegunaan (fungsi), karakteristik dan harga;
b. Dari sisi kegunaan (fungsi) secara umum Sepeda Motor termasuk jenis skutik merupakan alat transportasi sehingga tidak memiliki perbedaan fungsi baik motor skutik maupun motor yang lain;
c. Dari sisi karakteristik sepeda motor diklasifikasikan menjadi;
(1) Underbone: tipe sepeda motor ini di Indonesia sering dikenal dengan sepeda motor bebek dimana perpindahan transmisi gigi atau kecepatan secara manual.
(2) Sport: tipe sepeda motor yang dikhususkan untuk penggunaan balap dan kecepatan tinggi.
(3) Skuter Matik (Skutik) : sepeda motor ini menggunakan transmisi otomatis untuk perpindahan gigi atau kecepatan;
5.3.4 Bahwa fakta tersebut diperkuat dengan keterangan Saksi Sdr. Dyonisius Beti (selaku Vice Presiden Terlapor I) dalam Sidang Majelis Komisi tanggal 22 November yang menyatakan;
Pertanyaan : Stressingnya bukan pada aspek teknologi, tapi pada waktu itu ada upaya yang militant persaingannya antara produk eropa ducati menemukan miss dalam black box, hal yang setelah sekian puluh tahun para marketer brand revolutionary sehingga memenangkan Indonesia?
Jawaban : Jadi tadi hanya bacgroundnya tentang inovasi marketer. Indonesia ini juga berevolusi waktu awal mula masuk motor masih sangat sederhana, mesin masih 50cc 100cc, tapi perkembangan jalan mulai lebih mulus lebih banyak sehingga membutuhkan motor yang lebih besar, pada zaman itu hanya ada motor bebek, lalu ada inovasi motor sport, dan lahirlah bebek sport yang akhirnya merajai motor Indonesia. Lalu pada Tahun 2002 yamaha mencoba memakai mio tadi, wanita, otomatic, motor pada saat itu ada yang pakai kopling ada yang tidak sedangkan wanita maunya otomatik tinggal duduk dan jalan begitu. Kita kembangkan inovasi pertama adalah otomatic namun tahun pertama jualannya jeblok, kita butuh penetrasi, waktu kita jual motor ke wanita, marketer Indonesia harus mencari karakter orang Indonesia, karena wanita Indonesia mau beli motor harus tanya bapak atau abangnya dan bapak atau abangnya bilang naik motor itu bahaya. Itulah yang kita tidak berhasil, generasi pertama motor matic kami gagal. Lalu kita develop lagi lebih kecil, dahulu kita sebut nouvo, lalu kita buat lebih kecil lagi dan lebih terjangkau, lalu iklan kita bukan iklan kepada si customer, kita iklan kepada orang tuanya, itu saya mengadaptasi waktu motor pertama kali diperkenalkan namun gagal, lalu ada nenek yang justru naik motor, lalu naik motor orang lihat dan orang melihat nenek saja aman.
5.3.5 Bahwa atas dasar fakta dan analisa tersebut maka Majelis Komisi sependapat dengan pasar produk yang ditetapkan investigator yaitu Sepeda Motor Jenis Skuter Matik (Skutik) 110-125 CC karena pertimbangan aspek karakteristik;
5.3.6 Bahwa penentuan pasar bersangkutan tersebut juga relevan dengan perilaku yang diduga dilakukan oleh para Terlapor yang dipermasalahkan dalam perkara a quo;
5.3.7 Pasar Geografis;
5.3.7.1 Berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tidak ditemukan adanya hambatan baik dari sisi teknologi maupun regulasi bagi para produsen sepeda motor untuk memasarkan produknya di seluruh wilayah Indonesia selama produsen tersebut telah memiliki jaringan dealernya;
5.3.7.2 Berdasarkan alat bukti yang diperoleh selama proses persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa tidak ada hambatan dari aspek regulasi yang prinsip yang mengakibatkan hambatan berarti dalam pemasaran produk para terlapor ke seluruh wilayah Indonesia; [Note SHIETRA & PARTNERS : Merasa belum puas sudah merajai pasar kendaraan bermotor dengan jejaring dinasti bisnisnya yang kuat berkuasa, lalu menyalah-gunakan posisi yang menguntungkan tersebut, berbuntut ‘bumerang’.]
5.3.7.3 Dengan demikian pasar geografis pada perkara ini adalah seluruh wilayah Indonesia;
5.3.8 Selanjutnya berkaitan dengan pendapat Terlapor yang menyatakan bahwa penentuan pasar bersangkutan harus didasarkan pada penelitian dan atau survey konsumen maka Majelis Komisi berpendapat sebagai berikut;
5.3.8.1 Berdasarkan konsepsi dan standard practice yang sudah berjalan, penentuan pasar bersangkutan bisa ditelusuri melalui 2 hal, i) product definition, sepenuhnya bisa ditentukan melalui fungsi-fungsi dan kategori yang terkait; dan ii) substitubility). Untuk substitubility bisa ditelusuri melalui aspek yang menjadi penyebabnya, misal product class, product attitude, market segment dan persepsi serta preferensi konsumen, untuk produk-produk yang benar-benar baru biasanya persepsi dan preferensi konsumennya belum jelas benar, karena belum terbentuk, dalam situasi ini jika diinginkan untuk mengetahui pasar bersangkutan, maka harus dilakukan melalui penelitian. Adapun dalam kasus a quo, produk skutik sudah lama dikenal oleh konsumen, sehingga product class, product attitude, beserta segment yang dimasukinya sudah sepenuhnya diketahui; [Note SHIETRA & PARTNERS : Menyalah-gunakan informasi, data, serta pengetahuan karakteristik pasar.]
5.3.8.2 Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan fakta dan analisa terkait substitusi produk dalam perkara a quo bukan antara 110 cc dan 125 cc melainkan antara 110 cc Honda dan 110 cc Yamaha, serta 125 cc Honda dan 125 cc Yamaha;
5.3.8.3 Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan fakta dimana Terlapor I melakukan pengiklanan yang gencar untuk memperebutkan pasar. Majelis Komisi menilai upaya pengiklanan (advertising) digunakan untuk menjangkau konsumen dan bukannya distributor / main dealer / dealer. Dari pemilihan media yang dipakai oleh Terlapor I adalah media elektronik TV nasional. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang ditarget adalah konsumen yang ada di seluruh wilayah geografis Indonesia;
5.3.8.4 Bahwa Majelis Komisi berpendapat harga yang dimaksud dalam perkara a quo bukanlah harga an sich melainkan cerminan dari berbagai attribute product yang ada : fungsi, benefit, technical concept, technical specification, quality, fiture, design. Jadi harga tersebut tidak tergantung pada pemilihan ada level mana produk tersebut dijual;
5.3.8.5 Bahwa Majelis Komisi berpendapat penentuan 110 cc - 125 cc sudah sesuai dengan konsep product definition dalam teori antitrust yang mana suatu produk perlu didefenisikan sesempit / sedetil mungkin;
5.3.9 Bahwa oleh karena itu penentuan pasar bersangkutan yang dilakukan oleh investigator dalam perkara a quo tetap dapat dibenarkan karena telah mempertimbangkan karakteristik produk, jangkauan pemasaran serta perilaku para terlapor yang dipermasalahkan dalam perkara a quo;
5.3.10 Dengan demikian pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah Sepeda Motor Jenis Skuter Matic 110-125 CC di seluruh wilayah Indonesia;
6. Tentang Perilaku Terlapor;
6.1 Tentang Pertemuan di Lapangan Golf;
6.1.1 Bahwa dalam kesimpulannya, Investigator pada pokoknya menyatakan;
a. Bahwa Sdr. Yoichiro Kojima selaku Presiden Direktur PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing ketika itu dan Toshiyuki Inuma selaku Presiden Direktur PT. Astra Honda Motor ketika itu telah melakukan pertemuan di dalam lapangan golf pada Tahun 2013 sampai dengan November 2014;
b. Bahwa Sdr. Yoichiro Kojima baru berhenti menjadi presiden direktur terlapor I pada tahun 2015, sementara Sdr. Inuma menjadi presiden direktur II pada tahun 2013 sampai dengan saat kesimpulan ini dibuat masih menjabat. Bahwa berdasarkan keterangan BAP diatas kedua presdir mengakui saling mengenal dan telah bertemu pada tahun 2013 dan keduanya juga memiliki hobi yang sama yaitu olah raga Golf. Bahwa berdasarkan keterangan diatas diketahui tahun 2013 merupakan tahun dimana keduanya bertemu di Indonesia merupakan hal yang logis karena Sdr. Inuma baru bertugas di Indonesia pada tahun 2013;
c. Bahwa berdasarkan bukti keterangan terlapor II diakui permainan (pertemuan) golf terakhir yang dilakukan oleh presiden direktur terlapor I dan Terlapor II adalah pada bulan November 2014
d. Bahwa berdasarkan keterangan diatas terbukti adanya komunikasi antara Terlapor I dan Terlapor II dalam kurun waktu tahun 2013 sampai dengan November 2014. Bahwa adanya komunikasi tersebut sangat sesuai dengan pernyataan-pernyataan saksi Terada;
e. Bahwa berdasarkan keterangan Terlapor II diakui Terlapor II mengenal Sdr. Kojima yang saat itu menjabat sebagai Presiden direktur Terlapor I; [Note SHIETRA & PARTNERS : Mental “penjajahan secara ekonomi”, penjajahan serta eksploitasi pada era modern yang harus Bangsa Indonesia waspadai.]
6.1.2 Berkaitan dengan fakta tersebut, para Terlapor pada pokoknya menyatakan bahwa dalil Investigator mengenai komunikasi dan kesepakatan harga pada kegiatan golf semata-mata hanya didasarkan atas keterangan Sdr. Yutaka Terada dalam Berita Acara Pemeriksaan dalam masa Penyelidikan. Tidak ada satu alat bukti pun yang mendukung atau mengkonfirmasi keterangan Sdr. Yutaka Terada. Terlebih lagi Sdr. Yutaka Terada tidak dapat dihadirkan dalam persidangan;
6.1.3 Bahwa atas fakta tersebut, maka Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
6.1.3.1 Berdasarkan keterangan saksi Sdr. Yoichiro Kojima (selaku mantan Presiden Direktur Terlapor I) dalam Sidang Majelis Komisi tanggal 16 November 2016 yang pada pokoknya mengakui pada saat menjabat sebagai Presiden Direktur Terlapor I, dirinya pernah bermain golf dengan Presiden Direktur Terlapor II (Inuma) meskipun tidak sering;
6.1.3.2 Berdasarkan keterangan Sdr. Toshiyuki Inuma (selaku Presiden Direktur Terlapor II) dalam sidang Majelis Komisi tanggal 5 Januari 2017 yang pada pokoknya juga mengakui pernah bermain golf dengan Sdr. Yoichiro Kojima (yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden Direktur Terlapor I) yaitu pada pada tahun 2013 dan terakhir dilakukan pada bulan November tahun 2014;
6.1.3.3 Berdasarkan fakta tersebut, Majelis Komisi menyimpulkan bahwa terbukti telah terjadi pertemuan di lapangan golf antara Presiden Direktur Terlapor I dengan Presiden Direktur Terlapor II pada tahun 2013 dan terakhir dilakukan pada bulan November 2014;
6.2 Tentang Surat Elektronik (email) Tanggal 28 April 2014;
6.2.1 Bahwa dalam kesimpulannya, Investigator pada pokoknya menyatakan;
6.2.1.1 Bahwa berdasarkan bukti email internal Terlapor I, Bahwa pada Hari Senin tanggal 28 April 2014 pukul 05.07 PM, Bapak Dyon (Dyonisius Beti – Vice President PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) menggunakan alamat email dyon@indosat.blackberry.commem-forward email dari Mr. Yoichiro Kojima (Presiden Direktur PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing – alamat emai lkojimayo@yamaha-motor.co.id) dengan subject email Fw: Pricing Issue, yang ditujukan kepada Mr. Terada (Direktur Marketing PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) alamat email teradayu@yamaha-motor.co.id, Mr. Yuji Tokunaga (Direktur Marketing PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email tokunagayu@yamaha-motor.co.id, Bapak Sutarya (Direktur Sales PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email sutarya@yamaha-motor.co.id, Bapak Hendri Wijaya (General Manager Marketing PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email hendri_mkt@yamaha-motor.co.id, dan Bapak Ichsan Nulhakim (Chief DDS 3 PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email ichsan_mkt@yamaha-motor.co.id (Vide bukti C7);
6.2.1.2 Bahwa isi email tersebut sebagai berikut;
“Please find attached the IDN price comparison material presented by YMC at Asean Mtg just after GEC. As You can notice, prices of some models are lower Honda, such as Vixion, Fino, etc. We need to send message to Honda that Yamaha follows H price increase to countermeasure exchange rate fractuation / labor cost increase as a common issue for the industry. So please review the current pricing and where there is a room, please adjust the price. I understand that to maintain the volume, if necessary, we use the amount of price increase for promotion of the models at least for the time being. Thanks, Kojima” (see attached file : Price position IDN 2014. Pptx) [Note SHIETRA & PARTNERS : Isu perihal biaya buruh merupakan isu strategis yang selalu “seksi” untuk dieksploitasi oleh kalangan pelaku usaha sebagai dalil paling sempurna untuk melakukan manuver bisnis yang kurang sehat.]
6.2.1.3 Bahwa bukti email tersebut telah dikonfirmasi dan diakui kebenarannya oleh para saksi yang hadir dalam persidangan, diantaranya adalah Sdr. Kojima (Mantan Presdir Terlapor I), Sdr. Sutarya, Sdr. Dyonisius, Sdr. Hendri dan Sdr. Ichsan;
6.2.2 Berkaitan dengan fakta tersebut Terlapor I pada pokoknya menyatakan bahwa email tanggal 28 April 2014 tersebut hanya merupakan sharing informasi dan tidak pernah ditindak-lanjuti;
6.2.3 Selanjutnya atas fakta tersebut Terlapor II pada pokoknya menyatakan bahwa berdasarkan keterangan saksi dalam proses persidangan terbukti bahwa email tanggal 28 April 2014 tersebut tidak pernah ditindak-lanjuti;
6.2.4 Bahwa atas fakta tersebut Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
6.2.4.1 Berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa email tersebut telah diakui telah diterima dan diketahui oleh Saksi Sdr. Dyonisius Beti, saksi Sutarya, Saksi Ichsan, Saksi Hendri Wijaya dan Saksi Kojima;
6.2.4.3 Berdasarkan proses persidangan diketahui bahwa Sdr. Dyonisius Beti memiliki kewenangan penuh dalam marketing management grup Terlapor I yang salah satu tugasnya adalah menetapkan harga jual;
6.2.4.4 Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Komisi menyimpulkan fakta adanya email (surat elektronik) pada tanggal 28 April 2014 tersebut terbukti benar;
6.2.4.5 Selanjutnya, apakah isi email tersebut terbukti ditindak-lanjuti ataukah tidak, maka Majelis Komisi akan memberikan pertimbangan hukum lebih lanjut pada Bagian Pemenuhan Unsur Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999;
6.3 Tentang email 10 Januari 2015;
6.3.1 Bahwa dalam kesimpulannya, Investigator pada pokoknya menyatakan:
6.3.1.1 Bahwa pada tanggal 10 Januari 2015 pukul 09:52 AM, Mr. Terada (Direktur Marketing PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) mengirimkan email dengan subject Retail Pricing Issue Terada yang ditujukan kepada Bapak Dyon (Dyonisius Beti – Vice President PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing), Bapak Sutarya (Direktur Sales PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing), di CC ke Mr. Iidashi dan di Bcc ke Mr. Yanagi (yagiyu);
6.3.1.2 Bahwa isi email tersebut adalah sebagai berikut (Vide bukti C6):
I have just heard from Mr. Iida that Dyon san and Sutarya san discussed while I was not in the office on 8th Jan to increase Retail Prices to follow Honda as Honda increased retail price from January 2015.But I do not completely agree with retail price increase to follow Honda. Reasons:
6. President Kojima san has requested us to follow Honda price increase many times since January 2014 because of his promise with Mr. Inuma President of AHM at Golf Course. As we know this is illegal.We never follow such price negotiation process. YMC also educated all employees not to negotiate prices with competitors.
7. Yamaha should decide our retail price by our own marketing strategy.
8. I can agree with only Soul GT and Jupiter MX as we need to make smooth step up to the new models for these 2 models.
9. First we need to fight back to fight back and to increase market share especially in the beginning of 2015.
10. And I do not agree to discuss Retail price matter at CMM. Once we did like this we will be requested to do same at CMM.
Thank U and Regards. Terada.
6.3.1.3 Bahwa berdasarkan email tersebut diatas terbukti saksi Terada berusaha untuk menolak dan tidak mengikuti pola kenaikan harga Honda. Saksi terada juga telah mengingatkan bahwa tindakan penyesuaian harga tersebut merupakan tindakan yang ilegal. Saksi Terada menolak karena mulai dari Januari 2014 sampai dengan yang bersangkutan mengirimkan email Januari 2015 pihak Yamaha selalu mengikuti pola kenaikan harga Honda. Bahwa bukti adanya kartel penetapan harga oleh terlapor I dan terlapor II juga diperkuat oleh keterangan saksi Terada pada BAP Penyelidikan tanggal 22 Januari 2015;
6.3.1.4 Bahwa saksi Dyonisius Beti mengakui pernah menerima email tersebut;
6.3.2 Berkaitan dengan fakta tersebut Terlapor I pada pokoknya menyatakan bahwa surat elektronik internal tanggal 10 Januari 2015 sama sekali tidak membuktikan adanya perjanjian atau kesepakatan harga antara Terlapor I dan Terlapor II dan email tersebut merupakan penuturan sepihak dari Sdr. Yutaka Terada yang disampaikan tidak sesuai dengan fakta serta tidak didukung oleh alat bukti apapun;
6.3.3 Selanjutnya atas fakta tersebut, Terlapor II pada pokoknya menyatakan bahwa Email 10 Januari 2015 ini hanya didasarkan pada keterangan sepihak dari Yutaka Terada yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga email tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian dan tidak patut untuk dipertimbangkan;
6.3.4 Bahwa atas fakta tersebut Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut;
6.3.4.1 Bahwa Majelis Komisi menilai berdasarkan fakta persidangan email 10 Januari 2015 adalah Email yang dikirimkan Saksi Sdr. Yutaka Terada yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Marketing Terlapor I dengan menggunakan alamat email teradayu@yamaha-motor.co.id dan dikirimkan kepada Dyonisius Beti selaku Vice President Direktur Terlapor I (Vide bukti C6);
6.3.4.2 Bahwa berdasarkan fakta persidangan terbukti email tersebut diakui telah diterima oleh saksi Sdr. Dyonisius Beti selaku Vice Presiden Direktur Terlapor I sebagaimana keterangannya dalam Sidang Majelis Komisi tanggal 22 November 2016;
6.3.4.3 Bahwa terlepas dari substansi email tersebut, Majelis Komisi menilai adanya fakta bahwa email tersebut merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antar pejabat tinggi Terlapor I (top level management Terlapor I). Oleh karena itu mengingat kapasitas pengirim dan penerima email serta media yang digunakan yaitu email resmi perusahaan, maka Majelis Komisi tidak serta-merta mengabaikan fakta tersebut sebagai alat bukti;
6.4 Tentang Delegasi Kewenangan Presiden Direktur Terlapor I;
6.4.1 Bahwa dalam kesimpulannya, Terlapor I menyatakan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa Presiden Direktur Terlapor I telah memberikan mandat atau delegasi terkait dengan marketing kepada Sdr. Dyonisius Beti selaku Vice Presiden Terlapor I karena Sdr. Dyonisius Beti selaku Vice Presiden Terlapor I lebih mengetahui kondisi Indonesia;
b. Bahwa oleh karena itu fakta terkait dengan adanya perintah Presiden Direktur Terlapor I kepada bawahannya untuk mengikuti kenaikan harga Terlapor II dan approval harga dilakukannya adalah salah dan tidak berdasar;
6.4.2 Atas fakta pendelegasi kewenangan tersebut, Tim Investigator berpendapat yang pada pokoknya menyatakan bahwa fakta adanya pendelegasian mandat terkait marketing tersebut tidak menghapus kewenangan dan tanggung-jawab hukum;
6.4.3 Selanjutnya berkaitan dengan kedua pendapat tersebut, maka Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut:
6.4.3.1 Berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti bahwa telah terjadi pendelegasian kewenangan terkait marketing kepada Vice President Terlapor I (Dyonisius Beti) dari Presiden Direktur Terlapor I (Vide bukti C23, B11, B12);
6.4.3.2 Berdasarkan keterangan ahli diketahui yang pada pokoknya bahwa pemberian mandat atau delegasi tidak menghapuskan kewenangan orang yang memberikan mandat dan juga tidak menghilangkan tanggung jawab hukum dari pemberi mandat;
6.4.3.3 Atas dasar keterangan ahli tersebut maka Majelis Komisi menilai bahwa pendelegasian kewenangan dari Presiden Direktur Terlapor I kepada Vice President Terlapor I (Dyonisius Beti) terkait marketing tersebut tidak serta merta mengilangkan kewenangan Sdr. Yoichiro Kojima selaku Presiden Direktur Terlapor I sepanjang yang bersangkutan tetap menjadi anggota Direksi Terlapor I;
6.4.3.4 Dengan demikian Majelis Komisi menilai bahwa meskipun terjadi pendelegasian kewenangan namun Presiden Direktur Terlapor I saat ituyaitu Sdr. Yoichiro Kojima tetap memiliki kewenangan dan tanggung jawab khususnya terkait dengan bidang marketing produk Terlapor I yang salah satu tugasnya adalah menetapkan harga jual produk skutik;
7. Tentang Penetapan Harga;
7.1 Bahwa dalam kesimpulannya investigator menyatakan pada pokoknya;
7.1.1 Bahwadalam Industri Sepeda Motor Jenis Matik hanya terdapat 4 (empat) pelaku usaha diantaranya adalah:
a. Astra Honda Motor;
b. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing;
c. Suzuki Indomobil Motor;
d. TVS Motor Company Indonesia;
7.1.2 Bahwa berdasarkan data penjualan masing masing produsen sepeda motor matik diperoleh pangsa pasar masing masing pelaku usaha yaitu pada tahun 2012, Honda menguasai pangsa pasar sebesar 68%, Yamaha menguasai pangsa pasar sebesar 30%, Suzuki menguasai pangsa pasar 2%. Pangsa pasar masing masing pelaku usaha pada tahun 2013, Honda menguasai pangsa pasar sebesar 70%, Yamaha menguasai pangsa pasar sebesar 28%, Suzuki menguasai pangsa pasar 2%. Sedangkan pangsa pasar masing masing pelaku usaha pada tahun 2014, Honda menguasai pangsa pasar sebesar 73%, Yamaha menguasai pangsa pasar sebesar 26%, Suzuki menguasai pangsa pasar 1%;
7.1.3 Bahwa jika industri Sepeda Motor Matik masuk kedalam pasar oligopolistik, maka pelaku usaha memiliki ruang yang cukup untuk menentukan harga dan kuantitas yang akan dijualnya meskipun tidak seluas pelaku usaha yang berada di pasar persaingan sempurna atau pasar monopolisitik untuk menentukan harga dan kuantitas yang akan dijual;
7.1.4 Bahwa perusahaan dalam industri Sepeda Motor Matik yang oligopolistik dalam menentukan harga jual (pricing strategy) akan sangat tergantung dengan perusahaan lain dalam industri yang sama;
7.1.5 Bahwa pada prinsipnya dalam pasar oligopoli yang bersaing, perusahaan yang memiliki pangsa pasar dominan dalam industri sepeda motor matik dalam hal ini Honda dan Yamaha akan bersaing merebutkan pangsa pasar dan saling melihat pricing strategy yang dilakukan masing masing sebelum menetapkan harga jual dalam hal ini menaikan atau menurunkan harga jual. Hal tersebut berarti kenaikan harga atau penurunan harga yang dilakukan suatu perusahaan akan menyebabkan reaksi dari perusahaan pesaingnya;
7.1.6 Dilain sisi pada pasar oligopolistik yang bersaing, perusahaan yang tidak dominan dalam pangsa pasar seperti Suzuki dan TVS akan sangat tergantung dengan harga dari Terlapor I dan Terlapor II dan seharusnya akan cenderung menjadi follower dari pelaku usaha dominan terutama dalam hal harga selama masih menguntungkan dan tidak mengurangi pangsa pasarnya;
7.1.7 Bahwa hal tersebut berkesesuaian dengan keterangan dari Martin Daniel yang menyatakan bahwa:
“Misalkan di pasar oligopoly ada 5 pelaku usaha, dan 2 perusahaan posisinya dominan, dengan market share 2 perusahaan tersebut 80-90%, 3 perusahaan yang lain tidak memiliki dominan market, 3 perusahaan itu follower berarti, kalau misalkan barangnya dari 3 follower itu mirip-mirip yang dilakukan penentuan harganya adalah mengikuti 2 perusahaan yang dominan, dengan catatan 2 perusahaan itu bersaing. Jika tidak bersaing maka 2 perusahaan itu monopoli. Tapi yang jelas jika mereka benar benar bersaing maka yang 3 follower ini akan mengikuti, dan tidak akan jauh lebih murah dari 2 perusahaan tersebut. Kalau misalnya harga mereka stabil, sedangkan 2 perusahaan tadi bisa turun naik-turun naik, ini menarik karena dia harusnya sudah mati dari dulu (3 follower). Kalau mereka masih eksis maka ada hal menarik disitu. Saya akan lihat dahulu seberapa sering mereka menaikkan dan menurunkan harga.”
7.1.8 Bahwa hal tersebut berkesesuaian dengan keterangan dari Prof Rina Indiastuti yang menyatakan bahwa:
“Saya berpendapat dari 2 sisi, kalau dari sisi perusahaan dengan orientasi profit meningkat, market share menjadi besar. Strategi yang dijalankan jatuh pada posisi dominan tadi. Dalam bisnis ada business plan yang perlu dicermati target profi mau berapa, dia tahu persis tingkat margin berapa. Apakah profit akan menentukan harga average tahunan perusahaan, berapa marginal costnya. Perusahaan bisa memainkan range margin itu. Pasar yang semakin simetrik perusahaan yang kecil melihat perusahaan dominan (apalagi perusahaan terbuka) kita mudah melihat cost structure di laporan keuangan mereka. Yang kecil akan melihat berapa market size nya masih kebagian tidak, sepanjang masih kebagian cukup mencermati bagian market saya sepanjang tidak diambil dominan maka saya cukup happy, tetapi manakala demand bereaksi hingga cukup cerdas oleh yang kecil. Maksud saya yang kecil melihat yang besar yang besar tidak melihat yang kecil.
“Kita sepakat pasar oligopoly adalah pasar yang persaingannya kurang tinggi. Oligopoly persaingannya tidak setinggi pasar persaingan sempurna. Jadi, pada waktu persaingan itu kadarnya kompetisinya lebih rendah, maka disitulah ruang mereka untuk memperoleh profit lebih. Nah sekarang kita mengenal teori oligopoly adalah suatu pasar yang dominan akan diikuti oleh para follower yang kecil-kecil. Karena mereka bergerak pada pasar yang persaingannya kecil, maka ada ruang buat mereka untuk menciptakan harga diatas harga keseimbangan. Itu sudah teorinya memang demikian.”
7.1.9 Bahwa jika Honda menaikan harga, maka sudah seharusnya di pasar oligopoly yang bersaing, Yamaha akan menahan kenaikan harga atau setidaknya menaikan harga tetapi tidak mengikuti pola kenaikan harga yang dilakukan oleh Honda mengingat Yamaha dapat mengambil peluang dari kenaikan harga honda untuk meningkatkan pangsa pasarnya;
7.1.10 Bahwa hal tersebut berkesesuaian dengan keterangan dari Martin Daniel yang menyatakan bahwa:
“Ada 2 hal menarik, 2 perusahaan dominan ini sering naik turunkan harga, teorinya perusahaan yang naikkan harga ingin menunjukkan signal kepada pesaing yang akan masuk ke pasar tersebut. Karena pangsa pasarnya yang cukup besar. Yang kedua ketika dia persaingan harga, lalu naikkin harga sering adakah alasan menaikkan harga, misal branding kedua perusahaan terlalu kuat. Apakah mungkin atau tidak, mungkin saja menaikkan harga, namun masalahnya ada 2 yang dominan. Harusnya mereka bersaing merebutkan pangsa pasar. Jadi kemungkinannya yang kami lakukan kami tarik pangsa pasar dari yang kecil, namun strateginya harusnya menurunkan harga, bukan menaikkan harga. Ketika ada 2 dominan yang naikin harga sering namun yang kecil tetap yang jelas tidak ada persaingan harga disitu.”
7.1.11 Hal tersebut menjadi relevan mengingat produk dalam industri sepeda motor matik tidak memiliki derajat diferensiasi yang rendah dan lebih mengarah kepada produk yang homogen. Sehingga dengan homogennya produk Sepeda Motor Matik menyebabkan kurva Permintaan menjadi sangat elastis yang berarti konsumen akan sangat sensitif terhadap harga jual suatu produk dengan harga jual produk substitusinya;
“Dalam industry sepeda motor matic, Harusnya elastic. Karena motor-motor seperti matic itu sudah ada konsesus bersama dari ekonom, barang luxury itu adalah elastic. Elastisitasnya memang berbeda di setiap Negara, namun elastisitasnya rendah. Artinya konsumen cari yang paling murah. Tapi juga melihat loyalitas branding.”
“Ketika harga dari produk suatu perusahan tidak sensitive terhadap demand, artinya perusahaan punya kemampuan menaikkan harga sangat kuat, kenapa? ingat harga saya tidak mempengaruhi permintaan. Contoh barang yang punya permintaan elastic adalah barang-barang pokok. Contoh lainnya adalah energy, energy itu barang iinelastic. Namun ada barang-barang yang menunjukkan pola elastisitas yang sensitive terhadap harga. Sehingga perusahaan tidak gampang untuk menaikkan harga. Dan barang luxury / gadget misalnya itu termasuk kedalam barang elastic dan dia sensitive terhadap perubahan harga. Tapi itu melihat harga saja. Kondisi ini bisa jadi lebih parah ketika dia punya substitusi banyak ketika barang subtitusi banyak biasanya dia cendeung tidak berani menaikkan harga, kalau barang tidak subtitusi maka harganya tidak mahal.”
7.1.12 Bahwa hal tersebut berkesesuaian dengan keterangan dari Suzuki yang menyatakan:
“Faktor yang menyebabkan harga motor suzuki naik, banyak hal, misal cost produksi BBM naik, bahan baku naik, UMR Buruh naik. Kalau kami di marketing tidak ingin naik karena konsumen sangat melihat harga dalam membeli.
”Dari segi cost production relatif sama, dalam segi market aja yang berbeda kalau ada kenaikan UMR misalnya relatif sama, dilakukan penentuan harga dilakukan penilaian oleh bagian marketing mana yang naik mana yang tidak, salah satunya misalnya jika ada kenaikan harus dipertimbangkan dari sisi konsumen, apakah konsumen bisa accept dengan harga yang kita berikan.”
7.1.13 Bahwa hal tersebut juga berkesesuaian dengan peryataan dari Vice President Yamaha yang pada intinya yamaha melakukan survey terhadap konsumen untuk melihat sensitifitas konsumen terhadap kenaikan harga yang akan dilakukan:
“Ada 2300 konsumen berdasarkan area yang kami survey, disini kami survey matic dan moped (bebek) dan sport category, karena umur juga kita masukan karena orang muda itu tidak terlalu sensitive uang, lebih ke gengsi dia, ini pembagian berapa persen menurut umur, juga ada education mayoritas bagaimana, lalu pekerjaan mereka mayoritas apa, dari situ kami lihat house ownership juga, behavior juga kita cek untuk apa lifestyle, hangout, mayoritas masih untuk yang pakai sehari-hari, ini dari 2300 responden mayoritas pemakai hanya 33 orang yang tidak punya motor sendiri. ini yang beli pertama kedua dan ketiga, terus ditanya kalau mau beli beli apa, mio ini masih pada peringkat atas mau beli, lalu ini adalah yang tadi pembelian motor boleh dibilang 76% pembelian nya kredit, saya cek juga cash nya, kalau kita liat cash ini presentase dan kenaikan rupiah jadi kalau kita naik 100-500 ribu aja yang setiap purchase itu drop ke 30-40 berapa % tapi kalau 100 atau 200 ribu rupiah hanya 10%an lalu kita cek lagi yang tidak purchase, tidak beli lagi, dia masih mau beli tapi postpond / tunda, masih ada kemungkinan balik lagi beli lagi tapi mungkin nanti, kalau kredit yang di cek bukan berapanya, tapi down payment nya banyak tidak, kalau 100 ribu turun nya sedikit, tapi kalau DP-nya naik 200-500 turun nya lebih drastis tapi tetap mau belinya lebih tinggi cuma nunggu duit, ada duit baru beli. Sedangkan untuk Suzuki dan TVS, dengan adanya kenaikan harga Terlapor I dan Terlapor II maka dihadapkan dua pilihan yaitu menaikan harga tetapi tidak setinggi kenaikan harga Terlapor I dan Terlapor II agar pangsa pasarnya tidak berubah atau sedikit mengalami kenaikan atau pilihan untuk tidak menaikan harga sehingga pangsa pasarnya dapat meningkat.”
7.1.14 Bahwa jika mengacu terhadap fakta persidangan, Honda menyatakan akan mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar dan Yamaha akan berusaha meningkatkan pangsa pasarnya atau setidaknya merebut pasarnya kembali;
7.1.15 Bahwa kebijakan Yamaha untuk meningkatkan pangsa pasar dalam prakteknya sebagaimana diperoleh dari proses persidangan, tidak sinergi dengan strategi pricing yang dilakukannya dan cenderung bertentangan dengan teori oligopoli sebagaimana dijabarkan diatas;
7.1.16 Bahwa disisi lain, Suzuki dan TVS yang seharusnya berperan sebagai follower terhadap kenaikan harga Honda lebih memilih tidak menaikan harga di tahun 2014 karena pertimbangan untuk mempertahankan market share;
7.1.17 Bahwa hal tersebut dapat dilihat dari pergerakan harga dari Head to Head produk Yamaha dengan Honda dengan Suzuki;
7.1.18 Bahwa Head To Head Produk Terlapor I dan Terlapor II yang digunakan oleh Investigator sebagaimana diatas merupakan perbandingan Head to Head yang dilakukan oleh Honda dan data tersebut diserahkan pada saat proses persidangan;
7.1.19 Bahwa Head To Head produk Terlapor I dan Terlapor II telah sesuai dengan pernyataan dari Vice President Yamaha yang menyatakan bahwa:
“Untuk mio kita lihat dari 2 varian, yaitu Mio J dan Mio GT kita compare dengan beat Fi CW dan beat CBS. Mio GT kita lebih dekatkan dengan Beat Fi CBS, kalau kita lihat angkanya di bulan maret itu, karena mio GT itu di bulan maret belum ada, kita baru luncurkan di bulan maret, waktu itu kita positioningkan diatas beat Fi, tapi karena Honda ada CBS CW sistem dan di kita tidak ada, kita 150 ribu di bawah. Jadi mio GT dengan Beat Fi CBS, mio GT 13.350, diatas Fi CW 12.9 , dibawah beat CBs yang 13.5. jadi mio ini lebih tinggi dari Beat Fi CW, mio yang baru lebih rendah dari ini. Jadi ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah, jadi kita tidak head to head langsung, itu tahun 2013.”
7.1.20 Bahwa berdasarkan data Head to Head harga sebagaimana disampaikan diatas, pada tahun 2014 Harga dari Suzuki dan TVS cenderung tidak mengalami kenaikan, sedangkan harga dari Terlapor I dan Terlapor II sepanjang tahun sering mengalami kenaikan. Terlapor I dan Terlapor II mengatakan bahwa kenaikan harga yang dilakukan disebabkan kenaikan UMR, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar, Pajak dan Bahan Baku Produksi. Kenaikan harga sebagaimana disebutkan diatas merupakan faktor eksternal atau faktor makro. Kenaikan faktor faktor tersebut di tahun 2014 seharusnya juga berdampak tidak hanya terhadap harga dari Terlapor I dan Terlapor II tetapi juga berdampak terhadap harga dari Suzuki dan TVS;
7.1.21 Bahwa hal tersebut berkesesuaian dengan keterangan dari Ahli yaitu Anton yang menyatakan bahwa:
“Kalau bisa dibuktikan kalau faktor perubahan harga sama maka pergerakan harga tidak beda jauh.”
“Kalau hanya mempertimbangkan faktor ini saja, maka pergerakan harganya hampir sama.”
7.1.22 Bahwa dengan mengikuti pergerakan kenaikan harga Honda, kebijakan untuk meningkatkan pangsa pasar Yamaha tidak dapat tercapai. Hal tersebut terbukti berdasarkan data penjualan 2014 jika dibandingkan Year on Year dengan tahun 2013 maka Yamaha mengalami penurunan pangsa pasar sebagaimana ditunjukan dalam tabel Bahwa strategi pricing yang dilakukan oleh Yamaha menunjukan kejanggalan dan telah terjadi perilaku kolusif dengan Honda. Karena dalam pasar oligopoly yang bersaing, seharusnya Honda akan tidak mudah untuk menaikan harga berkali kali pada tahun 2014 karena terdapat pesaing terdekatnya Yamaha yang akan bereaksi terhadap kenaikan harga tersebut mengingat kebijakan Yamaha yang berorientasi pada kenaikan pangsa pasar. Apalagi Suzuki dan TVS akan juga menikmati kemungkinan peningkatan pangsa pasar apabila Honda menaikan Harga. Dengan pricing strategi Yamaha yang ternyata mengikuti harga dari Honda pada periode tahun 2014 maka perilaku Yamaha menjadi tidak rasional dan cenderung memperlihatkan ada perilaku kolusif harga diantara Terlapor I dan Terlapor II sehingga tidak terdapat khawatiran diantara keduanya untuk menaikan harga berkali kali pada tahun 2014; [Note SHIETRA & PARTNERS : Kedua produsen asing tersebut mengetahui dan memanfaatkan betul pengetahuan mereka bahwasannya perilaku pasar di Indonesia cenderung “irasional” sehingga mudah diarahkan serta dieksploitasi tanpa mereka sadari.]
7.1.23 Bahwa perilaku Terlapor I dan Terlapor II jelas bertentangan dengan Teori Ekonomi Model Kurva Permintaan Berlekuk dalam buku yang berjudul Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga yang dituliskan oleh Dominick Salvatore yang menyatakan:
“Sebagai pengembangan lebih lanjut ke arah model yang realistis, kita mengenal adanya model kurva permintaan berlekuk (kinked demand curve model) atau mode Sweezy. Model ini mencoba menjelaskan kekakuan harga yang sering diamati dalam pasar oligopolistis. Sweezy beranggapan, bahwa jika sebuah perusahaan oligopolistis menaikan harganya, maka perusahaan lain dalam industri itu tidak akan menaikan harga harga mereka dan oleh sebab itu perusahaan ini akan kehilangan sebagian besar para konsumennya. Dipihak lain, sebuah perusahaan oligopolistis tidak dapat menaikan pangsa pasarnya melalui penurunan harga karena oligopolis lain dalam industri akan mengikuti penurunan harga tadi;
7.1.24 Bahwa hal tersebut juga dikuatkan oleh keterangan dari Ahli Ekonomi Dr. Martin Daniel yang menyatakan:
“Ada 2 hal menarik, 2 perusahaan dominan ini sering naik turunkan harga, teorinya perusahaan yang naikkan harga ingin menunjukkan signal kepada pesaing yang akan masuk ke pasar tersebut. Karena pangsa pasarnya yang cukup besar. Yang kedua ketika dia persaingan harga, lalu naikkin harga sering adakah alasan menaikkan harga, misal branding kedua perusahaan terlalu kuat. Apakah mungkin atau tidak, mungkin saja menaikkan harga, namun masalahnya ada 2 yang dominan. Harusnya mereka bersaing merebutkan pangsa pasar. Jadi kemungkinannya yang kami lakukan kami tarik pangsa pasar dari yang kecil, namun strateginya harusnya menurunkan harga, bukan menaikkan harga. Ketika ada 2 dominan yang naikin harga sering namun yang kecil tetap yang jelas tidak ada persaingan harga disitu.”
7.1.25 Bahwa strategi pricing yang dilakukan dan diterapkan oleh Yamaha telah terjadi perilaku kolusif dengan Honda dapat dibuktikan dengan menggunakan metode analisa collusion screening yang didasarkan dengan data harga dan biaya dari Terlapor I dan Terlapor II;
7.1.26 Bahwa Abrantes-Metz, et. al. (2006) telah melakukan analisis perubahan harga dan biaya pada periode terjadinya kolusi dan setelah kolusi berakhir pada kasus yang melibatkan beberapa perusahaan yang men-supply kepada Defense Personnel Support Center (DPSC) di Philadelphia, Amerika Serikat. Beberapa perusahaan tersebut diputuskan bersalah melakukan tindakan anti persaingan oleh Antitrust Division, US Department of Justice. Grafik berikut menggambarkan trend data harga dan biaya selama periode terjadinya kolusi dan setelah kolusi berakhir; Sumber: Abrantes-Metz, et. al. (2006)
7.1.27 Pada gambar di atas, area kotak kecil (antara 1/9/88 hingga 9/20/88) adalah periode dimana kartel runtuh. Sedangkan area sebelah kiri kotak kecil (antara 1/6/87 hingga 7/9/88) merupakan periode dimana kolusi terjadi, dan area sebelah kanan kotak (antara 9/20/88 hingga 9/26/89) adalah periode dimana terjadi persaingan usaha yang sehat;
7.1.28 Selanjutnya pada kajian tersebut juga dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan statistika, utamanya screening atas rata-rata harga, standar deviasi dan Coefficient of Variation dengan membandingkan antara periode terjadinya kartel vs kompetisi. Kajian tersebut berargumen bahwa pada saat adanya kompetisi;
7.1.29 Tabel berikut merupakan hasil screening analisis pada studi yang dilakukan oleh Abrantes-Metz, et. al. (2006)
7.1.30 Tabel tersebut menunjukkan harga rata-rata cenderung lebih tinggi pada saat terjadinya kolusi dibandingkan periode persaingan. Ditunjukkan dengan terjadinya penurunan sebesar 16.2% harga pada saat adanya kompetisi dibandingkan kolusi dan;
7.1.31 Harga cenderung lebih stabil pada saat terdapat kolusi dibandingkan periode persaingan, ditunjukkan dengan adanya kenaikan standar deviasi dan coefficient of variation masing-masing sebesar 263% dan 332%;
7.1.32 Bahwa terdapat beberapa catatan tentang data dan periode observasi yang dilakukan:
7.1.33 Data yang digunakan adalah data harga motor produksi Honda dan Yamaha untuk periode 2013-2014 walaupun terdapat data harga pada tahun 2012. Namun karena tidak semua jenis motor terdapat data harga 2012, maka periode observasi dimulai pada tahun 2013;
7.1.34 Analisis dilakukan dengan membandingkan periode sebelum dan sesudah April 2014. April 2014 dipilih sebagai awal efektifnya kolusi, berdasarkan alat bukti email dalam persidangan. Sehingga dalam analisis ini dibedakan menjadi:
7.1.35 Periode sebelum April 2014 diasumsikan sebagai periode adanya kompetisi;
7.1.36 Periode setelah April 2014 diasumsikan sebagai periode adanya kolusi;
7.1.37 Tabel berikut memuat hasil perhitungan rata-rata harga, standar deviasi dan coefficient of variation atas berbagai type motor Head to Head Honda dan Yamaha:
7.1.38 Dari tabel di atas didapatkan hasil-hasil sebagai berikut:
a. Pada seluruh type motor yang dijual oleh Honda dan Yamaha terdapat kenaikan harga rata-rata antara periode sebelum dan sesudah April 2014. Hal ini ditunjukkan dengan nilai “selisih mean” yang positif;
b. Terdapat penurunan variasi harga antara periode sebelum dan sesudah April 2014. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan nilai “selisih StDev” dan “selisih CV” pada seluruh type motor;
c. Bahwa kedua temuan di atas sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Abrantes-Metz, et. al. (2006) dan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi terjadinya kolusi antara Honda dan Yamaha setelah April 2014 dimana terdapat pola kenaikan harga yang sama antara Produk Yamaha dengan Honda;
7.2 Atas kesimpulan investigator tersebut, Terlapor I menyatakan pada pokoknya sebagai berikut;
7.2.3 Berdasarkan penjelasan mengenai pertemuan golf dan surat elektronik, Terlapor I sama sekali tidak pernah melakukan kenaikan harga pada bulan Februari 2014 yang bertepatan setelah adanya pertemuan golf sebagaimana tuduhan Investigator. Sedangkan setelah surat elektronik tertanggal 28 April 2014, Terlapor I baru menaikkan harga pada bulan Juni 2014 dan bukan dikarenakan faktor adanya surel tersebut. Selayaknya jika terdapat penetapan harga yang sama oleh Terlapor I dan Terlapor II, maka kenaikan harga akan dilakukan pada bulan Mei 2014;
7.2.4 Berdasarkan penjelasan Saksi Dyonisius Beti pada tanggal 22 November 2016 menyatakan bahwa terdapat setidaknya 15 perbedaan antara penetapan harga Terlapor I dan Terlapor II selama tahun 2014;
7.2.5 Sejak bulan April 2014, dari semua produk sepeda motor tipe skuter matik 110-125 cc terdapat 9 jenis yang tidak mengalami kenaikan harga, yaitu Mio, Mio CW, Mio Soul, Mio Fino Sporty, Xeon, Xeon RC, Soul GT Street, Mio Fino Fashion, dan Mio Fino Classic;
7.2.6 Pada Januari 2014, Harga varian Mio J CW Teen lebih MAHAL Rp. 100.000,- daripada harga Beat FI CW. Namun pada Desember 2014, Mio J CW Teen lebih MURAH Rp. 300.000,- dari Beat FI CW (terdapat gap harga yang membesar);
7.2.7 Pada Januari 2014, Harga Mio GT lebih MAHAL Rp. 400.000,- dari harga Beat FI CW. Namun pada Desember 2014, kenaikan Mio GT hanya Rp. 200.000,-, sedangkan kenaikan Beat FI CW adalah 600.000,-;
7.2.8 Selama tahun 2014, kenaikan harga Xeon RC adalah Rp 300.000-, sedangkan Vario Techno FI mengalami kenaikan harga Rp. 1.050.000;
7.2.9 Pada tahun 2014, Kenaikan harga Vario Techno FI sebanyak 6x, sedangkan GT 125 hanya mengalami 1x kenaikan;
7.2.10 Pada tahun 2014, Honda Beat FI CBS mengalami penurunan 2x setelah menerima surel 28 April 2014. Jika kartel seharusnya cenderung menaikkan harga;
7.2.11 Vario ISS mengalami 1x penurunan harga pada tahun 2014, sedangkan Yamaha tidak mampu menurunkan harga;
7.2.12 Pada tahun 2014, Vario techno mengalami kenaikan harga sebanyak 6 kali (total kenaikan Rp. 1.050.000), sedangkan Yamaha hanya mampu menaikkan harga 1x dengan kenaikan Rp 100.000 dan Rp. 300.000;
7.2.13 Selama tahun 2014, Vario Techno CBS ISS hanya mengalami kenaikan sebanyak 4 kali dan 1 kali turun, sedangkan Yamaha hanya mengalami 1 kali kenaikan;
7.2.14 Setelah surel bulan April 2014, Beat FI CBS mengalami penurunan sedangkan Yamaha mengalami kenaikan dan tidak mengalami penurunan;
7.2.15 Setelah surel bulan April 2014, Beat mengalami 1 kali kenaikan harga sebanyak Rp 100.000, sedangkan Yamaha mengalami kenaikan harga sebanyak 2 kali sebesar Rp. 200.000;
7.2.16 Pada bulan Agustus 2014, Xeon RC tidak mengalami perubahan harga sedangkan Vario Techno CBS ISS mengalami penurunan harga;
7.2.17 Pada bulan Agustus 2014, GT 125 mengalami kenaikan, sedangkan Vario Techno CBS ISS mengalami penurunan harga;
7.2.18 Pada Oktober 2014, Vario mengalami kenaikan harga, sedangkan Yamaha tidak menaikkan harga; dan
7.2.19 Terdapat perbedaan pola dan strategi perusahaan yang independen dan bukan kesamaan kebijakan;
7.2.20 Bahwa menurut Terlapor I, faktor yang mempengaruhi harga adalah sebagai berikut:
7.2.21 Faktor eksternal, seperti pajak dari Pemerintah;
7.2.22 Faktor seasonal, seperti Lebaran dimana terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat pada periode Lebaran. Namun faktor ini optional untuk meningkatkan penjualan dalam bentuk volume. Namun juga terdapat faktor nilai tukar dan nilai upah minimum. Namun semua faktor ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Terlapor I harus memperhatikan kondisi semua faktor-faktor tersebut dalam menentukan kebijakan harga;
7.2.23 Kemudian price parallelism bukan merupakan satu-satunya bukti yang menunjukkan adanya kesamaan harga yang dilakukan oleh pelaku usaha yang melakukan kartel harga;
7.2.24 Ahli Daniel Martin menyatakan: Belum tentu (kecenderungan kesamaan pola harga), katakanlah ada 2 perusahaan menggunakan 2 teknologi yang sama;
7.2.25 Ahli Kurnia Toha menyatakan Jika penetapan harga ini independen, kebetulan mirip saja maka tidak melanggar, namun jika mirip/menetapkan harga ini karena ada kolusi maka ini tidak boleh;
7.2.26 Ahli Faisal Basri menyatakan price parallelism salah satu dari sekian banyak indikasi terjadinya kartel menunjukkan bahwa price parallelism tidak secara otomatis membuktikan terjadinya kartel. Price parallelism adalah salah satu indikasi yang bisa dipakai untuk menentukan adanya kartel atau tidak, tidak cukup satu dan ada indikasi yang lain, terlepas dari price parallelism seperti apa. Ini kan indirect evidence harus didukung bukti lain. Syarat-syaratnya seperti apa, verifikasi data seperti apa, asumsinya seperti apa, karena ada juga price parallelism yang palsu (ada hubungan tapi palsu), tapi tidak ada kausalitas. Jadi yang jelas yang tidak bisa dipakai adalah yang parallel spurious harus dibuktikan secara ekonometris; [Note SHIETRA & PARTNERS : Bila dibuat petunjuk maupun persangkaan, dikaitkan tendensi kolusif antara dua pejabat tinggi masing-masing produsen pada pertemuan mereka maupun kiriman surat elektronik, maka sejatinya masing-masing bukti saling mendukung dan saling menguatkan dugaan.]
7.2.27 Ahli Anton Hendranata pada Pemeriksaan tanggal 21 Desember 2016 pada pokoknya menyatakan pergerakan harga yang hampir sama tidak menjamin ada kesepakatan harga antar pelaku usaha. Dengan kondisi yang sama-sama berbisnis di Indonesia, maka tentu saja kondisi perekonomian yang dihadapi oleh perusahaan akan sama atau given (baik faktor internal dan eksternal);
7.2.28 Ahli Prof Ine Minara Ruki menyatakan maka kolusi dalam oligopoly market, memerlukan koordinasi dan komunikasi yang berulang-ulang juga. Maka sangat sulit untuk membuktikannya. Perilaku sejajar (price parallism) bisa saja terjadi di pasar oligopoly tanpa adanya kolusi. Oleh karena itu berbagai literature menyatakan bahwa menyimpulkan kolusi tidak cukup hanya dari price parallelism. Bahwa price parallelism itu bisa menyimpulkan adanya kolusi iya, tapi kapan price parallelism merupakan hasil dari tindakan kolektif dan terpadu tentu itu yang harus dibuktikan lebih lanjut. Banyak literatur menjelaskan bagaimana menentukan conscious parallelism itu illegal atau legal.
7.2.29 Bahwa Investigator telah salah memahami dan menginterpretasikan data yang ada sebagaimana yang telah Investigator sampaikan pada saat pemeriksaan Terlapor II. Investigator melakukan kesalahan fatal dengan membandingkan produk yang salah dalam suatu analisis sehingga menghasilkan pemahaman yang tidak berdasar.
7.2.30 Investigator hanya mengambil sampel secara parsial dimana sampel tersebut tidak dapat merepresentasikan populasi yang sesungguhnya. Investigator pada Kategori skutik 110 cc telah salah membandingkan Beat FI Spoke (46.581 unit) yang porsinya tidak signifikan sebesar hanya 2,2% dari total penjualan Beat Honda (2.117.948) dengan Mio J CW (166.102) yang juga bukan mayoritas penjualan Mio Yamaha (dimana hanya 25,9% dari total penjualan Mio Yamaha); dan
7.2.31 Kategori Skutik 125 cc, Investigator salah membandingkan Vario 125 Techno dengan Soul GT Yamaha yang tergolong kategori 110 cc;
7.2.32 Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah memeriksa dan mengadili perkara yang serupa terkait dengan Price Parallelism, yang pada pokoknya mengatakan bahwa adanya kesamaan tindakan atau harga secara hukum tidak dapat dikatakan adanya kesepakatan / perjanjian dari pelaku usaha tersebut, namun hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, sebagaimana tercantum dalam paragraf pertama bagian Tentang Hukum Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 02/KPPU/2010/PN.Jkt.Pst. tanggal 28 Pebruari 2011 halaman 265, yang telah diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 613 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 27 Februari 2012, yang dapat dikutip sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari segala apa yang telah Majelis Hakim pertimbangkan tersebut di atas, Majelis Hakim menarik suatu kesimpulan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi besaran penetapan fuel surcharge sebagaimana telah dipertimbangkan di atas sehingga kecenderungan yang sama dari perubahan fuel surcharge antara maskapai selaku Pemohon Keberatan, secara hukum tidak dapat dipastikan sebagai adanya kesepakatakan / perjanjian antara Pemohon Keberatan dalam menetapkan fuel surcharge.”
{Note SHIETRA & PARTNERS : Untuk industri skala besar, adalah mustahil tidak memiliki divisi marketing yang secara khusus menetapkan riset standar harga dengan melihat harga kompetitornya. Hanya insdustri skala kecil dan rumah tangga yang tidak memiliki sumber daya manusia se-spesifik tersebut sehingga tidak pernah mengetahui dan membandingkan harga jual barang / jasa kompetitornya ketika merumuskan strategi bisnis terutama harga jual, sehingga ketika disebutkan atau didalihkan “banyak faktor” yang terlibat, hal demikian senyatanya telah dikalkulasi sepenuhnya secara cermat oleh masing-masing produsen / pelaku usaha sehingga prediktabilitasnya tinggi, bukan lagi menjadi “korban faktor keadaan eksternal”, namun menjadi “penyetir” atau “pembentuk harga”, alias pemain tunggal atau bahkan pemain oligopoli yang bersekongkol itu sendiri.]
7.2.33 Berdasarkan fakta persidangan diatas, data ekonomi dalam LDP sama sekali tidak mendukung dugaan adanya kartel karena diakibatkan dari adanya persaingan yang ketat di pasar oligopoli yang tetap terbuka bagi pelaku usaha baru untuk masuk dan berkembang. Dan di pasar persaingan yang ketat secara logika ekonomi menghasilkan margin harga yang tipis diantara para pemain yang bersaing sehingga sudah pasti menghasilkan fenomena price parallelism.
7.2.34 Kemudian Investigator sama sekali tidak memahami bagaimana kebijakan dan strategi suatu perusahaan, dimana setiap perusahaan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyesuaikan kenaikan biaya. Oleh karena itu, minimnya kemampuan investigator dalam pemahaman kebijakan dan strategi perusahaan menyebabkan tuduhan penetapan harga oleh Terlapor I dan Terlapor II tidak berdasar;
7.2.35 Oleh karena itu, sudah selayaknya Yang Mulia Majelis Komisi menolak seutuhnya tuduhan Investigator mengenai penetapan harga yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II karena tuduhan tersebut tidak berdasar karena kesalahan dalam memahami industri dan ketidak-pemahaman Investigator terhadap teori ekonomi; [Note SHIETRA & PARTNERS : Teori ekonomi yang manakah? Sejak kapan jugakah sang “ekonomi” membuat titah dan menjadikan kedua Terlapor sebagai “nabi” satu-satunya dari sang “ekonomi”? Sikap “arogansi intelektual” yang dipertontonkan kedua pihak Terlapor, sangat menciderai nurani masyarakat Indonesia pada umumnya.]
7.3 Bahwa dalam kesimpulannya Terlapor II menyatakan pada pokoknya sebagai berikut;
7.3.1 Berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli-ahli, dan surat atau dokumen yang dihadirkan dalam persidangan terbukti bahwa produk skuter matik yang bersifat oligopolistik ini bisa menumbuhkan persaingan yang sehat dan dinamis di dalam pasar skuter matik di Indonesia;
7.3.2 Industri menjadi tumbuh dan berkembang karena dalam industri skuter matik ini melahirkan jenis produk yang heterogen dan terdiferensiasi. Terlapor II saja terhitung untuk jenis skuter matik 110-125 cc mempunyai 4 varian yang terdiri dari 13 tipe;
7.3.4 Jenis-jenis skuter matik Terlapor II adalah Honda Spacy, Honda Scoopy, Honda Vario Series (Vario 110, Vario 125 Techno dan Vario 125 CBS) dan Honda BeAT Series (BeAT Spoke, BeAT FI CW dan BeAT FI CBS);
7.3.5 Ahli Faisal Basri, S.E., M.A. dalam persidangan tanggal 20 Desember 2016, berpendapat bahwa pasar pada industri motor yang menggunakan teknologi tinggi, maka cenderung jumlah pemainnya hanya sedikit, dan bersifat oligopolistik;
7.3.6 Lebih lanjut, biaya marketing dan advertising baik itu untuk Below The Line (BTL) ataupun Above The Line (ATL) produk skuter matik Terlapor II setiap tahun selalu meningkat. Skuter matik sendiri memberikan kontribusi 70-73% untuk keseluruhan produk Terlapor II. Dengan demikian, biaya marketing dan advertising yang dikeluarkan untuk produk skuter matik Terlapor II pun sejalan dengan kontribusi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Thomas Wijaya tanggal 30 November 2016 dan Bukti Dokumen AHM Performance, 2012-2014 pada Marketing Expenses;
7.3.7 Fakta di atas menegaskan bahwa anggaran biaya iklan / advertising Terlapor II setiap tahun dapat bertambah. Fakta ini merupakan suatu hal yang mustahil ada di dalam pasar yang ada indikasi kartelnya;
7.3.8 Terlapor II telah memaksimalkan unit skuter matiknya dan bahkan memproduksi jauh melebihi kapasitas terpasangnya untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus meningkat. Hal ini dilakukan oleh Terlapor II sesuai dengan filosofi dan tujuan Terlapor II yaitu untuk selalu dan tetap dapat melayani pasar dan memberikan apa yang diperlukan oleh konsumen di Indonesia yang begitu besar permintaannya terhadap produk skuter matik Terlapor II.
7.3.9 Fakta di atas menegaskan bukti tidak ada pengaturan apapun termasuk pengaturan harga, produksi dan pemasaran, karena para pelaku usaha di dalam pasar memproduksi skuter matik secara independen;
7.3.10 Selain itu, Terlapor II juga seringkali melakukan pengembangandan menciptakan inovasi baru terhadap produk-produknya, meluncurkan model-model terbaru setiap tahunnya. Hal inidibuktikan dengan fakta bahwa produk skuter matik Terlapor II sangat disukai oleh masyarakat. Terlapor II juga melakukan pengembangan teknologi baru seperti fuel injection yang menggantikan karburator yang jauh lebih ramah lingkungan, menambahkan fitur-fitur baru seperti CBS, ISS, remote control;
7.3.11 Terlapor II mempunyai keunggulan dalam produk (pengembangan teknologi dan fitur baru), keunggulan jaringan yang cukup luas di hampir seluruh wilayah Indonesia (main dealer dan dealer), dan dukungan dari lembaga pembiayaan (financial company) yang membuat produk Terlapor II mudah didapatkan karena dukungan pembiayaan;
7.3.12 Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Sutarya, dalam persidangan tanggal 8 November 2016, yang memberikan keterangan: “Terlapor II merupakan raja di kelas skuter matik dan Terlapor I merasa sulit untuk merebut pangsa pasar skuter matik dari Terlapor II dikarenakan pengaruh dari produk milik Terlapor II yang sangat kuat di pasar.”
7.3.13 Black campaign dan perang harga seringkali terjadi di lapangan karena persaingan yang terjadi memperebutkan pasar produk Terlapor I dan Terlapor II di level dealer;
7.3.14 Para saksi dan ahli juga melihat bahwa persaingan yang ketat dan keras, bahkan cenderung mengarah kepada black campaign, akan sulit dan derajat untuk melakukan kartel sangat rendah;
7.3.17 Ahli Faisal Basri, S.E., M.A., dalam persidangan tanggal 20 Desember 2016 berpendapat bahwa:
”Biaya periklanan tinggi, kemungkinan black campaign pun tinggi, teknologi sering dilakukan inovasi secara besar-besaran, biaya pemasaran tinggi dan produk didiferensiasi memiliki derajat kecenderungan untuk melakukan kartel sangat rendah dan struktur dari pasar duopoli atau oligopoli belum tentu ada inisiatif untuk menciptakan kartel.”
7.3.19 LDP menitik-beratkan data-data harga Skuter Matik untuk periode tahun 2013 dan 2014. Namun demikian, dalam persidangan, data-data yang diminta lebih lanjut oleh Tim Investigator adalah untuk periode 2012 – 2015.
7.3.20 Data olahan LDP dan fakta persidangan yang disusun oleh Tim Investigator sama sekali berbeda:
7.3.21 Dalam LDP halaman 18 dan 19, data yang disajikan adalah hanya dari tahun 2013 – 2014 untuk Yamaha Mio J, Yamaha Mio GT, Honda BeAT FI SW, Honda BeAT FI CW dan Suzuki Nex FI;
7.3.22 Namun demikian dalam presentasi persidangan tanggal 5 Januari 2017, Tim Investigator menyajikan slide presentasi untuk periode 2012 – 2014 dengan jenis dan varian yang sama sekali berbeda dan tidak head to head, yaitu: Yamaha Mio J CW, Honda BeAT FI Spoke, TVS Dazz, dan Suzuki Nex;
7.3.23 Apabila Tim Investigator menyajikan data dengan menggunakan perbandingan produk dengan head to head yang sesuai, maka grafik yang tercipta akan sangat berbeda;
7.3.24 Selain itu, terbukti bahwa tidak jelas apa yang menjadi jenis dan varian objek perkara. Dalam LDP, hanya menitik-beratkan pada Skuter Matik Yamaha Mio J, Yamaha Mio GT, Honda BeAT FI SW dan Honda BeAT FI CW. Namun pada faktanya, Tim Investigator yang seolah-olah melakukan penyelidikan ulang kembali dalam tahap persidangan, meminta data-data untuk jenis dan varian lainnya dari Terlapor II, antara lain: Honda Vario, Spacy, dan Scoopy. Ketiga varian skuter matik ini sama sekali tidak pernah disinggung di dalam LDP;
7.3.25 Perbandingan jenis dan varian yang dilakukan oleh Tim Investigator dalam Perkara adalah tidak head to head atau dengan kata lain produk yang saling dibandingkan memiliki spesifikasi yang tidak sama dan seharusnya tidak dapat menjadi perbandingan. Dalam persidangan tanggal 5 Januari 2017, Tim Investigator memberikan presentasi perbandingan harga untuk Skuter Matik 125cc sebagai berikut: ... Slide presentasi ini tidak dapat membuktikan dugaan pelanggaran penetapan harga antara Terlapor I dan Terlapor II dikarenakan sama sekali tidak sesuai dengan jenis dan varian Skuter Matik yang didalihkan di LDP.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Terdapat logika ekonomi sederhana yang “lucu” sekali dari Terlapor II yang mengaku sebagai paling mahir soal ekonomi. Bila kita berbicara “apple to apple”, maka menjadi aneh bilamana harga jual menjadi sama atau derajat kenaikan harga menjadi sejajar atau setara, sementara spesifikasinya saling berbeda sebagaimana klaim Terlapor II, justru pola demikian membuktikan tuduhan KPPU atas terjadinya kartel harga.]
7.3.26 Terlapor II mencermati bahwa selain dari data yang ditampilkan tersebut tidak sesuai dengan jenis dan varian di LDP, data tersebut juga sangat tidak akurat dalam menyajikan perbandingan harga yang dapat dilihat melalui head to head perbandingannya dan jenis dan/atau tipe skuter matiknya;
7.3.27 Perbandingan yang dilakukan oleh Tim Investigator di atas adalah untuk 3 jenis varian skuter matik di kelas 125 cc, yaitu Yamaha Mio Soul GT, Suzuki Hayate dan Honda Vario 125 Techno;
7.3.28 Untuk perbandingan head to head skuter matik di atas, Tim Investigator telah menjelaskan bahwasanya perbandingan head to head tersebut sudah sesuai dengan data yang dipaparkan dalam pemeriksaan saksi Thomas Wijaya pada tanggal 30 November 2016. Faktanya apa yang disampaikan Tim Investigator tersebut sama sekali tidak benar;
7.3.29 Pada saat sidang pemeriksaan saksi pada tanggal 30 November 2016 tersebut, Saksi Thomas Wijaya menyampaikan dokumen dengan judul “Head to head product price comparison between H VS Y Periode Jan–April 2014”. Dokumen tersebut sebenarnya telah diserahkan Terlapor II pada saat pemeriksaan Toshiyuki Inuma pada persidangan tertanggal 5 Januari 2017;
7.3.30 Menurut saksi Thomas Wijaya, perbandingan head to head yang disampaikan adalah: Yamaha Soul GT dengan Honda New Vario 125 cc. Honda Vario 125 Techno dengan Yamaha Xeon RC.
7.3.31 Apabila Tim Investigator melakukan analisa dan menyajikan data dengan menggunakan perbandingan head to head yang benar, maka grafik yang timbul akan sangat berbeda. Sehingga, pembuktian dan data yang diolah oleh Tim Investigator, Terlapor II anggap sebagai data yang menyesatkan dan tidak berdasar, karena tidak sesuai dengan data yang disampaikan oleh pihak Terlapor II; [Note SHIETRA & PARTNERS : Tiada data dari pelaku pelanggar hukum yang membuka fakta pelanggaran hukum miliknya sendiri.]
7.3.32 Mengenai hal tersebut di atas, Ahli Ilmu Ekonometrika dan Statistika, Dr. Anton Hendranata menyatakan : bahwa Penentuan data dan periode observasi harus memiliki dasar yang kuat secara teori dan empiris. Adapun informasi yang tidak dicantumkan berarti membuat observasi tanpa dasar yang merupakan kesalahan yang fatal dan tidak bisa ditoleransi;
7.3.33 Analisa Tim Investigator yang didasarkan pada data dan informasi yang sama sekali tidak akurat dan tidak konsisten menimbulkan potensi kekeliruan yang nyata dalam proses penyusunan dugaan pelanggaran LDP. Dengan demikian terbukti bahwa LDP tidak didasarkan pada analisa yang mendalam, sehingga menjadi tidak berdasar;
7.4 Sebelum memberikan pertimbangan berkaitan dengan penetapan harga yang dilakukan oleh para Terlapor, Majelis Komisi perlu menyampaikan penilaian terhadap data yang disajikan oleh Terlapor I, yaitu sebagai berikut:
7.4.1 Bahwa Majelis Komisi menilai terdapat penyajian data yang tidak benar yang dilakukan oleh Terlapor I, sebagai berikut (T1.14.1, T2.9, T1.38): [Note SHIETRA & PARTNERS : Ternyata, pihak Terlapor I bagai “maling teriak maling”.]
7.4.2 Bahwa kesalahan tersebut selanjutnya diperkuat dengan kesalahan dalam melakukan analisis dan membuat pendapat terkait dengan analisis perubahan harga produk yang dilakukan oleh Terlapor I yang terbukti dalam persidangan menyatakan (Vide bukti B12):
“(produk) Xeon RC Maret 2013 itu 1 juta di atas Honda dibanding Vario Techno FI, sehingga begitu lihat Honda meluncurkan produk varian yang ada kita tidak mampu bersaing, kita menurunkan harga.” (Keterangan Dyonisius Beti selaku Vice Presiden Terlapor I dalam Sidang Majelis Komisi tanggal 22 November 2016)
7.4.3 Berdasarkan data time series harga produk Xeon RC yang disajikan dan disampaikan Terlapor I tersebut, Majelis Komisi menilai tidak seluruhnya merupakan data harga produk Xeon RC;
7.4.4 Berdasarkan data time series harga produk Xeon RC yang disajikan dan disampaikan Terlapor I tersebut Majelis Komisi menilai bahwa Terlapor I terbukti telah menggabungkan data produk Xeon dan Xeon RC dengan cara:
a. Penyajian data harga produk sampai dengan bulan Mei 2013 dilakukan Terlapor I dengan memasukkan data harga produk Xeon;
b. Selanjutnya data harga produk bulan Juni 2013 sampai dengan bulan Desember 2013 dilakukan Terlapor I dengan memasukkan harga produk lain yaitu Xeon RC., sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: ...;
7.4.5 Bahwa atas tindakan Terlapor I yang memasukkan data yang berbeda tersebut maka seolah-olah telah terjadi penurunan harga produk, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: ...;
7.4.6 Bahwa berdasarkan alat bukti, Majelis Komisi menilai sebenarnya tidak pernah terjadi penurunan harga untuk produk skutik Xeon selama kurun waktu Tahun 2013 sebagaimana tergambar berikut: ...;
7.4.7 Bahwa berdasarkan alat bukti, Majelis Komisi menilai sebenarnya juga tidak pernah terjadi penurunan harga untuk produk skutik Xeon RC selama kurun waktu Tahun 2013 sebagaimana tergambar berikut: ...;
7.4.8 Selanjutnya berdasarkan alat bukti, Majelis Komisi juga menemukan penyajian data yang tidak benar yang dilakukan oleh Terlapor I terkait perbandingan harga produk Yamaha Mio dengan produk Honda Beat tahun 2013 dan tahun 2014 sebagai berikut (Vide bukti T1.14.1, T1.14.2, T2.9);
7.4.9 Harga Skutik Kapasitas 110 CC Tahun 2013. Bahwa Majelis Komisi menilai penyajian data tersebut terbukti tidak benar karena berdasarkan alat bukti diketahui perbandingan harga produk tersebut adalah sebagai berikut: ...;
Keterangan: (harga dalam ribu rupiah) Kesalahan penyajian data oleh Terlapor I pada: a. Xeon RC Di bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember tahun 2013; b. Vario Techno FI di bulan Maret, April dan Mei tahun 2013 dan ; c. Vario Techno FI CBS ISS pada bulan Januari dan Februari tahun 2013
7.4.10 Harga Skutik Kapasitas 125 CC Tahun 2013;
7.4.11 Bahwa Majelis Komisi menilai penyajian data tersebut terbukti tidak benar karena berdasarkan alat bukti diketahui perbandingan harga produk tersebut adalah sebagai berikut: ...;
Keterangan: (harga dalam ribu rupiah) Kesalahan penyajian data oleh Terlapor I pada: a. Produk Mio J CW Teen pada bulan Februari tahun 2013; b. Produk Mio GT pada bulan Februari tahun 2013; c. Produk Beat FI CW pada bulan Maret, April, dan Mei, tahun 2013; d. Produk Beat FI CBS pada bulan Maret, April, Mei, Agustus, September, Oktober, November dan Desember untuk tahun 2013;
a. Harga Skutik Kapasitas 110 CC Tahun 2014 (vide, Bukti T1.14.2, T2.9);
7.4.12 Bahwa Majelis Komisi menilai penyajian data tersebut terbukti tidak benar karena berdasarkan alat bukti diketahui perbandingan harga produk tersebut adalah sebagai berikut : ...;
Keterangan: (harga dalam ribu rupiah) Kesalahan penyajian data oleh Terlapor I pada: a. Mio J CW Teen pada bulan Agustus, September, Oktober, November dan Desember tahun 2014; b. Mio GT pada bulan Agustus dan September tahun 2014; c. Beat FI CW pada bulan Januari tahun 2014; d. Beat FI CBS pada bulan Januari, Maret, April, Mei dan Juni tahun 2014;
a. Harga Skutik Kapasitas 125 CC Tahun 2014;
7.4.13 Bahwa Majelis Komisi menilai penyajian data tersebut terbukti tidak benar karena berdasarkan alat bukti diketahui perbandingan harga produk tersebut adalah sebagai beriku: ...;
Kesalahan penyajian data oleh Terlapor I pada: a. Vario Techno FI pada bulan Januari, Maret, dan April tahun 2014; b. Vario Techno FI CBS ISS pada bulan Januari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus tahun 2014;
7.4.14 Atas dasar kesalahan dalam pengambilan data yang dilakukan oleh Terlapor I tersebut, Majelis Komisi menilai secara otomatis berdampak pada kesalahan analisis data perbandingan harga produk yang dilakukan Terlapor I karena terbukti telah didasarkan pada pengambilan data (input) yang salah; {Note SHIETRA & PARTNERS : Produsen sekelas “raksasa”, adalah mustahil pencantuman data yang salah guna pembelaan diri di persidangan, terjadi atas dasar kelalaian yang bukan tidak disengaja.]
7.4.15 bahwa dari fakta-fakta tersebut Majelis Komisi menilai Terlapor I telah berusaha secara sengaja dan sistematis untuk menyajikan data dan fakta yang tidak benar agar terbentuk persepsi yang menguntungkan kepentingan Terlapor I;
7.5 Selanjutnya berkaitan dengan pendapat mengenai penetapan harga tersebut, maka Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut:
7.5.1 Bahwa Majelis Komisi menilai Penetapan harga yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1999 tidak hanya atas struktur atau skema harga. Karena dalam ayat Pasal 5 ayat (1) tersebut penetapan harga tidak berarti penetapan harga yang sama;
7.5.2 Bahwa selanjutnya Majelis Komisi melakukan penilaian dan analisis sendiri dengan menggunakan data yang diperoleh dalam persidangan dengan menggunakan teknik standar dalam ekonomi persaingan terkait penetapan harga Terlapor I dan Terlapor II yaitu sebagai berikut;
7.5.2.1 Dalam perkara a quo, Majelis Komisi melakukan analisis dengan menggunakan metode:
a. Analisis struktural (Structural Screening);
b. Analisis Prilaku (Behavioral Screening);
7.5.2.2 Bahwa berdasarkan pergerakan konsentrasi 2 (dua) perusahaan terbesar (CR2) selama selama bulan Januari 2012-Desember 2014 diketahui bahwa pergerakan yang stabil dari CR2 pada periode Januari 2012 hingga Desember 2014 dalam rentang 0.9 hingga 1. Kondisi ini menunjukan bahwa industri kendaraan bermotor beroda dua memiliki struktur oligopoli ketat;
7.5.2.3 Selanjutnya berdasarkan pergerakan HHI selama bulan Januari 2012 hingga Desember 2014. HHI berfluktuasi dalam interval 4500 dan 7000 (skala 0-10000) sehingga mengklasifikasikan industri ini dalam struktur yang sangat terkonsentrasi;
7.5.2.4 Berdasarkan analisis prilaku bahwa dalam pasar oligopoli yang di dalamnya ada pemimpin pasar (leader) dan perusahaan lainnya sebagai pengikut (follower), pemimpin pasar merupakan perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang paling besar (dominan). Kemudian terkait dengan penetapan harga, perilaku harga perusahaan follower akan mengikuti harga yang dilakukan oleh perusahaan leader. Strategi yang dilakukan perusahaan follower salah satunya ialah menjaga harga relatif tetap sama dengan harga produk perusahaan leader dengan cara mengikuti setiap harga dari perusahaan leader;
7.5.2.5 Salah satu pembuktian yang dapat dilakukan terkait harga antar follower dan leader ialah dengan menggunakan metode Informal dengan menggunakan grafik; [Note SHIETRA & PARTNERS : Economic based evidences, salah satu alat bukti yang selama ini menjadi tumpuan utama KPPU dalam membongkar modus persaingan usaha tidak sehat yang demikian terselubung dan tertutup rapat.]
7.5.2.6 Berdasarkan data harga produk 110 CC pada tahun 2014 menunjukan pergerakan sebagai berikut (Vide bukti T1.14.2, T2.9): ...;
7.5.2.7 Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa harga yang relatif sama terjadi pada merk Honda dan Yamaha untuk menjaga harga relatif yang sama antara kedua perusahaan leader (Honda) dan follower (Yamaha). Setelah bulan Februari, hanya Honda dan Yamaha yang memiliki kenaikan harga sedangkan harga motor Suzuki relatif konstan;
7.5.2.8 Selanjutnya berdasarkan data harga produk 125 CC pada tahun 2014 menunjukan pergerakan sebagai berikut (Vide bukti T1.14.2, T2.9): ...;
7.5.2.9 Berdasarkan grafik tersebut, tren harga yang terus meningkat terjadi pada merk Honda. Yamaha meningkatkan harga pada Maret setelah Honda meningkatkan harga pada Februari dan Maret. Yamaha tidak lagi merubah harga selama tahun 2014 walaupun Honda menurunkan atau menaikan kembali harganya. Walaupun demikian, pada akhirnya kedua Terlapor berusaha mempertahankan harga relatif kedua produk mereka terutama mulai bulan Oktober 2014;
7.5.2.10 Selanjutnya untuk memperkuat pembuktian, maka Majelis Komisi Menggunakan metode Ekonometrika menggunakan data time series dengan teknik-teknik sebagai berikut: ...;
a. Analisis Kointegrasi dengan menggunakan harga riil dimaksudkan untuk melihat apakah ada keterkaitan harga motor Honda dan Yamaha, dengan melakukan analisis atau uji kointegrasi menggunakan uji 2 (dua) tahap dengan metode Engle-Granger (1987), dengan hasil sebagai berikut (vide bukti T1.14.2,T2.9): ...;
b. Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi model ekonometrika persamaan struktur model keterkaitan harga antara harga motor skutik Honda dan harga motor skutik Yamaha. Regresi dilakukan dengan menggunakan metode koreksi terhadap standar error dengan metode White. Dari hasil estimasi model struktural diperoleh kesimpulan bahwa harga motor skutik Yamaha dipengaruhi secara signifikan oleh harga motor skutik Honda di kedua tipe 110 cc dan 125 cc pada tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1%.;
c. Kemudian Tabel 2 menunjukkan hasil estimasi model untuk uji kointegrasi antara harga motor skutik Honda dan Yamaha. Model diestimasi dengan menggunakan regresi dengan koreksi pada standar error menggunakan metode White. Dari hasil uji kointegrasi pada parameter Ut-1 baik pada model dengan 110 cc dan 125 cc dapat diketahui bahwa terdapat kointegrasi atau hubungan antara harga motor skutik Honda dan harga motor skutik Yamaha. Hasil ini dapat diketahui dari hasil uji t-statistik pada parameter Ut-1 yang menyatakan Ho tidak dapat ditolak pada tingkat signifikansi sebesar 1% pada kedua model (110 cc dan 125 cc);
d. Dari hasil estimasi model seperti ada Tabel 1 dan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa secara umum terdapat keterkaitan harga antara motor skutik Honda dan harga motor skutik Yamaha dengan menggunakan model struktural dan pengujian kointegrasi yang ada. Hasil ini menunjukkan ada harga rata-rata yang saling berhubungan atau mempengaruhi antara kedua merk tersebut;
a. Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi model regresi antara harga rata-rata motor skutik untuk setiap tipe dengan variabel dummy merk, interaksi antara variabel dummy trend dengan merk, dan dummy koordinasi. Dari hasil estimasi model regresi di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan harga rata-rata yang signifikan antara harga motor Terlapor I dan Terlapor II pada tipe motor 110 cc. Lebih jauh tren perbedaan harga antara kedua merk tipe 110 cc dan 125 cc tidak berbeda secara signifikan pada periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa harga produk dari kedua merk bergerak dengan gerakan trend yang sama untuk mempertahankan harga relatif yang sama;
f. Kemudian Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel Dkoordinasi memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 1% untuk kedua tipe motor 110 cc dan 125 cc. Hasil ini menunjukkan bahwa setelah adanya koordinasi pada bulan Januari 2014, terjadi kenaikan harga rata-rata yang signifikan pada kedua tipe 110 cc dan 125 cc motor skutik kedua merk tersebut;
7.5.2.11 Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil uji ANOVA (Analysis Of Variance) dengan menggunakan variabel dummy dan interaksinya;
a. Bahwa terdapat perbedaan harga rata-rata motor skutik Terlapor I dan Terlapor II yang signifikan tetapi hanya pada tipe motor 110 cc selama periode 2012-2014;
b. bahwa tidak terdapat perbedaan tren perbedaan harga rata-rata antara motor skutik Terlapor I dan Terlapor II pada kedua tipe 110 cc dan 125 cc selama periode 2012-2014. Perbedaan harga rata-rata kedua motor skutik Honda dan Yamaha tersebut secara statistik trennya sama;
c. Kemudian dari Tabel 3 dapat disimpulkan juga bahwa setelah adanya koordinasi antara Terlapor I dan Terlapor II pada Bulan Januari 2014, terjadi kenaikan harga rata-rata yang signifikan untuk kedua motor Honda dan Yamaha pada kedua tipe 110 cc dan 125 cc;
7.5.3 Secara keseluruhan Majelis Komisi menyimpulkan beberapa hal terkait dengan harga motor Terlapor I dan Terlapor II, sebagai berikut;
7.5.3.1 Hasil analisis harga motor skutik Honda dan Yamaha dengan menggunakan grafik menunjukkan bahwa terjadi hubungan dalam harga rata-rata motor skutik Honda dan Yamaha pada kedua tipe 110 cc dan 125 cc selama periode 2014 setelah bulan Januari 2014;
7.5.3.2 Hasil uji kointegrasi menujukkan bahwa terdapat kointegrasi atau integrasi hubungan dalam harga antara merk motor Honda dan Yamaha pada kedua tipe 110 cc dan 125 cc selama periode 2012-2014;
7.5.3.3 Kemudian kecenderungan tren perbedaan harga antara kedua merk Honda dan Yamaha disimpulkan tidak signifikan untuk kedua tipe 110 cc dan 125 cc. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya kecenderungan kedua perusahaan mampu menjaga harga relatif yang sama;
7.5.3.4 Terjadi kenaikan harga rata-rata untuk kedua tipe motor 110 cc dan 125 cc yang signifikan setelah adanya koordinasi pada bulan Januari 2014 untuk kedua merk;
8. Tentang Dampak;
8.1 Berkaitan dengan dampak terjadinya kartel, Tim Investigator menyatakan yang pada pokoknya bahwa kartel yang terjadi mengakibatkan kenaikan keuntungan Terlapor I, meskipun faktanya angka penjualannya menurun. Dan kartel tersebut mengakibatkan konsumen tidak mendapatkan harga yang kompetitif;
8.2 Bahwa dalam kesimpulannya Terlapor I menyatakan tidak memperoleh keuntungan yang berlebih (excessive profit) sehingga tuduhan investigator dalam penetapan harga tidak logis dan tidak berdasar;
8.3 Bahwa Terlapor II tidak memberikan pembelaan terkait dampak kartel;
8.4 Berkaitan dengan dampak tersebut, Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut:
8.4.1 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dugaan pelanggaran dalam perkara a quo adalah dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan:
“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
8.4.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut sangat jelas tidak menyatakan mengenai dampak persaingan. Oleh karena itu, Majelis Komisi menilai dan menegaskan bahwa perkara a quo adalah per se illegal sehingga eksesif profit tersebut bukan merupakan unsur pembuktian ada tidaknya suatu kartel sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 sehingga tanpa dibuktikan adanya dampak kartel tetap merupakan tindakan anti persaingan;
[Note SHIETRA & PARTNERS : Bila dianalogikan dengan konsepsi hukum pidana, ketentulan larangan kartel termasuk “delik formil” (perbuatan itu sendiri yang dilarang), bukan “delik materiil” yang mensyaratkan adanya dampak / akibat berupa adanya kerugian bagi korban pelapor.]
9. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999;
9.1 Menimbang bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
9.2 Menimbang bahwa untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut:
9.2.1 Unsur Pelaku Usaha;
9.2.1.1 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:
“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.“;
9.2.1.2 Bahwa yang dimaksud sebagai pelaku usaha dalam perkara a quo adalah Terlapor I dan Terlapor II sebagaimana dimaksud dalam butir 1 Bagian Tentang Hukum sehingga secara mutatis mutandis menjadi satu kesatuan analisis pemenuhan unsur ini;
9.2.1.3 Bahwa Terlapor I dan Terlapor II merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia berupa kegiatan usaha antara lain penjualan sepeda motor skuter matik (skutik) dengan kapasitas 110 – 125 CC di wilayah Indonesia;
9.2.1.4 Bahwa dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi;
9.2.2 Unsur Perjanjian;
9.2.2.1 Bahwa Majelis Komisi menilai perjanjian yang dimaksud dalam perkara a quo adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999, yaitu:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
9.2.2.2 Bahwa perjanjian yang dimaksud dalam perkara a quo adalah perjanjian antara Terlapor I dengan Terlapor II untuk menetapkan harga jual barang dan/atau jasa (dalam hal ini adalah sepeda motor roda dua skuter matik 110 – 125 CC) yang harus dibayar konsumen di wilayah Indonesia;
9.2.2.3 Sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, Majelis Komisi berpendapat bahwa perjanjian mencakup tertulis maupun tidak tertulis, termasuk di dalamnya adalah tindakan bersama (concerted action) pelaku usaha;
9.2.2.4 Bahwa pendapat Majelis Komisi tersebut diperkuat dengan keterangan ahli yang pada pokoknya menyatakan:
a. Bahwa concerted action tidak dipersyaratkan bahwa ada suatu perjanjian tertulis yang mensyaratkan pihak-pihak yang melakukan concerted action tidak perlu dibuktikan seperti itu. Dalam “concerted action” itu yang penting terjadi komunikasi;
b. bahwa “concerted action” itu definisinya adalah suatu tindakan yang direncanakan, diatur dan disepakati oleh para pihak secara bersama-sama dengan tujuan yang sama, masing-masing yang melakukan perbuatan itu tidak mengikatkan diri baik tertulis maupun lisan namun mereka memiliki tujuan yang sama. Pelaku concerted action akan dipertanggungjawabkan atas tindakan bersama walaupun sekalipun dia tidak mengikatkan diri;
9.2.2.5 Berdasarkan keterangan ahli, Majelis Komisi berpendapat bahwa perjanjian yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 masih merujuk pada kata perbuatan, esensinya pada pelaku usaha mengikatkan diri dengan pelaku usaha yang lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. UU Nomor 5 tahun 1999 esensinya lebih luas karena tidak tertulis pun masuk dalam lingkup definisi perjanjian;
9.2.2.6 Atas dasar hal tersebut, Majelis Komisi menilai bahwa dalam perkara a quo telah terjadi perbuatan mengikatkan diri pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain (dalam hal ini pesaingnya) secara tidak tertulis atau concerted action yang dibuktikan dengan perilaku para Terlapor sebagaimana telah diuraikan pada Bagian Tentang Hukum Terkait Perilaku Terlapor (pada butir 6) dan selanjutnya diperkuat dengan bukti ekonomi adanya implementasi penetapan harga sebagaimana telah diuraikan pada Bagian Tentang Hukum Terkait Penetapan Harga (pada butir 7) sehingga secara mutatis mutandis menjadi satu kesatuan dengan pertimbangan pemenuhan unsur pasal ini;
9.2.2.7 Berdasarkan alat bukti, Majelis Komisi menilai bahwa terdapat kesesuaian antara fakta pertemuan di lapangan golf antara Terlapor I dan Terlapor II, komunikasi surat elektronik serta bukti analisis penetapan harga sehingga Majelis Komisi menilai adanya perbuatan penetapan harga benar ditindak-lanjuti;
9.2.2.8 Bahwa oleh karena itu, Majelis Komisi menilai perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian;
9.2.2.9 Bahwa dengan demikian unsur membuat perjanjian terpenuhi;
9.2.3 Unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing;
9.2.3.1 Bahwa Majelis Komisi berpendapat pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama;
9.2.3.2 Berdasarkan fakta dan analisis pada Bagian Tentang Hukum terkait dengan industri sepeda motor skuter matik di Indonesia, Majelis Komisi menilai bahwa Terlapor I dan Terlapor II berada pada pasar bersangkutan yang sama sehingga keduanya merupakan pesaing satu sama lain;
9.2.3.3 Bahwa dengan demikian unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaingnya terpenuhi;
9.2.4 Unsur Menetapkan Harga atas suatu Barang dan/atau Jasa Yang Harus oleh Konsumen atau Pelanggan;
9.2.4.1 Bahwa menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha;
9.2.4.2 Bahwa yang dimaksud dengan barang dalam perkara a quo adalah skuter matic (skutik) di wilayah Indonesia;
9.2.4.3 Bahwa yang dimaksud dengan penetapan harga atas suatu barang yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan dalam perkara a quo adalah penetapan harga jual sepeda motor roda dua skuter matik 110 – 125 CC sebagaimana terbukti berdasarkan perilaku para Terlapor yang telah diuraikan pada Bagian Tentang Hukum Terkait Perilaku Terlapor (butir 6) dan selanjutnya diperkuat dengan bukti ekonomi adanya implementasi penetapan harga sebagaimana telah diuraikan pada Bagian Tentang Hukum Terkait Penetapan Harga (butir 7) dan secara mutatis mutandis menjadi satu kesatuan dengan pertimbangan pemenuhan unsur pasal ini;
9.2.4.4 Bahwa dengan demikian unsur menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa terpenuhi;
9.2.5 Unsur Pasar Bersangkutan;
9.2.5.1 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan/atau jasa tersebut;
9.2.5.2 Bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah pasar kendaraan sepeda motor roda dua jenis skuter matik (skutik) dengan kapasitas 110 – 125 CC di wilayah Indonesia sebagaimana telah diuraikan pada Bagian Pasar Bersangkutan Bagian Tentang Hukum (butir 5) sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari analisis pemenuhan unsur pasal ini;
9.2.5.3 Berdasarkan alat bukti yang diperoleh selama proses persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti melakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama;
9.2.5.4 Bahwa dengan demikian, unsur pasar bersangkutan yang sama dalam perkara a quo terpenuhi;
10. Tentang Rekomendasi Majelis Komisi;
Menimbang bahwa sebelum memutus, Majelis Komisi memandang perlu memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, yaitu;
10.1 Kemampuan design dan pengembangan kendaraan bermotor roda 2 (dua) oleh perusahaan nasional sendiri (dialihkan dari principal ke Indonesia);
10.2 Mendorong peningkatan industri komponen lokal termasuk IKM (Industri Kecil menengah) sehingga komponen utama sepeda motor, yaitu engine, transmisi, rangka, dan elektrikal dapat dihasilkan oleh industri domestik (PMDN) termasuk IKM nya;
11. Tentang Pertimbangan Majelis Komisi Sebelum Memutus;
11.1 Menimbang bahwa sebelum memutus, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan masing-masing Terlapor sebagai berikut;
11.1.1 Bahwa selama proses persidangan, Majelis Komisi menilai Terlapor I telah bersikap sopan dalam persidangan;
11.1.2 Bahwa Majelis Komisi juga menilai Terlapor II telah kooperatif dalam memberikan data dan Terlapor II telah kooperatif dalam menghadirkan saksi dan Presiden Direktur;
11.2 Bahwa selain itu, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan masing-masing Terlapor sebagai berikut;
11.2.1 Bahwa selama proses persidangan, Majelis Komisi menilai Terlapor I manipulatif dalam menyajikan data, selain itu Terlapor I juga tidak kooperatif dalam menghadirkan saksi dan Presiden Direktur;
11.2.2 Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor II tidak bersikap sopan dalam persidangan;
12. Tentang Perhitungan Denda;
Menimbang bahwa dalam mengenakan sanksi denda bagi para Terlapor, Majelis Komisi memperhitungkan hal-hal sebagai berikut;
12.1 Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya;
12.2 Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;
12.3 Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
12.4 Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut;
12.5 Bahwa dalam menentukan besaran denda untuk masing-masing Terlapor, Majelis Komisi menempuh tiga langkah. Pertama, penentuan besaran nilai dasar denda. Kedua, penentuan proporsi dari nilai dasar denda untuk masing-masing Terlapor. Ketiga, penyesuaian besaran denda dengan mengurangi dan/atau menambahkannya berdasarkan pertimbangan hal-hal yang meringankan dan/atau memberatkan;
12.6 Bahwa Majelis Komisi memberikan penambahan denda kepada Terlapor I sebesar 50% (lima puluh persen) dari besaran proporsi denda karena Terlapor I dalam proses persidangan ini telah memberikan data yang dimanipulasi;
12.7 Bahwa Majelis Komisi memberikan pengurangan denda kepada Terlapor II sebesar10% (sepuluh persen) dari besaran proporsi denda karena Terlapor II yang dalam proses persidangan ini telah kooperatif dalam memberikan data;
13. Tentang Diktum Putusan dan Penutup;
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis dan kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999, Majelis Komisi:
MEMUTUSKAN
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp.25.000.000.000 (Dua Puluh Lima Miliar Rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp.22.500.000.000 (Dua Puluh Dua Miliar Lima Ratus Juta Rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Memerintahkan Terlapor I, dan Terlapor II, untuk melakukan pembayaran denda, melaporkan dan menyerahkan bukti pembayaran denda ke KPPU.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.