Janis Manusia yang Paling Sukar untuk Dihadapi, dan Sebaiknya Dihindari

ARTIKEL HUKUM
Jika Anda berpikir, bahwa orang-orang yang kaya secara materi, adalah orang-orang yang paling sukar untuk dihadapi, maka Anda keliru. Jika Anda berasumsi, bahwa menghadapi orang-orang yang memiliki pangkat serta kedudukan (kekuasaan), adalah orang yang paling sulit untuk dihadapi, maka Anda juga keliru. Jika Anda berasumsi bahwa menghadapi orang-orang yang kuat secara fisik atau menang dalam hal kuantitas, adalah paling sukar untuk dihadapi, maka Anda lagi-lagi keliru.
Betul bahwa “power tends to corrupt”, semua sumber daya demikian sejatinya memang “menggoda” pemiliknya untuk melakukan “penyalah-gunaan” kesempatan dan sumber daya yang dimiliki olehnya. Namun akan sama kelirunya ketika kita membuat stigma bahwa semua orang kuat secara ekonomi dan politis, adalah orang-orang yang sudah dapat dipastikan orang-orang yang kerap menyalah-gunakan kekuatan dan kekuasaannya.
Dalam setiap kesempatan dan setiap situasi, kapan serta dimana pun itu berada, hanya dapat kita jumpai dua tipe manusia yang paling sukar untuk kita hadapi, yakni: 1.) orang-orang yang “tidak malu untuk berbuat jahat”; dan 2.) orang-orang yang “tidak takut untuk berbuat jahat”. Kombinasi sempurnanya ialah pada derajat : tidak malu dan tidak pula takut untuk berbuat kejahatan.
Bila kita menemui tipe seseorang semacam itu, ada baiknya penulis rekomendasikan untuk bersikap waspada, menjaga jarak, dan sebisa mungkin untuk tidak terlibat dengan mereka—karena mereka adalah tipe-tipe manusia yang tidak dapat dihadapi dengan akal sehat maupun dengan cara-cara beradab—senantiasa “mau menang sendiri” dan “menghalalkan segala cara”. Berbicara dengan akal sehat terhadap mereka, adalah kesia-siaan, sebab mereka hanya bersedia membuka mulut untuk berbicara (penuh putar-balik fakta) dengan kondisi telinga tertutup rapat.
Mereka yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat, tidak akan pernah takut akan konsekuensi yang akan mareka hadapi, yakni “Hukum Karma”—sekalipun besar kemungkinan mereka mampu “membeli” Hukum Negara sehingga “kebal hukum”. Bagi kita, orang-orang yang malu dan takut berbuat kejahatan, tidak pernah menjadi pilihan untuk menyewa seorang “pembunuh bayaran”, sebagai contoh, terpikirkan pun tidak, mencoba pun tiada akan pernah terjadi.
Sebaliknya, cara-cara jahat dan cara-cara tidak manusiawi, dapat ditempuh oleh mereka yang tidak memiliki rasa malu ataupun rasa takut untuk berbuat jahat, guna melukai dan merugikan korban-korban mereka, jika perlu sampai mematikan dan menganiaya serta mengintimidasi dengan menyalah-gunakan kekuatan ekonomi maupun kekuatan fisik anak-buahnya.
Tiada yang pernah ditakutkan oleh orang-orang dengan tipe “tidak malu dan tidak takut untuk berbuat jahat”, karena sejatinya mereka tidak merasa takut akan atau bahkan justru menantang “dosa”. Tidak takut berbuat jahat, sama artinya tidak takut akan “dosa”, dan tidak pula takut akan “hukum karma”. Menghadapi mereka yang tidak takut akan dosa maupun hukum karma, sama artinya kita sedang menghadapi “robot buas tanpa perasaan yang sedang mengamuk membabi-buta”.
Bila terhadap ancaman sanksi seperti “penjara” ataupun “neraka” sekalipun orang-orang bertipe “tidak malu dan tidak takut berbuat jahat” tidak gentar, maka apalah artinya bagi mereka untuk menyakiti dan melukai seorang atau beberapa orang warga? Bagi mereka, melukai orang lain sama “sepele”-nya dengan menginjak-injak seekor semut yang kecil tanpa arti (mereka menganggab hanya diri mereka sendiri yang berarti, cenderung narsistik-egoistik). Mereka justru akan cenderung mengorbankan dan menumbalkan orang-orang lainnya demi kenikmatan dan kesenangan hidup mereka pribadi—jika perlu menjadikan kepala orang lain sebagai batu pijakan. Bagi mereka, kenikmatan dan kesenangan hidup hedonistis itu sendirilah yang mereka “dewa-dewakan”—sekalipun menjadi budak dari uang dan kekuasaan.
Namun, yang paling dahsyat dampak merusaknya, ialah orang-orang dengan tipe “tidak malu dan tidak takut berbuat jahat” namun juga memiliki sumber daya ekonomi maupun politis—mereka adalah jenis orang yang “benar-benar tidak dapat terhentikan” (unstopable). Apapun yang mereka kehendaki, sekalipun dengan cara memakan hidup banyak warga negara lain yang menjadi menderita akibat perilaku korupsi, sebagai contoh, dapat dipastikan akan terlaksana tanpa dapat dilawan oleh rakyat kecil dan miskin. Pengusaha pertambangan, adalah salah satu contoh yang kerap mencerminkan perilaku seorang pengusaha ketika mengorbankan kepentingan komunitas lokal yang berisi banyak penduduk atas lingkungan hidup tempat mereka hidup selama ini.
Tiada belas kasihan, tiada rasa prihatin (ketidak-mampuan turut merasakan derita orang lain), terlebih empati kepada orang-orang yang mereka jadikan sebagai korban dan tumbalkan. Itulah sebabnya, penulis menjuluki orang-orang semacam itu sebagai “robot berdarah dingin tanpa perasaan”. Bagi mereka, menyewa aksi premanisme, memelihara preman-preman yang siap melakukan kekerasan bagi kepentingan maupun untuk melaksanakan perintah, menyuap aparatur pemerintah agar diberi izin yang sejatinya ilegal, menyuap aparat penegak hukum sehingga “kebal hukum”, hingga menyewa “pembunuh bayaran”, bagi mereka sama sepelenya dengan memesan makanan dari restoran siap-saji lewat telepon genggam mereka—itulah yang paling menakutkan dari orang-orang bertipe “tidak malu dan tidak takut untuk berbuat jahat”. Mereka adalah “iblis” berwujud manusia yang hidup di muka bumi—“manusia iblis”.
Karenanya juga, orang baik hati, penyabar, miskin, pemurah, selalu menjadi “mangsa empuk” di mata orang-orang serakah yang selalu melihat orang lain seperti sasaran “manusia memakan sesama manusia” (kanibalisme secara ekonomi maupun secara sosial-politis). Mirip seperti ketika seekor serigala-karnivora memandang dan mengincar seekor hewan ternak-herbivora yang jinak. Sungguh amat berat dan tidaklah mudah menjadi warga negara baik-baik di negeri yang penuh “serigala berwujud manusia” ini.
Karenanya pula, menjadi kaya secara materi dan berkuasa ataupun kuat secara kuantitas, tidak pernah menjadi petaka bagi warga negara lainnya sepanjang memiliki “rasa malu” dan “rasa takut” untuk berbuat kejahatan. Kekuatan serta kekuasaan, dapat menjadi bumerang bagi diri bersangkutan serta bagi warga negara lainnya, ketika orang tersebut tidak mampu mengendalikan dirinya dari “godaan” untuk menyalah-gunakan kekuatan serta kekuasaan yang dimiliki olehnya.
Menjadi berkah bagi banyak orang, ketika seseorang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan memiliki “rasa malu dan takut untuk berbuat jahat”. Sebaliknya, menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri dan bagi banyak orang, ketika dirinya “termakan” oleh kegagalan dirinya sendiri untuk tidak tergoda untuk menyalah-gunakan berbagai sumber daya yang dimiliki olehnya.
Maka, dengan kata lain, agar seseorang yang memiliki kekuatan serta kekuasaan tidak terjerumus dalam sebentuk penyalah-gunaan, rambu-rambu “rasa malu” dan “rasa takut” untuk berbuat kejahatan, menjadi elemen sentral yang paling vital untuk dimiliki. Sebuah kendaraan bermotor, selain diperlengkapi pedal akselerasi, selalu dilengkapi pula pedal deselerasi, hingga kaca spion. Siapa yang tidak mampu mengontrol dirinya sendiri, akan menjadi korban sekaligus mengorbankan banyak orang lainnya.
Orang-orang dengan bermental “tidak malu serta tidak takut untuk berbuat jahat”, bahkan dapat menggunakan segala cara (by all means) untuk menang, untuk membalas pembalasan korban yang sejatinya telah impas saat korban melakukan pembalasan (sifat mau menang sendiri dan penuh ketidak-adilan alias sewenang-wenang), dan untuk menyerang, menindas, mengintimidasi, memeras, merampok, merugikan hak-hak warga negara lainnya, atau untuk melukai orang lain. Mereka bahkan tidak segan untuk mengancam anggota keluarga kita, memeras dengan cara-cara jahat, menggunakan tipu-daya curang, aksi premanisme, kelicikan, penipuan, pemalsuan, intimidasi, pengrusakan, kekerasan fisik atau penganiayaan, hingga penggunaan medium tidak kasat mata seperti “black magic” yang sangat mengerikan dan jahat.
Fakta empirik tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan posisi orang-orang berkarakter baik yang akan selalu bertempur menggunakan cara-cara baik, terhormat, bersih, jujur, dan terpuji serta adil (fairness). Dari ketimpangan itu saja, orang-orang baik tidak pernah diuntungkan dalam posisinya ketika menghadapi orang-orang dengan karakter “tidak malu serta tidak takut untuk berbuat jahat”. Orang-orang baik hanya tepat dan cocok bertanding di atas “ring tinju”, bukan “street fighting”.
Itulah juga sebabnya, pertarungan di atas ring tinju tidak pernah penulis temui sama keadaannya dalam dunia nyata, dimana dunia nyata justru memperlihatkan ketimpangan alias tidak pernah terjadi murni “satu lawan satu”, yang ada ialah pertarungan secara tidak adil dan tidak berimbang karena yang menang secara jumlah akan selalu menganiaya yang kalah secara kuantitas.
Sama halnya, pertarungan dalam dunia akademik yang menonjolkan faktor kekuatan otak, ternyata tidak pernah berjalan paralel dalam dunia nyata dimana mereka yang kuat secara ekonomi dan politik selalu lebih mampu “membeli” hukum dan melecehkan mereka yang “bermain murni” secara “otak” terlebih aturan-aturan normatif hukum yang senantiasa “bertekuk lutut” di hadapan kekuasaan politis-ekonomistis. Pengacara sehebat apapun di ruang persidangan, akan kalah menghadapi seorang “mafia kasus” yang bahkan sekolah dasar pun tidak tamat.
Karena mereka “tidak malu serta tidak takut untuk berbuat jahat”, artinya mereka harus siap menanggung konsekuensinya, yakni buah karma buruk di kehidupan selanjutnya yang harus mereka telan dan tanggung, sepahit apapun itu—tanpa dapat lari bersembunyi ataupun memungkiri terlebih berniat menghapus sejarah perbuatan-perbuatan jahat mereka.
Ketika meraka pada akhirnya hidup dalam keadaan menyedihkan, memetik rangkaian buah karma buruk mereka, maka apakah mereka patut mendapat belas-kasihan maupun rasa prihatin dari kita? Dahulu kala, ketika mereka masih kuat secara ekonomi maupun secara politis, mereka sama sekali tidak memiliki belas-kasihan maupun empati kepada para korban mereka.
Maka, ketika kini mereka hidup dalam keadaan memprihatinkan, patutkah mereka mengemis belas-kasihan, uluran tangan, serta meminta empati dari kita? Tidak ada yang betul-betul dapat kita curangi dalam hidup ini, itulah cara bekerjanya Hukum Karma: Siapa yang tidak takut akan akibatnya, maka ia yang akan hidup dalam berkubang derita. Siapa yang menanam, maka ialah yang akan memetiknya.
Hukum negara boleh jadi korup dan tidak adil, menghamba pada mereka yang kuat dan berkuasa. Namun, sebaliknya, hukum karma selalu berpihak pada kaum lemah tertindas—dan itulah kabar baiknya, tanpa perlu dituntut dan tanpa dapat disuap, eksekutornya bekerja secara sendirinya. Dunia ini adil adanya (pada akhirnya), tidak benar-benar korup, karena semua ada “harga” yang harus dibayar pada muaranya. Selalu ada “harga” yang harus dibayarkan oleh sang pelaku. Dalam Hukum Karma, orang-orang baik tertindas yang pada akhirnya menjadi pemenang dan tertawa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.