Apakah Mengemis adalah Kejahatan?

ARTIKEL HUKUM
Bila mengemis adalah ilegal, maka apakah profesi pengemis merupakan profesi yang patut dikategorikan sebagai “penjahat”? Mengapa mengemis menjadi ilegal, sementara seorang pengemis tidak mengganggu siapa pun dan tidak juga memaksa orang lain untuk berdonasi layaknya seorang preman yang kerap melakukan aksi “pemalakan”?
Secara falsafah, seorang pengemis telah berperilaku tidak adil terhadap para kalangan masyarakat yang “membanting tulang” dalam mencari nafkah, bahkan harus menghadapi potensi resiko merugi dan “gulung tikar” bahkan hingga “jatuh (dalam keadaan) pailit”. Karena itulah, perilaku mengemis selalu tidak pernah sedap untuk dipandang, terutama ketika kita bandingkan dengan pedagang-pedagang asongan yang hanya memiliki pendapatan minim sekalipun setiap harinya harus berjalan kaki dan bersusah-payah selama berkilo-kilo meter jauhnya menempuh jarak demikian demi mencari sesuap nasi dalam arti yang harafiah.
Karenanya juga, seorang pengemis hanya setingkat lebih “baik” derajatnya ketimbang para pencuri maupun pencopet yang sekalipun berbadan sehat dan bugar-kuat namun justru mencari nafkah dengan cara-cara ilegal tidak terpuji juga tercela. Seorang pengemis seringkali memiliki kondisi tubuh yang sehat dan lengkap, namun justru ketap menggunakan modus berpura-pura memiliki kondisi kaki yang putus atau modus lainnya guna menarik simpatik masyarakat yang melintas agar tergerak hatinya untuk memberikan dana kepada sang pengemis—ada unsur penipuan, yakni “martabat palsu” berupa cacat fisik buatan.
Karenanya, penulis tidak pernah lagi berdana kepada seorang pengemis, karena kerap tertipu oleh wujud penampilan seorang pengemis. Bahkan pernah juga terjadi, penulis berdonasi dengan jumlah cukup besar kepada seorang pemulung yang berkaki “buntung”, dan benar-benar buntung satu kakinya sehingga harus berjalan dengan bantuan tongkat. Namun, menurut informasi yang kemudian penulis dapatkan, ternyata dirinya adalah salah satu pelaku yang pada saat tragedi kerusuhan massal, turut menjarah dari perumahan para penduduk keturunan. Bahkan, pernah viral dikabar-beritakan belum lama ini, seorang pengemis di Bogor ternyata adalah pemilik perusahaan kendaraan umum dan memiliki banyak rumah, mobil mewah, serta sepasang istri.
Sama halnya, banyak kalangan yang sejatinya mampu secara ekonomi, memiliki masalah hukum berupa tanah bernilai miliaran rupiah atau masalah seperti sengketa ketenagakerjaan dimana artinya dirinya pastilah menuntut upah atau gaji atas “keringat” mereka, namun ketika menghubungi penulis meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum (berkonsultasi) sekalipun sudah demikian jelas bahwa penulis berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum, mereka menuntut dilayani tanpa bersedia membayar tarif jasa seperak pun.
Mereka menampilkan sikap layaknya seorang pengemis dengan mental “mendadak miskin”, yang bahkan lebih hina daripada seorang pengemis karena berani merampok nasi dari piring milik profesi orang lain demi urusan perutnya sendiri—alias “mental perampok”, sebagai puncak dari apa yang kita sebut sebagai sikap “tidak punya malu” sekalipun sangat memalukan atas perbuatan hina diri mereka yang merendahkan martabatnya sendiri lewat perilaku hina demikian, yang sejatinya tidak perlu sampai berperilaku sedangkal dan sehina itu.
Entah mengapa dan bagaimana, banyak orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat kita yang daya berpikirnya sangat egoistik, dan tidak etis disamping menyerupai “predator” sesama manusia. Sangat kontras ketika kita sandingkan dengan kisah sederhana berikut ini yang kian langka dapat kita jumpai di tengah sosial-kemasyarakatan kita, yang aslinya dituturkan oleh tokoh bernama Asdi Lipo, sebagai berikut:
Lakukan apa yang kau bisa, dengan apa yang kau miliki, di mana pun kau berada.” (THEODORE ROOSEVELT)
Pada suatu siang, saya bertemu dengan seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe pada ruang terbuka. Kemudian ia mulai bercerita, bahwa pada siang kemarin ia juga beristirahat di kafe ini. Pada saat di kala itu, ia sedang sibuk mengetik di laptopnya. Tiba-tiba seorang gadis cilik yang membawa beberapa tangkai bunga, menghampirinya.
“Om, beli bunga, Om,” bujuk sang gadis kecil itu kepadanya, menjajakan dagangannya.
“Tidak, Dik, saya tidak butuh,” sahut sang eksekutif muda itu, tanpa banyak menaruh hirau, tetap sibuk dengan papan ketik pada laptopnya.
“Satu saja, Om. Kan, bunganya bisa untuk kekasih atau istri, Om,” masih bujuk rayu si gadis kecil dengan sengitnya.
Setengah kesal atau mungkin juga jengkel, dengan nada tinggi karena merasa sudah terusik konsentrasi dari apa yang sedang dikerjakan olehnya, sang eksekutif muda itu kemudian meluangkan waktu sejenak untuk menanggapinya, “Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan saja ya, kalau Om butuh, Om akan beli bunga dari kamu.”
Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu-lalang di sekitar kafe itu, menjajakan dagangannya.
Setelah menyelesaikan istirahat siangnya, si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kini kembali mendekatinya.
“Sudah selesai kerja, Om? Sekarang beli bunga ini, dong, Om. Murah kok. Beli satu tangkai saja juga boleh,” tutur si gadis dengan nada polos khas kanak-kanak.
Bercampur antara perasaan jengkel atau kasihan, kemudian ia mengeluarkan selembar uang dari sakunya.
“Ini uang buat kamu, Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sumbangan buat kamu,” tanggapan sang eksekutif muda itu sambil menyodorkan uangnya kepada si gadis cilik.
Uang itu diambil si gadis cilik, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan diberikan oleh si gadis cilik kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di dekat mereka.
Eksekutif mudai itu keheranan dan sedikit merasa tersinggung. “Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?”
Dengan keluguannya, sang gadis cilik itu menanggapi, “Maaf Om, saya sudah berjanji dengan Ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang, barang, ataupun jasa dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan, walaupun tidak punya uang, kita tidak boleh menjadi pengemis.”
Sang eksekutif muda itu pun menjadi tertegun dibuatnya, betapa ia kini telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan.
Kemudian, ia pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan pada si gadis cilik penjaja bunga, tetapi karena semangat kerja dan keyakinan si gadis cilik yang ternyata telah memberinya sebuah pelajaran kehidupan berharga pada hari itu.
Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangkan.
Hendak penulis tambahkan, lebih terhormat lagi bila kita pun mampu menghormati profesi orang lain, serta tidak merampok nasi dari piring milik orang lain. Mengemis, sejatinya merendahkan harkat dan martabat diri mereka sendiri. Entah mengapa, tidak sedikit warga di tengah masyarakat kita yang justru merasa bangga dapat mencuri dan merampok hak-hak milik warga lainnya, bahkan merasa sebagai suatu prestasi dapat mengambil sesuatu lewat mengemis, sekalipun mereka sejatinya mampu membeli atau membayar atas barang atau jasa yang mereka hendak miliki atau dapatkan.
Terdapat satu kesimpulan yang dapat penulis petik, seorang pengemis yang memilih untuk menjadi seorang pengemis sekalipun sejatinya diri mereka memiliki modal yang lebih dari cukup yakni berupa tubuh fisik yang sehat bugar dan lengkap, lebih dilandasi oleh sikap “keserakahan”—yakni ingin menjadi makmur tanpa perlu bekerja keras. Sama halnya, para “pemerkosa” profesi konsultan yang sejatinya dari kalangan berada dan memiliki pekerjaan, lebih dilandasi faktor keserakahan alias ketamakan diri bersangkutan, sehingga sampai secara lancang dan berani melakukan perbuatan yang bahkan lebih hina daripada seorang pengemis.
Antara “mental pengemis”, “mental (mendadak) miskin”, dan “mental serakah”, merupakan satu sekuel berantai yang mana “mental serakah” selalu menjadi pemicunya dalam diri seorang “pengemis”. Pada gilirannya, seseorang yang telah terjangkit “mental pengemis” akan menjelma seseorang yang dijangkiti penyakit kronis akut bernama “mental miskin”—selamanya sebagai “si miskin” yang tidak berpunya, sebanyak apapun harta yang telah ia miliki.
Memang, secara peraturan perundang-undangan, pengemis diberantas oleh aparatur pemerintah daerah karena dikategorikan sebagai “penyakit sosial” belaka. Namun, ketika kita telaah lebih dalam, ternyata lebih jauh dari sekadar “penyakit sosial”, karena sebagaimana telah kita bahas bersama, bahwasannya sebuah “mental pengemis” selalu dilandasi oleh akar asal-muasalnya berupa “mental serakah”, yang pada gilirannya akan membuat pelakunya terjebak dan jatuh pada lembah “mental miskin”—yang bila diakukan secara berjemaah maka akan menjelma “bangsa (yang) miskin” serta “bangsa (yang) terbelakang”.
Alih-alih merasa bangga dan berprestasi sebagai seorang pengemis, bahkan mewariskan profesi mengemis pada anak dan cucu, mengapa tidak kita mulai mengubah “mind set” serta paradigma berpikir bangsa dan warga kita menjadi seseorang yang hidup secara terhormat dengan cara tidak mengemis untuk menyambung hidup, dan tidak merampok nasi dari piring milik profesi orang lain untuk mencari makan maupun dalam mengumpulkan nafkah, barang, ataupun jasa.
Sesukar itukah, menghormati profesi orang lain sebagaimana profesi kita sendiri dalam mencari nakah hendak untuk dihormati? Hanya orang miskin yang sampai harus merampok nasi dari piring profesi orang lain—alias mereka yang memiskinkan mental mereka sendiri, menggadaikan kehormatan mereka hanya demi perilaku-perilaku rendah semacam sikap layaknya seorang pengemis yang sejatinya mampu mereka beli dan bayarkan tanpa harus mengemis-ngemis.
Yang mana artinya, harga untuk / atas kehormatan dirinya yang dinilai oleh diri mereka sendiri ternyata hanya senilai serendah itu, digadaikan murah hanya demi sebuah barang atau jasa yang tidak seberapa nilainya. Seorang pejuang, layak mendapatkan surga. Sementara, seorang pengemis, tidak pernah merasakan nilai sebuah perjuangan, tidak pernah patut mendapat kehormatan sebuah alam surgawi—tidak pernah kita dengar kisah dongeng, bahwasannya di surga dapat kita jumpai seorang pengemis, terlebih seseorang “bermental miskin” yang selalu dilandasi oleh karakter rendah bernama “keserakahan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.