ARTIKEL HUKUM
Apakah hukum, indentik dengan (sebatas) undang-undang? Dalam kesempatan kali ini, penulis akan mengupas sebuah “kelirumologi” terkait paradigma berpikir banyak kalangan Sarjana Hukum di Indonesia, seolah Hukum = Undang-Undang, seolah hukum identik semata dan sebatas pada peraturan perundang-undangan belaka. Jika betul demikian, maka patut kita “uji moril” perspektif demikian dengan pertanyaan sebagai berikut:
1.) Jika hukum sama artinya atau sebatas pada undang-undang belaka semata, maka artinya semua kalangan, termasuk publik yang tidak menempuh pendidikan formal hukum pada fakultas hukum manapun, berhak juga menyandang gelar “Sarjana Hukum”—mengingat pada saat kini era keterbukaan informasi membuat siapa pun dapat dengan mudah mengakses peraturan perundang-undangan lewat perangkat digital genggam sekalipun. Sangat berbeda kondisinya dengan satu abad lampau, dimana peraturan perundang-undangan hanya menjadi koleksi kalangan terbatas seperti para jurist;
2.) Aturan hukum terus dibentuk dan diubah ataupun diganti setiap saat. Sehingga, ketika terjadi deregulasi, dimana beberapa tahun berikutnya peraturan perundang-undangan yang semula dipelajari pada bangku pendidikan tinggi hukum kemudian diubah, dihapus, atau bahkan diganti, maka apakah artinya gelar Sarjana Hukum telah disandang oleh sang Sarjana Hukum, akan gugur dengan sendirinya karena aturan peraturan perundang-undangan yang dipelajari olehnya semasa duduk dibangku kuliah kini tiada satupun diantaranya yang masih eksis dan tiada relavansinya lagi, karena telah diubah atau diganti oleh pemerintah? Sarjana Hukum senior, yang telah bertahun-tahun tidak “update” regulasi, dipastikan akan terbata-bata ketika diminta bercerita tentang apa itu hukum. Bahkan, seringkali kalangan pengusaha yang “melek” norma hukum bisnis dan perdagangan maupun penanaman modal, lebih “update” dan lebih paham norma hukum di Indonesia.
Entah sejak kapan atau oleh siapakah, perspektif salah-kaprah demikian mulai digaungkan, dikumandangkan, sebelum kemudian didengungkan, membuat “sesat” banyak kalangan profesi hukum pada masa kini yang sudah demikian dilenakan dan di-nina-bobokan oleh kemalasan mereka untuk memahami hukum, lalu membuat garis diametral pembatas khayalan yang semu belaka, seolah menguasai ilmu hukum sama artinya dengan menghafal bunyi peraturan perundang-undangan—jika benar demikian, maka Mbah Google adalah “Master Hukum” yang patut kita “sembah” dan nomor satukan, dan silahkan seluruh Sarjana Hukum satu persatu mulai masuk “tong sampah”.
Mari kita telaah lebih dalam lagi, untuk melihat sendiri betapa “dangkal” cara berpikir mayoritas Sarjana Hukum maupun kalangan profesi hukum di Indonesia. Jika memang budaya hukum Civil Law ala keluarga hukum Eropa Kontinental hanyalah sebatas norma pada Undang-Undang, maka menjadi pertanyaan bagi penulis dan bagi kita bersama, dengan rincian sebagai berikut:
1.) Untuk apa mahasiswa hukum menempuh pendidikan selama paling tidak sedikitnya empat tahun lamanya pada program pendidikan tinggi hukum Strata 1 pada perguruan tinggi, sementara saat kini siapapun dapat mengakses peraturan perundang-undangan tanpa harus menghafalnya, namun semudah mengetik pada kolom mesin pencarian pada perangkat digital yang saat kini selalu menemani kemana pun kita berada (bahkan dapat dilakukan dari dalam toilet) yang bahkan juga dapat dilakukan secara “mobile”—yang beberapa tahun lampau masih menjadi hal yang mustahil;
2.) Jika hukum identik (sebatas) peraturan perundang-undangan, berarti masyarakat umum yang sekalipun tidak menempuh pendidikan formil ilmu hukum pada perguruan tinggi fakultas hukum, dimana bila masyarakat umum tersebut telah pernah membaca begitu banyak peraturan perundang-undangan, karenanya dirinya pun berhak untuk mengaku-ngaku sebagai seorang Sarjana Hukum;
3.) Mengapa untuk mendapat kelulusan program studi Strata 1 perguruan tinggi ilmu hukum maupun program studi magister hingga doktoral hukum, tidak menjadikan hafalan peraturan perundang-undangan sebagai indikator kelayakan kelulusan?
4.) Bila memang hukum identik (sebatas) peraturan perundang-undangan, untuk apakah masyarakat kita sampai harus membuang banyak biaya untuk menempuh program studi sarjana hukum, magister hukum, maupun doktoral hukum, sementara peraturan perundang-undangan dapat oleh semua pihak yang awam hukum sekalipun saat kini diakses semudah mengetik pada tuts perangkat digital mobile, sehingga bukankah membayar mahal untuk menempuh pendidikan tinggi hukum di Indonesia menjadi sangat “tidak logis”, “membuang-buang biaya”, “membuang-buang waktu”, serta “mubazir” (bahkan dapat disebutkan sebagai sebentuk “kekonyolan”?
5.) Mengapa pada faktanya, para mahasiswa fakultas hukum lebih banyak di-“cekoki” teori, pembacaan teori-teori pada buku-buku ilmu hukum, asas-asas hukum, doktrin-doktrin pendapat para tokoh-tokoh hukum, hingga penulisan karya tulis ilmiah yang mana mahasiswa dapat membuat analisa dengan kesimpulan mendukung atau menolak norma suatu peraturan perundang-undangan (pembangkangan terhadap hukum artinya)? Bahkan, pada program studi magister hukum hingga doktoral hukum, lebih teoretis dan lebih abstrak lagi, bertolak-belakang / berkebalikan secara kontras dengan sifat norma hukum yang bersifat “imperatif-preskriptif”, bukan “deskriptif-teoretis” yang fakultatif sifatnya;
6.) Bukankah bahkan mahasiswa semester pertama pada bangku perkuliahan program studi Strata 1 fakultas hukum saja, sudah diberikan materi perkuliahan yang menyebutkan bahwa “sumber formil hukum” terdiri dari: peraturan perundang-undangan, perikatan kontrak perdata (bahkan hingga teori “kontrak sosial”), yurisprudensi / preseden, doktrin, hukum internasional, hingga konvensi ketatanegaraan dan kebiasaan? Jelas bahwa setiap Sarjana Hukum sejatinya menyadari dan mengetahui, bahwa undang-undang hanyalah salah satu komponen dalam ilmu hukum, bukan satu-satunya. Terlampau sempit, membatasi hukum dengan volume miniatur bernama undang-undang.
Lantas, yang kemudian menjadi pertanyaan pendampingnya bagi kita bersama, mengapa saat kini hampir sebagian besar kalangan Sarjana Hukum maupun profesi hukum, bersikap “pragmatis” dengan menjadikan ilmu hukum menjadi sekadar ilmu peraturan perundang-undangan belaka, dan menutup atau menafikan peran ilmu norma / kaedah preseden atau yurisprudensi sebagai salah satu norma hukum penyerta disamping norma peraturan perundang-undangan?
Secara pribadi, penulis menengarai adanya sikap “pragmatis” yang demikian kental dalam iklim berhukum internal kalangan Sarjana Hukum di Indonesia, akibat selama ini para lulusannya memang tidak pernah mereka dipersiapkan oleh perguruan tinggi ilmu hukum mana pun di Indonesia untuk mampu memahami norma hukum yang dibentuk oleh preseden / yurisprudensi—sekalipun saat kini Hoge Raad, Mahkamah Agung Belanda, telah secara resmi berpindah haluan dari Civil Law menjadi berkiblat pada sistem keluarga hukum Common Law, dimana hukum menjadi lebih banyak diisi oleh norma preseden / yurisprudensi disamping norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hoge Raad menyebutkan, kebijakan pembentukan hukum nasional tidak bisa berdiri sendiri pada elemen peraturan perundang-undangan, namun juga faktor atau unsur kaedah hukum yang dibentuk lewat norma bentukan preseden dalam praktik peradilan itu sendiri. Dilandasi semangat pragmatis disamping tiadanya rasa percaya diri kalangan Sarjana Hukum di Indonesia (mental inferior), ditambah kurikulum yang “terbelakang” pada berbagai fakultas hukum universitas negeri maupun swasta yang tersebar pada berbagai provinsi di indonesia, jadilah mental Sarjana Hukum kita bermental “undang-undang” belaka, alias sangat kental diwarnai nuansa “pragmatis”.
Kondisi ini diperparah oleh sikap ambigu dan ketidak-beranian pucuk pimpinan Lembaga Yudikatif kita, yakni Ketua Mahkamah Agung RI untuk mempersiapkan lembaganya guna berpindah haluan menuju kiblat praktik Common Law, akibat kualitas putusan kasasi pada Mahkamah Agung RI yang kerap saling berdisparitas, saling overlaping, saling bertumpang-tindih antar satu putusan dengan putusan lainnya sekalipun memiliki karakter spesifik perkara yang serupa oleh hakim agung pemutus yang sama (itulah ironinya), sehingga tidak terbentuk kepastian hukum apapun yang dapat ditawarkan kepada masyarakat—sehingga, pembentukan hukum nasional lewat pembentukan norma hukum oleh yurisprudensi, tampak masih sangat jauh harapan dan masih sekadar menjadi impian di Indonesia (utopia, jauh panggang dari api).
Praktis, sekalipun telah demikian maju zaman berkembang dan era peraturan perundang-undangan telah demikian terbuka luas bagi masyarakat awam hukum sekalipun berkat kemajuan teknologi digital serta perangkat genggam (mobile gadget), namun praktik berhukum kita masih sangat terbelakang, orthodoks, tidak canggih, dan “primitif” yang tidak ada kemajuan berarti bila kita bandingkan dengan praktik berhukum pada era Kolonial Belanda—tanpa bermaksud untuk bertendensi pesimistis terlebih bermaksud untuk “bermelankolis” ria.
Menjadi pertanyaan utama bagi kita bersama (supreme question), jika hukum memang identik dengan peraturan perundang-undangan, bila hakim hanyalah mulut atau “corong” dari peraturan perundang-undangan, jika memang lidah hakim hanya menjadi membeo pada bunyi peraturan perundang-undangan, sekalipun undang-undangnya hanya satu versi resmi (tidak mungkin undang-undang yang sama memiliki beragam versi resmi), yang bahkan dapat diakses secara mudah oleh siapapun dimana pun kini kita berada, mengapa antar putusan atas karakter perkara serupa, masih kerap dijumpai saling bertolak-belakang antar putusan, berdisparitas, hingga bahkan hakim yang sama kemudian membuat amar putusan yang overlaping dengan putusannya sebelumnya seperti putusan Mahkamah Konstitusi Ri terkait uji materiil undang-undang terkait importasi hewan ternak dari “maximum security” dengan begitu percaya dirinya kesembilan hakim MK RI memutuskan menjelma menjadi “relative security” sekalipun konstitusi Ri hanya terdapat satu buah UUD RI 1945 (lihat kasus yang menjerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang seolah “ditumbalkan”, sekalipun putusan diputuskan dengan suara bulat kesembilan hakim MK RI)?
Bila memang hukum identik (sebatas) peraturan perundang-undangan, maka menjadi pertanyaan paling utama bagi bersama: adakah asumsi kita telah teruji kebenarannya, bahwa peraturan perundang-undangan selalu telah lengkap, tetap relevan (tidak akan tertinggal oleh zaman), dan tiada menyediakan celah hukum apapun ketika diimplementasi, serta mengandung “konteks” disamping pengaturan “teks” (kandungan “konteks” hanya dapat ditemukan pada kaedah norma preseden)?
Faktanya, aturan normatif peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dibelakang kenyataan (realita) yang selalu diwarnai dinamika sosial yang terus berkembang dan berevolusi (tidak pernah statis ataupun stagnan), sementara norma undang-undang cenderung rigid dan kaku, penuh cacat-cela (sehingga kerap diuji materiil pada Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi), hingga ditengarai kaya akan unsur nuansa kolusi dalam proses pembentukannya (law as a tool of crime).
Jika memang norma peraturan perundang-undangan adalah hukum tertinggi, mengapa pada praktik di Mahkamah Agung RI (bukan Mahkamah Konstitusi RI) sebuah “asas hukum” yang ditengarai bertentangan dengan suatu peraturan menteri atau peraturan pemerintah dan peraturan daerah, sebagai contoh, kerap kali dapat membuat berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan tidak sah dibatalkan serta digugurkan normanya?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.