Mencuri Hak Orang yang Lebih Miskin, Lebih Hina daripada Pengemis yang tidak Mencari Makan dengan Merampok Nasi dari Piring Milik Orang Lain

ARTIKEL HUKUM
Mengapa korupsi, secara dasariahnya (sui generis), adalah jahat dan tercela? Korupsi, adalah buruk dan jahat karena pelakunya merampok dari jutaan rakyat yang jauh lebih miskin daripada sang koruptor (satu buah perut yang serakah mengorbankan jutaan perut milik orang lain), dimana uang hasil rampokan tersebut dipergunakan oleh sang koruptor demi kesenangan hidup mewah dirinya, bukan untuk urusan perut yang lapar. Ibarat jatah bagi jutaan rakyat miskin yang kekurangan gizi, masih juga direnggut dan dirampok demi gaya hidup mewah sang koruptor.
Tidak ada yang lebih hina, daripada perilaku mencuri dan merampok dari orang yang lebih miskin. Mencuri hak-hak orang yang lebih miskin, sangatlah tidak terpuji, bahkan lebih hina daripada seorang pengemis. Seorang pengemis, tidak mencari makan dengan cara merenggut nasi dari piring milik orang lain. Adalah sungguh suatu karakter yang buruk, merampok nasi dari piring orang yang lebih miskin, semata untuk memuaskan gaya hidup mewah sang pelaku. Janganlah Anda berasumsi, kalangan “profesi” pengemis tidak tidak memiliki Kode Etik profesi, Kode Etik Pengemis. Itulah tepatnya kode etik bagi kalangan pengemis, yang ternyata lebih terhormat daripada para koruptor yang (hanya) tampak terhormat dalam penampilan luarnya dibalut jas lengkap dengan dasi rapih bersih yang mahal dan memiliki banyak relasi politik.
Banyak sekali contoh kasus yang dapat kita saksikan dalam keseharian, berbagai perilaku diantara warga negara bangsa kita yang gemar mencuri dan merampok hak-hak orang yang lebih miskin daripada mereka. Mulai dari “sunat” bantuan sosial bagi rakyat miskin oleh kepada desa maupun oleh pihak kelurahan, Kepada Daerah yang melakukan “mark up” mengakibatkan rakyat menderita akibat infrastruktur yang terbengkalai tanpa mendapat kucuran dana secara memadai yang habis “digerogoti” sang Kepala Daerah, berbagai perusahaan dan korporasi yang bermodal kuat dan memiliki profit besar namun memeras keringat dan tenaga buruhnya tanpa imbalan yang setimpal, hingga kalangan pengusaha konsesi tambang serta perkebunan yang merenggut lahan milik ratusan warga lokal semata demi kejayaan dinasti perusahaan pemegang konsesi. Sebuah perusahaan “tamak”, menggusur lahan tani ratusan masyarakat adat, sudah menjadi berita lama yang terus terjadi sepanjang tahunnya di republik ini.
Entah apa yang terlintas di dalam benak para pelakunya, yang tentunya “sudah putus urat malunya” tersebut, sehingga bisa-bisanya mereka merampok dan merenggut nasi dari piring orang lain yang jauh lebih miskin daripada mereka. Kita sendiri mungkin pernah mengalami, orang-orang borjuis yang menjadi tetangga kita, sekalipun telah memiliki berbagai aset properti, namun masih juga demikian tamak “menyerobot” tanah milik orang lain. Aneh tapi nyata, seorang tetangga penulis yang memiliki berbagai mobil mewah, namun seolah tidak mampu membeli buah-buahan lalu tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut, mencuri buah-buahan dengan naik ke atas genting atap rumah kediaman milik keluarga penulis.
Bangsa ini kekurangan “rasa malu”. Mungkin kelak butuh diciptakan “vaksin malu”, agar rakyat kita memiliki culture “rasa malu”. Semestinya, daya peka terhadap “rasa malu” menjadi bagian dari insting seseorang manusia dewasa berakal-budi. Namun, tampaknya evolusi yang terjadi pada Bangsa Indonesia paska kemerderkaan dari kolonial penjajah, bergerak ke arah berkebalikan dari prinsip-prinsip bangsa beradab, berjalan mundur menuju bangsa primitif sekalipun bergelar sarjana.
Entah bagaimana, hal-hal yang sedemikian sederhana, yang semestinya tidak perlu diterangkan ataupun diajarkan, bangsa ini ternyata perlu edukasi betapa penting memiliki “rasa malu” dari berbuat hal-hal yang tercela. Bangsa kita ini terkenal sebagai bangsa “agamais” yang serba menutupi sekujur tubuh mereka dengan busana tertutup, namun perihal perilaku dan ucapan tutur-kata, demikian “vulgar” dan tanpa “rasa malu”. Semakin penulis mencoba merenungkan fenomena yang masif terjadi demikian di tengah-tengah fenomena sosial masyarakat kita, semakin diliputi keheranan penulis jadinya. Semakin dipikirkan, semakin tidak masuk diakal.
Mencuri, menipu, bullying, berkata dusta, begal, menganiaya, mengkonsumsi barang madat, aksi kekerasan berupa tawuran hingga vandalisme, semestinya menjadi hal yang tabu untuk dilakukan—namun realita bangsa di negeri menunjukkan sebaliknya, terjadi secara masif yang bahkan mengakibatkan lembaga pemasyarakatan kita penuh sesak yang berujung kebijakan “obral remisi” akibat overload.
Tidak malu dan tidak takut berbuat kejahatan, itulah masalah perilaku dan mental bangsa tercinta kita ini. Jika kesemua itu adalah masalah penyimpangan perilaku, mengapa terjadi demikian masifnya, dari tahun ke tahun, sampai-sampai penulis merasa bosan membaca berita dengan tajuk yang sama setiap harinya, “tindak kriminalisas” yang sama terus berulang—sama membosankannya dengan mendengar siaran radio tentang kemacetan yang sama pada ruas jalan yang sama setiap harinya, sehingga tiada faedahnya lagi untuk disiarkan karena “semua sudah sama-sama tahu”.
Fakta empirik yang penulis jumpai setiap harinya, bahkan lebih ekstrim lagi. Sebagai contoh, website profesi penulis ini sudah sedemikian jelas mencantumkan profesi penulis yang sedang mencari nafkah dari menjual jasa layanan tanya-jawab seputar hukum (konsultasi hukum). Namun, yang kemudian terjadi, tanpa rasa malu dan dengan demikian beraninya ribuan pelaku penyalah-guna nomor kontak kerja profesi penulis, secara lancang menghubungi penulis dengan maksud semata hanya untuk “memperkosa” profesi penulis—semudah menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis dan memainkan tuts pada papan keyboard perangkat seluler genggam mereka.
Bayangkan, salah satu diantara para “pemerkosa” profesi penulis tersebut, menyampaikan bahwa dirinya memiliki masalah hukum jual-beli tanah senilai lima belas miliar Rupiah. Dirinya bahkan “tega” memakai tipu-daya dengan berpura-pura hendak mendaftar sebagai klien, namun pada ujung-ujungnya justru meminta (bahkan ada juga diantara mereka yang lebih lancang lagi, “menuntut”) dilayani tanpa bersedia membayar SEPERAK pun. Pengemis, punya masalah tanah senilai lima belas miliar Rupiah? Mungkin fenomena demikian hanya terjadi di Indonesia. Tidaklah mengherankan bila orang-orang semacam itu bermasalah dengan hukum, karena watak dan mental mereka sendiri yang bermasalah. Mereka salah alamat, seyogianya mereka mencari dokter penyakit jiwa untuk menolong mereka.
Tidak sedikit pula pelaku “pemerkosa” profesi penulis yang mengaku tidak tahu bahwa penulis mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab, sekalipun mereka menggunakan istilah “ingin konsul” dan “konsultan”. Anak kecil pun, tahu bahwa seorang konsultan mencari nafkah dari menjual layanan jasa tanya-jawab. Sudah jelas salah, melanggar, bahkan lancang berani “memerkosa”, namun tanpa rasa malu ataupun bersalah, diri mereka justru membuat kesalahan baru dengan bersikap “putar balik fakta” dan “tega” balik menghardik pihak penulis yang paling berhak untuk “murka”.
Pernah suatu ketika, seorang “pemerkosa” tersebut menghardik penulis dengan kata-kata : “mata duitan”. Konstitusi Republik Indonesia sudah menyebutkan secara tegas dalam salah satu pasalnya, hak mencari nafkah dan memperolah imbalan, adalah hak asasi manusia. Namun sejak kapankah, memperkosa profesi orang lain menjadi suatu hal yang tidak ditabukan?
Apakah Anda tidak naik pitam, bila profesi Anda dilecehkan dan “diperkosa”. Adakah orang waras, yang akan berdiam diri ketika disuruh “mati makan batu”? Faktanya, ribuan orang-orang tidak waras demikian yang telah penulis masukkan dalam BLACKLIST PELANGGAR DAN PEMERKOSA PROFESI KONSULTAN demikian, adalah orang-orang yang dari segi ekonomi (tertampak dari masalah hukum yang mereka lontarkan, seperti masalah kepailitan ataupun kredit senilai miliaran Rupiah, yang notabene bukanlah urusan penulis), adalah “penyakit-penyakit” milik orang-orang kaya secara materi.
Bahkan, yang lebih mengejutkan, disamping ironis, setelah penulis selidiki ternyata sebagian diantara para pelanggar dan “pemerkosa” profesi penulis tersebut berlatar-belakang profesi pengacara dan sesama konsultan. Betapa miskin daya empati dan demikian tumpulnya “rasa malu” rakyat Negeri yang bernama Indonesia ini. Sesama profesi hukum, hendaknya tidak saling memerkosa—mengapa hal semacam itu saja pun, masih harus penulis ajarkan dan beri teguran? Sama mengherankannya, banyak kalangan buruh yang menghubungi penulis dengan menceritakan masalah perburuhan mereka dan menuntut upah dari pengusaha, namun disaat bersamaan mereka menuntut penulis untuk “makan batu”—itulah sebabnya, kini penulis berbalik menjadi penentang paling utama kalangan buruh, dan jangan salahkan penulis yang tidak lagi menaruh simpatik pada kalangan buruh di Indonesia yang terlampau melecehkan profesi orang lain yang sama-sama sedang mencari nafkah bagi keluarga.
Penulis tidak pernah habis berpikir untuk dapat memahami perilaku asosial demikian, bisikan “setan” macam apa yang membisiki di telinga mereka sehingga demikian lancang dan “tega” memperkosa” profesi orang lain yang sedang mencari nafkah. Alih-alih berterimakasih “membalas air susu” terhadap / atas segenap publikasi ilmu hukum dalam website ini, para “pemerkosa” profesi penulis tersebut justru membalasnya dengan “perkosaan”, lebih buruk dari sekadar “air tuba”. Seolah, adalah “dosa” bila nomor kontak kerja profesi penulis tidak disalah-gunakan untuk dipakai guna “memerkosa” profesi penulis selaku konsultan. Membalas air susu dengan perkosaan, sungguh tiada kata yang dapat mewakili perilaku asusila demikian.
Mungkin ibarat perilaku anak-anak “nakal”, yang seolah adalah “dosa” bila membiarkan buah-buahan tumbuh ranum di pinggir jalan tanpa “dicuri”, membiarkan bunga-bunga liar tumbuh indah tanpa dipetik, membiarkan burung-burung liar berkicau tanpa ditangkap dan dijejali ke dalam sangkar, bahkan merasa berbangga diri melakukannya di siang bolong—bahkan lebih tragis lagi, pernah terjadi pada suatu ketika belum lama ini, seorang orang dewasa yang bekerja sebagai tukang (artinya memiliki penghasilan), tetap melakukan aksi pencuriannya sekalipun penulis selaku pemilik rumah menegur perilakunya tersebut dan berdiri tepat di depan batang hidungnya. Perilaku demikian lebih parah daripada sekadar “sudah putus urat malu”, yakni benar-benar “bermuka setebal kulit badak”. Ada pemilik rumah mengawasi, tepat di depan hidung si pelaku, namun si pelaku masih saja tetap asyik mencuri dengan galahnya sambil berceloteh dengan kawannya yang ikut sibuk mencuri. Aneh, tapi nyata.
Mencuri karena lapar dan dijerat “lingkaran setan” kemiskinan, masih dapat ditolerir dan dimaklumi. Namun mencuri nasi dari piring orang-orang yang lebih miskin daripada si pelaku, semata bukan demi mengisi perut yang “melilit” kelaparan, namun demi memenuhi nafsu “birahi libido” gaya hidup hedonis yang tidak dikontrol, lalu mengorbankan orang-orang yang lebih miskin daripada mereka, adalah suatu perilaku yang lebih rendah daripada martabat seekor hewan yang tidak berbusana dan tidak berpakaian.
Mengapa kemudian tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipenuhi para ekonom cerdas menjadi tim ahli pemerintah, bertumbuh rendah dan kalah dibanding negara berkembang lainnya di ASEAN? Penulis menerangai hal tersebut adalah buah dari “hukum karma” perilaku Bangsa Indonesia ini sendiri. Bangsa “pencuri” yang “sudah putus urat malunya” namun mengharap keadaan ekonomi negerinya dibanjiri kelimpahan, janganlah bermimpi. Tiada yang betul-betul dapat kita curangi dalam hidup ini, itulah prinsip utama “hukum karma”.
Apa yang bangsa ini tabur, itulah yang akan dituai oleh bangsa ini sendiri. Pencuri akan dicuri dan kecurian, sudah sewajarnya jika investor asing alih-alih memakmurkan Rakyat Indonesia, justru melakukan “transfer pricing” yang kian memiskinkan republik ini. Sementara tanpa masuknya investor asing, republik ini akan kian tertinggal dari segi kemajuan teknologi dan pembangunan. Maju kena, mundur pun kena.
Itulah buah karma yang saat kini sedang dipetik oleh rakyat Indonesia, akibat perilakunya sendiri yang selama ini diwarnai “mental pengemis” dan “mental perampok”. Indonesia, saat kini, benar-benar tengah dijajah dari segi ekonomi dan teknologi. Semua serba produk dan merek asing, serba impor bila kita belum cukup menjadi bangsa yang ironis. “Love Produk Indonesia”, sekadar slogan menjelma jargon belaka.
Bila kita benar-benar ingin memiliki komitmen untuk merubah nasib negeri ini, maka sudah saatnya kita bersama-sama merubah perilaku, dari yang semula gemar “memakan nasi dengan mencuri nasi dari piring milik orang lain” menjadi hanya “memakan nasi dari piring milik sendiri”, dan tidak lagi pernah merampok hak-hak orang miskin, terlebih merampas hak orang-orang yang lebih miskin daripada kita. Budayakan “rasa malu” dan “takut” untuk berbuat hal-hal yang tercela.
Bila kita menggunakan parameter demikian (memiliki “rasa malu”) sebagai tolak-ukur beradab atau tidaknya bangsa kita, maka sejatinya, Bangsa Indonesia masih jauh dari kata “beradab”—alias, “biadab”. Sebagian masyarakat Bangsa Indonesia menampilkan perilaku yang bahkan “lebih hina daripada seorang pengemis”. Mungkin, Republik Pengemis masih lebih terhormat daripada Republik Indonesia, karena para pengemis tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring orang lain yang lebih miskin daripada mereka. Bila perilaku Anda di keseharian ternyata masih kalah dengan Kode Etik kalangan prefesi pengemis, maka sudah saatnya Anda benar-benar masuk “tong sampah”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.