Akibat Hukum Pekerja Kontrak yang Mangkir Kerja, Denda Pinalti PKWT disamping No Work No Paid

LEGAL OPINION
Question: Apakah prinsip “no work no paid” juga berlaku dalam konteks Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alias bagi Pekerja Kontrak?
Brief Answer: Lebih dari itu, seorang pekerja / buruh dengan jenis perikatan kerja kontrak atau “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu”, selain tidak dibayar upahnya karena absen atau tidak hadir saat kerja maupun karena melakukan mogok kerja tidak sah, juga harus membayar kompensasi sebesar proporsional antara jumlah hari mangkir kerja disandingkan dengan total masa kerja dalam kontrak kerja kepada pihak pemberi kerja. Karenanya, ikatan hubungan industrial dalam suatu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, selalu lebih menguntungkan pihak pemberi kerja.
PEMBAHASAN:
Dasar argumentasinya sangatlah sederhana, yang tidak perlu SHIETRA & PARTNERS urai secara panjang-lebar. Ketika salah satu pihak, baik pihak pemberi kerja maupun pihak pekerja / buruh, memutus pejanjian kerja ditengah masa berlakunya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, maka pihak tersebut diwajibkan oleh hukum maupun oleh praktik peradilan di Pengadilan Hubungan Industrial (preseden) dalam berbagai perkara dengan karakter serupa secara cukup konsisten, maka pihak yang memutus perjanjian kerja secara sepihak tersebut diwajibkan untuk membayar pinalti atau kompensasi ataupun denda (atau istilah lainnya), sebesar proporsional antara total masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dikurangi sisa masa kerja yang diputus di tengah berlangsungnya masa kerja, yang kemudian dikalikan dengan besaran upah per hari.
Jika yang memutus ditengah jalannya masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ialah pihak pemberi kerja, semisal dari kontrak kerja selama dua tahun, namun baru berjalan satu tahun telah diputus secara sepihak oleh pihak pengusaha, maka pihak pekerja / buruh berhak atas kompensasi sebesar sisa masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yakni sebesar satu tahun nilai upah dalam kontrak kerja.
Sebaliknya, ketika pihak karyawan / pekerja kontrak yang mengakhiri atau memutuskan masa berlakunya kontrak kerja secara sepihak, agar tidak tercipta “standar ganda”, maka pihak pekerja kontrak bersangkutan yang diwajibkan oleh hukum untuk membayar pinalti atau kompensasi sebesar sisa masa kerja dalam kontrak kerja yang belum dikerjakan atau belum selesai masa berlakunya, kepada pihak pemberi kerja.
Dalam stelsel Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pihak pemberi kerja tidak dapat mendalilkan bahwa tiada pekerjaan untuk dikerjakan karena sedang tiadanya pemesanan dari pelanggan, sehingga upah harus terus diberikan kepada setiap pekerja kontraknya sesuai nominal upah dan masa berlaku kontrak kerja. Sebaliknya, pihak pekerja kontrak pun tidak dapat dibenarkan untuk mendalilkan “mangkir kerja” maka hanya berlaku konsekuensi sebatas “no work no paid” selama jumlah hari dimana pekerja kontrak bersangkutan mangkir kerja.
Sebagai ilustrasi, sederhananya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan skenario dengan konstruksi sebagai berikut. Sang pekerja kontrak mendapat tawaran bekerja pada perusahaan lain, namun dirinya saat ini masih terikat kontrak kerja selama sisa masa kerja satu tahun pada sang pemberi kerja. Apakah dapat dibenarkan, sang pekerja kontrak “mengakali” ikatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang masih menyisakan satu tahun masa kerja demikian, dengan semudah mendalilkan “no work no paid”?
Anggap saja selama sisa masa jangka waktu kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut, sang pekerja kontrak “tidak masuk kerja” alias “mangkir kerja” selama satu tahun penuh, maka menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, bagi kalangan pengusaha maupun bagi kalangan pekerja kontrak itu sendiri, apakah dalil demikian dapat dibenarkan, “mangkir kerja satu tahun”, atau bahkan pemutusan hubungan kerja kontrak yang menyaru sebagai “mangkir kerja satu tahun penuh”, hingga berakhirnya masa kerja dalam kontrak kerja?
Betul bahwa hingga sejauh ini, SHIETRA & PARTNERS belum pernah menemukan satu pun kasus pada praktik di Pengadilan Hubungan Industrial dimana seorang pekerja kontrak yang mangkir kerja dihukum bukan hanya tidak mendapat upah selama mangkir (alias “membolos”) kerja, namun juga disertai penghukuman pembayaran kompensasi sebesar proporional masa kerja dalam kontrak kerja. Namun, bukanlah berarti penghukuman demikian mustahil untuk diajukan dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial.
Pada prinsipnya, hakim dalam perkara perdata (dimana Pengadilan Hubungan Industrial hukum acaranya menerapkan pula hukum acara perdata) menerapkan prinsip putusan yang bersifat “non ultra-petitum”, dimana seorang hakim hanya boleh mengabulkan sebatas apa yang diminta dalam surat gugatan pihak penggugat maupun dalam gugatan-balik pihak tergugat (rekonpensi).
Karenanya, tiadanya preseden atas isu hukum dihukumnya seorang pekerja kontrak selain tidak mendapat upah semasa masa “mangkir kerja”, juga dihukum untuk membayar sejumlah kompensasi secara proporsional masa kerja dalam kontrak kerja, SHIETRA & PARTNERS tengarai akibat belum diketahuinya oleh para kalangan pemberi kerja adanya konsekuensi yuridis “dampingan”, dibalik mangkir kerjanya seorang pekerja / buruh kontrak.
Sekarang ini, pilihan ada di tangan kalangan pekerja dan buruh itu sendiri, setelah mengetahui berbagai kelemahan dan kerugian diikat lewat perikatan kerja jenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, apakah akan tetap mengikatkan diri di dalamnya ataukah memilih untuk berwiraswasta dan memulai bisnis pribadi, mengingat tren kontemporer saat kini seluruh pemberi kerja di Indonesia tendensinya akan mengikat seluruh pekerjanya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, sekalipun jenis pekerjaannya bersifat tetap dan bukan musiman—menimbang, sanksi hukum bagi dilanggarnya ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terkait jenis pekerjaan, sangatlah minim, sehingga tidak pernah membuat “efek jera” bagi kalangan pelaku usaha yang selama ini menggunakan tenaga buruh ataupun tenaga kerjanya secara tetap untuk pekerjaan-pekerjaan bersifat tetap yang permanen sekalipun.
Ketika lebih banyak penduduk usia produktif negeri ini, yang lebih bertendensi untuk berwiraswasta secara pribadi, maka pada gilirannya daya tawar angkatan kerja kita menjadi meningkat, sehingga dapat mulai membalik keadaan dari semula “menjual murah” menjadi “menjual mahal” atas tenaga dan keterampilan mereka. Selama jumlah “supply and demand” masih terjadi ketimpangan yang berdisparitas lebar, maka selamanya praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat terbendung—sebuah “kutukan” dari “daya tawar” yang lemah dari pihak angkatan kerja yang membanjiri bursa kerja.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.