Mental Miskin Bangsa Miskin, You Asked for It

ARTIKEL HUKUM
Tentulah kita masih ingat pada postulat yang dikumandangkan oleh “the law of attraction” alias “hukum tarik-menarik”, yang menyebutkan bahwa suatu sikap dan cara berpikir menarik suatu realita mendekat pada diri orang yang bersangkutan. Bersikap layaknya seorang pengemis miskin, maka menjadikan warga negara bersangkutan benar-benar menjelma miskin dan hidup menggelandang layaknya seorang pengemis—yang dalam bahasa penulis, dirinya sendiri yang memintanya (you asked for it).
Negara Indonesia, selamanya akan dikodratkan miskin, terbelakang, dan tertinggal dari bangsa-bangsa ASEAN lainnya dari kompetisi global—bila budaya “mental miskin” bangsa Indonesia tidak segera diubah, ditabukan, dan dibuang jauh-jauh. Hal demikian adalah wajar, mengingat penduduknya kerap kali menampilkan wajah serta perilaku “bermental miskin”, dimana pihak-pihak yang sebetulnya mampu secara materi (bahkan lebih dari cukup) justru bersikap layaknya seseorang yang tidak mampu, agar semata dapat menikmati layanan tanpa dipungut biaya SEPERAK PUN (kecurangan cerminan kedangkalan karakter, dan sekaligus merupakan lawan kata dari “kreativitas”).
Begitupula yang kaya secara materi dan harta benda, justru begitu tergila-gila untuk “memperkosa” profesi orang lain seperti yang telah ribuan kali penulis alami dari pihak-pihak yang memiliki sengketa tanah senilai miliaran Rupiah namun tidak bersedia membayar tarif jasa konsultasi hukum SEPERAK PUN dan disaat bersamaan mengharap (bahkan acapkali memaksa) dilayani—bahkan mengharap “selamat” pula.
Diri mereka, sejatinya mampu membayar, tidak miskin, namun sikap dan perilaku mereka justru menampilkan sikap-sikap yang jauh lebih hina daripada sikap seorang pengemis—dimana bahkan seorang pengemis tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring profesi orang lain. “Mental miskin”, membuat derajat orang tersebut bahkan lebih rendah dari seseorang yang berprofesi sebagai pengemis.
Dapat dikatakan, ciri khas bangsa Indonesia sangat menyerupai bangsa dengan “mental pengemis”, “mental mendadak miskin” tanpa punya rasa malu (bahkan merasa bangga ketika menceritakan pada pihak lain bahwa dirinya selama ini menerima dan meminta subsidi pemerintah sekalipun diri mereka sangat mampu secara ekonomi karena dari kalangan berada, bercerita demikian dengan demikian bangganya).
Tidaklah mengherankan pula ketika kita menjumpai adanya pengusaha serakah yang merampas hak-hak warga negara lainnya, merampas hak-hak pekerja, karena mereka begitu merasa “miskin” sampai-sampai menjadi serakah dan terus saja memakan kehidupan warga negara lainnya sampai perut mereka benar-benar pecah dan “meletus” saking penuhnya oleh harta yang dimakan olehnya secara tidak etis dan tidak patut. Sama seperti seseorang dengan “mental kelaparan”, tidak mengherankan bila kemudian dirinya meninggal akibat makan terlampau banyak, dan menjelma “hantu kelaparan”.
“Mental miskin” selalu menjurus pada “mental serakah”, itulah hipotesis yang penulis kemukakan, sebagai tanggapan atas fenomena betapa korup-nya Bangsa Indonesia, baik pejabat negaranya maupun para penduduknya—bahkan hingga kalangan “tukang becak” sekalipun kerap menipu pengunjung dengan mengatakan “lokasinya jauh” sehingga sesama warga negara yang masih asing dengan daerah tersebut terjebak secara mental untuk menggunakan jasa sang “tukang becak” dengan ongkos yang tinggi, ternyata berlokasi sangat dekat yang mana sejatinya cukup dicapai dengan berjalan kaki—bila sesama warga negara saja saling menipu, maka bagaimana sikap bangsa kita terhadap warga negara asing?
Mental serakah”, pada gilirannya melahirkan “mental penipu”. Bagaikan efek berantai, siapa yang akan menyangka bahwa “mental miskin” pada gilirannya akan mendorong orang tersebut berperilaku layaknya seorang penipu. Mengapa dapat terjadi demikian, dan “jebakan mental” apakah yang sebetulnya terjadi tanpa diri mereka sadari? “Mental miskin” membuat seseorang tersebut akan merasa dirinya yang paling miskin dan paling menderita di dunia ini, sehingga merasa berhak untuk memakan hidup dan kehidupan warga negara lainnya, baik lewat aksi tipu-menipu, perampokan, dan segala perbuatan tercela maupun gangguan lainnya.
“Mental penipu”, bagaikan bekerjanya hukum karma, pada gilirannya akan menggiring orang tersebut menjelma “orang miskin”—suatu aksi-reaksi berantai yang tampaknya memang sudah sepatutnya terjadi pada diri pribadi orang bersangkutan. Ketika para penduduk suatu bangsa, secara “berjemaah” menampilkan watak “bangsa bermental (mendadak) miskin”, maka pada gilirannya akan menjelma : “bangsa serakah”, “bangsa penipu”, hingga pada klimaksnya mewujud pada “bangsa (yang) miskin”.
Dikeluhkan oleh pemerintah kita, bahwasannya anggaran negara dalam program Jaminan Kesehatan Nasional telah “dirampok oleh rakyatnya” sendiri selaku peserta program kesehatan nasional, dimana mereka mengaku-ngaku sebagai “miskin” sehingga pemerintah harus menganggarkan subsidi bernama “Penerima Bantuan Iuran”, yang mana ternyata tidak sesuai profil sang “Penerima Bantuan Iuran”, mengingat mereka sejatinya mampu secara ekonomi—bukan tuduhan, wacana, ataupun hisapan jempol, namun penulis saksikan sendiri dengan mata-kepala pribadi, kerap terjadi, bukan satu atau dua kasus belaka.
Frasa “dirampok oleh rakyatnya” sendiri, adalah pengejawantahan dari “mental pencuri” sebagai akibat dari “mental (mendadak) miskin” rakyatnya sendiri. Ketidakadilan ekonomi, disebabkan oleh perilaku tidak adil sesama rakyat bangsa kita sendiri, dimana “si kaya” mendapat subsidi dan tertawa terbahak-bahak sementara “si miskin” gigit jari dan hanya bisa puas menjadi penonton—sebagai imbas dari “mental penipu” yang menipu dan mencuri hak sesama anak bangsa. Si miskin pada gilirannya akan menuntut kompensasi atas perasaan tertindas tanpa daya yang dialami olehnya, berupa lewat kinerja buruh yang buruk, kerap korupsi waktu, dan efek berantai lainnya.
“Mental miskin”, hanya layak melahirkan kondisi miskin bagi bangsa bersangkutan. Bagaimana mungkin, suatu bangsa yang menampilkan sikap-sikap “bermental miskin”, lantas benar-benar mampu mengangkat harkat dan martabat derajatnya menjadi bangsa beradab dan makmur secara ekonomi dan secara mentalitas sosialnya? Ketika mentalitas rusak dan “bobrok”, maka kualitas penduduk negeri itu sendiri yang kemudian dipertaruhkan.
Bila tidak ingin menjadi seorang perampok, maka kita perlu menghindari sikap-sikap layaknya seorang perampok, sekecil apapun. Ketika kita tidak ingin menjelma menjadi seorang penipu, maka kita perlu menghindari sikap-sikap layaknya seorang penipu, sekecil apapun. Ketika kita tidak ingin benar-benar menjadi miskin terlebih menjelma menyerupai seorang pengemis, maka hindarilah sikap-sikap layaknya seorang pengemis yang “mendadak miskin”, sekecil apapun.
Bagi Bangsa Barat, harga diri mereka lebih penting dari segalanya. Sekalipun benar-benar miskin, mereka tidak akan sudi dikategorikan sebagai penerima program bantuan sosial bagi rakyat “miskin”, sekalipun orang lain tidak mengetahui diri bersangkutan terdaftar sebagai rakyat miskin penerima subsidi dan bantuan dana dari pemerintah. Bila hal demikian terjadi di Indonesia, dapat dipastikan banyak diantara warga negara Indonesia yang berbondong-bondong, beramai-ramai, dan berlomba-lomba mengaku “miskin” semata agar mendapat kucuran dana bantuan dari pemerintah, sekalipun mereka mampu secara ekonomi. Mungkin “level”-nya terlampau jauh saling terpaut, membandingkan watak bangsa kita dengan Bangsa Barat.
Kebalikan atau lawan kata dari “mental miskin”, ialah “mental berkecukupan”. Mereka yang bermental berkecukupan, tidak menjadikan kepemilikan properti dan harta kekayaan sebagai tolak-ukur, namun kepuasan batin dan bebas dari keserakahan sebagai indikator utamanya. Orang-orang dengan “mental berkecukupan”, tidak pernah merasa terpanggil untuk merugikan warga negara lainnya, terlebih menipu, ataupun merampok hak-hak warga negara lainnya.
“Mental berkecukupan”, itulah yang perlu mulai ditanam dan ditumbuhkan pada setiap insan negeri ini, mulai dari para pejabat hingga rakyat jelatanya, serta apapun latar belakangnya. Tanpa adanya “mental berkecukupan”, sekaya apapun dan semakmur apapun sumber daya alam negeri ini, tidak akan pernah cukup untuk memuaskan keserakahan seorang penduduknya. Keserakahan dan keinginan, tiada batasannya. Seseorang penduduk yang mengorbankan ketenangan hidup penduduk lainnya, adalah cerminan belum terbudayanya “mental berkecukupan”, mengakibatkan negeri bersangkutan dicengkeram konflik laten, menjelma ajang gugat-menggugat, tuntut-menuntut, rebut-merebut, sengketa sosial, hingga “hukum negara” yang menjelma “hukum rimba” dimana si kuat memakan si lemah.
Sebagai penutup, akar dari segala mental dangkal demikian selalu diwarnai oleh sebentuk sikap batin yang penulis sebut sebagai “mental curang”. Bahaya dibalik sebuah “mental curang”, selain ia akan menjelma “mental miskin”, juga menjurus pada sebentuk “lingkaran setan”—dimana rakyat merasa dicurangi oleh pejabat negara yang korup, lantas rakyat akan membalasnya dengan turut mencurangi negara, sebagai kompensasinya. Sama halnya, terhadap warga yang curang, warga negara lainnya akan “terpanggil” untuk turut berbuat curang agar tidak merasa “merugi”. Pada muaranya, terjadilah “perang semesta” saling menipu dan saling mencurangi satu sama lain antar warga.
Selebihnya, ekses-ekses seperti “mental korupsi”, “mental berbohong”, “mental kekerasan fisik”, “mental intimidasi”, “mental perampok”, “mental instan”, “mental arogansi”, “mental lalai”, hingga mental-mental dangkal rendah lainnya, hanyalah derivatif dari “mental curang”. Meski demikian, muaranya selalu sama, yakni selalu berujung pada bangsa yang miskin dan terbelakang, dimana kata “beradab” menjadi seolah demikian jauh, tidak terjangkau.
Sebaliknya, kontras dengan Bangsa Indonesia, bangsa yang “kreatif” tidak pernah terpikirkan untuk menggunakan cara-cara curang, sehingga layak menjadi bangsa yang makmur serta beradab. Segala sesuatu, selalu ada harganya, harga yang harus kita bayarkan. Menjadi bangsa yang berintegritas, akan menjadi bangsa yang kuat dan makmur sebagai “bayarannya”. Menjadi bangsa yang “curang”, harus juga kita bayar mahal dengan sebentuk kemerosotan moral maupun karakter warga negaranya itu sendiri. Segala sesuatu, selalu ada harganya yang harus kita bayarkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.