Menjadi Orang yang Baik, Bukan Artinya Melepaskan Hak untuk Melakukan Perlawanan ketika Diperlakukan secara Tidak Adil

ARTIKEL HUKUM
Apakah seseorang yang dapat “marah-marah” ketika hak-haknya selaku warga negara dilanggar oleh warga negara lainnya, merupakan cerminan karakter orang yang “tidak baik”? Apakah betul, terdapat korelasi yang relevan antara “marah-marah” dan “tidak baik”? Bila ada di antara pembaca yang memiliki perspektif demikian, maka itu bisa jadi adalah penghakiman yang “salah alamat”. Seseorang yang tidak pernah menipu, lalu dituduh menipu, justru menjadi tidak normal bila dirinya hanya berdiam diri.
Sebaliknya, seseorang penipu, ketika dirinya dituduh telah melakukan penipuan, akan bersikap “tenang-tenang” saja sembari berkata sebagai berikut (dalam hatinya sendiri, tentunya) : “Tidak pernah saya menipu orang satu ini, tapi memang betul saya pernah dan sering menipu orang lain, jadi memang tidak ada salahnya juga julukan itu ditujukan pada saya. Untuk apa saya marah, toh saya tak bisa menipu diri saya sendiri, dan berpura-pura menjadi orang suciwan.”
Akan tetapi, seorang penipu yang marah ketika dijuluki sebagai penipu, itu artinya adalah orang munafik. Seseorang yang kerap berbohong, namun menjadi “berang” ketika diberi kata-kata dusta atau dibohongi, itu artinya orang yang “tidak waras”. Seseorang yang kerap melakukan penganiayaan, ketika kemudian dirinya dianiaya dan menjadi marah karenanya, itu artinya adalah orang yang curang. Seseorang yang tidak adil, namun menjadi marah ketika diperlakukan secara tidak adil, itu artinya adalah orang “tidak punya malu”.
Janganlah kita berasumsi, orang baik-baik adalah jenis orang yang menjadi sasaran yang menyerupai “mangsa empuk” karena hanya akan berdiam diri saja ketika disakiti, dirugikan, dan dilukai. Orang baik-baik, justru memiliki kadar toleransi yang sangat amat tipis ketika diperlakukan secara tidak patut—karena diri mereka selama ini tidak pernah merugikan, menyakiti, ataupun mengganggu orang lain. Seseorang yang tidak pernah merugikan, melukai, ataupun mengganggu kehidupan orang lain, adalah wajar bila merasa berhak untuk menuntut agar hak-hak tidak dirugikan, tidak dilukai, serta tidak diganggu.
Sebaliknya, seseorang yang terkesan “penyabar” ketika diperlakukan secara tidak patut, semisal ketika ditipu dan tertipu, bisa jadi dirinya tidaklah benar-benar orang baik—penyabar tidak identik dengan orang baik-baik—karena bisa jadi dalam dirinya bergaung suara hati berbunyi sebagai berikut: “Mengapa juga kita harus menjadi marah, toh kita tahu betul bahwa kita sendiri adalah seorang penipu yang telah banyak menipu dan banyak diantara korban kita telah berjatuhan. Apa salahnya, kini sesekali mencicipi rasanya tertipu, kita memang patut menerima penipuan ini.” Sejatinya, kita justru perlu mulai bersikap curiga bila seseorang terkesan demikian “penyabar”, karena sejatinya jangan-jangan...
Penulis mengenal berbagai contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari yang semakin menguatkan hipotesis “psikologi sosial dan karakter” demikian. Salah satu contohnya, penulis mengenal seseorang yang pernah menyewakan rumahnya di tengah lingkungan pemukiman untuk disewa kepada seorang pengusaha mebel, yang ternyata menjadikan rumah tersebut sebagai bengkel tempat usaha pembuatan mebel dengan mesim pemotong kayu yang memiliki bunyi sangat mengganggu dan mengusik ketenangan warga sekitar. Tiada jenis suara yang lebih mengusik telinga daripada suara mesin pemotong bilah kayu mebel.
Beberapa tahun kemudian, Hukum Karma pun berbuah, tetangga dari sang pemilik rumah yang kini telah menempati rumah tersebut kembali, kemudian membuat kegiatan usaha ilegal serupa, yang sangat merugikan warga setempat, dan sang pemilik rumah yang berbatasan langsung dengannya hanya bersikap “berdiam diri” sekian lama mendapati kehidupan keluarganya terganggu oleh aktivitas usaha ilegal di tengah pemukiman padat penduduk demikian. Mengapa? Karena hati nurani tidak dapat berbohong (kecuali dirinya adalah penipu ulang yang bahkan mampu menipu diri sendiri), dirinya dahulu pernah dan telah menyewakan rumahnya sendiri kepada pengusaha ilegal serupa yang mengganggu warga setempat lainnya, dan kini dirinya harus memetik buah pahitnya tanpa boleh melakukan protes apapun. Kini dirinya harus “menikmati” buah karma buruk yang pahit rasanya, suka atau tidak suka.
Menjadi berbeda dengan warga yang tidak pernah mengganggu warga setempat lainnya, adalah wajar menjadi dan berhak untuk bersikap “marah-marah” ketika ketenangannya selaku penghuni dan pemukim kemudian diganggu dan dirampas oleh warga lain yang mengalih-fungsikan wilayah pemukiman menjadi aktivitas usaha yang menimbulkan polusi sosial maupun polusi udara, polusi suara, hingga polusi air dan berbagai cemaran polusi lainnya.
Sama halnya ketika penulis telah melakukan demikian banyak kebaikan berupa pengorbanan waktu, energi, serta biaya yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya untuk menghadirkan publikasi ulasan hukum dalam website ini, namun ternyata kerapkali alih-alih berterimakasih, justru banyak diantara pembaca website ini yang membalas “air susu” dengan “perkosaan” terhadap profesi penulis selaku seorang Konsultan Hukum yang sudah sangat jelas sedang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum, dengan meminta dilayani tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN. Jelaslah, orang yang masih waras, akan menjadi “murka” sejadi-jadinya ketika profesinya “diperkosa” tanpa rasa tahu malu demikian.
Janganlah kita memiliki mental berpikir “aji mumpung”, seperti “’mentang-mentang’ orang yang kita hadapi adalah orang baik, maka seolah boleh, mudah, dan bebas untuk disakiti, dirugikan, dan dilukai”. Sikap-sikap ala pengecut demikian, hanya berani melukai dan menyakiti orang-orang baik, layak untuk disebut sebagai “manusia sampah” untuk dilempar ke “tong sampah”—karena memang di situlah tempatnya paling layak untuk berada dan berakhir.
Pernah terjadi, seorang terpidana korupsi (koruptor) bernama Sony Yulianto, setelah menyelesaikan masa hukuman penjaranya, kemudian menjelma menjadi seorang kontraktor di Pekalongan, menghubungi penulis berulang-kali meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif konsultasi SEPERAK PUN atas sengketanya dengan Pemerintah Daerah yang menolak membayar jasa konstruksi yang dikerjakan oleh sang koruptor. Itulah cerminan orang “gila” (disamping tidak punya malu, perilaku yang lebih hina daripada pengemis yang bahkan tidak mencari makan dengan merampok nasi dari piring profesi orang lain), tega dan berani mengkorupsi hak-hak rakyat, namun merasa berkeberatan ketika dirinya sendiri dirampas hak-haknya dan dirugikan, akan tetapi merasa berhak “memperkosa” profesi orang lain dengan penuh percaya diri tanpa adanya sedikit pun “rasa malu”.
Sama halnya, rakyat yang berhak “mengutuk” dan mencaci-maki koruptor, hanyalah rakyat yang selama ini tidak pernah melakukan korupsi waktu, korupsi dana, dan berbagai korupsi lainnya kepada warga negara lainnya ketika mencari nafkah maupun penghasilan. Ketika seorang anggota rakyat yang melakukan orasi “hukum gantung semua koruptor”, akan tetapi senyatanya dalam keseharian mencari kekayaan dengan cara tidak terpuji menjual barang-barang yang merugikan konsumennya, sama artinya dirinya adalah seorang “hipokrit”.
Yang paling berhak merasa marah terhadap kalangan koruptor, ialah mereka yang bekerja secara serabutan demi mencari sesuap nasi seperak demi seperak dengan keuntungan kecil lewat memeras keringat untuk setiap harinya, berpanas-panasan, dan berletih-letih berjalan kaki hingga ratusan kilometer jauhnya dari muda hingga hari tua menjelang, membanting tulang dengan penghasilan pas-pasan. Sementara, hak-haknya selaku rakyat kecil ternyata di-“sunat” oleh para koruptor pada lembaga pemerintahan maupun pada penghuni bangku-bangku kekuasaan di parlemen.
Menjadi seorang warga yang baik, bukan artinya melepas hak kita untuk melakukan perlawanan secara sengit—dan tidak pernah dapat diartikan demikian. Seorang yang baik, tidak pernah diartikan identik dengan “anak manis” menjelma “mangsa empuk” yang hanya berdiam diri ketika dirugikan hak-haknya selaku sesama warga negara. Seseorang yang tidak pernah mengganggu, merugikan, ataupun melukai hak-hak warga negara lainnya, selalu berhak untuk menuntut agar hak-haknya sendiri tidak diganggu dan dihormati oleh orang lain. Disini, kita berbicara perihal hak dan kewajiban. Orang baik-baik, selalu memiliki hak untuk tidak diganggu, dan orang lain memiliki kewajiban untuk menghormatinya.
Menjadi orang baik dan berbuat baik artinya, tidak menyakiti orang lain dan juga tidak menyakiti diri sendiri, tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri sendiri, tidak melukai orang lain dan juga tidak melukai diri sendiri. Bila kita ternyata hanya berdiam diri saja ketika dilukai, dirugikan, dan disakiti, sama artinya kita sedang telah “tidak bersikap baik terhadap diri kita sendiri”. Bersikap baik terhadap diri kita sendiri, dengan memperjuangkan harkat dan martabat diri maupun properti milik kita, bukanlah hal yang patut untuk ditabukan—karena membela dan memperjuangkan hak-hak diri sendiri memang bukan hal yang tabu terlebih dilarang oleh siapa pun, namun adalah sebentuk hak, dan tiada larangan untuk memilih memakai hak yang kita miliki.
Sebaliknya, ketika seseorang tidak mampu menghargai harkat dan martabat dirinya sendiri, dirinya belum layak untuk disebut sebagai orang yang baik, karena bila kita merujuk kembali pendefinisian “orang baik” sebagaimana telah penulis ungkap sebelumnya di atas, maka hanyalah mereka yang tidak melukai orang lain dan tidak membiarkan dirinya terluka-lah, yang patut untuk menyandang gelar terhormat sebagai “orang baik-baik”.
Seseorang yang senantiasa patuh dan taat terhadap hukum, memiliki toleransi yang sangat amat tipis terhadap orang lain yang melakukan pelanggaran hukum—terlebih bila pelanggaran terhadap norma hukum demikian juga merugikan hak-hak kewarganegaraan orang yang patuh terhadap hukum tersebut.
Sebaliknya, seorang pelanggar hukum akan cenderung memiliki ambang batas toleransi yang sangat tinggi ketika menemui pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar lainnya. Mengapa banyak dijumpai para pelanggar hukum yang berkeliaran di republik ini? Semua sudah “sama-sama tahu” jawabannya, sehingga tiada lagi urgensi untuk penulis bahas dalam ruang media ini. Serigala cenderung akur dan rukun ketika berjumpa dan berkumpul dengan sesama serigala, berkawan dengan sesama predator—karena mereka sejatinya “satu jenis” (sejenis). Sesama pengemudi “angkot” hendaknya saling memaklumi, bukan sekadar tidak saling mendahului.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.