Mitos dan Fatamorgana Gaya Berbicara Orang Hukum

ARTIKEL HUKUM
Sebelumnya, maaf beribu maaf, karena penulis hendak mengutarakan apa yang kerap dilontarkan oleh kalangan nonhukum terhadap perilaku kalangan Sarjana Hukum. Namun apa yang akan penulis ungkap, ialah apa yang penulis dengar secara langsung, dan kini penulis ceritakan ulang secara sejujur-jujurnya. Mengapa, tanya mereka, berbicara dengan orang-orang dari kalangan hukum seolah ditangkap kesan arogan dan bicaranya serampangan, suka-suka logika mereka sendiri, dan mau menang sendiri? Itulah salah satu cerminan “cibiran” masyarakat umum kita terhadap kalangan profesi hukum maupun mahasiswa hukum kita di Tanah Air.
Kini, penulis akan mengungkap beberapa mitos serta keyakinan “fatamorgana” yang kerap menjangkiti para kalangan profesi hukum, yang bermula bahkan sejak tahapan perkuliahan di bangku Perguruan Tinggi Hukum. Mereka meyakini, bahwa mampu berbicara secara cepat, berbicara banyak-banyak, dan berbicara secara membabi-buta bertubi-tubi adalah suatu “keterampilan” atau suatu “prestasi” bagi kalangan yang ingin dikategorikan sebagai “orang-orang hukum”. Namun, faktanya, asumsi atau keyakinan demikian adalah semu belaka, alias salah-kaprah secara total—jika tidak ingin disebut sebagai “sesat dan menyesatkan”.
Sejatinya, bukanlah persoalan berapa banyak ucapan yang dapat kita lontarkan dalam setiap menitnya, bukan juga seberapa lantang dan seberapa cepat kita dapat berbicara dibanding lawan bicara kita. Teknik atau cara berkomunikasi, sangatlah perlu untuk dilatih, yang pada gilirannya membentuk gaya berkomunikasi. Pepatah pernah menyebutkan, bukanlah esensi atau substansi pembicaraan yang menjadi masalah, namun selalu bagaimana substansi itu disampaikan lewat gaya atau cara penyampaiannya. Begitupula, niat boleh baik, namun bila cara-nya keliru, maka menjadi keliru.
Apakah berbicara secara cepat, perlu dilatih? Hanya orang bodoh, yang berpikir mampu berbicara secara secepat kilat adalah suatu keterampilan yang patut dibanggakan—ironisnya, sebagian besar kalangan mahasiswa maupun profesi hukum terjebak dalam mis-perspektif demikian, dan berkubang penuh kebanggaan di dalamnya, bahkan dilatih untuk menjadi seorang “debater” yang hanya pandai berbicara cepat namun “serba menyimpang” alias “asal bunyi” (berisik dan hanya membuat polusi suara, sama sekali tidak sedap untup didengar dan diperdengarkan).
Justru, kita perlu melatih diri untuk mampu berbicara secara perlahan-lahan dan tertata serta konstruktif, dengan tutur-kata yang terstruktur, jelas, dan jernih. Sekali lagi, sebagai penegasan, kita justru perlu melatih diri kita untuk mampu berbicara secara perlahan-lahan, alih-alih berbicara secara cepat layaknya rentetan peluru yang dilontarkan oleh moncong senjata api “machine gun” yang dikenal boros amunisi namun dengan tingkat akurasi yang amat memprihatinkan. Apakah mulut Anda ingin beradu cepat dengan sebuah “machine gun”?
Mitos berikutnya ialah kemampuan untuk banyak berbicara. Apakah betul, mampu banyak berbicara adalah suatu “keterampilan” yang perlu untuk dilatih? Sama seperti mitos sebelumnya, berbicara secara cepat seolah perlu untuk dilatih, sejatinya banyak bicara tidaklah perlu dilatih, karena rata-rata seorang manusia lebih cenderung untuk banyak berbicara ketimbang mendengarkan, dan sebagian besar isi pembicaraannya ialah “sampah” belaka atau mungkin bahkan sebagian besar cenderung menjurus pada hal-hal negatif dan tidak bermanfaat sama sekali.
Karenanya, alih-alih melatih diri untuk banyak berbicara, kita justru perlu memulai melatih diri untuk cukup sedikit berbicara, namun padat dan bermanfaat—alias, ringkas namun tepat-guna dan esensial. Ibarat seorang penembak jitu berjuluk “sniper”, dirinya tidaklah memerlukan ribuan peluru untuk melumpuhkan lawannya, namun cukup satu butir peluru. Seekor pakar serangga, untuk memindahkan satu koloni serangga lebah madu, cukup memindahkan sang ratu lebah dari satu koloni, dan ditempatkan ke tempat sarang barunya, maka satu koloni akan turut berpindah secara sendirinya.
Lalu perihal berbicara secara serampangan, seolah tidak punya aturan, dan “mau menang sendiri”, mohon maaf sebelumnya, penulis kurang sependapat bila kritikan demikian hanya ditujukan semata bagi kalangan profesi hukum. Sifat suka berbicara secara serampangan, seolah tidak punya aturan, dan hingga “mau menang sendiri” bukanlah monopoli karakter dan gaya berbicara kalangan sarjana hukum. Tidak jarang, mereka yang berpendidikan tinggi justru kerap menampilkan wajah komunikasi yang memprihatinkan demikian—terpelajar namun tidak terdidik.
Kalangan-kalangan pengusaha ilegal “serakah” yang mencari kekayaan melimpah dengan mengorbankan hak-hak warga setempat, para pelanggar yang hanya pandai melanggar, hingga para kriminil yang tidak takut berbuat kejahatan, kerap memakai gaya berkomunikasi demikian, seolah hanya bersedia membuka mulutnya lebar-lebar untuk berbicara namun memiliki telinga yang tertutup rapat dari segala pendengaran.
Berbicara secara serampangan, adalah lawan kata dari berbicara secara selektif—dalam pengertian hanya berbicara secara sejujur-jujurnya dan setepat-tepatnya (akurat, berdasar, dan akuntabel)—tanpa “dibumbu-bumbui” agar terkesan dramatis ataupun dibuat secara berlebih-lebihan guna mengundang simpati atau mungkin bahkan dengan motif provokasi. Karenanya, berbicara secara serampangan tidaklah pernah perlu untuk dilatih—sebaliknya, berbicara secara selektif dan penuh kejujuran maupun semangat keterbukaanlah yang perlu dilatih dan dibiasakan.
Apakah berbicara dengan gaya komunikasi “mau menang sendiri”, akan benar-benar membuat Anda keluar sebagai pemenangnya? Jika Anda memiliki prinsip sebagaimana demikian, maka Anda ternyata adalah seorang “preman” yang mengandalkan aksi premanisme. Seorang preman, tidak akan perduli apakah dirinya benar ataukah salah, namun senantiasa menuntut dihormati dan dituruti keinginannya, itulah watak seorang preman, dimana dan kapan pun memiliki ciri-ciri perangai yang sama, “mau menang sendiri” sebagaimana pun perilaku mereka selama ini.
Sejatinya kita perlu berlatih untuk berkomunikasi secara jujur dan adil—secara lebih mudahnya ialah : berbicara secara “apa adanya”, objektif dan akuntabel serta transparan tanpa disusupi kepentingan-kepentingan pribadi membuta semata. Mungkin Anda akan tampak “menang” pada mulanya dan untuk sementara, namun percayalah, Anda sejatinya sedang menabur konflik berkepanjangan.
Dari pengalaman penulis, mereka yang tampak hanya diam dan bersabar ketika menghadapi orang-orang bertipe “mau menang sendiri”, akan cenderung mencari cara lain untuk melakukan perlawanan—karena dirinya tahu betul bahwa tiada lagi gunanya menjalin komunikasi dengan tipe orang bersangkutan, alias hanya membuang-buang waktu, akan beralih pada cara-cara upaya hukum yang legal maupun menggunakan cara-cara diluar hukum untuk menghadapi orang yang bersangkutan.
Untuk kita ketahui, kesabaran seseorang selalu menuntut kompensasi—sekadar sebagai contoh sederhana, seorang debitor yang tampak “pendiam” ketika disampaikan oleh kreditornya yang membebani sang debitor dengan bunga, denda, hingga pinalti sehingga hutangnya menggunung, bahwa agunannya akan dilelang, ternyata lebih kerap menyewa pengacara untuk menggugat kreditornya sendiri, ketimbang seorang kreditor yang tampak sangar dan banyak melakukan perlawanan dengan kata-kata pada mulanya.
Tipe karakter lainnya yang cukup negatif, ialah jenis manusia dengan gaya berkomunikasi “seolah tidak punya aturan”. Sebagai contoh, penulis pernah berdebat dengan seorang pengusaha “serakah” yang ilegal karena menjadikan alih fungsi lingkungan pemukiman menjadi tempat usaha berskala besar sehingga mengganggu ketenangan hidup warga setempat.
Pemukiman adalah terlarang untuk dijadikan tempat usaha berskala besar yang mengganggu penduduk setempat, dan usaha tanpa izin ialah ilegal. Ilegal adalah ilegal, sebanyak apapun berdalih, ilegal tetaplah ilegal, dan hal yang ilegal tidak pernah dapat dilegalkan. Melakukan usaha ilegal bukanlah hak, karena itu adalah pelanggaran hukum dan melanggar hak-hak warga setempat selaku pemukim. Namun, berbicara dengan seseorang yang “seolah tidak punya aturan” sama merepotkan dan sama sia-sianya berdebat dengan mereka yang bertipe “mau menang sendiri”—atau hampir dapat disebut sebagai “bagai pinang dibelah dua”.
Karenanya, berbicara “tanpa aturan” tidak pernah perlu latihan, karena setiap orang yang kurang beradab akan cenderung berbicara secara “tanpa aturan” terlebih dirambui oleh rambu-rambu etika berkomunikasi dan etika bermasyarakat ataupun etika berbisnis. Berbicara dengan “penuh aturan”, selalu harus kita latih sebagai bagian dari warga masyarakat yang patuh dan tertib secara hukum. Bagi orang-orang dengan karakter “bicara tanpa aturan”, penulis menyebutnya sebagai “penyakit” masyarakat yang sudah saatnya di-“suci hama”-kan dari negeri ini. Tiada yang lebih berbahaya daripada seorang atau sekelompok warga negara yang seolah “tidak punya aturan”.
Tiada seseorang ahli komunikasi yang sudah pandai dan terampil berkomunikasi sedari sejak semula. Semua diawali oleh latihan selama kurun waktu tertentu—yang membedakan hanyalah talenta dalam mempercepat kemampuan berkomunikasi, ada yang harus berlatih selama berbulan-bulan namun juga ada diantara kita yang mungkin harus berlatih selama bertahun-tahun untuk memiliki cara berkomunikasi yang efektif dan penuh empati serta “sedap didengar” disamping menyejukkan.
Hingga saat kini pun, penulis masih harus melakukan latihan demi latihan dalam seni berkomunikasi, karena seorang manusia pada dasarnya tidak dibekali kemampuan berupa talenta berkomunikasi secara efektif—sekali lagi, namun harus dilatih dan dibiasakan. Belum pernah ada pakar komunikasi yang mengklaim bahwa ia sudah memiliki kemampuan mumpuni dalam seni berkomunikasi sejak ia dilahirkan. Semuanya harus lewat tahapan berlatih—hanya saja, yang membedakan, sebagian orang melatih dirinya justru untuk menjadi komunikator yang buruk dengan menjadi lebih banyak berbicara, berbicara tanpa aturan, dan berbicara secara “mau menang sendiri”, akibat teladan ataupun pembimbing yang buruk terutama pada Fakultas Hukum di perguruan tinggi.
Untuk memperbaiki suatu gaya komunikasi yang biasanya telah menjadi suatu kebiasaan, perlu suatu kerja keras yang konsisten dan keseriusan dari diri kita pribadi masing-masing. Kata kuncinya ialah mulai menyadari bahwa gaya komunikasi kita masih cukup buruk, adanya kemauan untuk berlatih dan terus melatihnya, tanpa terjebak oleh asumsi bahwa kita telah memiliki bakat bawaan sejak lahir untuk menjadi komunikator yang unggul dan ulung—percayalah, itu hanya sekadar asumsi semu yang mengecoh diri kita sendiri.
Mungkin Anda atau kita memiliki kepandaian dalam “merayu” dan “menggaet” calon konsumen, lewat berkata-kata manis yang efektif mencetak laba bagi usaha kita. Tapi, tidak dalam segala aspek kita merupakan seorang komunikator yang unggul. Tidak jarang kita jumpai, seorang pengusaha sukses yang mampu meraih banyak keuntungan dari angka penjualan yang fenomenal, rekan bisnis yang terjalin baik, namun kerapkali terjadi keributan dalam skala internal domestik seperti rumah tangga sang pebisnis terhadap istri maupun anak-anaknya. Itulah cerminan daya kemampuan berkomunikasi yang tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai sebentuk “prestasi”, karena ia hanya ulung dalam mengikat hati calon rekan bisnis maupun pelanggan, namun tidak dalam hal lainnya.
Terkadang kita harus berlatih di depan cermin dalam mengulang-ulang cara kita dalam “memilih kata”, dalam “memilih intonasi”, hingga dalam “memilih mimik wajah”, ataupun ketika kita “memilih kapan harus diam dan kapan harus berbicara”. Selalu terdapat perbedaan signifikan dalam setiap detail dan hal-hal kecil dalam suatu komunikasi. Meremehkannya sebagai hal yang “sepele”, maka selamanya kita akan dikodratkan menjadi seorang komunikator yang buruk. Tiada hal yang “sepele” dalam urusan komunikasi.
Begitupula dalam kombinasi antara suara perlahan atau agak sedikit cepat, nada suara tinggi atau rendah, suara keras dan ringan atau lirih hampir seperti sedang berbisik kepada diri sendiri, sekalipun kata-kata yang kita lontarkan adalah sama, ternyata selalu memiliki makna intrinsik yang saling berlainan. Yang selalu ditangkap oleh indera pendengaran orang lain, tidak pernah hanya sekadar makna ekstrinsik, namun lebih kepada makna intrinsik. Itulah sebabnya, berlatih menjadi hal yang sangat penting dan perlu kita latih secara jangka panjang untuk menguasai “seni” berkomunikasi yang efektif dan benar.
Pernahkah Anda sadari, orang asing yang baru belajar Bahasa Indonesia yang notabene bukanlah “bahasa ibu”-nya dan belum terlampau lancar atau belum fasih berbahasa Indonesia, ternyata mampu memilih kosa-kata pilihan “terpilih” yang sangat apik dalam merangkai kata dan berkomunikasi sehingga amat jarang terjadi konflik verbal dengan mereka yang berbicara secara terbata-bata dan amat lambat dalam menyampaikan sesuatu. Tanyalah mengapa? Justru karena kita telah merasa terlampau fasih berbahasa Indonesia, sehingga kerap berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan pada titik itulah letak “kejatuhan” diri kita dalam berbahasa, meremehkan detail dengan merasa telah “terampil” berbahasa.
Kita harus senantiasa melakukan introspeksi dan mulai mau belajar untuk melatih cara berkomunikasi diri kita sendiri. Namun, gaya berkomunikasi yang terburuk dari semua itu, berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, ialah ketika kita menjumpai seseorang yang bertabiat “mau menang sendiri”—mereka adalah tipe komunikator yang seburuk-buruknya keburukan gaya berbicara yang tidak berkualitas lainnya.
Disamping kesemua itu, yang paling menarik ialah adanya semacam pola atau “pattern” dari keseluruh tipe atau jenis gaya atau cara berkomunikasi yang buruk sebagaimana telah kita bahas di muka, yakni : tiadanya empati atau miskin dan keringnya empati dari sang pembicara terhadap lawan bicaranya. Sebetulnya, dapat dikatakan bahwa itulah watak yang paling menonjol dari seorang komunikator yang buruk, yakni tidak lain tidak bukan ialah tumpulnya empati yang bersangkutan.
Berkat simpati serta empati, ketika kita atau mereka melakukan kesalahan, maka mereka akan mengakui kesalahan itu “salah sebagai salah” alih-alih dengan berbagai cara mencoba untuk “bersilat lidah” dengan melecehkan lawan bicaranya (membela kesalahan diri sendiri secara membuta, seolah hendak mengatakan bahwa orang lain yang menjadi korbannya adalah “buta dan tuli” atau keliru dalam perasaan mereka dalam merasakan pengalaman mereka).
Akhir kata, seorang pendebat yang hebat, selalu adalah seorang komunikator yang buruk—dan berlaku prinsip sebaliknya, seorang komunikator yang ulung selalu adalah seorang pendebat yang buruk. Anda pilih yang mana? Hidup ini bukanlah soal perdebatan, namun soal komunikasi secara jujur dan objektif.
Orang-orang yang sama-sama jujur, ketika harus saling berhadapan, tidak pernah memilih untuk sampai saling berdebat satu sama lain. Orang-orang jujur selalu berpedoman pada sebuah peribahasa Belanda yang berbunyi: “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.
Selebihnya, pilihan Anda berpulang pada tangan kita sendiri, menjadi pendebat yang ulung ataukah menjadi komunikator yang unggul—itulah yang tidak pernah mereka dapatkan pada bangku pendidikan tinggi hukum pada Fakultas Hukum, dan itulah sebabnya hal-hal baik perlu dipelajari dan senantiasa dilatih oleh kita semua tanpa terkecuali. Bila ada diantara para pembaca yang masih merasa bahwa berbicara secara banyak, cepat, dan keras-keras adalah menguras banyak energi sang pembicara, maka cobalah praktikkan sebaliknya, berbicara secara sedikit (atau secara minim / hemat kata), perlahan, tertata, disertai kosakata pilihan, manakah yang sejatinya lebih menguras tenaga pihak yang bertutur-kata tersebut? Buktikan sendiri, dalam tataran praktik di keseharian, bukan sekadar berteori belaka. Jangan sampai Anda di-stempel sebagai nyamuk pengganggu, kontraproduktif, dan hanya membuang-buang energi Anda sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.