Kriminalitas & Faktor Kriminogen pada Era Kemajuan Teknologi yang Demikian Masif Tidak Terkontrol

ARTIKEL HUKUM
Pencetus dari sebuah atau serangkaian tindak-kejahatan atau yang juga populer disebut dengan istilah “kriminalitas”, selalu menjadikan dua unsur dari faktor kriminogen (crime factors) berikut sebagai unsur primairnya, yakni adanya “niat” serta adanya “kesempatan” sebagai kombinasinya. Tidak harus selalu “niat” timbul diawali oleh adanya “kesempatan”, karena bisa juga kejadiannya berkebalikan dimana adanya “kesempatan” mengundang “niat” buruk seperti kondisi pintu pagar rumah yang tidak dalam kondisi terkunci ketika ditinggal pergi oleh penghuninya.
Ranah agama, norma sosial, dan didikan budi-pekerti, hanya dapat berperan dalam mengkondisikan unsur “niat” dari setiap individu dan subjek hukum agar tidak mengembangkan “niat” buruk terlebih “niat” jahat untuk melakukan suatu kejahatan maupun pelanggaran terhadap norma sosial maupun hukum negara. Terbukti, meski terbilang sebagai negara “agamais” dimana para penduduknya senantiasa melekatkan dirinya dengan atribut busana keagamaan, namun ranah agama telah “gagal total” dalam “mengerem” berbagai “niat” buruk para warganya—setidaknya pada republik ini.
Lantas, berperan dalam unsur manakah sebuah ranah yang bernama norma hukum negara? Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman sanksi dan pemidanaan, sejatinya bermain dalam tataran unsur “niat” batin pelaku agar tidak menjadi “liar” dan dengan harapan dapat “terkendali” (law as social engineering). Sementara berbagai “struktur hukum” mulai dari marka jalan hingga aparatur penegak hukum hingga seperti penempatan kamera pengawas instrumen dokumentasi dan penerap sanksi tilang, dimaksudkan untuk memiliki peran sentral dalam tataran unsur “kesempatan” yang dikondisikan sedemikian rupa agar tidak memberi kesempatan apapun bagi para warga yang memiliki “niat” buruk agar tidak terdapat ruang untuk “bermain”.
Namun, kembali lagi, sedemikian banyak aparat penegak hukum maupun peraturan perundang-undangan justru menjadi “crime agent” atau bahkan menjelma “law as a tool of crime” itu sendiri, sehingga kejahatan terus meraja-lela tanpa benar-benar dapat dikendalikan, dimana para pembentuk aturan hukum negara itu sendiri diragukan motifnya saat membentuk regulasi (perfect crime).
Adalah akan sangat menyerupai kekeliruan strategi nasional, ketika kita terlampau mengandalkan atau bertumpu pada pertumbuhan (kuantitas) legislasi bernama peraturan perundang-undangan yang mengatur norma larangan serta perintah, karena sudah terbukti tidak efektif dan kian membuat terperosok wibawa hukum di mata masyarakat karena penerapannya yang kerap “separuh hati” dan tidak konsisten, alias si “macan ompong” atau “tumpul ke atas nama tajam ke bawah”.
Sejatinya, bila ranah agama dan didikan budi-pekerti suatu bangsa cukup kompeten, maka kita tidak perlu menerapkan strategi nasional berupa pengandalan dan “peng-gemuk-kan” peraturan perundang-undangan dibidang pidana yang mengandung norma aturan larangan, perintah, serta ancaman sanksinya. Wajah dan citra masyarakat kita menjadi menjelma “kebal dosa” dan “kebal hukum”, sehingga kondisi kurang kondusif demikian kurang menguntungkan bagi praktik penegakan hukum negara—dimana bahkan otoritas Lembaga Pemasyarakatan mengeluhkan betapa bangsa ini demikian produktif mencetak berbagai narapidana baru maupun residivis sehingga ruang sel yang tersedia telah over-capacity.
Kini, kita beralih bahasan kita dalam kaitannya dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi (yang tidak dapat kita bendung, namun hanya dapat kita antisipasi keberadaannya), yang sangat menyerupai buah-simalakama terkait “crime factor”. Yang membuat aturan hukum terkait pemidanaan cepat menjadi “ketinggalan zaman”, dimana bermunculan modus-modus kejahatan dan bidang-bidang kejahatan baru, tidak lain ialah atas peran serta kontribusi kemajuan teknologi itu sendiri—bagai disayang namun juga dibenci, alias “benci-benci rindu” bila mengingat lirik lagu atau puisi seorang pujangga klasik.
Dahulu kala, ketika belum dikenal kecanggihan jejaring dunia maya, tidak pernah dikenal genus kejahatan seperti “cyber crime”. Kini, kejahatan dalam dunia maya terjadi demikian masif dan karenanya dibutuhkan pengaturan baru dibidang hukum pemidanaan dari segi pengaturan serta ancaman sanksinya. Bukan hanya itu dan tidak cukup berhenti sampai di situ, penegakan hukumnya pun haruslah tidak kalah canggih sehingga terdapat pula tuntutan untuk mengikuti kemajuan teknologi, disamping biaya penegakan hukumnya pun yang tidak luput itu meningkat akibat jenis kejahatan baru ini bersifat lintas waktu, lintas ruang, hingga lintas negara.
Salah satu contohnya ialah mulai merebaknya aksi perundungan (bullying) yang kian tidak terbendung setelah maraknya perangkat genggam digital canggih dimana setiap individu dapat menghakimi, melecehkan, sekaligus merudung warganegara lainnya semudah memainkan papan tuts pada perangkat genggam milik mereka, tanpa harus bertatap muka dengan korban-korbannya. Tuntunan zaman akibat kemajuan arus teknologi dan informatika itulah, yang pada gilirannya mengakibatkan Indonesia harus menerbitkan Undang-Undang yang kini dikenal dengan sebutan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan segala polemiknya.
Kini, kemajuan teknologi memungkinkan transaksi jual-beli antara penjual dan pembeli tidak lagi saling bertatap muka. Ternyata, imbas kemajuan teknologi pun bukan hanya berpengaruh pada dunia kejahatan dan ilmu kriminologi, namun juga pada aspek budaya hingga ekonomi. Banyak toko-toko penjualan produk dagangan yang bertumbangan sejak maraknya e-commerce, yang disaat bersamaan mulai munculnya pelanggaran tata ruang wilayah secara masif dan vulgar dimana terjadi terjadi alih-fungsi pemukiman menjelma tempat usaha yang mengganggu para warga pemukim dimana lokasi perumahan menjadi padat oleh simpang-siur kurir barang “jual-beli online”.
Disayangkan, mental pemerintah dan aparatur penegak hukum kita masih menggunakan “otak analog” sekalipun realita telah menggunakan “logika dan cara kerja maupun tuntutan cara berpikir digital”, sehingga banyak kejahatan maupun pelanggaran dan kegiatan usaha ilegal demikian yang seakan menjadi tidak tersentuh oleh hukum—karena aparaturnya belum sama sekali “melek” dan masih setengah tersadarkan bahwa zaman telah banyak berubah dengan pesatnya.
Bukan hanya seolah terjadi semacam “gegar budaya”, namun juga semacam “gegar hukum” disamping “gegar sosial”—dimana otoritas negara seolah tergopoh-gopoh tidak mampu mengejar terlebih mengikuti cepatnya arus perubahan zaman akibat kemajuan teknologi yang deras dan demikian pesatnya, sehingga terkesan negara tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat dan tidak kompeten dalam melindungi segenap warganegaranya yang kian rapuh oleh ancaman “penguasa teknologi” maupun para pemilik modal.
Pada gilirannya, semua diserahkan pada mekanisme pasar oleh pihak korporasi swasta (kapitalis pemilik modal) dalam “menyetir” hingga merajai ekonomi makro hingga mikro, manuver sosial (lewat importasi budaya pop-nya), hingga penegakan hukum yang menjelma demikian “pragmatis” pada teritori negara ini seperti sikap “keblablasan” pemerintah yang hendak menghapus Izin Gangguan dari warga sekitar, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan berbagai perizinan lainnya dengan alasan menghambat iklim usaha dan berinvestasi sekalipun banyak penulis temui para kalangan warga pemukim di berbagai daerah maupun perkotaan telah dalam kondisi menjerit akibat berbagai pelanggaran tata-ruang terutama peruntukan perumahan menjelma praktik alih-fungsi menjadi tempat usaha ilegal maupun yang legal dibalut oleh justifikasi kemasan berupa telah dikantunginya perizinan.
Namun, bagaimana pun kemajuan dan kecanggihan teknologi selalu menyerupai “pedang bermata dua”, tidak selamanya selalu negatif sifatnya, karena memang teknologi secanggih dan sesederhana apapun, selalu netral sifatnya—contohnya ialah seperti pisau dapur, dapat digunakan untuk memasak namun juga dapat digunakan untuk hal-hal negatif seperti alat bagi pelaku kejahatan dalam melakukan kekerasan. Karena sifatnya netral, maka semua pada muaranya berpulang pada masing-masing dari warganegaranya sendiri selaku pemakai dan pengguna dari teknologi bersangkutan, apakah untuk hal positif ataukah untuk hal-hal negatif.
Sebagai contoh, dahulu telepon genggam menjadi benda yang banyak diincar oleh para pencuri, tidak terkecuali kendaraan bermotor roda empat. Kini, perangkat seluler kita telah banyak diperlengkapi dengan teknologi “finger print secure to lock and unlock” untuk membuka perangkat genggam kita tersebut, yang sifatnya menjadi demikian personal karena hanya dapat diakses oleh kita sendiri selaku pemiliknya. Kini, pencurian atas telepon genggam cerdas (smartphone) menjadi kurang populer ditengah-tengah kalangan pencopet.
Begitupula kecanggihan teknologi dibidang kendaraan, salah satu objek yang juga kerap disasar oleh para kriminil bernama pencuri, kini kerap diperlengkapi oleh teknologi yang bernama “GPS / Global Positioning System Tracking” untuk melacak dimana posisi kendaraan kita, sekalipun telah berpindah tangan akibat kriminalitas seperti pencurian. Bahkan, kendaraan roda empat keluaran terbaru tidak lagi diperlengkapi oleh anak kunci untuk menghidup-matikan mesin kendaraan, namun menggunakan sinyal dari handphone milik sang pemilik kendaraan untuk dapat menghidupkannya, sehingga sekalipun seorang pencuri berhasil membuka pintu garasi rumah maupun pintu kendaraan mobil, namun hal demikian akan dipastikan berbuah kesia-siaan. Sudah saatnya bagi pencuri kelas “teri” untuk benar-benar “gulung tikar” dan alih-profesi.
Betul bahwa kemajuan teknologi dapat menekan angka kriminalitas, namun bagaikan kurva terbalik, penjahat-penjahat kelas “teri” tergerus, sementara penjahat-penjahat “intelek” justru kian bertumbuh pesat tanpa tersentuh oleh hukum, bak cendawan dimusim penghujan, mulai dari para pelaku peretas (hacker), pembobol sistem keamanan perbankan, pencurian data pada berbagai akun digital, manipulasi gambar digital, penyadapan suara dan video, politik hitam pada media sosial, aksi bullying dan harassment lewat media sosial, perdagangan manusia lewat jejaring media sosial, praktik per-ju-di-an maupun pr0stitus! “online”, hingga penyebar-luasan data-data pribadi secara digital dengan berbagai “jejak digital” berserakan tanpa dapat ditertibkan, yang pada gilirannya membuat rentan dan ringkih seorang warga yang tidak berdaya menghadapi disrupsi teknologi kecuali hanya dapat bersikap pasrah tanpa daya digempur oleh pemegang kekuasaan atas teknologi.
Setidaknya, unsur “kesempatan” dapat ditutup celahnya lewat kemajuan serta kecanggihan teknologi, namun pada sisi lain “kesempatan baru” untuk melakukan kejahatan justru terbuka kian lebar celahnya akibat kemajuan atau disrupsi (disruption) teknologi itu sendiri. Bila media cetak mudah diawasi serta dikontrol pencetakan serta peredarannya oleh otoritas negara, namun siapa dan otoritas mana yang benar-benar dapat mengawasi dan mengontrol secara efektif? Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), lebih banyak mengabaikan lapoarn warga pengadu atas konten digital dan praktik pelanggaran hak privasi warganegara (sekalipun terjadi secara masif), dalam pengalaman penulis. Pengabaian terbesar terhadap pelanggaran konten digital, justru dilakukan oleh pihak Kominfo itu sendiri.
Hal demikian menjadi menyerupai “menutup” satu celah pada satu pintu, namun apa daya celah-celah lain pada pintu lainnya kian terbuka lebar akibat kemajuan teknologi yang tidak terbendung. Bagai dilematika, pada satu sisi kemajuan teknologi itu sendiri tidak dapat dibendung dan dilarang pertumbuhannya. Namun pada sisi lain, penegakan hukum menjadi pertaruhannya, disamping disrupsi sosial-ekonomi itu sendiri sebagai konsekuensi logisnya, maka tiada pilihan lain selain mempersukar kemajuan teknologi untuk bertumbuh tanpa kendali sehingga menyerupai “tumor” dan “kanker” berbahaya.
Akan sangat mustahil sekali sama sekali menutup rapat-rapat unsur “kesempatan” pada era dimana kemajuan teknologi demikian pesatnya, dan disaat bersamaan “white collar crime” oleh pelaku yang berpendidikan tinggi kian masif—dengan berlindung dibalik instrumen-instrumen teknologi tentunya, tabir kian sukar terungkap ke permukaan publik, sehingga jangankan terlacak dan dapat ditindak, “terhendus” dan untuk dapat “tertangkap tangan” pun pun menjadi kian sesukar tersesat dalam labirin raksasa struktur kode-kode digital, kian tidak kasat mata pelaku yang melakukan kontrol dalam aksinya yang juga seringkali dalam jarak jauh atau bahkan tidak kasat-mata. Sejauh ini, hanyalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mampu beradu kecanggihan dengan para korporasi maupun warga nakalnya yang “canggih”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.