LEGAL OPINION
Adanya
Faktor Kurang Cermatnya Korban, Tidak Menjadi Alasan Pembenar bagi Pelaku untuk
Melakukan Pidana Penipuan
Question: Bila kami selaku pemberi pinjaman sejumlah dana
atau pihak pemasok barang, mendapati beberapa buah cek ataupun bilyet giro yang
diberikan debitor atau rekan bisnis kami ternyata adalah “cek kosong”, apakah
perbuatan rekanan kami tersebut termasuk dalam kategori kejahatan pidana? Kapankah
sebuah “cek kosong” dikatakan semata sebagai masalah sengketea keperdataan, dan
apa syaratnya agar “cek kosong” semacam itu dikategorikan sebagai pidana
penipuan?
Brief Answer: Perbuatan lahiriah (actus reus) yang disengaja, dengan niat batin (mens rea) memang untuk menipu, bila si pemberi cek sejak semula
memang mengetahui cek tersebut kosong atau sudah patut menduga atau dapat diprediksi
(dikalkulasi) olehnya tidak akan dapat dicairkan pada waktunya karena saldo
pada rekening giro tidak mencukupi, sehingga membuat penerima cek (diiming-imingi
akan dibayar / dilunasi) seolah berasumsi cek tersebut dapat dicairkan pada
waktunya, maka terhadap pemberi “cek kosong” dijerat atas dasar Tindak Pidana Penipuan.
Kecuali bila sang pemberi cek tidak menyadari
bahwa dana dalam rekening giro miliknya tidak mencukupi atau kalkulasinya yang
semula menduga saldo giro akan mencukupi namun terdapat hal tidak terduga
membuat prediksi kecukupan saldo menjadi “meleset”, dan segera mengambil
langkah koreksi ketika diberikan teguran oleh penerima cek, sebagai wujud
itikad baik (tidak mempermainkan dengan memberi “harapan palsu”, atau secara
transparan segera mengkomunikasikan / menghubungi pihak penerima cek atau
bilyet giro bahwa dana belum mencukupi untuk dicairkan pada saat jatuh tempo),
maka hal tersebut menjadi semata tanggung-jawab keperdataan / kontraktual, tidak
masuk dalam ranah hukum pidana.
PEMBAHASAN:
Rumusan pidana “penipuan”
diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
“Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Yang menjadi yurisprudensi
ialah Putusan Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973 tanggaI 15-11-1975: “Seseorang yang menyerahkan cek, padahal ia
mengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan tipu
muslihat sebagai termaksud dalam Pasal 378 KUHP.”
Hingga saat ini, kaidah yurisprudensi
demikian dalam konteks tertentu masih tetap dipertahankan, sebagaimana dapat
kita jumpai dalam putusan Pengadilan Negeri Ponorogo Nomor 45/Pid.B/2012/PN.PO
yang diputus pada tanggal tanggal 9 April 2012, atas tuntutan pidana penipuan
dengan menggunakan dua buah cek kosong, menjatuhkan amar putusan: “Menyatakan bahwa terdakwa tersebut diatas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penipuan
yang dilakukan terus-menerus sebagai perbuatan yang dilanjutkan.’”
Suatu hubungan perikatan
perdata, tidak selamanya memiliki konsekuensi hukum keperdataan semata. Ketika
suatu hubungan hukum keperdataan dilandasi adanya itikad tidak baik berupa “niat
batin” hendak menipu sejak semula (adanya unsur esensial berupa “kebohongan”
yang disengajakan oleh pelakunya, by
design), maka selain tanggung-jawab keperdataan yang dapat digugat
secara perdata (wanprestasi), terhadap pelaku juga dapat dijerat secara
pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Sebagai ilustrasi konkret,
untuk itu tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk cerminan lewat putusan Mahkamah
Agung RI perkara pidana “penipuan cek kosong” register Nomor 112 K/Pid/2017
tanggal 28 Februari 2017, dimana Terdakwa didakwa karena telah dengan maksud
hendak menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hukum baik dengan
memakai nama palsu atau martabat yang palsu baik dengan tipu muslihat maupun
dengan rangkaian kebohongan membujuk orang supaya memberikan suatu barang atau
supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, sebagaimana diatur dan diancam
pidana melanggar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bermula ketika Terdakwa dan RAMLI
saling berjumpa dan saat itu Terdakwa bercerita bahwa Terdakwa adalah
wiraswasta yang bergerak di bidang jual-beli batubara. Karenanya, RAMLI
meminta kepada Terdakwa untuk bekerja sama jika ada usaha lagi. Sekitar dua
bulan sejak pertemuan tersebut, Terdakwa menghubungi ROSJUWITA TELAUMBANUA S.H.,
agar memberitahukan kepada RAMLI untuk bekerjasama dalam usaha batubara yang
dijalankan oleh Terdakwa, setelah itu Terdakwa pun menghubungi RAMLI untuk mengajak
kerjasama dimana Terdakwa juga bermaksud untuk meminjam uang Rp300.000.000,00 sembari
mengajak RAMLI untuk melihat-lihat usaha batubara milik Terdakwa.
Mulanya RAMLI menolak, namun
kemudian ROSJUWITA, merayu RAMLI untuk meminjamkan uang kepada Terdakwa, dengan
janji akan memberikan komisi sebesar 200%. Mendengar “janji-janji manis”
demikian, RAMLI menjadi tergiur, percaya, dan bersedia meminjamkan uang kepada
Terdakwa dengan syarat Terdakwa menyiapkan cek tunai sebesar Rp900.000.000,00 dan
juga ROSJUWITA memberikan BPKB mobil milik ROSJUWITA sebagai jaminan tambahan.
Saat diadakan pertemuan, Terdakwa
menyatakan niatnya kepada RAMLI untuk meminjam uang sebesar Rp300.000.000,00 dengan
janji akan mengembalikan uang dengan tambahan 200% dari jumlah pinjaman,
sehingga jumlah uang yang akan dikembalikan oleh Terdakwa kepada RAMLI mencapai
sebesar Rp. 900.000.000,00. RAMLI pun percaya, dan mau memberikan pinjaman uang
sebesar Rp300.000.000,00 kepada Terdakwa dengan cara transfer, namun dengan
persyaratan bahwa saat itu juga Terdakwa memberikan 10 lembar cek senilai Rp900.000.000,00
serta jaminan BPKB mobil milik ROSJUWITA.
Atas kesepakatan tersebut, saat
itu juga Terdakwa memberikan 10 lembar cek tunai senilai total Rp900.000.000,00
yang pencairannya dapat dilakukan sebulan kemudian. Tanggal 19 September 2014,
RAMLI mendatangi Kantor Bank untuk mencairkan 10 lembar cek yaitu cek, namun
pencairan seluruh cek tersebut ditolak oleh Bank dengan alasan dana di rekening
giro tidak cukup saldo sebagaimana dituangkan dalam Surat Keterangan Penolakan (SKP)
terhadap masing-masing cek oleh pihak bank.
Tanggal 23 September, 25 September,
serta tanggal 08 Oktober 2014, Ramli kembali mendatangi kantor bank dengan
maksud untuk mencairkan cek, namun pencairan seluruh cek tersebut ditolak
kembali oleh pihak perbankan, dengan alasan dana di rekening giro tidak cukup sebagaimana
dituangkan dalam Surat Keterangan Penolakan (SKP) terhadap masing-masing cek
oleh pihak bank.
Ramli lalu menanyakan kepada
Terdakwa perihal dana yang kosong di dalam cek tersebut, namun Terdakwa selalu
menghindar dan berkelit. Karena RAMLI terus menerus menagih uang sebesar Rp900.000.000,00
kepada Terdakwa, maka pada tanggal 29 Januari 2015 Terdakwa membuat Surat
Pernyataan yang ditanda-tangani oleh Terdakwa yang isinya menyatakan bahwa
Terdakwa akan mengembalikan uang sebesar Rp950.000.000,00 kepada RAMLI selambat-lambatnya
pada tanggal 13 Februari 2015 secara tunai akibat cek atas nama Terdakwa yang diberikan
olehnya sebagai pembayaran pinjaman “tidak cukup saldo” sesuai tanggal yang
tercantum pada cek dimaksud.
Karena Terdakwa tidak juga
memberikan uang sebagaimana telah diperjanjikan, RAMLI mengirimkan somasi
kepada Terdakwa, namun tidak ditanggapi oleh Terdakwa. Karena tidak adanya
wujud itikad baik dari Terdakwa untuk mengembalikan uang kepada RAMLI, maka RAMLI
akhirnya melaporkan Terdakwa kepada pihak Kepolisian. Atas perbuatan Terdakwa, RAMLI
selaku korban mengalami kerugian sebesar Rp900.000.000,00 atau setidak-tidaknya
sejumlah itu.
Dalam dakwaan Alternatif Kedua,
Terdakwa didakwa karena telah dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki
barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada padanya
bukan karena kejahatan, sebagaimana diatur dan diancam Pidana melanggar pasal
372 KUH Pidana.
Terhadap tuntutan Jaksa
Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
2106/Pid.B/2016/PN.MDN., tanggal 07 September 2016, dengan amar sebagai
berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa ‘FRANS ZULFIKAR HARAHAP, S.E’ tersebut di atas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penipuan’;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa,
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) buah BPKB Asli Nomor ...
atas nama Pemilik ROSJUWITA TELAUMBANUA, S.H., kendaraan mobil ... Nomor Polisi
... Dikembalikan kepada RAMLI.”
Dalam tingkat bangding, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tinggi
Medan Nomor 538/PID/2016/PT.MDN., tanggal 01 November 2016, dengan amar sebagai
berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum
Terdakwa;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan nomor : 2106/Pid.B/2016/PN.Mdn,
tanggal 07 September 2016, yang dimintakan banding tersebut;
- Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”
Pihak Kejsakaan mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya
Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung
berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi dari
Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex
Facti telah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum atau menerapkan
hukum telah sebagaimana mestinya, lagi pula alasan kasasi tersebut mengenai
berat ringannya pidana yang dijatuhkan, yang merupakan wewenang Judex Facti dan
tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi, alasan-alasan semacam itu tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Bahwa namun demikian terlepas
dari alasan kasasi tersebut, Judex Facti Pengadilan Tinggi Medan kurang cermat
dalam pertimbangannya karena:
a. Bahwa berdasar fakta dalam persidangan Terdakwa telah terbukti melakukan
tindak pidana ‘Penipuan’ yang dilakukan dengan cara :
- Bahwa Terdakwa melalui saksi
Rosjuwita Telaumbanua, S.H., berkenalan dengan saksi Ramli dan mengatakan
mempunyai perusahaan penambangan batubara, untuk keperluan bisnisnya tersebut,
Terdakwa hendak meminjam uang kepada saksi Ramli, dengan janji akan diberi
keuntungan 200%, pinjaman Terdakwa kepada saksi Ramli sebesar Rp300.000.000,00
selanjutnya Terdakwa akan mengembalikan Rp900.000.000,00 kepada saksi Ramli lengkap
keuntungan beserta pinjaman pokoknya, dan pinjaman tersebut akan dikembalikan
dalam waktu kurang lebih selama 1 (satu) bulan;
- Bahwa dalam rangka peminjaman
dan pengembalian uang tersebut maka Terdakwa telah menerbitkan cek Bank Mandiri
sebanyak 9 lembar masing-masing cek senilai Rp100.000.000,00 rupiah. Bahwa akan
tetapi setelah cek tersebut diuangkan berulang-ulang di Teller Bank, ternyata
tidak ada dananya;
- Bahwa perbuatan Terdakwa
benar terbukti penipuan karena Terdakwa melakukan kebohongan menyatakan
punya perusahaan penambangan batubara ternyata tidak terbukti, demikian pula
janji akan memberikan keuntungan 200% juga bohong, selanjutnya Terdakwa
juga telah menerbitkan cek kosong yang setelah diuangkan tidak cukup saldo;
b. Bahwa, namun demikian putusan Judex Facti perlu diperbaiki mengenai pidana
yang akan dijatuhkan, karena faktor yang meringankan perbuatan Terdakwa
belum dipertimbangkan Judex Facti, yaitu : terjadinya perbuatan pidana tidak
terlepas dari ketidak-cermatan korban yang sedemikian percayanya kepada
Terdakwa yang belum dikenal lama, serta korban tidak mengecek terlebih
dahulu kelayakan / ada tidaknya perusahaan penambangan batubara milik Terdakwa
yang ternyata bohong, demikian pula mengenai pidana yang akan dijatuhkan
akan disesuaikan dengan jumlah kerugian yang diderita korban;
“Menimbang, bahwa dengan
demikian amar putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 538/PID/2016/PT .MDN.,
tanggal 01 November 2016 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
2106/Pid.B/2016/PN. MDN., tanggal 07 September 2016
perlu diperbaiki mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara
ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi
tersebut di atas;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / JAKSA / PENUNTUT UMUM
PADA KEJAKSAAN NEGERI MEDAN tersebut;
- Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor
538/PID/2016/PT.MDN., tanggal 01 November 2016 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 2106/Pid.B/2016/PN.MDN., tanggal 07 September 2016
yaitu mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa, sehingga amar
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa FRANS ZULFIKAR HARAHAP, S.E telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penipuan’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
Dalam perkara terpisah sebagai
perbandingan, dapat pula SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah
Agung RI perkara pidana “penipuan cek kosong” register Nomor 540 K/Pid/2016
tanggal 27 Juli 2016, dimana Terdakwa didakwa karena sebagai orang yang
melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan yaitu dengan
maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
baik dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, keadaan palsu, baik dengan
tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378
KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berawal ketika suami Terdakwa yaitu Atep Saeful Alim bin H. Makmur,
datang ke rumah H. Iyon Suryono (korban) dengan maksud kedatangan mengajak
korban mengadakan bisnis dibidang perumahan, dimana korban diposisikan sebagai pemberi
modal sedangkan suami Terdakwa mempunyai tanggung-jawab sebagai legalitas
perjanjian, pematangan lahan, pemasaran, pembangunan, dan akad kredit dari
calon para konsumen sampai di perbankan.
Sebelum terjadi kesepakatan dengan korban, suami Terdakwa terlebih dahulu
menjanjikan kepada korban dengan iming-iming akan memberikan keuntungan dari pembebasan
lahan tersebut sebesar Rp300.000.000,00 dan suami Terdakwa juga mengatakan
kepada Korban bahwa ia memiliki proyek di beberapa tempat sehingga korban
mempercayai kata-kata atau klaim dari suami Terdakwa dan menyutujui tawaran
kerja-sama bisnis demikian.
Berlanjut sekitar awal tahun 2014, Korban menyerahkan uang tunai sebesar
Rp150.800.000,00 dan 3 lembar cek masing-masing senilai Rp437.500.000,00 kepada
Terdakwa. Selanjutnya di tempat terpisah, Korban menyerahkan uang via transfer
sebesar Rp360.000.000,00 sehingga total jumlah uang keseluruhan yang diterima
oleh Terdakwa sebesar Rp1.463.300.000,00.
Setelah seluruh uang milik Korban diberikan, lalu oleh Terdakwa dan suaminya
dibayarkan untuk “uang muka” pembebasan lahan sesuai dengan kesepakatan awal
dengan Korban namun pada kenyataannya uang yang diterima oleh Terdakwa dari
Korban tidak seluruhnya dibayarkan untuk “uang muka” pembebasan lahan, tapi dipergunakan
untuk kepentingan pribadi Terdakwa dan suaminya antara lain membiayai
proyek milik suami Terdakwa, sehingga mengetahui adanya penyimpangan demikian
maka Korban lalu membatalkan kesepakatan bisnis dengan Terdakwa karena pihak
Korban mendapatkan informasi bahwa modal atau uang yang dikucurkan Korban tidak
sepenuhnya atau seluruhnya digunakan untuk uang muka pembebasan tanah,
melainkan dipakai untuk kepentingan proyek lain.
Selanjutnya Korban mengajak Terdakwa dan suaminya untuk berangkat ke
kantor Notaris untuk membuat pengakuan hutang tertanggal 7 Maret 2014. Setelah
dibuatnya akta pengakuan hutang, Korban meminta pengembalian uang kepada
Terdakwa dan suaminya. Sehubungan Terdakwa tidak memiliki uang tunai untuk
mengganti uang milik Korban yang telah diterima oleh Terdakwa, kemudian pada
tanggal 12 Maret 2014 suami Terdakwa memberikan atau menyerahkan 5 lembar cek
di kantor Notaris.
Selain suami Terdakwa yang telah menyerahkan cek kepada Korban, Terdakwa
juga menyerahkan atau memberikan 3 lembar cek kepada Korban. Namun ketika kedelapan
cek yang diberikan Terdakwa dan suaminya tersebut akan dicairkan saat jatuh tempo,
ternyata dana di rekeningnya belum terisi atau tidak ada saldo sebagaimana dibuktikan
dengan Surat Keterangan Penolakan (SKP) dari pihak Bank terhadap Cek, sehingga
pihak Korban merasa dirugikan secara materil akibat perbuatan Terdakwa dan
suami Terdakwa Sebesar Rp1.052.000.000,00 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah
tersebut.
Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dan suami Terdakwa, yaitu telah
menyerahkan 8 lembar cek Bank kepada Korban, dilakukan dengan penuh kesadaran
dan mereka mengetahui bahwa kedelapan cek tersebut “tidak dapat dicairkan”
alias tidak ada dananya. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa dan suaminya Atep
Saeful Alim bin H.
Sementara dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa karena sebagai
orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan
yaitu dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 372 KUHP jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan
Pengadilan Negeri Tasikmalaya No. 311/Pid.B/2015/PN.Tsm, tanggal 19 Januari
2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa Aat Latifah binti Ade Lukman tersebut diatas,
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan Kesatu dan Kedua;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan
Penuntut Umum;
3. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta
martabatnya.”
Pihak Kejaksaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan ketika
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa Terdakwa tidak
pernah membohongi Korban dengan memberikan sebuah cek kosong karena Korban
sendiri sebelumnya telah mengetahui jika cek tersebut tidak ada dananya atau
kosong. Padahal berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan berdasarkan
keterangan saksi-saksi dibawah sumpah, menerangkan latar-belakang perjanjian
tersebut terjadi, meskipun Korban sudah kenal dengan suami Terdakwa namun suami
Terdakwa sendirilah yang datang pertama kali ke rumah Korban untuk menawarkan
kerjasama pembebasan lahan untuk bisnis properti dengan keuntungan sebesar
Rp300.000.000,00 namun kenyataannya uang modal yang diserahkan kepada Terdakwa
tersebut tidak seluruhnya Terdakwa bersama suami Terdakwa gunakan untuk
pembebasan lahan melainkan untuk membiayai proyek lain milik Terdakwa. Selain
itu keuntungan sebesar Rp300.000.000,00 yang diperjanjikan juga tidak terbukti.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya juga
menyatakan, penyerahan 8 lembar cek, dikarenakan permintaan pihak Korban itu sendiri
untuk meredakan konflik / perselisihan. Ketika beberapa kali ditagih, Terdakwa
bersama suami Terdakwa selalu berbohong akan melunasinya, namun ketika ditagih
sesuai waktu yang diperjanjikan Terdakwa tidak menepatinya. Hal ini dengan
tegas di akui oleh Terdakwa pula dipersidangan bahwa tidak melunasi utang
tersebut karena tidak mempunyai dananya. Maka unsur “kebohongan” dari perbuatan
Terdakwa telah terbukti.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
pula, sesuai Surat pengakuan utang tepatnya pada Pasal 4 berbunyi, apabila Terdakwa
bersama suami Terdakwa tidak dapat mengembalikan uang sesuai dengan yang telah
janjikan, maka Terdakwa bersama suami Terdakwa dihukum untuk membayar keterlambatan
sebesar Rp100.000.000,00 setiap harinya. Sehingga Majelis Hakim berpendapat
dengan penafsiran bahwasannya Korban sudah dapat mengetahui jika 5 lembar cek
yang diterimanya tidak ada dananya atau kosong, dan Korban mengetahui jika
Terdakwa mempunyai kemungkinan tidak dapat membayar / mengembalikan uang yang
telah diperjanjikan.
Padahal, dalam ranah hukum perdata, para pihak bebas memperjanjikan atau
menyepakai apapun sebagaimana asas “Pacta
Sunt Servanda” vide Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata. Disamping itu Majelis
Hakim Pengadilan Negeri hanya mempertimbangkan keterangan Terdakwa jelas-jelas sedang
berusaha menutupi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa, dimana keterangan
Terdakwa sudah pasti dibatasi pada hal-hal yang akan meringankan atau
menghapuskan sifat melawan hukum Terdakwa, yang mana dapat kita dimaklumi
keterangan Terdakwa diberikan dalam rangka akan menguntungkan diri sendirinya.
Sementara itu keterangan saksi-saksi lainnya diberikan “dibawah sumpah”,
kontras dengan keterangan Terdakwa yang tidak “dibawah sumpah”. Adapun Majelis
Hakim juga mempertimbangan keterangan suami Terdakwa sebagai saksi, yang mana menurut
Jaksa keterangan demikian sangatlah tidak berbobot karena sang suami Terdakwa tersebut
merupakan suami dari Terdakwa yang juga sama-sama didakwa atas pelanggaran
pidana serupa dalam berkas terpisah, sehingga jelas saling melindungi sesama pelaku
kejahatan, karenanya nilai keterangannya tidak berbobot.
Jaksa kemudian juga menyitir kendala teknis lapangan, yakni sesuai
ketentuan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 21 tahun 1983 yang mengatur
: “Bahwa salinan putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa (APB) harus disampaikan
kepada Jaksa dalam batas waktu paling lambat 1 (satu) minggu”. Akan tetapi pada
kenyataanya dalam perkara ini sudah lewat satu minggu, salinan resmi putusan
Pengadilan Negeri, baru diterima Kejaksaan. Hal yang demikian tentunya sangat
merugikan Pemohon Kasasi yang dibatasi waktunya hanya 14 hari, karena putusan
adalah sebagai dasar untuk menyusun Memori Kasasi sedangkan putusan telah
diucapkan didepan sidang.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan Pemohon Kasasi / Jaksa / Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung
berpendapat:
“Bahwa, alasan-alasan Pemohon
Kasasi tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa, Terdakwa mengajak
bisnis perumahan dengan korban ternyata hanya kedok belaka, karena ternyata
uang yang sudah diserahkan tersebut tidak untuk membiayai proyek yang
dijanjikan melainkan untuk membiayai proyek Terdakwa lainnya, bukan dengan
korban, dengan demikian bukan merupakan perkara perdata tetapi suatu
penipuan;
“Bahwa, lagi pula alasan-alasan
kasasi Jaksa / Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti
bukanlah putusan bebas murni dan justru unsur-unsur delik penipuan yang
dilakukan oleh Terdakwa terbukti secara jelas dan sangat merugikan saksi
pelapor / korban, karenanya sangat berdasar dan beralasan hukum untuk
mengabulkan permohonan kasasi Jaksa / Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Mahkamah Agung berpendapat Terdakwa
tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum, oleh karena itu kepada
Terdakwa tersebut haruslah dijatuhi hukuman;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ... terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
kasasi dari Penuntut Umum dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya
No. 311/Pid.B/2015/PN.Tsm, tanggal 19 Januari 2016, untuk kemudian Mahkamah
Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan
disebutkan di bawah ini;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA / PENUNTUT
UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI SINGAPARNA tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Januari 311/Pid.B/2015/PN.Tsm,
tanggal 19 Januari 2016 tersebut;
MENGADILI
SENDIRI:
1. Menyatakan Terdakwa Aat Latifah Binti Ade Lukman terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, ‘Penipuan secara bersama-sama’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Aat Latifah Binti Ade Lukman dengan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa ditahan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.