Penggugat Berkualitas sebagai Saksi, ataukah Sebaiknya Saksi yang Berkualitas sebagai Penggugat

LEGAL OPINION
Question: Kami dan beberapa warga lainnya berkeberatan terhadap pembangunan pabrik di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal kami. Apakah ada dampak negatifnya, bila kami selaku warga berbondong-bondong mengajukan gugatan sebagai para penggugat terhadap pihak pemilik pabrik?
Brief Answer: Sebaiknya, cukup segelintir kecil warga yang mengajukan gugatan, dan para warga lainnya diajukan sebagai saksi yang turut memberikan keterangan “berkeberatan” terhadap aktivitas ataupun pembangunan pabrik yang hendak digugat oleh para warga.
Dalam “kacamata” hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, kualitas dalil-dalil seorang atau para penggugat yang sekalipun terdiri dari ratusan warga yang menjadi pihak penggugat, akan dianggap hanya satu buah dalil semata yang tidak sama kualitasnya dengan kesaksian seorang atau para saksi yang dihadirkan ke persidangan.
Sekalipun gugatan diajukan oleh seribu orang warga, sebagai contoh ekstrimnya guna menggambarkan kelemahan stelsel pembukian dalam hukum acara perdata kita, namun ternyata tiada satupun saksi yang dapat diajukan untuk diambil sumpah serta keterangan / kesaksiannya di depan persidangan guna didengar oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara, maka dalil-dalil dan gugatan seribu orang warga demikian akan tampak tiada artinya.
Sebaliknya, seorang penggugat yang hendak “membungkam” seluruh saksi mata agar kesaksiannya tidak dapat diambil sumpah dan dihadirkan ke persidangan untuk didengarkan Majelis Hakim, karena dinilai kesaksiannya akan dapat memberatkan kepentingan diri sang penggugat, maka keseluruh saksi akan didudukkan oleh penggugat sebagai “Para Tergugat” atau setidaknya sebagai “Para Turut Tergugat”.
Tujuannya, semata agar kualitas mereka sebagai “saksi potensial” menjelma menjadi sebatas sebagai seorang Tergugat yang segala bantahan dan sanggahannya perlu didukung oleh keterangan seorang saksi yang dihadirkan ke hadapan persidangan. Itulah kiat untuk “membungkam” seorang atau para saksi mata agar kualitas kesaksiannya merosot menjadi tidak lagi dapat didengar keterangannya di persidangan—suatu strategi “hitam” yang memanfaatkan betul kelemahan pengaturan hukum acara di Indonesia guna melemahkan posisi pihak lawan.
PEMBAHASAN:
Dalam stelsel hukum acara pembuktian di Indonesia, terdapat adagium yang berbunyi: Satu orang saksi, bukanlah saksi. Karenanya, peradilan selalu menuntut setidaknya dua orang saksi agar dapat dianggap sebagai “meyakinkan”. Atau, sekalipun hanya terdapat satu orang saksi namun setidaknya didukung alat bukti lain, seperti dokumen surat atau rekaman pembicaraan ataupun video, yang dapat mengkonfirmasi atau mendukung keterangan yang disampaikan pihak saksi, maka barulah keterangan satu orang saksi tersebut akan diterima oleh Majelis Hakim sebagai kesaksian yang meyakinkan.
Menjadi semacam dilematika, ketika seluruh warga setempat yang memiliki kepentingan dan merasakan langsung dampak dari suatu hal yang menjadi pokok gugatan, sekalipun jelas para warga tersebut memiliki kepentingan dan berkualitas juga disaat bersamaan sebagai saksi mata langsung, namun hanya karena mereka secara beramai-ramai mengajukan “class action” ataupun “citizen lawsuit”, maka menjadi ambigu ketika pada agenda acara persidangan Majelis Hakim kemudian bertanya kepada para warga yang notabene adalah para penggugat, dengan skenario polemik sebagai berikut:
Apakah para Penggugat hendak mengajukan saksi?
Dengan keluguan rakyat jelata, sang warga (penggugat) menjawab, “Untuk apa pakai saksi segala, Pak Hakim? Kami orang ndeso, tidak mungkin berbohong atas apa yang kami tulis dalam surat gugatan. Pak Hakim tidak percaya dengan kami, para Penggugat yang terdiri dari ratusan warga ini?
Jika tidak ada saksi yang diajukan oleh Penggugat, maka segala dalil-dalil dalam gugatan Penggugat akan dianggap hanya dalil atau klaim sepihak saja, tidak ada kualitasnya di mata hukum bila tidak didukung oleh keterangan seorang saksi mata yang dapat dimintakan keterangannya di depan persidangan ini.”
Kepolosan rakyat jelata tidak dapat dikelabui oleh segala keganjilan hukum acara perdata kita, “Kami semua ini, adalah warga yang menjadi saksi mata langsungnya, Pak Hakim! Kami bukanlah orang buta. Jika saksi adalah manusia yang makan nasi, kami juga manusia yang makan nasi. Mengapa Pak Hakim tidak menjadikan kami sebagai saksi juga lalu disumpah sebelum diambil keterangan dan kesaksiannya?
Tidak bisa, itu melanggar hukum acara perdata yang melarang pihak Penggugat untuk turut bersaksi sebagai saksi dalam nomor register perkara yang sama.”
Jika begitu, apa boleh sanak-keluarga kami dijadikan saksi?
Sanak keluarga atau relasi dari pihak Penggugat, tidak dapat diambil sumpahnya sebagai saksi di depan persidangan.”
Jika begitu, apa boleh kami hadirkan karyawan kami saja sebagai saksi?
Karyawan termasuk afiliasi dari Penggugat, tidak boleh menjadi saksi yang diangkat sumpah menurut hukum acara perdata, jadi percuma saja.”
Itu aturan gila! Pengadilan ini seolah ingin mengatakan, bahwa kami semua dan keluarga kami ini adalah buta dan tuli? Pak Hakim ingin mengatakan, bahwa kami warga sekampung adalah buta dan tuli?
Sang hakim hanya mengangkat bahu, “Bukan salah kami, kami sebagai hakim hanya menjalankan aturan yang ada di persidangan ini.”
Tapi, bagaimana pun kami semua ini adalah warga setempat yang menjadi saksi mata langsung, melihat langsung, dan mendengar langsung. Bagaimana mungkin, kami semua warga yang terdiri dari ratusan orang ini, yang kini menjadi para Penggugat, tak satu pun kesaksiannya dapat didengarkan sebagai saksi mata langsung?
Sang hakim lagi-lagi hanya mengangkat bahu dan merespon singkat saja, “Jika Anda bertanya kepada kami, lalu kami harus bertanya kepada siapa?
Terus, bagaimana ini sekarang?
Hukum acara perdata mewajibkan Penggugat untuk membuktikan dalil-dalilnya. Sementara para Penggugat tidak dapat mengajukan saksi ke hadapan persidangan ini, maka gugatan Penggugat dianggap tidak dapat dibuktikan alias tidak terbukti karena para Penggugat gagal untuk membuktikan dalil-dalil dalam surat gugatannya. Penggugat gagal menghadirkan satu orang pun saksi untuk didengarkan kesaksiannya.
ANDA HAKIM YANG PERLU ADILI!
Lancang, contempt of court, para Penggugat telah menghina wibawa hakim dan peradilan, diancam hukuman pidana penjara!
Kelemahan atau cacat logika hukum acara perdata sebagaimana telah penulis uraikan secara lugas itulah, yang kemudian kerap disalah-gunakan kalangan “nakal” dengan skenario sebaliknya, menggugat seluruh pihak-pihak yang notabene berpotensi menjadi saksi mata, tanpa menyisakan seorang atau satu nama pun yang tidak turut digugat, semata agar status mereka (para “saksi potensial”) bergeser menjadi sekadar dan sebatas sebagai “Tergugat” yang nasibnya akan sama seperti seorang “Penggugat”, segala dalil maupun bantahannya dianggap tidak memiliki kualitas yang sama seperti kesaksian seorang saksi.
Saksi, menurut definisi hukum acara perdata, artinya ialah subjek hukum individu yang tidak duduk sebagai Penggugat dan juga tidak juga berkedudukan sebagai seorang atau salah seorang dari Tergugat. Barulah, kesaksian dibagi menjadi dua jenis, kesaksian “auditu” (saksi mata) dan kesaksian “de auditu” (“katanya, katanya, dan katanya”).
Maka, untuk “mengakali” agar unsur esensial dari seorang saksi tersebut menjadi gugur, ialah semudah menjadikan dirinya sebagai Tergugat atau setidaknya sebagai seorang Turut Tergugat. Maka, segala ingatan dan keterangannya tidak lagi berkualitas sebagai sebuah “kesaksian”, juga bukan lagi sebagai seorang “saksi mata”, namun menjadi sebatas sebagai “bantahan” atau “sanggahan” belaka.
Bila ada diantara para pembaca yang menilai pengadilan penuh dengan keadilan atau menjadi sumber dari keadilan, maka senyatanya itu hanya asumsi semu belaka. Hati nurani para hakim dan aparatur penegak hukum lainnya, sedingin dan sebeku es, kaku dan menyerupai robot. Kehilangan seekor sapi, menggugat atau melapor kepada pihak kepolisian, justru dapat menjadi kehilangan sebuah mobil—demikian sindiran masyarakat umum kerap terlontar, yang sejatinya amatlah relevan dan cukup mencerminkan realita praktik hukum di ruang peradilan dan kantor kepolisian kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.