Pertumbuhan Ekonomi Mendongkrak Upah Minimum Buruh, Berkah ataukah Petaka?

ARTIKEL HUKUM
Teori ekonomi yang kemudian diadopsi oleh Peraturan Pemerintah mengenai Pengupahan di Indonesia, tampaknya telah bergeser dari studi kelayakan hidup menjadi rumusan : inflasi + tingkat pertumbuhan ekonomi = kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) bagi kalangan pekerja / buruh. Namun, yang patut menjadi pertanyaan kita bersama, siapakah yang paling “diuntungkan” dari kebijakan demikian, buruh ataukah pengusaha, ataukah justru kontraproduktif dan merugikan iklim investasi yang pada gilirannya mengancam penyerapan lapangan pekerjaan di Indonesia? Polemik tersebutlah yang akan menjadi pokok bahasan kita dalam kesempatan ini.
Antara perspektif kalangan buruh dan paradigma kalangan pengusaha, tentulah saling bertolak-belakang dan tidak akan pernah saling berdampingan. Tarik-menarik demikian kuat, antara kepentingan masing-masing. Titik moderat hanya dapat tercipta ketika para pihak saling mundur satu langkah dan saling berkomprotmi untuk dapat tetap berjalan bersama. Tanpa kerelaan dan kesediaan untuk saling berkompromi, iklim investasi yang menjadi taruhannya—investor asing akan “hengkang” (angkat kaki), bahkan investor lokal pun akan memilih untuk memindahkan pabrik mereka ke luar negeri dan cukup mengimpor produk produksinya ke Indonesia dari pabrik yang dibangun olehnya di luar negeri.
Jelas bahwa kalangan buruh menghendaki kenaikan Upah Minimum yang tinggi, sementara kalangan pengusaha menghendaki menekan faktor pengeluaran Sumber Daya Manusia (SDM) mereka di tengah faktor ekonomi yang kian spekulatif karena tiadanya kepastian usaha—bisa jadi esok akan mencetak laba atau bahkan sebaliknya akan merugi karena melesunya ekonomi nasional dan pasar global.
Secara kontradiktif, kalangan buruh yang tidak rasional seolah tidak mau belajar dari pengalaman banyaknya perusahaan di Tanah Air saat kini yang telah tutup permanen (gulung tikar), pailit, kebijakan efisiensi pekerja, atau bahkan memindahkan pabriknya ke luar negeri sehingga terjadi PHK massal akibat kalkulasi bisnis tidak lagi memperlihatkan adanya keuntungan beroperasi di Indonesia akibat tingginya “labor cost factor” bernama biaya gaji pegawai.
Jangan pernah kita berasumsi, tiada efek berantai dari suatu aksi. Reaksi berantai selalu mengiringi berbagai hal. Hal yang tampak sederhana dapat menjelma blunder hingga dampak yang fatal. Contoh, seekor tikus memakan makanan yang diberi racun tikus sebagai perangkap untuk membunuh si tikus hama pengganggu. Ternyata, setelah si tikus memakan makanan yang diberi racun, seekor kucing memakan tikus tersebut. Alhasil, sang kucing kemudian ikut tewas karena racun tikus kemudian turut meracuni sang kucing.
Sang kucing selanjutnya dikuburkan, menjadi bagian dari tanah, dimana tanaman sayur–mayur kemudian tumbuh di atasnya dengan turut menyerap kandungan racun di tanah tersebut menumbuhkan akarnya, yang kemudian tanaman sayur beracun dijual kepada para konsumen di pasar. Begitupula rantai makanan manusia akibat limbah micro-plastik yang kemudian masuk ke dalam tubuh ikan kecil, sebelum kemudian dimakan oleh ikan besar, dan berakhir / terakumulasi pada perut seorang manusia sebagai puncak rantai makanan. Tidaklah menjadi mengherankan, mulai timbul banyak penyakit aneh di tengah masyarakat kita, mulai dari kelainan mental akibat rusaknya hormon otak, mutasi genetik, kanker, hingga keracunan.
Selalu ada akibat atau reaksi sebagai dampak dari suatu kebijakan, sekecil apapun kebijakan tersebut tampaknya, terlebih kebijakan yang tidak pernah populis seperti tingkat Upah Minimum. Kini kita masuk pada substansi dari topik utama bahasan kita, yakni apakah tingkat pertumbuhan ekonomi, merupakan berkah ataukah sebaliknya menjadi petaka bagi kalangan pengusaha, dan apakah ada imbasnya secara langsung maupun tidak langsung bagi kelangsungan tersedianya lapangan kerja di Tanah Air?
Pertumbuhan ekonomi nasional, sangat menyerupai buah simalakama. Betapa tidak, rumusan kenaikan Upah Minimum dengan rumusan “inflasi + tingkat pertumbuhan ekonomi”, sebagai contoh inflasi 3 persen dan pertumbuan ekonomi 5 persen, maka totalnya ialah peningkatan Upah Minimum mencapai 8 persen kenaikan untuk tahun berikutnya.
Dengan kata lain, pada tahun tersebut setiap pengusaha harus mencapai target minimal berupa memiliki peningkatan profit atau laba usaha paling tidak harus setidaknya pada tingkat 8 persen untuk dapat terus eksis dan bertahan menyesuaikan tingkat kenaikan upah bagi para buruh mereka di tahun mendatang—suatu tuntutan bisnis yang sangat menuntut “kemujuran” tersendiri dalam dunia usaha yang penuh ketidak-pastian naik dan turunnya kecenderungan perilaku pasar yang kian sukar diprediksi akibat perubahan zaman dan kemajuan teknologi.
Pemerintah bahkan menargetkan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia mencetak “dua digit” layaknya Negara China. Katakanlah, pertumbuhan ekonomi Indonesia benar-benar mencapai dua digit, yakni 10 % per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pada gilirannya mendorong tingkat inflasi (inflasi bagaikan bayangan yang terus membayang-bayangi kenaikan pertumbuhan ekonomi), katakanlah 5 % per tahun.
Maka, Upah Minimum untuk tahun berikutnya ialah kenaikan 15 % dari tingkat Upah Minimum tahun ini. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, justru menjelma mimpi buruk bagi sebagian besar kalangan investor, yang sewaktu-waktu dapat menutup pabrik dan “hengkang” tanpa lagi merasa perlu dibebani kenaikan Upah Minimum yang “selangit”. Kenaikan pertumbuhan ekonomi, seharusnya menjadi insentif bagi kalangan pengusaha, bukan justru menjadi disinsentif.
Rumusan kenaikan Upah Minimum demikian, bertopang pada asumsi yang “kelewat” berani, karena menerapkan paradigma membuta, tanpa pandang bulu, dan menutup mata dari fakta bahwasannya tidak semua pertumbuhan ekonomi terjadi secara merata pada setiap sektor bisnis usaha nasional. Kadangkala, ada sektor bisnis usaha yang meningkat drastis profit marginnya, dan sebaliknya terdapat juga berbagai sektor usaha lainnya yang justru stagnan atau bahkan cenderung mengalami kelesuan akibat masifnya kompetitor dan barang substitusi yang tersedia di pasar.
Sebagai gambaran, produk kompetitor diimpor dari pabrik pada negara dengan tingkat upah buruh yang murah, maka dampak langsungnya ialah produk yang diproduksi di dalam negeri akan mengalami kerugian, kalah bersaing, dan tersisihkan dari pasar konsumen lokal kita sendiri. Itulah yang penulis maksud dengan kebijakan disinsentif terbuka akibat pertumbuhan ekonomi yang kontraproduktif terhadap wirausahawan lokal.
Depresiasi profit margin suatu kegiatan usaha tertentu, bukanlah hal yang mustahil di tengah kenaikan pertumbuhan ekonomi makro nasional suatu negara. Karena itulah, tuntutan menaikkan Upah Minimum sebesar hampir mencapai 10 %, sementara pertumbuhan profit margin setiap kalangan usaha saling berbeda, dan juga harus ditetapkan bagi kalangan usaha yang justru stagnan atau bahkan mencetak kerugian dari tahun sebelumnya, sama artinya mematikan pengusaha kecil dan menengah.
Seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, selalu terdapat dampak berantai dari suatu kebijakan. Ketika kenaikan tingkat Upah Minimum dirasakan tidak lagi rasional untuk mampu ditanggung dunia usaha, maka dunia usaha akan menanggapinya dengan melakukan “pelesuan” usaha sebagai kompensasinya. Selalu terdapat fenomena “kick back” dari suatu kebijakan yang dinilai timpang sebelah.
Kalangan pengusaha selalu dilengkapi kemampuan kreatifitas yang tinggi untuk mampu bertahan di tengah kebijakan pemerintah yang tidak populis bagi kalangan dunia usaha, yakni dengan menggantikan tenaga buruh menjadi tenaga robot mekanistis disamping memindahkan pabrik pada negara lain. Fenomena demikian tidaklah mustahil dalam kalkulasi bisnis, karena investasi pada pengeluaran biaya SDM dinilai masih lebih mahal ketimbang investasi pada infrastruktur mesin dan robotik-otomatisasi dalam sektor produksi yang jauh lebih tinggi dari segi produktivitas, dan tiada resiko “mogok kerja” ataupun demonstrasi hingga resiko tuntutan pesangon—cukup semata mengalokasikan biaya perawatan dan suku cadang yang tidak seberapa dengan output produktivitas yang mampu dikalkulasi.
Kelebihan lainnya, ketika pesanan konsumen berkurang, cukup mesin di-shutdown sebagian dan akan diaktifkan kembali saat pesanan kembali meningkat. Bandingkan dengan aturan normatif merumahkan buruh wajib disertai “upah proses”. Mesin robotik tidak pernah menolak untuk bekerja, terlebih mengeluh dan melakukan protes, bahkan hasil kerjanya jauh lebih presisi dan efisien ketimbang tenaga manusia manual.
Mari kini kita sekadar melakukan proyeksi kalkulasi bisnis yang tergambarkan dalam benak kalangan investor yang bergerak dalam industri skala panjang. Katakanlah, pertumbuhan ekonomi ditambah tingkat inflasi, mencapai angka 10 % per tahun, maka ketika saat kini DKI Jakarta pada tahun 2019 memiliki tingkat Upah Minimum Rp. 4.000.000;- maka pada tahun 2020 Upah Minimum menjadi Rp. 4.400.000;- lalu untuk tahun 2021 Upah Minimum menjadi Rp. 4.840.000;- dimana untuk tahun 2022 Upah Minimum mencapai Rp. Rp. 5.324.000;- dan seterusnya.
Ketika kita proyeksikan hingga 10 tahun kedepan, angka tersebut akan kian “menggemuk” dan mencekik leher kalangan pengusaha, dan semakin menimbulkan kesenjangan / kecemburuan sosial dengan provinsi lain yang tingkat Upah Minimumnya jauh dibawah DKI Jakarta. Katakanlah Provinsi di Jawa Tengah yang hanya menetapkan UMR tahun 2019 sebesar Rp. 2.200.000;- maka ketika kita proyeksikan 10 tahun ke depan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama, maka perbandingan dengan UMR DKI Jakarta akan sangat “jomplang” dan berdisparitas. Perihal gejolak sosial, hanya persoalan waktu saja untuk memuncak dan “meledak”.
Menurut Anda, apakah Indonesia masih merupakan tempat investasi yang layak dari segi kalkulasi bisnis? Ironisnya, setiap tanggal 1 Mei memperingati Hari Buruh Nasional (May Day), kalangan buruh masih saja berorasi dan berdemonstasi menuntut kenaikan upah, tanpa mau menyadari bahwa sewaktu-waktu mereka dapat menjadi pengangguran laten karena kehilangan pekerjaan. Patut kita renungkan, robot tidak pernah membutuhkan “Robot Day”, mereka sangat penurut, anak manis.
Pertumbuhan ekonomi tidak selayaknya dimaknai sebagai komponen kenaikan upah—entah ekonom “kelewat” cerdas darimanakah yang membuat standar demikian. Standar kehidupan layak lebih relevan bila semata dikaitkan dengan tingkat inflasi dan kondisi real harga kebutuhan pokok di suatu wilayah secara partikular masing-masing daerah.
Sebagai contoh, harga pangan di berbagai daerah, tidak saling seragam, namun beragam. DKI Jakarta, Kerawang, dan Batam, sebagai contoh, memiliki harga pangan yang jauh berbeda dengan Yogyakarta. Karena itulah, kebijakan “pukul rata” bukanlah kebijakan yang paling relevan untuk kita terapkan di tengah iklim kompetisi global seperti sekarang ini yang kian sukar diprediksi dan makin ketat persaingannya di era digital ini.
Untuk tetap eksis dan survive saja, sudah merupakan suatu kemujuran. Lihatlah kini berbagai gerai pada pusat perbelanjaan yang satu dekade lampau demikian terkenal sebagai pusat perbelanjaan, kini sepi “kering kerontang”, kalah bersaing dari “online shopping” yang seringkali tidak membutuhkan bantuan buruh ataupun pekerja sehingga selalu lebih unggul dari segi tawaran harga kepada konsumen.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.