Rakyat Munafik, Wakil Rakyat yang Hipokrit, Bagai Pinang Dibelah Dua

ARTIKEL HUKUM
Tidaklah perlu rakyat dan bangsa ini bersandiwara dengan mengutuk dan mencela para wakil rakyat kita di parlemen (Lembaga Legislatif, alias Dewan Perwakilan Rakyat RI). Rakyat jelata dan kalangan pengusaha kita, “tidaklah jujur-jujur sekali”—bahkan dapat dikatakan jauh dari kata “jujur”, “benar”, maupun “adil”. Para wakil rakyat kita di DPR RI hanyalah miniatur representatif cerminan budaya bangsa dan rakyat kita sendiri. Mengutuk anggota DPR RI, sama artinya “buruk wajah, cermin hendak dibelah”, menambah gaduh situasi politik yang kian memanas sehingga tidak ramah terhadap iklim investasi.
Korupsi berjemaah, bukan hanya dilakukan oleh birokrat kita, seolah-olah “birokrat Vs. rakyat jelata”. Kita tidak patut membuat benturan imajiner semacam itu. Senyatanya, berdasarkan pengalaman yang penulis alami serta amati dengan mata-kepala sendiri secara empirik, rakyat sipil / jelata maupun kalangan pengusaha kita itu sendiri yang kerap kali menjadi aktor yang bersimbiosis dengan para birokrat untuk melakukan aksi kolusi lewat aksi suap-menyuap. Kolusi sangat berkelindan terhadap kepentingan kalangan pengusaha yang membutuhkan proses perizinan dengan “menabrak” aturan hukum ataupun agar dijadikan sebagai pemenang tender, tidak terkecuali kalangan rakyat jelata yang juga tidak jarang terlibat didalamnya sebagai “penggemira” seperti aksi kerusuhan dan peserta orasi yang demonstrasi secara “bayaran”.
Aksi tipu-menipu, begal, pencurian, penganiayaan, pelecehan asusila, aksi dusta-mendusta, perampokan, ingkar-janji, semua dipertontonkan secara vulgar oleh masyarakat sipil kita, pemberitaan pers kita tidak pernah kekurangan berita semacam itu sekalipun kita telah demikian bosan disuguhkan pemberitaan dengan corak yang serupa setiap harinya, sejatinya dapat kita lihat dan amati langsung dalam kehidupan kita sehari-hari, dan rasakan langsung bahwa perangai / karakter masyarakat jelata kita tidak jauh berbeda dari sikap para anggota DPR RI yang “minta dihormati” dan “lempar batu sembunyi tangan”.
Siapakah diantara kita yang belum pernah menjadi korban penipuan, pencurian, kebohongan, serta kekerasan fisik yang pelakunya ialah sesama rakyat sipil di lingkungan kehidupan kita sehari, baik di sekolah, di kantor, di lingkungan pemukiman, bahkan di dalam lingkup mikro seperti rumah tangga? Bila kita melihat prevalensi kejadiannya, sangatlah masif, sehingga tidaklah dapat kita sebut sebagai “oknum” sipil yang melakukan aksi kriminil. Manusia sebagai serigala bagi sesamanya, demikian seorang filsuf menyebutkan, yang tampaknya tepat benar melukiskan kondisi sosial-kemasyarakatan kita.
Bila kita bersikap rasional, pemerintah kita selaku otoritas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), tidak akan menerapkan kebijakan penuh keterpaksaan untuk “mengobral” remisi mengingat pasokan narapidana baru terus mengalir deras tidak lagi mampu terbendung dan tidak lagi mampu tertampung berbagai Lapas kita yang diberitakan telah over capacity. Bila kita mempelajari sejarah pembentukan “remisi”, tidak lain dilatar-belakangi faktor overload-nya berbagai Lapas kita. Tidak mengherankan bila aksi residivis kerap mewarnai persidangan pidana kita.
Belum cukup sampai disitu, berdasarkan pengalaman penulis pribadi, sebagian besar laporan pemidanaan yang dialami korban pelapor, tidak ditindak-lanjuti penyidik kepolisian yang menerima laporan. Bila seluruh korban mengadu dan ditindak-lanjuti, maka Lapas-Lapas kita dipastikan tidak akan mampu menampung seluruh narapidana baru yang demikian produktif dicetak oleh rakyat di tengah-tengah kita.
Sebagai contoh ilustrasi sederhana, ketika penulis berjalan kaki di suatu ruas jalan, sering kali terjadi terdapat pengendara motor roda dua maupun pejalan kaki lainnya, yang justru berjalan secara melawan arah. Alhasil, penulis yang berjalan di sisi kiri, harus berhadapan dengan mereka yang berjalan dengan melawan arah sehingga ironisnya, kerap kali mereka (si pelanggar melawan arah) yang minta dihormati dan menuntut agar orang lain yang bersikap toleran terhadap mereka.
Jika penulis yang mengalah dan menghindarinya dengan bergeser ke badan jalan dengan resiko akan tertabrak oleh kendaraan bermotor yang melaju dari arah belakang penulis, seolah di belakang kepala penulis terdapat mata yang mampu melihat kondisi di belakang ada atau tidaknya pengendara kendaraan bermotor yang akan melintas di badan jalan, akibatnya jika penulis yang harus mengambil resiko mengalah bergeser dan tertabrak dari arah belakang, siapakah yang akan bertanggung jawab dan dapat dipersalahkan selain sikap bodoh kita sendiri karena telah “mengalah” terhadap seorang warga negara lain yang bersikap arogan dan melanggar norma lalu-lintas? Mengapa juga yang tertib hukum yang justru dikorbankan dan “ditumbalkan”?
Apakah si pejalan kaki yang melawan arah akan bertanggung jawab secara penuh kesadaran dan akan bertanggung jawab ketika dimintakan pertanggung-jawaban? Belum lagi jika kita berbicara perilaku pengendara kendaraan bermotor roda dua yang kerap menghardik pejalan kaki di trotoar, bahkan juga pernah terjadi dan penulis alami sendiri: pengendara motor roda dua mengebut di atas jembatan pengeberangan orang (JPO) sehingga pengguna JPO harus menghindar dan berlindung agar tidak tertabrak—kejadian tersebut bukanlah kisah fiktif rekaan, namun benar-benar terjadi dan penulis alami langsung sebagai saksi mata di tempat kejadian yang turut harus menghindari laju sang pengendara.
Belum lagi jika kita bicara perilaku para pedagang kaki lima (PKL) kita yang justru berdagang di trotoar, sehingga tidak jarang penulis harus (kembali) mengalah dengan mengambil resiko berjalan di badan jalan. Berbagai kejadian sederhana demikian, yang melibatkan sesama rakyat jelata sebagai pelakunya, dan terjadi secara masif yang dapat kita jumpai dimana pun kita melangkah dan berada, bukanlah hanya terjadi satu atau dua kali kejadian, namun kerap terjadi, dan menjadi cerminan budaya hukum bangsa serta rakyat jelata kita sendiri.
Ketika pihak-pihak yang mengatas-namakan rakyat kita berorasi dan berdemo menolak “pelemahan” terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penulis menilainya bukan sebagai aksi heroik, namun sebagai ajang kemunafikan, dimana sesama hipokrit saling mencela dan mengkritik—menjelma dagelan yang mengundang senyum dan tawa. Kebebasan berekspresi, demonstrasi, orasi, serta demokrasi di negeri tercinta kita ini, ironisnya lebih menyerupai pesta / parade kemunafikan rakyat kita sendiri, bagai kegenitan aksi teatrikal bergancu.
Contoh paling sederhana pejalan kaki yang melawan arah dan mengorbankan keselamatan pejalan kaki lainnya yang telah tertib berjalan di sisi kiri itulah, cerminan paling sederhana, dimana pelanggar justru mengorbankan dan memberi resiko bahkan menuntut pejalan kaki lainnya untuk mengalah bagi sang pelanggar. Logika dan akal sehat seolah-olah selalu kalah menghadapi akal sakit budaya hukum rakyat kita yang sakit ini.
Bagaimana mungkin kita yang telah tertib dan patuh terhadap hukum, justru harus mengalah dan mengambil resiko untuk diri sendiri mengalami kecelakaan akibat mengalah bagi sang pelanggar? Namun, faktanya, aksi premanisme kental di negeri ini, dimana si kuat dan berbadan besar selalu minta dihormati. Lantas, dimanakah letak pembeda para penguasa negeri ini dengan rakyat jelata sipil kita?
Perlu kita ingat selalu, power tends to corrupt, seolah-olah adalah mubazir memiliki badan besar bila tidak digunakan untuk mem-bully dan melakukan aksi premanisme, persis seperti seolah-olah “ada yang salah” bila ada buah dibiarkan “menganggur” di tepi jalan tanpa dipetik dan “dicuri”. Negeri ini kaya akan sumber daya manusia, “bonus demografik”, namun sayangnya kerap kali disalurkan energi dan potensinya untuk hal-hal yang negatif dan kurang kreatif, jauh dari kata “bermanfaat”.
 Kita tidak dapat menuntut agar para wakil rakyat kita di parlemen untuk patuh terhadap hukum, tertib terhadap hukum, dan tidak menyalah-gunakan kekuasaannya, selama masyarakat dan rakyat kita itu sendiri masih jauh dari kata patuh, tertib, terlebih tidak menyalah-gunakan kekuasaannya terhadap sesama anggota masyarakat lainnya. Bisakah Anda dan kita?
Bila sekalipun Anda menjaga kondisi rumah Anda bebas dari jentik nyamuk, namun bila tetangga Anda justru “memelihara” nyamuk, jangan pernah mengharap Anda dan keluarga Anda bebas dari “sengatan” dan “gempuran” nyamuk yang bertamu ke rumah Anda. Bukan negara lain yang selama ini mengimpor asap kebakaran hutan sehingga menyengsarakan kesehatan dan merontokkan kegiatan ekonomi kita, namun oleh sesama rakyat kita sendiri.
Bahkan, kelas pekerja / buruh, tukang ojek, tukang becak, tidak terkecuali pedagang kecil di pasar, kerap menipu, memeras, menggunakan bahan berbahaya seperti formalin maupun pewarna tekstil demi kepentingan keuntungan pribadi dengan merugikan kesehatan konsumennya, terlebih perihal asap bakaran tembakau yang menyebabkan kerugian bagi penghisap “pasif”—terlebih beberapa kali terjadi mata penulis hampir tersundut para pecandu tembakau yang kerap memainkan puntung dengan ujung terbakar itu dengan jemarinya yang diayun-ayunkan tanpa menghiraukan apakah ada orang lain yang ada di sekitarnya ataukah tidak.
Disamping itu, kejadian yang paling sering penulis alami sendiri sebagai korban dari aksi kriminil sesama rakyat sipil kita sendiri, ialah aksi penipuan, pencopetan, premanisme, serta kekerasan fisik oleh mereka yang berbadan lebih besar dan berotot (yang kalah dalam segi otak, akan cenderung bermain otot). Penulis tidak kenal siapa anggota DPR RI kita, yang jelas penulis mengalami langsung di keseharian sebagai korban dari perilaku jahat dan pelanggaran hukum oleh sesama sipil, sesama rakyat jelata. Mengkritik anggota DPR RI, terlampau jauh “diawang-awang” bagi penulis. Asas proximity, kedekatan dengan keseharian hidup kita, itulah yang perlu kita fokuskan dalam pencermatan.
Baik yang berlatar-belakang pendidikan tinggi maupun berpendidikan rendah, bahkan tidak berpendidikan sama sekali, kerap melakukan aksi tidak etis tidak bermoral seperti yang telah penulis sebutkan di atas, terutama aksi bullying (perudungan, pelecehan, penghinaan, harassment), menipu, dan aksi kriminalitas dengan disertai aksi kekerasan secara fisik (yang disebut terakhir paling kerap terjadi disamping aksi penipuan dan pelecehan secara lisan maupun secara sosial-media). Yang paling patut kita kritik dan cela, bukanlah para anggota wakil rakyat kita yang jumlahnya hanya segelintir di gedung parlemen, namun adalah rakyat dan sesama anak bangsa kita sendiri yang berjumlah ratusan juta penduduk.
Seperti pepatah menyebutkan, ketika kita menujuk hidung seseorang, maka satu jari mengarah kepada yang ditunjuk, sementara setidaknya tiga buah jari akan mengarah kepada dirinya sendiri. Bukanlah zaman-nya lagi untuk menuntut “bijak-sana”, namun tanpa disertai “bijak-sini”. Sikap bertanggung-jawab, harus mulai dilakoni oleh rakyat sipil kita sendiri, belajar untuk memahami makna dibalik kata “responsibility”, alias “tanggung” dan “jawab”.
Akhir kata, tidaklah perlu kita memboroskan energi kita berteriak-teriak menuntut agar anggota parlemen kita berperilaku etis dan berintegritas. Rakyat sipil dan jelata kita sendiri yang mulai perlu untuk terlebih dahulu melakukan introspeksi dan melakukan pembenahan diri. Sepanjang wajah karakter bangsa kita masih seperti sekarang ini, dengan tendensi degradasi moral yang kian merosot, maka sekali lagi: para wakil rakyat kita hanyalah cerminan dan miniatur dari karakter bangsa kita itu sendiri.
Bahkan, untuk sekelas office boy, kerap tertangkap tangan oleh penulis melakukan aksi “korupsi” pada kantor tempatnya bekerja, mulai dari korupsi waktu, korupsi alat tulis kantor, korupsi ini dan korupsi itu. Sehingga, tidaklah perlu kita berbicara dengan wacana terlampau tinggi tentang para elit politik kita—seolah para elit politik tersebut tidak dipilih dari anggota masyarakat kita itu sendiri di tengah-tengah komunitas kita. Karakter bangsa dan negara yang buruk, memang sudah selayak dan sepatutnya memiliki wajah pemerintahan yang tidak kalah buruknya.
Bila kita mengharap menjadi sehat, maka suka tidak suka kita harus menerapkan pola gaya hidup sehat, oleh diri kita sendiri, bukan oleh orang lain. Pemerintahan yang ideal dari suatu negara, dimulai dari karakter bangsanya sendiri yang ideal dan berwibawa, dengan menjunjung tinggi integritas, karakter luhur, kejujuran, kebenaran, dan keadilan—suatu nilai yang menjadi prasyarat mutla, tanpa dapat ditawar-tawar terlebih dinegosiasikan terlebih sekadar “kegenitan” formalitas-seremonial seperti “pakta integritas” yang lebih kerap dilanggar ketimbang disakralkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.