KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Pengacara Tidak MENJAMIN Menang, ALIBI SEMPURNA untuk BERKELIT

ARTIKEL HUKUM
Bila dalam rezim hukum Jasa Konstruksi, pihak kontraktor “demi hukum” wajib menjamin hasil karya konstruksinya dari resiko kegagalan bangunan, minimal setidaknya selama sepuluh tahun setelah serah terima dengan pengguna jasa konstruksi / bangunan. Tidaklah dapat pihak kontraktor (penyedia jasa konstruksi) mendalilkan, bahwa pihaknya hanya “mengupayakan” bangunan itu berdiri, namun persoalan apakah bangunan tersebut akan tetap berdiri seketika setelah dibangun atau bahkan roboh seketika sebulan kemudian, tidaklah dijanjikan karena tidak “menjanjikan”.
Yang tidak dapat “dijamin”, hanyalah “permainan untung-untungan”. Ilmu hukum, oleh kalangan akademisi, diklaim sebagai sebuah ilmu pengetahuan—karena menurut mereka, terdapat metodologi penelitian hukum serta sifat ilmiahnya dapat diuji dalam suatu “laboratorium” hukum, bahkan terdapat sidang skripsi, tesis, hingga disertasi. Hukum, tambah mereka, sifatnya deduktif, peraturan umum dijewantahkan dalam kasus-kasus konkret. Sehingga, yang melakukan tindak pidana, akan dipidana sesuai norma primair dan norma sekundair sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Membangun sebuah konstruksi gedung, terdapat kalkulasi teknik dan metodologi proses pembangunan. Jasa konstruksi, bukanlah ajang “permainan untung-untungan”—karenanya sangat terkait erat dengan ilmu pengukuran dan teknik yang dapat dikalkulasi dan terukur, sehingga sifatnya bukanlah sebatas “mengupayakan” atau “mengusahakan”, namun “menjamin” daya tahan dan kekokohan pendiriannya sebagai bagian dari unsur esensial dari jasa konstruksi.
Kembali pada perihal ilmu hukum, menjadi ambigu serta absurd jika kemudian kalangan profesi hukum mendalilkan bahwa praktik hukum tidak berdiri dalam ranah “ilmu”, namun lebih menyerupai ranah “permainan untung-untungan” alias berspekulasi “bisa jadi menang” atau “bisa jadi kalah”—sekalipun peraturan perundang-undangannya sudah sangat jelas dan tegas bunyi kaedah dan norma hukumnya. Bila hukum memang membuka ruang untuk ber-spekulasi, maka untuk apa lagi dibentuk peraturan perundang-undangan?
Dalam ilmu hukum, berlaku silogisme deduktif, dimana berlaku metode penarikan kesimpulan dari logika “premis mayor” berupa kaedah dalam peraturan perundang-undangan, disandingkan dengan “premis minor” berupa peristiwa / kejadian hukum konkret, disimpulkan sanksi hukuman yang akan menjadi proses output-nya. Tidak boleh ada jawaban lain dalam silogisme deduktif, karena itulah menjadi menyerupai ilmu eksakta (jangan samakan ilmu hukum dengan ilmu sosiologi, karena ilmu hukum bersifat preskriptif-imperatif, bukan deskriptif), demi terciptanya “kepastian hukum” bagi setiap anggota masyarakat—agar tidak dapat disebut terbuka ruang celah “tebang pilih” atau seperti sindiran “hukum tumpul keatas namun tajam kebawah”.
Tidak ada profesi yang lebih menguntungkan daripada profesi yang tidak perlu “menjanjikan” hasil, bahkan dilarang untuk “menjanjikan” hasil. Ibaratnya, sebagai umpama yang sangat representatif, seseorang membeli buah jeruk dari seorang pedangan, lalu setelah sang konsumen membayar sejumlah harga, namun sang pedagang sama sekali tidak memberikan buah yang dibeli oleh sang konsumen, dengan dalil klise : “Oh maaf, ternyata petaninya sedang puso, gagal panen, sehingga buahnya tidak dapat dikirim ataupun diberikan pada Anda. Namun, uang Anda tidak dapat saya kembalikan, karena saya tidak pernah ‘menjanjikan’ akan memberikan Anda buah ini. Perjanjian kita hanya sebatas perjanjian ‘mengusahakan’, jadi saya tidak dapat disebut sebagai telah ingkar-janji dan juga tidak akan perlu dituntut untuk mengembalikan uang Anda.”—dalam sudut pandang itulah, profesi Advokat adalah profesi yang “memalukan” (alih-alih mulia), bukan profesi yang patut dibanggakan, kecuali bangga karena memonopoli akses peradilan di ruang persidangan.
Jika kalangan pengacara membuat perjanjian dengan sang klien, namun kemudian kepentingan hukum sang klien ternyata kalah di persidangan saat diwakili oleh sang pengacara, maka perjanjian macam apakah yang dilangsungkan antara sang pengacara dan sang klien? Perjanjian untuk tidak menjanjikan? Perjanjian semacam apakah yang isinya bukan menjanjikan, namun sekadar “mengusahakan” atau “mengupayakan”? Jika ternyata hasilnya nihil, gagal total, atau bahkan digugat-balik oleh lawan sang klien, maka sang pengacara merasa tetap berhak memakan tarif “lawyering” yang telah dibayarkan oleh sang klien, dengan nominal bombastis puluhan hingga ratusan juta Rupiah, kalau perlu tetap menagih sisanya sekalipun “kalah”. Pada sudut pandang itulah, profesi pengacara sejatinya tidak lebih luhur daripada profesi seorang “debt collector”.
Bila seorang “debt collector” baru akan mendapat tarif jasa saat berhasil menagih dan menarik objek agunan dari tangan debitor, artinya bahkan profesi “debt collector” masih lebih terhormat daripada profesi pengacara (advokat atau lawyer). Sehingga, menurut hemat penulis, kalangan profesi “debt collector”-lah yang lebih terhomat untuk menyandang jas dan sepatu mentereng ketimbang profesi pengacara yang lebih menyerupai “maunya terima uang namun jangan menagih hasil bila sekalipun gagal”. Nobile officium, lebih layak disematkan pada kalangan profesi “debt collector” yang telah banyak membantu dan menolong perbankan agar tidak kolaps sehingga ekonomi makro dapat berjalan stabil, sebaliknya sang pengacara justru membela kalangan “debitor nakal” yang telah meminjam uang, mengemplang, tanpa mengembalikan.
Terdapat suatu degradasi moral dalam Kode Etik profesi Pengacara, salah satunya ketidak-bolehan kalangan profesi advokat untuk “menjanjikan” kemenangan. Betapa tidak, kode etik demikian disusun seolah-olah untuk melindungi masyarakat selaku pengguna jasa pengacara. Sementara kita ketahui, bilamana dalam kontrak perjanjian jasa advokat demikian dicantumkan klausul “menjanjikan” baik secara tersurat maupun tersirat secara lisan (yang dapat direkam secara audio oleh sang klien), maka bila ternyata sang pengacara mengalami kekalahan saat mewakili sang klien bersidang dan bersengketa di pengadilan, maka sang klien dapat menggugat “wanprestasi” pada sang pengacara, atau setidaknya menagih kembali tarif yang semula pernah diberikan kepada sang pengacara. Itulah yang PALING IDEAL agar sang pengacara tidak bermain-main dengan nasib sang klien—terlebih bermain dengan “empat kaki”.
Melihat fakta empirik demikian, dicantumkannya larangan “menjanjikan” dalam Kode Etik Advokat, sejatinya ialah untuk keuntungan serta kepentingan sepihak kalangan profesi pengacara itu sendirisama sekali bukan untuk kebaikan sang klien pengguna jasa. Kita perlu ingat, yang menyusun rancangan Kode Etik Advokat, seluruhnya berlatar-belakang pengacara, tiada dari unsur sipil masyarakat awam pengguna jasa. Kini, setiap kalangan advokat dapat dengan mudahnya berkelit, berkilah, dan memainkan alibi yang paling populer di tengah kalangan profesi pengacara, yakni kalimat sakti sebagai berikut:
Mohon maaf, sebagaimana Anda ketahui sejak semula, Kode Etik saya sebagai Pengacara, melarang kami untuk menjanjikan kemenangan apapun. Maka, tidak pernah ada perjanjian diatara kita soal menang ataupun kalah di persidangan.”
Namun Anda telah menerika fee advokat dari saya, klien Anda!
Perjanjian manakah? Perjanjian kita hanya sebatas menjanjikan ‘upaya’ dan ‘usaha’, bukan perjanjian yang menjanjikan.”—Sebagaimana dapat kita lihat sendiri, betapa kalangan pengacara kerap bermain kata-kata lewat “silat” lidah.
Saya curiga, sejak dari awal Anda sebagai pengacara, sudah tahu dan bisa prediksi jika kasus hukum saya ini akan kalah di pengadilan bila nantinya mengajukan gugatan.”
Soal ilmu prediksi, itu hanya ditawarkan oleh seorang Konsultan Hukum. Kerjaan pengacara, sudah jelas mencari-cari perkara dan memperkarakan. Anda sendiri yang sejak semula ‘salah alamat’.
Tapi bukankah plang nama kantor Anda, bilang juga bahwa Anda juga adalah seorang Konsultan Hukum?
Betul, namun itu hanya gimmick. Sudah jelas ladang cari makanan antara Advokat dan Konsultan Hukum adalah saling berbeda sama sekali, tidak mungkin dijadikan satu, bagai air dan minyak. Jika dari awal Anda saya beritahu akan kalah sesuai yang dapat diprediksi lewat preseden yang ada, maka bisa rugi saya, tidak dapat fee lawyering. Saya pikir Anda sudah sadar adanya conflict of interest antara profesi Advokat dan Konsultan Hukum.”
Saya merasa terjebak.”
Tidak juga. Anda gugat saja Kode Etik Pengacara yang tidak melarang merangkap nama sebagai Konsultan Hukum dalam kartu nama dan plang nama kantornya, juga perihal larangan untuk menjanjikan. Bukannya saya tidak mau menjanjikan menang bagi perkara Anda, namun Kode Etik Pengacara saya yang melarangnya. Jadi, sebagai kesimpulan, Kode Etik Pengacara-lah yang jahat dan menjadi musuhnya. Mohon jangan salahkan kami selaku Advokat yang hanya menuturi dan patuh terhadap Kode Etik profesi saya.”
Maksud Anda, kita sama-sama menjadi korban dari Kode Etik Advokat?
Tepat sekali!
Parodi di atas, bukanlah pepesan kosong, bukan juga kisah satiris, namun itulah realitanya dalam praktik, dimana Kode Etik Advokat justru menjadi alibi sempurna yang demikian populer di tengah kalangan Advokat, seolah diri mereka ingin sekali menjanjikan bagi sang klien untuk bisa menang, namun yang kemudian digeser atau dialihkan isunya, seolah musuh bersamanya bukanlah lagi soal menang atau kalah, namun larangan untuk “menjanjikan” kemenangan.
Berbeda dengan profesi Konsultan Hukum. Seorang Konsultan Hukum, menjual jasa berupa pengetahuan hukum serta analisa hukum, sehingga perihal “goal” atau tidaknya, semua kembali pada sang klien pengguna jasa konsultasi itu sendiri. Profesi Konsultan Hukum tidak menawarkan “janji” kemenangan, karena memang secara harfiah seorang Konsultan Hukum bersifat netral dan objektif dalam memberikan opini hukum, mengurai secara lugas apakah sang klien memiliki kontribusi kesalahan sehingga berpotensi digugat-balik oleh pihak lawan dan kemungkinan keberhasilan ataupun kekalahan bila berniat mengajukan upaya hukum gugatan atas sengketa hukum yang dihadapi olehnya—mengingat seorang Konsultan Hukum tidak memiliki conflict of interest untuk mendorong sang klien mengajukan gugatan. Pernahkah lawyer Anda memberitahu Anda informasi penting, bahwa menggugat sama artinya membuka “aib” miliknya sendiri ke hadapan publik?
Sekali lagi, sekadar untuk mengingatkan, tiada yang lebih menggiurkan ketimbang profesi yang hanya menawarkan “upaya” dan “usahakan”, bukan “perjanjian yang menjanjikan”—karena sama artinya semua itu hanya menawarkan jasa untuk berspekulasi dan “bermain untung-untungan” dengan sang klien, dimana sang klien itu sendiri yang sepenuhnya menerima konsekuensi dibalik aksi spekulasi “untung-untungan” sang penyedia jasa, baik resiko mengalami keuntungan, resiko mengalami kerugian dan kekalahan, bahkan resiko digugat balik oleh pihak lawannya di persidangan. Siapa perduli dengan nasib sang klien selanjutnya, mengingat sang pengacara tetap merasa berhak menagih dan memakan tarif lawyering. Ibarat sang klien bangkrut dan jatuh miskin, namun sang pengacara dapat hidup mewah dari tarif lawyering.
Pada gilirannya, sebagaimana pengalaman penulis, klien yang mendatangi penulis untuk menggunakan jasa konsultasi hukum, sebagian besar adalah klien yang sebelumnya telah menggunakan jasa pengacara untuk mengurai sengketa hukum yang dihadapi olehnya. Setelah menjalani sesi konsultasi selama beberapa jam, seluruh benang-kusut masalah sang klien telah berhasil diurai—karena memang seringkali masalah hukumnya sangat sederhana, hanya membutuhkan analisa hukum yang sederhana.
Opini hukum yang jujur, alias netral dan objektif, itulah yang paling dibutuhkan oleh sang klien. Tidak perlu diperkeruh, terlebih dibuat tampak kompleks agar berujung gugat-menggugat yang belum tentu produktif, bisa jadi kontraproduktif bagi kepentingan sang klien itu sendiri. Bandingkan dengan ratusan juta rupiah yang telah dikeluarkan oleh sang klien untuk membayar fee lawyering, ternyata kemudian cukup diselesaikan semata dengan membayar beberapa jam sesi konsultasi dengan seorang profesi penyedia jasa konsultasi hukum, yang murni sebagai Konsultan Hukum, bukan yang merangkap sebagai Advokat disaat bersamaan. Demikian penulis uraikan secara lugas dan utuh, mengingat masih kerap maraknya pertanyaan “apakah beda antara pengacara dan konsultan hukum”—sesuatu yang sejatinya saling berbeda, bagai langit dan bumi yang tidak mungkin dipersatukan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.