Apakah Hukum Harus Begantung pada Political Will Pemerintah dan Legislatif?

ARTIKEL HUKUM
Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana judul dalam artikel ini, terlebih dahulu penulis hendak mengingatkan kembali, bahwa fondasi suatu negara demokratis tidak hanya bertopang pada kedua lembaga tersebut (Legislatif dan Eksekutif), namun terdapat pilar ketiga yakni Lembaga Yudikatif serta Lembaga Suprastruktur (salah satunya kebebasan pers mainstream maupun citizen journalistic “medsos”).
Strategi paling kontemporer dalam “pembangunan hukum”, dalam negara-negara dengan budaya hukum Common Law, tidak lagi bertopang pada produk hukum hasil Legislatif dan Eksekutif seperti Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah, namun diisi dan diformulasikan juga lewat produk Lembaga Yudikatif bernama “preseden”, dimana kontrolnya oleh masyarakat lewat medium pemberitaan, eksaminasi putusan, dan opini oleh pers.
Mengandalkan kemauan politis parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat RI), sama artinya menyerahkan nasib pada arah bandul politik antara koalisi dan oposisi berbagai Partai Politik (Parpol) yang menguasai fraksi-fraksi dalam parlemen—penuh ketidak-pastian. Mengandalkan kemauan politis pemerintah selaku eksekutif, yang terjadi kemudian ialah “rimba belantara” peraturan perundang-undangan yang kian menggurita, overlaping, dan mencekik.
Berbagai Peraturan Daerah (Perda) bahkan secara tegas-tegas dan secara terbuka membantah norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi—dan kini sangat sukar untuk dibatalkan oleh pemerintah pusat pasca hak prerogatif untuk membatalkan Perda oleh seorang Gubernur Kepala Daerah maupun Menteri Dalam Negeri telah diamputasi oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI, sementara disaat bersamaan Mahkamah Agung RI memiliki keterbatasan sumber daya Hakim Agung dalam menguji materiil ribuan Perda yang tersebar di seluruh penjuru mulai dari Sabang hingga Merauke.
Namun, bagai buah simalakama, Lembaga Yudikatif di Republik Indonesia masih belum mengedepankan semangat budaya hukum Common Law—sekalipun Mahkamah Agung di Belanda, Hoge Raad, telah menyatakan secara resmi berpindah haluan kepada kiblat Common Law, dari sebelumnya Civil Law. Alhasil, simpang-siur antar putusan, disparitas antar vonis putusan, tumpang-tindih (overlaping) antar putusan, hingga yang kontroversial, masih kerap mewarnai produk hasil praktik peradilan—bahkan putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali yang diterbitkan Mahkamah Agung RI kerap saling bertolak-belakang meski diterbitkan oleh para Hakim Agung dalam era yang sama.
Ketua Hoge Raad saat berkunjung ke Indonesia, pernah mengingatkan Ketua Mahkamah Agung RI, bahwa pembentukan hukum haruslah mengedepankan asas “kepastian hukum” dan terdapat sebentuk urgensi di dalamnya—tidak bisa tidak, dan tidak bisa lain. Prinsipnya sangatlah sederhana, tiada keadilan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat bila tiada kepastian hukum. Tiada kepastian hukum, pada gilirannya tidak akan terbentuk yurisprudensi maupun preseden [Note SHIETRA & PARTNERS : Terdapat perbedaan antara “preseden” dan “yurisprudensi”, telah dibahas oleh penulis pada artikel terpisah].
Pada gilirannya, tanpa yurisprudensi maupun preseden yang dapat diandalkan, maka tiada pembentukan hukum yang terlembagakan secara baku dan KONSISTEN. Dengan kata lain, konsistensi antar putusan itu sendirilah yang menjadi faktor utama pembentukan hukum modern—tidaklah keliru bila kita sebutkan bahwa praktik hukum di negeri kita telah tertinggal jauh dan terbelakang.
Yang membuat kita patut merasa heran, sekalipun Ketua Mahkamah Agung RI telah mendapat imbauan demikian dari Ketua Hoge Raad, ternyata setelah sekian tahun berlalu, nyatanya Mahkamah Agung RI belum juga berani berpindah haluan mengikuti jejak Hoge Raad, dari “Civil Law ala Eropa Kontinental” menuju “Common Law ala Anglo Saxon”.
Mungkin, para Hakim Agung kita masih merasa “nyaman” dengan “comfort zone” yang harus dibayar mahal oleh para pencari keadilan—atau mungkin karena “ciut” nyalinya, mendapati tantangan pembentukan praktik berhukum yang KONSISTEN antar putusan agar dapat membuat kristalisasi hukum bernama “PRESEDEN”. Strategi Hoge Raad sesungguhnya sederhana saja, yakni semudah “mempreteli” kebebasan para hakim saat memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, menjadi terikat penuh oleh berbagai PRESEDEN—preseden itu sendirilah yang menjadi PENGAWAS kinerja sang hakim pemutus.
Ciri-ciri utama dari hukum yang KONSISTEN, ialah sifatnya yang dapat di-PREDIKSI. Terlampau mahal harga sebuah spekulasi. Itulah keistimewaan yang hanya dapat ditawarkan oleh sistem hukum Common Law. Kalangan Sarjana Hukum di Anglo Saxon, secara serempak hanya membuat sebuah atau satu buah definisi bagi “ilmu hukum”, yakni “ilmu hukum ialah ilmu tentang PREDIKSI”. Tidak kurang, tidak lebih, itulah definisi yang telah dibakukan secara kompak, sehingga sumber daya mereka tidak dihabiskan untuk mendebatkan “apakah itu ilmu hukum?”—yang ironisnya, perdebatan demikian menjadi wacana yang menguras energi dan waktu di Indonesia, dimana para penulis buku hukum di Indonesia saling bertikai memperdebatkan apakah definisi yang paling tepat untuk “ilmu hukum”. Alhasil, masing-masing penulis buku di Indonesia saling membuat definisinya sendiri, dan para mahasiswa kemudian dibuat oleh para dosen mereka untuk saling sibuk mendebatkan manakah yang paling benar—suatu pemborosan waktu dan sumber daya, yang sama sekali tidak produktif dan tidak efisien.
Kini, kita beralih mengulas daya efektifitas faktor pembangunan hukum lewat penerapan asas PRESEDEN. Daya ikat preseden, menurut konsep budaya hukum Common Law, sifatnya ialah “harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar”. Sehingga, konsistensinya dapat terus terjaga, sekalipun kemudian sang Hakim Agung telah pensiun dan digantikan oleh Hakim Agung baru lainnya.
Maka, lahirlah sebuah slogan yang begitu populer serta penuh ketegasan, kebanggan (proud), disamping kepercayaan diri, “the binding force of precedent”—bandingkan dengan sistem hukum di Indonesia, yang masih secara malu-malu menerapkan preseden, seolah tidak memiliki kepercayaan diri untuk itu, dan merasa sudah cukup puas berhenti pada dan sebatas “the persuasive force of precedent”. Persuasif sifatnya tidaklah mengikat, tidak juga imperatif-preskriptif.
Lantas, apakah yang kemudian menjadi pembeda antara ilmu hukum dan ilmu sosiologi yang sifatnya sebatas “deskriptif” non-preskriptif? Itulah yang mengakibatkan ilmu hukum di Indonesia menjadi “turun derajat” menjadi surut sebatas ilmu mempelajari deskripsi: “Oh, ternyata putusan hakim pada pengadilan anu, menyimpang dari bunyi undang-undang anu dan menyimpang pula dari yurisprudensi anu yang telah ada sebelumnya.”—dan ironisnya, dianggap itulah kesimpulan yang sudah cukup menyelesaikan persoalan hukum di negeri kita, berhenti sampai di situ, dan sudah cukup puas atas itu.
Sederhananya, seperti disinggung oleh Hans Kelsen, hukum haruslah bersifat “ought to”, bukan menggambarkan “is”. Karena sifatnya imperatif-preskriptif (disimbolikkan dengan istilah “ought to”, yang artinya “seharusnya” atau “keharusan untuk”), maka sifat putusan yang KONSISTEN dan memiliki KONSISTENSI antar putusan dengan corak karakter serupa—tidak bisa tidak, dan tidak dibuka ruang “negosiasi” ataupun “transaksional”.
Akibat gilirannya yang menjadi efek pendukung faktor pembentukan hukum nasional, maka adalah percuma bila para pihak yang saling bersengketa mencoba untuk menyuap kalangan hakim di negara dengan budaya hukum Common Law—karena hakim tersebut terikat oleh sebuah / semacam “blangko” putusan bernama “PRESEDEN”. Sekalipun tiada hukum yang sempurna, namun setidaknya moral hazard dibalik cara bekerjanya sistem Common Law, tidaklah semasif moral hazard sistem hukum Civil Law—sebagaimana praktik yang terjadi di Indonesia, selama ini.
Karena itulah, baik kalangan Konsultan Hukum maupun Pengacara di negara-negara Anglo Saxon maupun berbudaya hukum Common Law, berhak dan dapat membuat pernyataan tegas kepada sang Klien, bahkan jauh sebelum gugatan secara resmi didaftarkan ke hadapan pengadilan, bahwa perkara yang mereka majukan akan “menang” ataukah akan “kalah”—namun, sekali lagi, jangan samakan hal tersebut dengan praktik hukum di Indonesia yang lebih menyerupai “spekulasi” (bisa jadi menang, bisa jadi kalah, toh tiada preseden yang mengikat mulut milik hakim pemutus perkara). Ujungnya, terjadi / membuka ruang transaksional putusan, dimana hakim dapat semudah membuat dua versi putusan—putusan versi pertama bila diputus secara netral dan objektif, dan satu putusan versi lainnya bisa terdapat salah satu pihak yang memberi “pesan sponsor”.
Selama ini, teks-teks buku ilmu hukum di Indonesia, mengupas teori klasik yang seolah mencoba membenturkan antara asas kepastian hukum dan asas keadilan—seolah keduanya dapat dibenturkan. Senyatanya, lihatlah kini yang terjadi pada praktik berhukum di Indonesia, salah satu contohnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) yang dalam perkara uji materiil terkait pasal importasi ternak dari negeri yang dikenal memiliki endemik penyakit hewan, dari semula dalam putusan MK RI sebelumnya oleh Majelis Hakim Konstitusi dinyatakan sebagai “maximum security”, kemudian dianulir sendiri oleh Mahkamah Konstitusi RI yang sama beberapa tahun kemudian dalam perkara permohonan uji materiil berikutnya, menjelma “relative security”. Putusan dengan corak karakter yang serupa, bahkan identik, kemudian diputus dengan nuansa amar dan pertimbangan hukum yang menyimpang dari putusan MK RI sebelumnya.
Dalam konteks budaya hukum Common Law, sang hakim yang memutus secara tidak KONSISTEN demikian, ketidak-konsistenan tersebut sudah merupakan indikator konkret adanya suatu kolusi penyalah-gunaan kekuasaan kehakiman—semata karena nyata-nyata sang hakim telah menyimpang dari preseden. Sehingga, di negara-negara Anglo Saxon dan yang berbudaya hukum Common Law, ketidak-konsistenan itu sendiri sudah merupakan bukti yang cukup adanya bukti permulaan telah terjadinya praktik kolusi di ruang peradilan (sehingga mudah sekali mengenali terjadinya judicial corruption di negara-negara Anglo Saxon).
Sayang beribu sayang, independensi hakim di Indonesia selalu dimaknai sebagai “bebas sebebas-bebasnya”, sekalipun dimaknai sebagai menyimpangi dan menafikan peran sebuah preseden. Pada gilirannya, “ada gula ada semut”, dimana ketidak-pastian hukum hanya mengundang para spekulan untuk “bermain” dan meramaikan ruang persidangan dengan mengajukan berbagai gugatan serta upaya hukum hingga Kasasi maupun Peninjauan Kembali secara beruntun bertubi-tubi secara tidak rasional, semata dengan harapan berspekulasi “siapa tahu menang”, “siapa tahu mata hakimnya rabun”, “siapa tahu hakimnya khilaf”, atau “siapa tahu hakim akan memutus menyimpang dan berbeda dari preseden yang telah ada sebelumnya”.
Pada gilirannya, siapakah yang akan dikorbankan bila bukan masyarakat umum itu sendiri selaku stakeholder praktik hukum di negeri kita bersama ini? Yang perlu kita beri peringatan pada diri kita sendiri, ada “harga yang harus kita bayar” ketika kita memilih untuk mengorbankan “kepastian hukum”—yakni ketidak-konsistenan praktik hukum itu sendiri. Pada gilirannya, hukum tidak lagi dapat diprediksi, kehilangan daya prediktabilitasnya meski semula digadang-gadang “hakim adalah corong undang-undang”, maka setiap subjek pengemban hukum ibarat harus berjalan dalam temaram, sembari tersandung-sandung dan harus meraba-raba tanpa penerangan yang cukup memadai, tidak terang-benderang.
Jangankan Anda, seorang Konsultan Hukum sekaliber penulis sekalipun, terheran-heran ketika praktik peradilan kita kerap membuat produk putusan yang menyimpang dari berbagai preseden maupun yurisprudensi yang telah ada sebelumnya, sekalipun corak perkaranya persis dan identik sama. Tidak akan ada keadilan, bila praktik peradilan jauh dari kata “pasti”. Mengorbankan “kepastian hukum”, sama artinya kita membiarkan “keadilan” turut dikorbankan dan direnggut dari Anda.
Itukah yang betul-betul kita inginkan? Pahami, hanya kalangan profesi “spekulan” yang menyukai memancing di air keruh bernama “ketidak-pastian hukum” itu sendiri. Ada gula, ada semut—dan yang paling repot, ialah sang tuan rumah (gula itu sendiri bersifat netral adanya, dan semut-semut itulah pengganggunya yang akan terus bermunculan selama gula itu masih mengotori rumah sang tuan rumah yang malas “bersih-bersih”). Tugas rumah sang tuan rumah, sungguh masih banyak dan panjang. Dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu, jangan andalkan political will pihak penyusun kebijakan negeri ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.