Menyaru / Dikemas sebagai Program Pemerintah, Pujian Dialamatkan pada Pemerintah, namun Dibiayai oleh Rakyat secara Paksa

ARTIKEL HUKUM
Saat bahasan ini penulis susun, sedang berkembang wacana dimana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau yang juga kerap menyebut dirinya sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), akan membentuk “sepasukan” debt collector sewaan guna menagih iuran BPJS Kesehatan dari setiap pesertanya yang menunggak, dimana para pasukan debt collector sewaan tersebut akan mendapat komisi dari keberhasilan mereka dalam menagih dari peserta BPJS Kesehatan.
Siapakah yang ditagih, tidak lain tidak bukan ialah rakyatnya sendiri. Ironis, itulah yang penulis rasakan. Apakah membangun negeri ini, harus sampai dengan cara mendudukkan rakyat sendiri sebagai seorang “debitor” dari pemerintah yang mendudukkan dirinya sendiri sebagai “kreditor” dari para rakyatnya sendiri? Legitimasi apakah yang dirasa dimiliki oleh pemerintah dalam merampas kemerdekaan dan kebebasan warga negaranya dari segala “upeti” demikian, seolah pajak belum cukup untuk membiayai negara ini ditengah aksi korupsi maupun pelayanan publik yang buruk dan tidak ramah terhadap rakyat jelata?
Rupanya, dalam kacamata BPJS Kesehatan, warga / penduduk peserta BPJS disamakan dengan para debitor, yang bilamana menunggak iuran, maka akan dianggap sebagai “hutang” yang dapat ditagih oleh upaya-upaya semacam debt collector. Namun, menjadi pertanyaan utamanya, kapankah kita selaku warga masyarakat, pernah membuat dan menandatangani kontrak peminjaman dana kredit layaknya seorang debitor terhadap kreditornya? Pemaksaan ala BPJS Kesehatan, jelas tidak memenuhi syarat sah perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai “causa tidak sahih” yang mengakibatkan “batal demi hukum” segala perikatan yang dilandasi bentuk-bentuk pemaksaan demikian.
Apakah BPJS Kesehatan menyandang gelar sebagai penyelenggara “program pemerintah”, ataukah memiliki cara kerja tak ubahnya lembaga swasta pencari profit sehingga merasa berhak memaksa, menyandera, dan menagih suatu “hutang” berupa iuran BPJS Kesehatan tertunggak? Mengapa BPJS Kesehatan tidak hendak bercermin diri, mengapa warga memilih untuk menunggak ketimbang merasa lebih baik dilindungi oleh perlindungan atau proteksi BPJS Kesehatan selamanya dengan secara rutin membayar iuran? Jika layanan BPJS Kesehatan memang sungguh ideal dan pro-rakyat, maka mengapa warga masyarakat memilih untuk tidak membayar iuran bulanan BPJS Kesehatan dan hilir-mudik mencari cara agar dapat bebas dari “penjara” bernama BPJS Kesehatan?
Bila kita dituntut untuk tidak boleh “negative thinking” terhadap pemerintah yang sedang atau selama ini berkuasa terkait kebijakan BPJS Kesehatan yang notabene subordinat dari pemerintah, maka mengapa juga kita secara “berat sebelah” bersikap “negative thinking” dengan menyatakan bahwa peserta BPJS Kesehatan hanya mendaftar saat sedang sakit, dan akan mengundurkan diri tatkala sudah sehat. Betulkan seluruh rakyat Indonesia adalah seorang bermental “perampok”? Lebih baik penulis memilih berprasangka buruk terhadap pemerintah kita yang hanya segelintir elite / oknum penguasa, ketimbang berprasangka buruk terhadap seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan juta jiwa (menggeneralisir).
Bukan hanya cara-cara menagih iuran BPJS Kesehatan yang terkesan menyerupai lembaga swasta berorientasi profit, bahkan penduduk “dipasung” dengan cara-cara terselubung seperti tidak dapatnya warga masyarakat mengurus perizinan seperti Surat Izin Mengemudi ataupun membayar pajak kendaraan tahunan hingga layanan passport bila satu Kartu Keluarga yang berisi kepala keluarga dan seluruh anggota keluarganya tidak disertakan dalam program BPJS Kesehatan.
Cara-cara pemasungan berikutnya, para peserta BPJS Kesehatan tidak diberikan hak “opt-out” alias “option out” yakni pilihan untuk memilih keluar dari kepesertaan, sehingga kecewa maupun tidak kecewanya peserta BPJS Kesehatan atas layanan BPJS Kesehatan, warga masyarakat tetap harus membayar iuran BPJS Kesehatan sepanjang tahunnya (dan seumur hidupnya!). Prinsip demikian menyalahi prinsip tata kelola manajerial lembaga pemerintahan yang baik, dimana meritokrasi menjadi tolak-ukurnya, namun tampaknya standar paling mendasar demikian tidak berlaku untuk lembaga sekaliber BPJS Kesehatan yang selama ini menjadi ujung tombak kebijakan “populis” pemimpin yang selama ini berkuasa.
Alhasil, karena dipasung lewat cara-cara tidak etis demikian, seolah rakyat menjadi objek belaka—bukan sebagai subjek—hanya bisa menerima secara pasrah, tanpa daya, tanpa hak untuk menolak, maka tiada motivasi apapun bagi petinggi BPJS Kesehatan untuk memperbaiki layanannya. Sekali lagi, mengingat peserta BPJS Kesehatan tidak diberi hak opsi untuk memilih mundur dan keluar dari kepesertaan, maka tiada gunanya pula bagi BPJS Kesehatan untuk memperbaiki dirinya. Urgensi apakah, sementara tiada hak bagi peserta untuk melepaskan diri dari “hutang” iuran yang dapat ditagih?
BPJS Kesehatan, menjelma “super body” yang bahkan seolah “menjajah” dan memungut “upeti” dari rakyatnya sendiri—dimana kewenangan menjajah dan memungut upeti demikian diberikan oleh pemerintah dengan turut menekan dan merepresi rakyat yang tidak turut menjadi peserta dan tidak membayar iuran BPJS Kesehatan, lewat berbagai regulasi Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden, sehingga sejatinya BPJS Kesehatan tidak “bekerja” seorang diri dalam “grand design” pemasungan terhadap rakyat massal ini.
Bila rakyat kemudian tertarik dengan iming-iming promosi program BPJS Kesehatan, lalu mendapati kekecewaan, maka tetaplah tidak terbuka dan tidak dibuka hak opsi untuk mundur dari kepesertaan—menjelma “jebakan Batman”, mau “kena (karena dipaksa)” namun tiada jalan mundur (tersandera luar dan dalam). Bila rakyat peserta BPJS Kesehatan kemudian terpaksa memilih untuk tidak lagi membayar, baik karena kecewa atas layanan BPJS Kesehatan atau karena tidak lagi tinggal di Indonesia dan kini menetap di luar negeri, maka seluruh layanan kependudukan hingga layanan administrasi kewarganegaraan lainnya diancam akan di-blokir dan terblokir untuk warga peserta yang menunggak bersangkutan.
Seolah belum cukup tidak manusiawi dan belum cukup “culas” cara-cara pemerintah dalam mempersenjai BPJS Kesehatan yang kini bahkan lebih “bertaring” ketimbang lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi, sejatinya pemerintah sedang melakukan pembodohan publik berupa modus “aksi lempar tanggung jawab”, dimana banyak peserta “Penerima Bantuan Iuran” (PBI) yang sebetulnya tidak patut menerima bantuan iuran BPJS Kesehatan, namun ternyata mendapat subsidi pembayaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan. Pada gilirannya, siapa yang terkena dampak dan “getah”-nya?
Akibatnya, peserta PBI BPJS Kesehatan membludak, yang pada gilirannya rakyat lain yang menjadi pesertanya dijadikan “sapi perahan” untuk mensubsidi silang pembiayaan untuk operasional program BPJS Kesehatan—lengkap dengan embel-embel kemasan “gotong royong” (dengan cara-cara pemaksaan tanpa kesukarelaan). Itulah ketika, orang-orang yang betul-betul miskin namun disandera dan dipaksa oleh pemerintah untuk menjadi peserta dan membayar iuran bagai “terjajah”, justru harus mensubsidi para peserta PBI BPJS Kesehatan yang jauh lebih makmur (namun tidak jujur) daripada sang peserta mandiri pembayar iuran BPJS Kesehatan.
Pemerintah menjalankan kebijakan populis pada satu sisi, dan menjalankan pula kebijakan “lempar tanggung jawab” dan “lempar batu sembunyi tangan” ala Robin Hood yang hanya saja, “salah alamat”, merampok dari rakyat yang bahkan lebih miskin. Pemerintah, demi menghimpun simpati publik, mengobral kepesertaan PBI. Ketika pamor pemimpin negeri ini terdongkrak berkat PBI, selanjutnya “mengakali” pendanaan BPJS Kesehatan yang “berdarah-darah” akibat membludaknya kepesertaan PBI BPJS Kesehatan, yakni dengan cara instan memaksa seluruh rakyat lainnya sebagai peserta mandiri pembayar iuran dan kini harus menerima pil pahit berupa naiknya iuran BPJS Kesehatan mencapai 100% atau dua kali lipat dari iuran tahun sebelumnya.
Mari kita tunggu episode berikutnya, kenaikan 100% berikutnya siap menanti (petinggi BPJS Kesehatan jauh-jauh hari bahkan sudah membuat press realease, bahwa kenaikan iuran 100% belum cukup menutupi defisit biaya program BPJS Kesehatan, seolah kesalahan manajerial petinggi BPJS Kesehatan justru rakyat banyak yang harus menanggungnya sekalipun “pemegang saham”-nya adalah pemerintah itu sendiri), bunga-berbunga atau kegilaan lainnya, dimana pemerintah akan tetap bergeming dengan “mata kudanya” melaju terus, unstopable.
Dan kita janganlah melakukan protes terhadap setiap “kebijakan” pemerintah, apapun nantinya dan kedepannya akan menjadi, semata agar kita tetap tampak sebagai “anak manis” yang “sopan”. Anda tidak dapat mengharap skenario sebaliknya, iuran BPJS Kesehatan diturunkan besarannya, atau bahkan cakupan perlindungan BPJS Kesehatan akan ditingkatkan alih-alih dikurangi dan dibatasi.
Pemerintah merasa masih belum cukup melecehkan rakyatnya yang telah “jatuh tertimpa tangga pula” (dipaksa menjadi peserta dan disandera tidak diperbolehkan untuk keluar dari kepesertaan serta diperas / diperah untuk membiayai pendanaan operasional BPJS Kesehatan), kini hendak pula ditagih memakai cara semacam “debt collector” atas tunggakan iuran, yang mana dalam hemat penulis itu sama artinya “merampok” dari rakyat sendiri.
Pemerintah seolah semudah melempar tanggung jawab, “itu adalah kesalahan mis-manajemen pengelola BPJS Kesehatan”, kilahnya. Jika memang pemerintah tidak memiliki andil terhadap kekisruhan BPJS Kesehatan, maka mengapa pemerintah bersikap seolah bukan memiliki kewenangan mengganti, mencopot, dan menentukan atau menunjuk direksi BPJS Kesehatan yang baru, atau membuat kebijakan yang “melonggarkan” cekikan bagi rakyat dengan cara tidak menyandera masyarakat dengan tetap memberi akses pada pelayanan publik dan pelayanan administratif lainnya sekalipun menunggak iuran BPJS Kesehatan serta diberi hak opsi untuk keluar dari kepesertaan jika memang pemerintah memiliki itikad baik. Bagi pemerintah, semudah membalik telapak tangan mengubah dasar hukum pembentukan BPJS Kesehatan, dan membubarkannya sekalipun atau sekadar mengubah arah haluan dan peraturan terkait BPJS Kesehatan / JKN.
BPJS Kesehatan, seolah menjadi alat untuk dijadikan “kambing hitam” segala kebijakan pemerintah yang pada mulanya “populis” guna menghimpun simpati publik. Pada gilirannya, rakyat umum yang ditumbalkan dan dikorbankan demi mempertahankan program “populis” demikian. Bila memang BPJS Kesehatan atau JKN merupakan program pemerintah, sementara menurut Konstitusi NKRI UUD 1945, disebutkan secara tersurat bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka mengapa seolah pemerintah hendak melepas tanggung jawab, dan melemparkannya menjadi beban bagi rakyat kebanyakan? Sekali lagi, BPJS Kesehatan adalah “program (milik dan dibuat oleh) pemerintah”, bukan “program rakyat”—terlebih menjadi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh rakyat”, sehingga pendanaan wajib murni semata dari pemerintah guna menjalankan “program (yang berangkat dari) pemerintah”.
Mari kita tunggu dan saksikan “gebrakan” selanjutnya dari pemerintah dalam mengelabui dan membodohi rakyat massal, seolah masih kurang menghebohkan, dengan mengemasnya sebagai “program dari / milik pemerintah” yang hanya saja dibiayai oleh rakyat banyak, namun pamor dan ketenaran akan disandang dan dialamatkan kepada sang kepala pemerintahan. Sekali melempar batu, dua burung terkena jatuh. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Perangai bolehlah tampak sopan, santun, dan lembut pada penampilan luar, namun siapa yang dapat menyangka betapa dalamnya alam pikiran dan batin seseorang. Manusia sungguh sedalam samudera yang dalam dan gelap, tiada satupun yang dapat menerka. Sebaik-baiknya manusia santun, lebih baik manusia lugas dalam bertutur-kata, namun penuh kejujuran dan keotentikan.
Sayang beribu sayang, pemilihan umum hanya dibatasi pada dua pilihan kandidat calon presiden, praktik presidential threshold yang sejatinya juga memasung kedaulatan rakyat dalam memilih rakyat terpilih sebagai calon pemimpin bangsa. Dimanakah letak demokrasi yang berbiaya mahal ini, bila Anda dan kita semua hanya dibolehkan untuk memilih satu diantara dua calon? Lagi dan lagi, hak-hak kewarganegaraan serba dipasung di negeri ini.
Bagi Anda yang selama ini memilih sang Kepala Negara, Anda jugalah yang wajib bertanggung jawab atas suara Anda tatkala melakukan pemilihan umum, atas konstribusi Anda yang telah “memilih” sebagai causa prima-nya. Negeri “terpasung”, rakyatnya serba “terpasung”. Selamat “terpasung” kembali untuk satu periode kedepan, penulis ucapkan.
Dalam kacamata ilmu psikologi perilaku, mudah sekali untuk dijelaskan, yakni yang sebetulnya dirasa memberatkan masyarakat bukanlah besaran iuran bulanan program pemerintah ini, namun ketika mereka dipaksa untuk membayar tanpa kesukarelaan, maka sebesar atau sekecil apapun iuran program BPJS Kesehatan, ia tidak akan pernah dirasakan meringankan publik.
Masyarakat umum kita rela secara pribadi mendaftarkan diri serta membayar premi asuransi swasta secara rutin, meski tidak / belum memanfaatkan klaim polis asuransi, tanya mengapa? Karena itu adalah pilihan mereka sendiri, dimana mereka bebas untuk membayar dan bebas untuk tidak membayar, serta bebas untuk mendaftar dan bebas pula untuk membebaskan diri dari kepesertaan.
Hanya pemerintahan yang terlampau kerdil cara berpikirnya, yang sampai terpikirkan cara-cara pemaksaan secara terselubung. Sejatinya ialah pemerintah kita sendiri yang sedemikian “negative thinking” terhadap rakyatnya sendiri, seolah seluruh rakyatnya adalah “perampok” yang baru akan mendaftar ketika sakit, dan akan keluar setelah sembuh, maka dibentuklah skenario pemaksaan demi pemaksaan demikian. Apakah ada diantara pembaca yang mampu mematahkan hipotesis pribadi penulis, sebagaimana telah terurai secara lugas di atas?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.