Perseroan Terbatas Membeli Tanah Girik atau SHM, Bolehkah atau Salah Kaprah?

LEGAL OPINION
Question: Apakah dalam hukum pertanahan di Indonesia, antara kebolehan “memiliki” dan “membeli” adalah dua hal yang sama, atau berlainan? Sebagai umpama, sebuah badan hukum seperti PT (Perseroan Terbatas) secara hukum hanya dibolehkan untuk memiliki SHM. Namun, apa artinya ada larangan PT untuk membeli SHM ataupun girik dari salah seorang warga lokal setempat, sebelum kemudian dijadikan atau diubah sebagai SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) keatas nama PT?
Brief Answer: Pertanyaannya akan sama seperti orang asing tidak dibolehkan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) landed house di Indonesia, namun apakah boleh sekadar “membeli” tanah SHM tanpa teregister sebagai pemilik Data Yuridis pada Kantor Pertanahan? Hukum tidak melindungi produk hasil “penyelundupan hukum”, karena akan dinilai sebagai itikad tidak baik.
Dari jawaban berupa pertanyaan introspektif tersebut saja, sebetulnya sudah dapat kita temukan titik terang jawabannya tanpa harus berpanjang-lebar menguraikan analisa yuridis terkait kebolehan kepemilikan suatu hak atas tanah. Sama halnya dalam konteks membeli berdasarkan pemberian surat kuasa, maka berlaku “atas nama / wakil sah dari pemberi kuasa”, sehingga pihak yang membeli, tetap saja secara yuridis tercantum atas nama pihak pemberi kuasa untuk membeli, bukan sang penerima kuasa untuk membeli.
Secara falsafah, suatu subjek hukum hanya dimungkinkan dan dibolehkan untuk membeli sesuatu yang dapat dimiliki dan dibolehkan untuk dimiliki oleh hukum—terlepas apakah kemudian dirinya akan seketika kembali mengalihkan hak yang telah dibeli olehnya tersebut. Definisi jual-beli hak atas tanah itu sendiri, oleh hukum dimaknai sebagai “peralihan hak”.
Seseorang atau suatu badan hukum, tidaklah dapat membeli sesuatu yang belum konkret, oleh sebab senyatanya objek jual-beli masih berbentuk tanah hukum adat (girik) atau bahkan SHM yang hanya dimungkinkan oleh subjek hukum orang-perorangan (itu pun dalam konteks Warga Negara Indonesia) serta badan hukum berupa Yayasan. Salah satu unsur objektif “syarat sah perjanjian”, ialah “objek yang SPESIFIK” (artinya objek yang “konkret”, bukan “abstrak” atau masih belum akan terwujud)—dengan ancaman “batal demi hukum” (null and void) bila tidak terpenuhi.
PEMBAHASAN:
Bila badan hukum seperti Perseroan Terbatas dibolehkan oleh hukum untuk membeli objek tanah berbentuk Girik atau bahkan SHM, dengan alasan “nantinya” akan diubah menjadi SHGB, seolah hukum dapat diajak bernegosiasi untuk “berandai-andai” demikian, maka dapat dipastikan yang akan terjadi kemudian ialah penyalah-gunaan Akta Jual Beli (AJB), dan membiarkannya terus sebagai sebatas AJB tanpa melakukan proses lebih lanjut, sehingga secara quasi-yuridis, de facto (secara politis) PT bersangkutan sebagai pemilik dari tanah objek Girik ataupun SHM.
Pada momen itulah, moral harard terletak—sebagai sesuatu yang dapat disebut sebagai “penyelundupan” hukum. Karenanya, jual-beli objek Girik maupun SHM oleh badan hukum Perseroan Terbatas, tidak dapat dibenarkan oleh falsafah hukum agraria nasional. Sebelum kita membahasnya lebih jauh, Undang-Undang tentang Pokok Agraria (UU PA) hanya memungkinkan suatu badan hukum memiliki hak atas tanah berupa SHGB maupun Hak Pakai—inilah yang nantinya akan kita kaitkan terhadap “unsur objektif” syarat sah perjanjian, dengan ancaman “batal demi hukum” bila syarat ini tidak terpenuhi.
Bila kita taat asas “tertib administrasi pertanahan”, maka sejatinya warga pemilik hak atas tanah sebelum menjual tanah Girik atau SHM miliknya kepada suatu calon peminat / pembeli seperti badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, maka perlu terlebih dahulu mengubah hak atas tanahnya dari Girik untuk dimohonkan “pengakuan hak” sebagai SHM ataupun SHGB sesuai permohonan pemohon pemilik hak atas tanah, atau dari yang semula berbentuk SHM diubah statusnya lewat “pelepasan hak” menjadi “tanah yang dikuasi oleh negara” sebelum kemudian secara simultan mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah berupa SHGB, sebelum kemudian SHGB atas nama sang warga pemilik tanah, dijual kepada badan hukum Perseroan Terbatas yang berminat untuk membeli sebelum kemudian dialihkan haknya keatas nama Perseroan Terbatas bersangkutan sebagai pemilik hak atas tanah berbentuk SHGB—“causa yang sahih”.
Apakah prosesnya harus terlebih dahulu warga pemilik tanah mengubah tanah Girik atau SHM miliknya ke dalam bentuk SHGB ke atas nama sang warga pemilik tanah, sebelum kemudian menjualnya kepada suatu badan hukum Perseroan Terbatas? Jawabannya, HARUS dan WAJIB, dengan ancaman kebatalan bila taat asas prosedural administrasi pertanahan demikian tidak diindahkan, terutama berpotensi digugat pembatalan oleh pihak ketiga sebagai “cacat prosedural”—dan, sebagai kabar buruknya, cacat prosedural demikian kerap mewarnai praktik, dan seolah terjadi pembiaran bahkan oleh Kantor Pertanahan itu sendiri, sekalipun sejatinya berpotensi tinggi dibatalkan lewat suatu gugatan oleh pihak ketiga.
Mengapa harus terlebih dahulu diubah menjadi SHGB oleh sang warga pemilik tanah ke atas namanya sendiri, sebelum kemudian dijual kepada Perseroan Terbatas? Jawabannya terletak pada logika hukum pertanahan yang sangat sederhana dengan uraian sebagai berikut: jika objek tanah Girik ataupun SHM oleh sang warga pemiliknya dilepas haknya keatas “tanah yang dikuasai oleh negara”, selanjutnya badan hukum Perseroan Terbatas mengajukan permohonan baru hak atas tanah berupa SHGB di atas bidang “tanah yang dikuasai oleh negara” ex-Girik atau ex-SHM yang dijual oleh sang warga sebagaimana tersebut di atas, dengan mendalilkan adanya “alas hak” berupa AJB, maka AJB bukanlah “alas hak” dalam konteks permohonan baru hak atas tanah yang menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pihak pemohon wajib terlebih dahulu menguasai fisik bidang objek tanah yang dimohon selama minimal 20 tahun.
AJB, Akta Jual Beli, sesuai dengan namanya, adalah akta yang menerangkan kejadian / perbuatan hukum “peralihan hak”, sehingga hak atas tanahnya itu sendiri harus sudah ada (sudah konkret), sementara dalam konstruksi ini yang ada justru sebaliknya, “melepaskan hak Girik ataupun SHM keatas atau menjadi tanah yang dikuasai oleh negara”—sehingga tiada hak lagi yang dapat dialihkan, karena sudah dilepaskan oleh sang pihak warga. Ibarat sebuah benda sebelum sempat dialihkan, namun benda tersebut jatuh dari tangan si pemiliknya dan lenyap, sehingga tiada benda apapun lagi yang dapat dialihkan kepemilikannya.
Cacat logika kedua, AJB terhadap objek hak atas tanah apakah? Bila AJB dilakukan sebelum warga pemilik Girik atau SHM melakukan “pelepasan hak”, berarti objek dalam AJB berupa Girik atau SHM, sehingga sang warga tidak lagi berwenang untuk “melepaskan hak” atas hak atas tanah yang telah dialihkan / dijual olehnya kepada pihak lain (dalam hal ini pihak pembeli). Bagaimana mungkin badan hukum Perseroan Terbatas melepaskan hak Girik ataupun SHM “miliknya” keatas “tanah yang dikusai oleh negara”—sebagaimana telah penulis tegaskan sejak semula, Perseroan Terbatas tidak dimungkinkan memiliki SHM terlebih tanah hukum adat, Girik.
Atau, jika AJB baru dibentuk dan disepakati antara sang warga selaku penjual dan Perseroan Terbatas selaku pembeli setelah sang warga melakukan “pelepasan hak” (hukum sensitif waktu, tidak dapat penulis benarkan istilah dalam praktik seperti “satu paket” antara AJB dan “pelepasan hak”, bagai mencampur minyak dan air), maka sejatinya sang warga bukan lagi “pemilik”, sehingga dirinya tidak lagi berhak menjual tanah “yang dikuasai oleh negara”. Sehingga, menjadi cacat yuridis bila AJB mencantumkan kedudukan sang warga yang sebelum itu telah sempat “melepaskan hak” sebagai pihak penjual.
Karena yang ada kemudian ialah sekadar objek tanah “yang dikuasai oleh negara”, maka pihak “pembeli” (sejatinya tiada lagi istilah pembeli, karena tiada penjual terhadap “tanah yang dikuasai oleh negara”) hanya dapat mengajukan permohonan baru hak atas tanah di atas objek bidang “tanah yang dikusai oleh negara” tersebut dalam bentuk permohonan, bukan “peralihan hak”, dengan konsekuensi berlaku ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa minimum penguasaan fisik objek tanah ialah telah selama paling tidak 20 tahun—kembali lagi, Perseroan Terbatas tidak dapat menjadi pemilik tanah hukum adat, sekalipun hanya 1 tahun.
Melihat seluruh praktik yang ada selama ini baik di Kantor Pertanahan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maupun kalangan akademisi hukum telah melangsungkan praktik salah-kaprah yang menyalahi tertib taat asas administrasi pertanahan (terutama PP No. 24 Tahun 1997 maupun UU PA), maka sejatinya bagi kalangan yang berkeberatan dapat saja memperkarakan proses “peralihan hak” yang cacat falsafah demikian lewat langkah advokasi gugatan peradilan guna dibatalkan, dengan argumentasi yang telah penulis urai secara lugas sebagaimana tertuang dalam bahasan di atas.
Mengingat badan hukum Perseroan Terbatas hanya dimungkinkan untuk memiliki SHGB, tidak terhadap SHM (terlebih objek tanah Girik yang tunduk pada hukum adat), maka pihak ketiga yang berniat mengajukan gugatan pembatalan terhadap AJB antara subjek hukum warga pemilik SHM atau Girik dan badan hukum Perseroan Terbatas selaku pihak pembeli, semudah mendalilkan telah terlanggarnya unsur objektif “syarat sah perjanjian” vide Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berupa “causa yang sahih”—dengan ancaman “batal demi hukum” (null and void) sejak semula AJB tersebut dibentuk.
Masyarakat dan praktisi hukum di Indonesia, kerap menyukai “jalan pintas”. Sementara, apa salahnya mengikuti taat tertib administrasi dan prosedur yang ada, dengan terlebih dahulu menjadikan tanah hukum adat Girik ataupun SHM menjadi berupa hak atas tanah SHGB sebelum dialihkan haknya secara jual-beli, inbreng, dan sebagainya kepada suatu badan hukum Perseroan Terbatas? Hukum formil sangat menolak etos “pragmatis” berupa jalan pintas “potong kompas”. Berani bermain api, berani terbakar. Melanggar tertib administrasi demikian, ancaman kebatalan selalu menunggu dikemudian hari.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.