Penistaan Agama oleh Marketer suatu Keyakinan

LEGAL OPINION
Question: Sering kita temui, seseorang yang sedang menjadi marketer suatu agama atau keyakinan, menggunakan embel-embel seperti kalimat sebagai berikut: “Dulu saya beragama A, kini saya pindah agama ke agama B karena agama B menawarkan keselamatan.
Yang ingin saya tanyakan, apakah kata-kata semacam itu termasuk penistaan terhadap agama A, karena dirinya tahu bahwa saya beragama A? JIka tidak tergolong sebagai agama A, mengapa nurani saya berkata dirinya telah lancang menghina agama saya dengan kata-kata semacam itu?
Tetap saja, sekalipun itu benar adalah penistaan terhadap agama saya, saya merasa sudah dicurangi. Betapa tidak, ia tahu betul bahwa agama saya adalah agama A yang dikenal sebagai agama yang sangat toleran, penyabar, dan tidak mudah disulut amarah sekalipun dilecehkan juga tidak akan membalas perlakuannya, sehingga seolah menjadi “mangsa empuk” bagi mereka untuk menginjak-injak agama saya ketika sedang mempromosikan agamanya sendiri dalam rangka menjaring umat baru.
Brief Answer: Tergolong sebagai suatu “penistaan” atau “penodaan” terhadap agama lain, menurut hemat penulis, mengingat dirinya secara tersirat seolah hendak juga berkata : “Agama Anda tidak menawarkan keselamatan, maka dari itu saya berpindah dari agama yang kini Anda anut, menjadi agama lain yang kini saya anut.”—seolah, tiada cara lain yang lebih elegan dan lebih kreatif ketimbang cara-cara menjelek-jelekkan agama lain guna meyakinkan yang bersangkutan agar berpindah agama.
Kebiasaan demikian mampu menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, sebagaimana pernah terjadi terhadap seorang mantan Gubernur DKI Jakarta yang dipidana sebagai pelaku “penistaan terhadap agama” akibat menyebut-nyebut nama agama lain alih-alih berfokus menawarkan keunggulan dan kebaikan program kerja diri bersangkutan ketika hendak kembali mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah.
PEMBAHASAN:
Penulis pun kerap menjumpai fenomena serupa, dan mengalaminya sendiri secara langsung. Ketika pada gilirannya penulis berbalik menyerang agama sang “misionaris”, mereka berseru : “Mengapa Anda mengutuk agama saya?” Jawab penulis: “Anda dahulu yang memulainya. Anda dari semula mengutuk agama saya seolah agama saya tidak akan mampu menolong saya, maka mengapa kini Anda berkeberatan ketika saya yang kemudian berbalik menyatakan bahwa agama Anda yang tidak kompeten? Anda mengaku-ngaku bahwa Anda dahulu semulanya beragama sama seperti agama yang saya anut, namun mengapa Anda sama sekali tidak paham ajaran paling mendasar dalam ajaran agama saya ketika saya uji balik pengetahuan Anda? Anda bahkan tidak patut mengklaim atau mengaku-ngaku pernah beragama yang sama dengan agama yang saya anut. Anda bukan hanya telah menista agama saya, namun juga telah membohongi diri Anda sendiri.
Tiada yang lebih buruk, daripada menawarkan suatu keyakinan berbeda kepada masyarakat yang berlainan keyakinan, dengan cara secara implisit hendak menyatakan bahwa agama yang kini mereka anut ialah agama “sampah”, ditambah serangkaian testimoni-testimoni seolah agama lain tidak memiliki testimoni-testimoni serupa—seolah kita adalah “bodoh” yang tidak dapat menentukan agama kita sendiri, dan “buta”.
Yang terlebih buruk dan negatif, masih menurut pandangan penulis, ialah ketika seseorang “misionaris” seolah hendak memonopoli keselamatan dan kebaikan pada agama tertentu saja, yakni kepada agama atau keyakinannya sendiri—seolah agama lain tidak mengajarkan kebaikan. Menggunakan cara-cara tidak etis semacam itu, sejatinya membuat rentan dirinya sendiri dari “serangan balik” (counter attact) dari lawan bicara yang “kebetulan” gemar berdebat secara intelektual dan tidak mudah “termakan” oleh suatu bentuk “iming-iming”. Bahkan, bila ternyata si lawan bicara lebih mengetahui isi ajaran agama yang dipeluk oleh sang “misionaris” itu sendiri.
Lantas, bagaimana caranya mengkampanyekan suatu keyakinan lain, kepada umat yang berbeda agama, dan apakah memang dilarang untuk menawarkan agama yang berbeda kepada seseorang yang telah beragama? Sejatinya, sah-sah saja menyebarkan suatu keyakinan kepada publik, sepanjang tidak menyinggung-nyinggung perihal agama milik orang lain, atau menjelek-jelekan agama yang dipeluk oleh orang lain seolah hanya agama dirinya sendiri yang paling elok dan cemerlang.
Singkat kata, kata kuncinya ialah hendaknya kita atau seorang “misionaris” suatu keyakinan tertentu, tidak menyinggung-nyinggung, menyebut-nyebut, mencatut nama, ataupun menjelek-jelekan agama milik orang lain demi “mempromosikan” suatu keyakinan lain. Menyebarkan suatu keyakinan dengan cara menjelek-jelekkan agama milik umat lain, sama artinya sedang mencoreng agama miliknya sendiri sebagai “pemaksa”, “penoda”, “pembual”, dan “penista”—seolah, tidak dapat menyiarkan suatu agama dengan semata mewartakan kebaikan ajaran agama bersangkutan, tanpa perlu menyinggung-nyinggung perihal agama berlainan. Jika agama bersangkutan adalah baik dan unggul, maka tidaklah perlu menyinggung-nyinggung nama / ajaran agama lain ketika melakukan suatu gerakan “promosi”, cukup uraikan saja isi ajaran agamanya sendiri.
Perlu juga kita pahami, suatu keyakinan memiliki reputasi baik atau buruknya, dicerminkan oleh perilaku umatnya itu sendiri. Ketika umatnya menjelma seorang “misionaris” yang “militan”, dengan 1001 cara membenarkan secara cara (by all means) guna “mencetak” umat-umat baru seolah sedang melakukan suatu “arisan berantai”, maka sejatinya nama agama yang bersangkutan yang dipertaruhkan. Alih-alih mendapat penghormatan dari publik, masyarakat luas dapat memberi penilaian terhadap penampakkan suatu keyakinan lewat perilaku para umatnya itu sendiri.
Guna tetap menjaga kerukunan antar umat beragama, tidaklah penting pelaku “penistaan” atau “penodaan” terhadap agama lain demikian apakah akan didakwa atau dituntut atau tidaknya di hadapan persidangan perkara pidana guna diberikan sanksi secara hukum. Yang terpenting dari kesemua itu, wajah dari suatu agama yang diusung sang “misionaris”-lah yang sejatinya dipertaruhkan reputasinya di mata lingkungan sosial bangsa kita yang sangat sensitif terhadap isu-isu agama. Seorang “mangsa empuk” sekalipun masih dapat “menggigit balik” (bite back).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.