Norma Hukum Seyogianya Menyerupai Aturan Main di atas Ring Tinju, Kepastian Hukum yang Paling Efektif karena Dikondisikan

ARTIKEL HUKUM
Dunia realita tidak pernah berjalan sebagaimana aturan main di atas sebuah ring tinju, dimana para petarungnya hanya akan tampil “satu melawan satu” dan terikat oleh aturan tinju yang ketat dan adil agar para petarungnya dapat saling bertarung dan berkompetisi secara adil tanpa kecurangan, dimana kecurangan akan melahirkan pinalti dari wasit, juri, dan para penontonnya. Di atas sebuah ring tinju, kecurangan dan pelanggaran mampu ditekan seminim mungkin, karena memang telah dikondisikan sedemikian rupa aturan-aturan permainan tinju dilaksanakan secara ketat dan efektif. Yang berani untuk bermain secara curang dan melanggar aturan, akan merugikan dirinya sendiriitulah implementasi hukum yang sangat efektif, yang sayangnya hanya berlaku murni di atas sebuah ring tinju.
Ring tinju, sedari awal telah dirancang dan diisolasi sedemikian rupa agar bebas dari segala jenis kecurangan maupun pelanggaran oleh salah satu maupun oleh para pemainnya. Yang kompeten terjamin terlindungi dan menang—namun tidak dalam dunia realita berhukum kita. Perbedaan paling mencolok antara dunia aturan di atas sebuah ring tinju dan dunia aturan hukum sosial kemasyarakatan kita, yakni di atas sebuah ring tinju telah dikondisikan sedemikian rupa agar salah satu atau para peterungnya tidak bisa “menggunakan segala cara” (by all means) untuk menang, terlebih menggunakan cara-cara curang.
Kesempatan untuk berbuat kecurangan pun sama sekali tertutup di atas sebuah ring tinju yang transparan dan senantiasa diawasi secara ketat oleh juri dan wasit serta oleh para penontonnya. Hanya cara-cara jantan dan sahih (legitimate) yang dibolehkan dan dimungkinkan untuk dilakukan, karena terdapat hakim dan juri yang selalu mengawasi dari awal hingga akhir pertarungan. Cara-cara curang (illegitimate), dapat berbuntut sebentuk “bumerang” ketika salah satu pemainnya diberi pinalti dan sanksi oleh juri dan wasit.
Karena itulah, tiada yang lebih ideal daripada pertarungan di atas sebuah ring tinju. Yang kalah akan mengakui kemampuan lawannya yang keluar sebagai pemenang, tidak pernah terjadi aksi gugat-menggugat antar petarung tinju atas hasil keputusan juri dan wasit. Sekalipun pertarungan di atas sebuah ring tinju, sejatinya adalah olahraga yang cukup tergolong “primitif”, dimana pertarungan kekuatan otot yang menjadi tumpuannya. Namun, mengapa hingga kini pertarungan tinju belum juga dilarang di dunia beradab manapun?
Justru, permainan di atas ring tinju sejatinya sedang berupaya mengingatkan dan melestarikan budaya pertarungan yang mengedepankan asas “fair play” (permainan yang dilandasi keadilan satu sama lain), bahkan petarung yang kalah tidak menaruh dendam terhadap lawan tandingnya yang keluar sebagai pemenang—bahkan saling bertukar pelukan pada akhir pertarungan dan saling memberi dukungan semangat. Mengapa?
Karena semua pihak mengetahui dan menyadari bahwa mereka telah bertarung secara adil dan fairness. Petarung yang kalah, bahkan diberi hak untuk mengajukan pertandingan ulang terhadap sang juara. Sehingga, semua pihak terfasilitasi, terpuaskan, dan merasa tidak tercurangi. Mereka yang bermain secara adil tanpa kecurangan, sejatinya kesemua pihak sama-sama keluar sebagai “pemenang”, karena tiada satupun dari mereka yang tergoda untuk bermain secara “curang”. Bila kita semua dalam dunia realita memakai prinsip layaknya seorang petarung sejati di atas sebuah ring tinju, mengedepankan prinsip-prinsip “ksatria”, maka dapat penulis pastikan ruang sidang di gedung peradilan akan kosong-melompong tiada peminat.
Sebaliknya, kontras dengan kondisi di atas sebuah ring tinju, melihat fakta realita praktik hukum dan praktik kehidupan sosial kemasyarakatan kita, sangat membuat kita prihatin dan patut berkecil hati karenanya—bila tidak dapat disebut membuat frustasi dan putus asa. Betapa tidak, dalam dunia realita, yang menang bukanlah mereka yang patuh dan taat pada hukum, namun mereka yang kuat secara ekonomi untuk menyuap dan menyogok aparatur penegak hukum, mampu untuk menyewa preman “tukang pukul”, dan mereka yang kuat secara politis seperti memiliki banyak kenalan pejabat negara pemilik kekuasaan untuk mengintimidasi warga negara lainnya yang melakukan perlawanan.
Anda dan kita, bisa jadi seseorang yang kuat secara fisik dan menguasai berbagai teknik bertarung yang handal dalam seni bela diri di atas kanvas ring tinju. Namun, kondisi di luar ring tinju selalu sangat tidak pernah adilmengingat pemerintah kita tidak pernah merekayasa sosial-kemasyarakatan kita guna mengkondisikan layaknya di atas sebuah ring tinju, dimana warga yang benar secara hukum yang akan terlindungi dan yang melakukan perbuatan ilegal akan tereliminasi secara sendirinya.
Di atas sebuah ring tinju mungkin saja kita adalah seorang jawara yang tidak terkalahkan. Namun di atas sebuah “street fighting” (pertarungan jalanan), tiada hakim, tiada juri, dan tiada saksi mata untuk menentukan siapa yang melanggar dan siapa yang benar atau yang salah, juga tiada terdapat otoritas yang secara efektif dapat menindak pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap aturan bertarung yang adil seperti “satu lawan satu” dan “tidak menggunakan senjata tajam” dalam pertarungan tangan kosong. Jangankan terhadap aturan main pertinjuan di jalanan, pelanggaran terhadap hukum pidana pun seringkali tidak berjalan secara efektif mengingat “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Jangan berbicara teori, penulis sedang berbicara perihal praktik yang nyata dan konkret.
Sering penulis alami sendiri secara langsung, ketika bertarung melawan “preman jalanan” bersenjata hingga kaum etnis keturunan yang hanya berani bertarung secara tidak adil (alias keroyokan) melawan penulis yang hanya bertarung seorang diri dan bertangan kosong (orang yang jantan selalu bertarung dengan tangan kosong, sebaliknya akan mengandalkan senjata ketika bertarung), tanpa diduga seseorang di samping atau di belakang penulis yang penulis kira dan duga hanya seorang penonton yang netral, namun tiba-tiba secara mendadak ikut menyerang penulis (mengeroyoki).
Tidaklah dapat penulis disebut sebagai “lengah” karena terkena pukulan dan serangan tak terduga dari arah samping atau belakang dari pihak-pihak yang sedari awal tidak pernah ikut mengikrarkan ikrar petarung jantan seperti : “Saya juga ikut bertarung melawan Anda, bersiaplah!”, agar pihak lawan mengetahui bahwa dirinya juga harus mewaspadai orang dimaksud. Namun, itulah dunia realita, dan selalu seperti itu dalam setiap “street fighting” yang penulis alami—bukanlah kemauan penulis, namun selalu terjadi ketika masyarakat di Indonesia telah kalah dalam debat intelektual, ujung-ujungnya selalu warga kita memakai cara-cara kekerasan secara fisik ketika otak mereka telah kalah dalam pertarungan debat.
Dari berbagai penuturan kisah para prajurit selama peperangan Daerah Operasi Militer di Aceh, kerap kali tentara Republik Indonesia mengalami kesulitan laten menghadapi kombatan yang “menyaru” sebagai sipil. Menyerang sipil, adalah pelanggaran berat bagi seorang anggoga kesatuan ketentaraan. Namun sebaliknya, seorang kombatan berpakaian sipil selalu menjadikan tentara sebagai “sasaran empuk” karena dirinya semudah “menyaru” sebagai sipil yang dilindungi oleh hukum—sementara para prajurit diikat oleh Hukum Perang Humaniter dan disaat bersamaan sipil dilindungi oleh aturan hukum yang sama, dimana pengaturan tersebutlah yang kemudian disalah-gunakan oleh pihak kombatan berpakaian sipil untuk mengambil keuntungan dengan cara-cara curang. Kondisi itulah yang kini juga dihadapi prajurit kita dalam menghadapi aksi-aksi separatis oleh kaum sipil bersenjata di Papua.
Ibarat “musuh dalam selimut”, hal demikian hanya mungkin terjadi dalam pertarungan di jalanan, tidak pernah terjadi di atas sebuah ring tinju. Para petarung di atas sebuah ring tinju, mencari kehormatan, sehingga menjadi pemenang atau keluar sebagai yang kalah, tidak lagi menjadi hal yang penting bagi mereka, namun semata mengejar ajang pembuktian diri bagi diri mereka sendiri masing-masing, sehingga cara-cara curang tidak pernah terpikirkan oleh mereka yang bertarung di atas sebuah ring tinju.
Sebaliknya, dalam pertarungan jalanan, yang dicari bukanlah kehormatan dan harga diri, namun kemenangan “dengan segala cara” (by all means), sekalipun itu dengan cara-cara curang. Hal demikian bukan hanya terjadi dalam dunia pertarungan fisik, namun juga dalam dunia bisnis, politik, perniagaan, dsb. Sebagai contoh, dalam kompetisi perdebatan ilmiah yang diselenggarakan oleh suatu organisasi intelektual, yang cerdas dan cemerlang akan keluar sebagai pemenangnya. Namun, dalam dunia nyata, seringkali yang “licik”-lah yang keluar sebagai pemenangnya. Jangan tanyakan mengapa, kita semua sudah mengetahui keadaan dibalik fakta demikian.
Sebagai contoh ialah praktik kartel harga dan monopoli terhadap pangsa pasar di Indonesia, tidaklah pernah se-linear dan se-transparan ajang kompetisi perdebatan yang bersifat terbuka di depan audiens umum, dimana terdapat pihak otoritas yang melakukan moderasi sehingga peserta tidak dapat “mencuri start” ataupun melampaui hak berbicara dalam sesi debat, juri, hingga penonton yang dapat melihat dan mengetahui langsung siapa yang paling berhak untuk menjadi pemenang.
Bercermin dari bagaimana terkondisikannya sebuah ring tinju untuk ajang kompetisi dan fair play, seyogianya pemerintah mulai menyusun strategi kebijakan revolusioner untuk menciptakan “iklim” sosial kemasyarakatan yang sama idealnya seperti sebuah kondisi di atas sebuah ring tinju dimana tiada kecurangan apapun yang dimungkinkan untuk menyusupi kehidupan antar warga.
Kata kuncinya ialah upaya serius untuk “mengkondisikan”, dimana pelanggaran harus dan wajib diberi sanksi hukum dan pinalti secara efektif serta tegas dan keras, tanpa toleransi, dan tanpa celah “transaksional”. Mengapa para petarung di atas sebuah ring tinju, begitu patuh pada aturan main pertarungan tinju? Karena mereka takut akan sanksi yang dijatuhkan otoritas juri dan wasit bila ada petarung yang melanggar aturan main pertinjuan.
Sama seperti itu jugalah, pemerintah yang efektif perlu menciptakan atau membangkitkan dan mengobarkan “rasa takut” dalam setiap jiwa masyarakatnya jika melakukan pelanggaran terhadap hukum, sekecil apapun. Lebih jauh lagi, seorang petinju profesional bahkan akan “merasa malu” jika berbuat curang sekalipun tanpa wasit maupun juri yang mengawasi jalannya pertarungan.
Masalahnya, sikap pragmatis pemerintah kita seolah justru memellihara premanisme hingga praktik-praktik usaha ilegal dengan menelantarkan korban hingga mengabaikan aduan dan laporan korban. Kerap kita jumpai, praktik usaha ilegal seperti pendirian tempat usaha di tengah-tengah pemukiman warga yang terlarang untuk tempat usaha yang mengganggu ketenangan hidup warga setempat, namun semata karena sang pengusaha menyuap aparatur sipil negara otoritas setempat, maka alih-alih menertibkan, justru pihak pemerintah daerah lewat aparaturnya melindungi dan menjadi “bodyguard” bagi kepentingan sang pengusaha ilegal demikian—itulah ketika pemerintah selaku pemegang monopolistik kekuasaan justru melawan warga masyarakatnya sendiri, “penjajahan” di era demokrasi semu.
Jadilah, warga masyarakat kecil seolah ditelantarkan, diabaikan, dan negara seakan-akan tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakatnya, lebih menyerupai “hukum rimba”, dimana yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan termakan oleh manusia lainnya. Itulah sebabnya, penulis selalu menyebutkan, negara ini lewat pemerintahnya yang tidak tegas, korup, pemalas, tidak mengedepankan asas meritokrasi, tidak kompeten, jauh dari kata profesesional, dan mudah disuap, kerap mengabaikan aduan warga, menyerupai sedang memelihara pelaku usaha ilegal, dan menyuburkan aksi premanisme yang ilegal hingga aksi kriminalisme.
Sehingga, janganlah kita bayangkan kehidupan di Indonesia sama idealnya dengan kondisi di atas sebuah ring tinju dimana pelanggaran sekecil apapun tidak akan ditolerir dan seketika sanksi hingga pinalti akan dijatuhkan secara efektif dan tidak pandang bulu. Yang benar, taat hukum, dan bersikap adil, belum tentu akan dilindungi oleh aparatur penegak hukum kita sekalipun norma hukum sudah mengaturnya secara tegas dan tersurat bahwa sang warga yang benar dan bahkan sebagai korban yang paling berhak dan patut untuk dilindungi oleh aparatur penegak hukum.
Hukum diatas jalanan, lebih menyerupai “hukum rimba”—terutama ketika aparaturnya itu sendiri yang lebih sering melanggar hukum (lewat pengabaian terhadap laporan warga, sampai-sampai warga letih, apatis, dan jemu untuk melaporkan), itulah cerminan praktik berhukum di Indonesia, jauh dari kondisi ideal di atas sebuah ring tinju. Jangan tanyakan mengapa banyak anak bangsa kita memilih untuk selamanya hijrah ke luar negeri, ketika mereka pernah mencicipi bersekolah di luar negeri. Tidak perlu pula kita menanyakan mengapa investor asing tidak pernah berminat untuk masuk ke Indonesia untuk menanamkan modalnya—melirik pun tidak.
Tanyakan diri kita sendiri, apakah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang patut untuk kompetisi yang adil dan fairness? Kepastian hukum yang dibutuhkan oleh kalangan investor, sangat mengandalkan pengkondisian yang mendekati pemberlakuan asas fairness di atas sebuah ring tinju. Selama keadaan praktik hukum di atas jalanan masih jauh dari kondisi di atas sebuah ring tinju, maka jangan pernah kita mengaku-ngaku sebagai bangsa yang mengedepankan asas fairness. Jangankan jalanan, ruang peradilan dan kantor kepolisian justru menjadi tempat dengan pelanggaran hukum paling banyak di negeri ini, yakni oleh aparaturnya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.