Mengapa Gugatan dan Lembaga Peradilan Kerap Disalahgunakan?

ARTIKEL HUKUM
Era modern dan kecanggihan digital sekarang ini, telah merubah budaya persidangan, dari yang semula “lawyer-sentris” menuju fenomena baru yang penulis sebut sebagai era “warga sipil yang berdaya dan mandiri”—dalam artian, tidak lagi bergantung pada sosok pengacara untuk bersidang dan beracara, baik sebagai penggugat, tergugat, maupun terdakwa dalam membuat pembelaan bagi dirinya sendiri. Mengakses peraturan perundang-undangan, kini dapat kita lakukan semudah mengetikkan jari pada papan tuts gadget digital kita.
Surat gugatan, surat jawaban, maupun pledooi, kini dapat diakses dan dilihat contohnya dalam dunia maya jejaring internet, tanpa batas ruang maupun waktu, oleh siapa saja dan dimana saja. Berbeda dengan era ketertutupan beberapa dekade lampau dimana internet belum dikenal luas, dimana semua itu menjadi dokumen rahasia kalangan advokat (profesi pengacara).
Bahkan, dahulu kala, sebuah dokumen bernama Surat Edaran Mahkamah Agung menjadi semacam “barang istimewa”, karena hanya dimiliki oleh segelintir kalangan pengacara, bukan untuk akses konsumsi publik. Untuk apakah membayar mahal hanya untuk sebuah surat gugatan ataupun jawaban maupun pledooi, yang bentuknya sejatinya memiliki format baku yang dapat dipelajari dengan mudah ditiru menyerupai pembentukan surat-menyurat biasa.
Yang lebih dibutuhkan saat kini, di-era “hutan rimba belantara” peraturan yang demikian “menggurita”, ialah Legal Opinion terkait peraturan dan preseden yang relevan sebagai amunisi maupun data-data yuridis guna menguatkan dalil ataupun bantahan dan pembelaan diri. Selebihnya, masyarakat umum dapat berdaya serta berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) tanpa harus bergantung terlebih mengeluarkan ratusan juta rupiah demi membayar jasa seorang pengacara untuk bersidang dan beracara—itu pun tanpa jaminan berhasil. Lebih baik mengandalkan diri sendiri, daripada menyerahkan nasib pada tangan seorang profesi “spekulan”.
Salah seorang klien yang menggunakan jasa konsultasi yang disediakan oleh penulis, digugat oleh rekan bisnisnya dengan tuduhan telah wanprestasi, meski senyatanya yang terjadi ialah sebaliknya, sehingga menyerupai “ingkar-janji (justru) teriak ingkar-janji”. Hal demikian lumrah terjadi dalam praktik di persidangan—sehingga tidak mengherankan, secara statistik, separuh gugatan ditolak oleh pengadilan, dan sebagian diantaranya bahkan berujung digugat-balik. Bila tidak hadir untuk membantah, dianggap melepaskan hak untuk membantah dan membela diri, itulah posisi dilematis pihak tergugat.
Penulis memberikan masukan pada sang klien, agar mengajukan gugatan-balik (rekonpensi), berhubung benda milik sang klien saat kini sedang ditahan dan disembunyikan oleh pihak penggugat. Namun sang klien kemudian mengutarakan kekhawatirannya bila menggugat-balik dengan tuduhan demikian, apakah dapat dikategorikan sebagai penghinaan, sebuah fitnah, atau bahkan pencemaran nama baik bila gagal dibuktikan di persidangan bahwa betul benda miliknya kini ditahan dan disembunyikan oleh pihak penggugat, mengingat informasi disembunyikannya barang milik sang klien hanya diperoleh secara lisan tanpa adanya bukti pendukung lainnya?
Sebagai tanggapan, sembari menahan senyum, penulis kemukakan bahwa sebagian besar gugatan di pengadilan, berisi klaim sepihak yang substansinya klaim “sesuka hati”, alias mengandung unsur kebohongan, tuduhan sepihak, fitnah, bahkan hingga pencemaran nama baik. Namun, mengapa semua gugatan semacam itu tidak pernah berujung pada pemidanaan pencemaran nama baik? Tidak pernah terjadi dalam sejarah peradilan di Indonesia (atau mungkin juga praktik peradilan di seluruh dunia), terdapat pihak penggugat yang dipidana akibat “asal klaim” dan “asal tuduh” dalam gugatannya.
Bahkan dalam gugatan perceraian, tuduhan-tuduhan seperti sang istri / suami telah berselingkuh, menelantarkan anak, suka memukul istri, istri pemboros, berwajah gemuk dan jelek, suami imp0ten, istri “mandul”, tanpa dapat dibuktikan tuduhan-tuduhan demikian, atau seperti tuduhan memiliki “wanita idaman lain” atau “pria idaman lain”, atau “teman tapi mesra”, namun kesemua itu hanya berakhir dan berujung pada diterima atau ditolaknya gugatan perceraian—tidak pernah masuk hingga tahap laporan pidana pencemaran nama baik akibat tuduhan-tuduhan di persidangan demikian. Pernahkah Anda menemukan fakta sebaliknya?
Bahkan, secara lebih ekstrem, sebagai contoh, ialah dalam putusan perkara pidana seperti perzinahan, perkosaan, maupun persetubuhan dengan anak dibawah umur, dimana kronologi yang diungkap dalam dakwaan dan putusan, demikian detail, sampai-sampai yang membacanya dapat berfantasi dan membayangkan seolah melihat langsung rekonstruksi kejadiannya bagai membaca novel vulgar. Putusan demikian kemudian di-upload ke dunia maya, dan dapat dibaca oleh publik. Mengapa sang Jaksa Penuntut Umum maupun pihak panitera pengadilan yang meng-upload putusan demikian, tidak dijerat oleh Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena dinilai mentransmisikan tulisan yang mengandung muatan / konten asusila?
Dalam putusan perkara pidana yang menjerat Baiq Nuril, sebagai salah satu contoh lainnya, pihak penasehat hukum / pembela dari Baiq Nuril yang menjadi terdakwa, mengurai dengan membuat transkrip berisi pembicaraan “mesum” antara sang kepala sekolah selaku pelapor dan Baiq Nuril. Transkrip “mesum” demikian turut dimasukkan dalam berkas perkara, dan di-upload sehingga dapat kita baca oleh publik di dunia maya. Menjadi pertanyaan besar bagi penulis maupun bagi kita bersama, mengapa sang penasehat hukum yang memasukkan transkrip “mesum” demikian, tidak turut dijerat oleh UU ITE? Server pada Mahkamah Agung RI, turut terlibat, sebab menyimpan serta mentransmisikan dokumen putusan berisi konten “mesum” demikian.
Karenanya, tidak ada strategi yang lebih tepat untuk mendiskreditkan serta “membunuh karakter” seseorang warga negara lainnya, yakni dengan cara semudah menyalah-gunakan lembaga bernama gugatan ke pengadilan. Hendak membuat klaim atau tuduhan mengandung fitnah dan jika perlu mencemarkan nama baik seseorang, cukup semudah membuat klaim dan tuduhan sepihak dalam bentuk surat gugatan. Selebihnya, gugatan akan disebarkan (dibacakan) kepada publik di ruang sidang dan di-upload pula dalam berkas putusan ke dunia maya sehingga dapat dibaca oleh publik dan masyarakat luas, tanpa batas sekat ruang maupun waktu.
Mungkin pihak otoritas lembaga peradilan akan berkilah, bahwasannya pihak tergugat dapat memberi respons cukup dengan mengajukan sanggahan dalam surat jawaban, sebagai bagian dari “hak jawab”, maka tuduhan-tuduhan pihak penggugat, betapa pun isinya sangat menjurus fitnah hingga pencemaran nama baik, dianggap dapat dipulihkan lewat “hak jawab” serta ditolaknya gugatan dalam putusan. Itulah sebabnya, lembaga berupa gugatan di pengadilan, merupakan “legally bullying”, aksi perudungan yang dilegalkan—karena itu pula kerap disalahgunakan. “Hak jawab” yang sangat mahal, karena membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengikuti proses persidangan, pengeluaran konkret berupa biaya transportasi maupun akomodasi, hingga harus berkorban dari segi waktu dan perhatian.
Sekali lagi penulis tegaskan, belum pernah dan (tampaknya) tidak akan pernah terjadi, klaim maupun tuduhan sepihak dalam bentuk gugatan ke pengadilan, berujung pemidanaan karena dianggap telah melakukan fitnah maupun pencemaran nama baik. Otoritas peradilan akan mendalilkan, pihak tergugat cukup mengajukan gugatan-balik bila memang gugatan penggugat mengandung unsur “fitnah” (putar balik fakta)—itu jugalah yang penulis sarankan pada sang klien ketika dirinya yang merugi karena penggugat telah ingkar-janji, justru mengajukan gugatan wanprestasi dengan dalil bahwa seolah pihak tergugat yang telah ingkar-janji.
Mungkin, yang paling kejam ialah tuduhan yang mengandung unsur kesengajaan untuk mencemarkan nama baik (mendiskreditkan) seseorang yang didudukkan / diposisikan sebagai pihak tergugat. Dapat saja dalam gugatan, pihak tergugat dituduh telah berkonspirasi merugikan penggugat, sangat jahat, menindas kaum lemah, menghisap keringat dan darah buruh, telah berselingkuh saat sang suami / isteri pergi bekerja, dan segala klaim tuduhan demi tuduhan secara sepihak. Otoritas lembaga peradilan akan mendalilkan, sepanjang gugatan dinyatakan “ditolak” dalam amar putusannya, seolah segala tuduhan dan pencemaran nama demikian dianggap “tidak pernah ada” alias “menutup mata”, atau dianggap telah “dipulihkan”. Pihak penggugat dengan puas melenggok dan berjalan pulang, puas telah melontarkan berbagai tuduhan dan aksi “pembunuhan karakter”, tanpa konsekuensi yuridis apapun—semudah menyalah-gunakan lembaga peradilan bernama “gugatan”.
Sebagai penutup, yang menjadi rekomendasi dari penulis bagi sang klien, tidaklah perlu terlampau mengkhawatirkan apakah pihak penggugat akan mengakui atau tidaknya telah menahan dan menyembunyikan barang milik sang klien ataukah ternyata justru orang lain yang melakukannya. Ajukan saja gugatan-balik, dimana bila tidak terbukti, maka tiada potensi dipidana karena “mencemarkan nama baik” terlebih “memfitnah”—sama halnya dengan gugatan sang penggugat yang mendalilkan sang klien (pihak tergugat) telah wanprestasi, meski senyatanya yang terjadi ialah sebaliknya, tidaklah dapat sang klien mempidana pihak penggugat sebagai telah melakukan suatu aksi “fitnah” terhadap sang klien yang didudukkan sebagai pihak tergugat.
Gugatan, dalam satu sisi, menjadi menyerupai aksi “spekulasi”—iseng-iseng berhadiah, dalam artian: bila segala klaim dan tuduhan sepihak gugatan tidak dibantah oleh pihak tergugat, atau pihak tergugat tidak hadir karena merasa direpotkan atau jarak tempuh sangat jauh dari domisili ke gedung pengadilan yang berlokasi di kota ataupun provinsi lain, maka segala tuduhan dapat dikabulkan hakim—karena pihak tergugat dianggap melepaskan haknya untuk membantah. Sementara bila gugatan ditolak karena dibantah oleh pihak tergugat, maka setidaknya sang penggugat telah puas melakukan “pembunuhan karakter” serta lontaran tuduhan demi tuduhan secara sepihak, tanpa konsekuensi yuridis apapun. Hal demikian mustahil dilakukan dalam medium media formal konvensional seperti televisi ataupun media massa berbentuk koran harian, maupun sosial-media digital.
Setelah penulis ungkap segala praktik yang terjadi di ruang persidangan, kini, masihkah ada di antara para pembaca yang memiliki asumsi bahwa ruang persidangan adalah seolah-olah gedung yang sakral berisi ritual-ritual suci kaum suciwan? Sarang para “bajingan”, selain di lembaga pemasyarakatan, pusatnya pusat “pasar”-nya justru berpusat pada ruang peradilan itu sendiri. Hanya saja, yang membedakan, para “bajingan” di ruang persidangan adalah “bajingan-bajingan” berdasi dengan rambut tersisir rapih dan sepatu mengkilap tersemir sembari menebar senyum dengan demikian bangganya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.