Akal Sehat sebagai Hukum Tertinggi, Bukan Akal Sakit Milik Orang Sakit yang Menjadi Supremasi Hukum Negara

ARTIKEL HUKUM
Ketika Kode Etik profesi bertentangan dengan etika, manakah yang berlaku dan paling diberikan otoritas oleh supremasi hukum? Dapat kita jumpai pada Kode Etik Pengacara maupun Kode Etik kalangan profesi Notaris, terdapat pasal-pasal yang menyerupai Anggaran Dasar suatu perseroan, lantas dimana letak Etika dari pasal-pasal yang tidak terkait Etika pada berbagai substansi Kode Etik dimaksud selain hanya sekadar “judul”?
Ketika Kode Etik profesi bertentangan dengan agama, maka manakah yang berlaku? Sebagian pihak, dengan penuh percaya diri menjawab, norma agama-lah yang paling tertinggi dari kesemua itu. Pertanyaannya, norma agama manakah yang dipandang paling tinggi atau lebih tinggi daripada agama lainnya untuk dapat diberlakukan? Apa pula yang membuat diri bersangkutan memiliki pandangan bahwasannya seolah agama yang satu lebih tinggi derajatnya daripada keyakinan yang lainnya? Mengapa pula seseorang yang mengaku sebagai Sarjana Hukum, tidak mampu membedakan Konstitusi NKRI sebagai pilar dari sebuah “negara agama” ataukah “negara hukum”?
Ketika negara terus mengimpor bahan bakar minyak dari luar negeri, meski sejatinya negara mampu membangun kilang sendiri dan eksplorasi sumber daya minyak lokal dapat dilakukan secara mandiri oleh negara serta “anak bangsa” kita sendiri, kalangan pengusaha importir bahan bakar minyak melakukan komplain serta perlawanan atas niat sang kepala pemerintahan untuk menghentikan praktik yang menguras keuangan rakyat demikian, dengan mengatakan : “Jika nanti Indonesia swasembada bahan bakar minyak, lalu bagaimana dengan perusahaan kami yang selama ini mengambil keuntungan besar-besaran dari importasi bahan bakar minyak ke Indonesia?
Sang Kepala Negara semestinya menjawab tegas: “Itu bukan urusan rakyat Indonesia, rakyat Indonesia bukanlah babysitter Anda yang perlu menyuapi dan mengganti popok Anda. Cara berbisnis Anda yang mengambil keuntungan secara politis dengan menghambat pembangunan kilang minyak di dalam negeri, jelas melanggar Etika Berbisnis.” Sang pelaku usaha akan defensif melakukan perlawanan sengit, “Etika bisnis yang mana, etika bisnis buatan mana?” Berikut inilah jawaban yang dapat diajukan ketika menghadapi pengusaha bermental “sakit” dengan “akal sakit” miliknya, sebagai berikut : “Akal sehat sudah cukup mampu menjawabnya. Mengapa juga masih bertanya?
Ketika berbagai peraturan perundang-undangan saling tumpang-tindih antar pengaturan, bahkan dapat kita jumpai antar satu regulasi dan regulasi lainnya saling bertolak-belakang antar pengaturannya sehingga menjelma “simpang-siur” tanpa kepastian hukum, seolah saling bertarung antar peraturan secara tidak harmonis (tiadanya harmonisasi antar regulasi, ciri khas peraturan perundang-undangan Indonesia, “gemuk” over-regulated menjelma “hutan rimba” dan tumbuh secara “liar” tanpa “grand design”), maka pertanyaan besarnya ialah: manakah aturan hukum yang harus tetap diberlakukan, karena proses jalannya negara tidak dapat berhenti hanya karena masalah ketidak-jelasan regulasi.
Mungkin saja suatu pihak akan menanggapi, ketika kita secara tegas menunjuk suatu regulasi lebih “legitimate” ketimbang regulasi lain yang saling tumpang-tindih demikian, dengan tudingan kurang simpatik bernada menjatuhkan sebagai berikut: “Atas dasar apa, aturan yang satu dapat dinilai lebih bernilai ketimbang aturan lain dengan tingkat yang sederajat? Sepanjang belum pernah ada aturan yang membatalkan atau putusan mahkamah yang membatalkannya, maka aturan tersebut sama-sama saling sah dan valid berlakunya.”
Untuk itu, berikut tawaran jawaban yang dapat penulis kemukakan, yakni “Akal sehat sebagai hukum tertinggi.”—sesederhana dan sesingkat itu saja. Bila lawan bicara memang memiliki “akal sehat” yang masih tersisa dalam dirinya, maka selanjutnya biarlah dirinya memikirkan sendiri dengan akal sehatnya. Sebaliknya, ketika seseorang lawan bicara kita tidak lagi memiliki akal sehat tersisa dalam dirinya, maka penjelasan secara panjang-lebar seperti apapun dapat dipastikan tiada faedahnya selain hanya membuang-buang waktu menjelma perdebatan atau berpolemik yang tidak bermanfaat.
Berbicara dengan lawan bicara yang logis serta sehat akalnya, tidak pernah membutuhkan banyak kata-kata ataupun penjelasan, juga tidak perlu membuang-buang banyak energi. Sama seperti ketika kita berbicara mengenai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, “akal sehat milik orang sehat” sudah cukup menjelaskan bahwa aturan yang menjadi landasan terbentuknya Dewan Pengawas KPK, tidaklah konstitusional, mengingat bagaimana mungkin disebut “pengawas” namun fungsi peran utamanya justru ialah memberikan izin atau tidak memberikan izin kegiatan penyadapan pihak penyidik KPK?
Disebut “pengawasan”, jika sifatnya “post-notification” aksi penyadapan oleh pegawai KPK, jika harus terlebih dahulu meminta izin penyadapan untuk dibolehkannya penyadapan oleh KPK (pre-notification), maka sama artinya dengan “pengawas” merangkap “manajerial”. Patut pula kita catat, lembaga semacam Mahkamah Konstitusi BUKANLAH LEMBAGA YANG MEMONOPOLI HAK UNTUK MENYATAKAN KONSTITUSIONAL ATAU TIDAKNYA SUATU ATURAN HUKUM, karena : semua orang dan semua warga negara dan subjek hukum, memiliki “akal sehat”—dimana akal sehat merupakan hukum tertinggi. Bagaimana juga bila sebaliknya, pejabat yang duduk pada kursi Hakim Konstitusi justru diisi oleh hakim-hakim “tidak sehat dengan akal tidak sehat”-nya menafsirkan konstitusi negara juga secara “tidak sehat”?
Jangan asumsikan itu mustahil, preseden yang ada setidaknya telah mencetak sejarah dua orang Hakim Konstitusi RI yang diduduki oleh “pesakitan hukum”, yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar (yang ironisnya, ke-8 Hakim Konstitusi lainnya tidak turut diseret oleh hukum mengingat kasus kolusi judicial review terkait importasi hewan ternak diputus dengan suara bulat oleh seluruh Hakim Konstitusi dimana putusan MK RI tersebut menyimpangi preseden putusan lembaga MK RI itu sendiri sebelumnya yang menyatakan “maximum security” kemudian dalam putusan terakhirnya yang menjerat Patrialis Akbar menjelma “relative security” terkait masuknya hewan ternak terjangkit penyakit yang dapat mewabah kepada hewan ternak lokal (membuka potensi merebaknya endemik yang tidak terkendalikan sekalipun Indonesia lebih mengklaim sebagai negara maritim dan bahari dengan sumber daya hewani kelautan sehingga substitusi sumber protein hewaninya begitu melimpah. Sama tidak logisnya, tanah yang dikenal subur namun untuk memenuhi kebutuhan hewan ternak dalam negeri sendiri masih perlu importasi, sama nasibnya dengan importasi garam dan komoditas hortikultura lainnya).
Sama seperti mana yang lebih unggul, Universitas Negeri ataukah Universitas Swasta. Terdapat pihak-pihak tertentu yang begitu membangga-banggakan dirinya sebagai lulusan Universitas Negeri, seolah lulusan Universitas Swasta kalah derajat maupun pendapatnya. Maka, kembali pada pegangan utama kita : Akal sehat sebagai hukum tertinggi. Karena itulah, jawab atau tanggapilah dengan penuh percaya diri, sebagai berikut : “Sementara itu, saya adalah lulusan Universitas Kehidupan, laboratoriumnya ada di lapangan dunia yang luas ini, tidak sesempit laboratorium milik kampus alumni Anda yang Anda bangga-banggakan tersebut.
Seorang menteri anggota kabinet, seyogianya diisi oleh jajaran menteri-menteri yang logis serta sehat akalnya. Sebagai contoh, baru-baru ini berkembang niat seorang Menteri Kelautan untuk mengeskpor bibit lobster yang tidak seberapa nilainya kepada peternak pembesaran lobster di Vietnam. Jika Vietnam mampu membesarkan lobster, hingga bernilai jual puluhan kali lipat dari harga benih lobster, mengapa tidak pemerintah Indonesia manfaatkan sumber daya benih yang ada untuk dibesarkan hingga membawa nilai tambah ekonomis guna mendukung serta menggerakkan roda ekonomi kreatif warga lokal setempat lewat pembinaan?
Pernah terjadi, kalangan kedokteran pada suatu rumah sakit membuat SOP yang sangat tidak masuk akal, seorang pasien yang hendak melahirkan, meski telah terjadi “pembukaan pecah air ketuban” yang dapat bersalin secara normal, semata karena sang pasien mendaftar dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka sang pasien dibiarkan terkapar di ranjang pada koridor rumah sakit selama belasan jam, dengan alasan itulah SOP rumah sakit mereka—yang sebetulnya mengejar pendapatan dari rencana bedah secara caesar sekalipun sang pasien dapat bersalin normal, mengingat JKN memberi kompensasi lebih tinggi kepada pengelola Rumah Sakit untuk persalinan secara caesar dibanding secara normal.
Alhasil, sang pasien meninggal dunia bersama anak dalam kandungannya, karena terlampau lama dibiarkan tanpa penanganan. Dalam tingkat kasasi, sang dokter dihukum pidana oleh Mahkamah Agung RI. Namun dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK), sang dokter dibebaskan karena adanya intervensi politis oleh kalangan dokter yang berdemo “mogok” mengobati orang sakit, dengan tuntutan agar rekan seprofesi mereka untuk tidak di-“kriminalisasi”, dengan satu Hakim Agung tingkat PK yang melakukan dissenting opinion yang sangat indah ketika menolak pembebasan sang dokter, sebagai berikut : “SOP membiarkan pasien yang sudah pembukaan dan pecah ketuban, selama belasan jam tanpa penanganan? Akal sehat lebih tinggi derajatnya daripada SOP manapun.” Terdapat kalangan dokter lain yang mencoba “menyerang” penulis atas publikasi fakta kejadian tersebut, yang justru menjadi cerminan betapa “sakit” akal kalangan sebagian dokter kita di Tanah Air.
Sama tidak logisnya, bagaimana mungkin JKN melaporkan, jumlah klaim kompensasi penanganan medis bedah caesar persalinan menempati posisi urutan kesatu tagihan terbesar Rumah Sakit kepada pengelola JKN, jauh melampaui klaim penanganan medis bersalin normal, sejak bertahun-tahun lampau, bahkan jauh diatas klaim penanganan penyakit lainnya? Apakah nenek moyang kita membutuhkan bedah caesar semacam itu, namun terbukti umat manusia mampu survive dan beranak-pinak hingga ke seluruh penjuru dunia? Sama tidak logisnya ketika Badan Pusat Statistik mengklaim era pemerintahan sekarang ini jumlah kemiskinan menurun, namun jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran JKN, justru meningkat sepanjang tahun?
Untuk apakah aturan hukum maupun sebuah SOP suatu lembaga sipil maupun lembaga pemerintahan, namun aturan hanya sekadar menjadi aturan yang seolah “bukan dibuat untuk manusia”, prosedur yang sekadar menghamba bagi kepentingan prosedur itu sendiri. Prosedur dan segala aturan, semestinya ditegakkan demi kebaikan pelayanan kepada masyarakat umum.
Ketika aturan hukum maupun sebuah prosedur justru menafikan akal sehat, maka selain kurang mendidik, juga berpotensi tinggi menjelma aturan “sakit” bagi orang “sakit” oleh orang-orang “sakit” yang mengaturnya. Terkadang, akal sehat mencoba mendobrak kekakuan sifat “beku” dari aturan yang prosedural sifatnya, sebagai cikal-bakal atas apa yang kini banyak dikenal dengan istilah “diskresi”.
Masalah serta kendalanya ialah, seberapa banyak diantara masyarakat kita yang selama ini menjaga pola berpikir “sehat”? Masyarakat kita justru lebih kerap membudayakan pola berpikir sakit, seolah menjaga kesehatan lebih “murah” ketimbang “kuratif” (itulah landasan berpikir yang sangat menyimpang dibalik falsafah terbentuknya program JKN, dimana masyarakat yang menjaga pola hidup sehat justru harus mensubsidi para penghisap produk tembakau, dimana bahkan “fakir miskin dan anak terlantar” digeser menjadi “dipelihara secara gotong-royong oleh sesama warga”, bukan lagi oleh negara, tanpa boleh keluar dari keanggotaan pembayar iuran alias pemaksaan. Gotong-royong dan pemaksaan, bagai air dan minyak).
Permasalahan yang paling kerap penulis jumpai sebagai hambatan utama komunikasi antar individu di Indonesia, termasuk terhadap mereka yang berlatar-belakang ekonomi maupun pendidikan tinggi, ialah kerapnya dipertontonkan secara vulgar “akal sakit milik orang-orang sakit”. Ciri-cirinya mudah untuk dikenali, yakni : cara berbicaranya kerap “mau menang sendiri”, tidak logis, tidak rasional, serta cenderung memutar-balik fakta maupun keadaan. Sama tidak logisnya dengan orang-orang yang begitu bangga demikian gemar menggali “lubang kuburnya” bagi dirinya sendiri, dengan menimbun benih karma buruk lewat menyakiti ataupun merugikan warganegara lainnya.
Sebuah paradigma “akal sehat”, membutuhkan itikad baik kedua belah pihak agar dapat terjalin komunikasi berupa dialog dua arah yang sama-sama dilandasi “akal sehat”—tidak dapat timpang hanya salah satu pihak saja yang memakai “akal sehat” dalam berkomunikasi. Ketika salah satu pihak berdialog dengan menggunakan “akal sakit” alih-alih “akal sehat menghadapi akal sehat”, maka dapat dipastikan dialog dua arah menjelma monolog satu arah linear (alias sikap “mau menang sendiri”).
Ketika lawan bicara memang sedari awal beritikad baik dalam suatu dialog, maka tidaklah sukar untuk menjalin komunikasi dua arah dengan akal yang sehat, sesama “akal sehat” bertemu “akal sehat”. Dunia peradilan maupun politik kita akan selalu diwarnai kedamaian dan ketenteraman, bebas dari gejolak, peperangan, maupun pertikaian, ketika seluruh penduduknya menjaga “akal sehat” mereka masing-masing—dimana akal “sakit” hanya menjadi milik dari mereka yang “sakit” jiwanya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.