Antara Ius Curia Novit dan Pengacara Palugada (aPa yang eLu Mau, Gua Ada)

ARTIKEL HUKUM
Sempat diwacanakan, agar hukum acara perdata maupun pidana kita tidak lagi memungkinkan bagi pihak Penggugat, Tergugat, baik Jaksa Penuntut Umum maupun pihak Terdakwa, untuk menghadirkan keterangan ahli yang berlatar-belakang profesi Sarjana Hukum untuk menjelaskan perihal hukum kepada Majelis Hakim di persidangan, karena baik sang ahli hukum maupun sang hakim notabene adalah sesama sama-sama Sarjana Hukum. Diwacanakan, keterangan ahli yang dimungkinkan untuk dihadirkan ke hadapan persidangan guna didengarkan keterangannya, hanyalah sebatas mereka yang tidak berlatar-belakang profesi hukum, semisal untuk menjelaskan perihal teknologi, struktur bangunan dan konstruksi, dsb.
Terdapat sebuah adagium hukum, yang dibentuk ketika praktik hukum kita masih sangat “primitif” beberapa abad silam, ketika peraturan perundang-undangan masih sangat sederhana dan minim struktur pengaturannya, begitupula ketika dinamika sosial-ekonomi-politik masih sangat sederhana, yakni sebuah adagium dalam bahasa Latin yang berbunyi: “Ius Curia Novit”, yang bermakna harafiah sebagai “seorang hakim (dianggap) selalu mengetahui hukumnya”.
Karena seorang hakim dianggap dan diasumsikan mengetahui segala hukumnya, maka pandangan seorang ahli hukum lainnya menjadi tidak lagi relevan untuk dihadapkan guna didengar penjelasannya perihal hukum. Namun, pertanyaan besar dari penulis bagi para pembaca yang penulis hormati, ialah pertanyaan sederhana sebagai berikut: Mungkinkah itu terjadi, seorang hakim mengetahui jutaan produk legislasi yang terdiri dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan Mahkamah Agung, ribuan peraturan daerah, hingga jutaan buah norma hukum bentukan preseden?
Jika memang demikian adanya, mengapa juga masih sering terjadi putusan hakim Pengadilan Negeri kemudian dianulir oleh hakim Pengadilan Tinggi, yang kemudian dianulir kembali oleh Mahkamah Agung? Bila memang setiap hakim dianggap tahu segala aturan hukumnya, maka mengapa juga negeri ini masih membutuhkan lembaga semacam Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung? Berdiri dan eksisnya Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung, seolah hendak memberi sinyalemen kepada masyarakat, bahwa hakim pengeri tidak dapat dipercaya serta belum tahu benar hukumnya atau belum benar-benar mengerti hukum.
Mungkin saja sebuah robot yang mampu menampung dan mengetahui semua produk legislasi yang ditanam semudah mentransfer data peraturan perundang-undangan “gemuk” terbitan lama maupun terbitan terbaru, ke dalam perangkat keras dan pirantu lunak sang robot yang ditempatkan pada bangku hakim untuk menggantikan peran manusia sebagai hakim pada berbagai peradilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan oleh masyarakat pencari keadilan.
Namun yang lagi-lagi menjadi pertanyaan besarnya, ialah : berbagai produk peraturan perundang-undangan saling bertolak-belakang norma imperatif pengaturannya, terutama antara peraturan pemerintah terhadap berbagai peraturan daerah yang tidak sinkron serta saling bertentangan norma pengaturannya, maka manakah yang harus diterapkan oleh sang “hakim robot”? Jangan kita lupakan, ribuan peraturan daerah yang bermasalah sekalipun, tetap berlaku sepanjang belum dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI, dimana kini pemerintah pusat diamputasi kewenangannya untuk membatalkan sebuah peraturan daerah.
Terdapat juga fenomena “Pengacara Palugada”, alias pengacara “apa yang elu mau, gua ada”, mind-set warisan Sarjana Hukum yang sudah uzur dan tidak lagi mengikuti perkembangan zaman dimana produk legislasi nasional telah menjelma “hutan rimba belantara”, dimana bahkan berbagai produk legislasi baru lainnya terus dibentuk dan dicetak setiap harinya dengan masing-masing ego-sektoralnya, seolah tidak terbendung—sekalipun kepala pemerintahan incumbent mengklaim bahwa era kepemimpinannya akan melakukan kebijakan de-regulasi.
Sejatinya, pengacara maupun konsultan hukum semacam “Palugada” demikian tidak lagi relevan untuk dapat dilakoni pada era berhukum kontemporer seperti sekarang ini, dan dapat menjadi sangat berbahaya bagi klien pengguna jasa, meski sampai sekarang ini tetap dapat kita jumpai dengan mudah pada berbagai sudut-sudut kota. Tatkala tren praktisi maupun akademisi hukum kian menjelma terspesialisasi, menjadi seolah “melawan arus” dengan tetap bertahan atau memilih seorang “Pengacara Palugada”, yang pada muaranya dapat menjelma kontraproduktif bahkan bisa berpotensi bahayanya tidak segera disadari baik oleh sang penyedia maupun oleh sang pengguna jasa.
Mengapa harus terspesialisasi, tidak dapat generalis layaknya seorang “dokter umum” pada berbagai pusat layanan kesehatan? Seorang dokter dan penyakit pasien, sifat-sifat penyakit tubuh manusia cenderung selalu sama saja (baku) setiap tahunnya, gejala demam flu dan obatnya, gejala sakit kulit dan obatnya, dsb. Namun, sebuah undang-undang sifatnya sangat “liquid”, tidak rigid, sehingga konsekuensinya dapat diganti sewaktu-waktu oleh Undang-Undang baru, atau bahkan dihapus dan dibatalkan sama sekali dikemudian hari keberlakuannya.
Andaikan seseorang Sarjana Hukum terobsesi untuk membaca dan menghafal seluruh undang-undang yang pernah diterbitkan oleh negara, maka alih-alih merasa bangga dan pintar, sejatinya diri sang Sarjana Hukum bersangkutan telah dibodohi oleh obsesi dirinya sendiri, mengingat tidak lama kemudian berbagai undang-undang tersebut akan dibatalkan atau diganti norma pengaturannya. Tiada yang lebih sia-sia dan mubazir daripada seorang Sarjana Hukum bertipe “Palugada”—cenderung hanya membuang-buang waktu atau bahkan disinyalir hanya menguasai “kulit” luarnya saja dari suatu bidang hukum.
Sama seperti penyakit yang serius dan membutuhkan penanganan khusus sifatnya, maka oleh dokter umum biasanya akan dirujuk pada dokter spesialis. Namun, tidak pernah kita jumpai “Pengacara Palugada” yang merujuk calon kliennya kepada pengacara pada kantor hukum lainnya. Jika bisa di-“makan” sendiri, mengapa juga menyerahkan “ikan segar” untuk di-“makan” oleh kompetitor kantor pengacara lainnya?
Itulah sebabnya, menyerahkan nasib masalah hukum Anda ke tangan seorang “Pengacara Palugada”, sama berbahayanya dengan dokter umum yang tetap mencoba menangani penyakit serius yang membutuhkan penanganan dokter spesialis—semisal penyakit mata ataupun gigi, jelas bahwa kompetensinya saling berbeda, bahkan poliklinik-nya pun saling terpisah dan dibedakan.
Ironis dan dilematikanya, kalangan hakim pada berbagai Pengadilan Negeri, sifatnya masih “Hakim Palugada”, dimana seorang hakim menyidangkan, memeriksa, serta memutus berbagai perkara dengan latar-belakang baik pidana umum, pidana khusus, perdata umum, maupun perdata khusus. Memang telah dibentuk peradilan-peradilan khusus secara spesifik ter-cluster semisal Pengadilan Hubungan Industrial untuk menangani perkara sengketa hubungan industrial, Pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi), Pengadilan Niaga untuk perkara-perkara terkait kepailitan maupun sengketa Hak Kekayaan Intelektual, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dsb, namun sifatnya masih sangat umum. Yang mungkin dapat dikecualikan ialah Peradilan Perikanan, itu pun masih belum lazim kita temui.
Sebagai contoh hakim pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama, mengurusi masalah perdata perceraian hingga sengketa waris, sengketa kredit, sengketa-sengketa lainnya yang masih umum sifatnya. Catatan khusus untuk perkara pidana, peradilan kita masih dibagi secara umum saja sifatnya, yakni Pengadilan Khusus (Ad-Hoc) Tipikor, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Negeri. Entah apa dan bagaimana, kebijakan Ketua Mahkamah Agung RI masih bersifat “pilih kasih” dengan seolah meng-anak-emaskan perkara-perkara perdata yang dibuat secara spesifik peradilannya.
Lalu bermuara pada pucuk Lembaga Yudikatif, yakni Mahkamah Agung RI, dimana terbagi pada kamar-kamar Hakim Agung terspesifik, terdiri dari Kamar PTUN, Kamar Hukum Agama, Kamar Hukum Pajak, Kamar Pidana Umum, Kamar Pidana Khusus, Kamar Pidana Militer, Kamar Perdata Umum, serta Kamar Perdata Khusus. Pemilahan demikian masih bersifat sangat umum, dimana seorang hakim pada kamar perdata umum, sebagai contoh, harus memahami aturan dan permasalahan hukum dari A—Z, mulai dari sengketa tanah hingga masalah kredit perbankan, perseroan, penanaman modal asing, e-commerce, waris, perceraian, perjanjian, perbuatan melawan hukum, bahkan hingga perselisihan antar pengurus partai politik, dan lain sebagainya.
Dinamika kompleksitas kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kita terus berubah dan berkembang. Sepanjang praktik berhukum kita masih membawa warisan “mind set” usang yang tidak lagi relevan, maka dapat dipastikan praktik berhukum negeri kita akan “jalan di tempat”, bahkan dapat disebut sebagai cukup “terbelakang”. Karenanya, menjadi penting bagi penulis untuk memberi edukasi dalam kesempatan ini, bahwasannya pengguna jasa hukum yang cerdas akan selalu memilih penyedia jasa hukum yang spesialis sifatnya, yakni yang jelas spesialisasinya, bukan generalis ala pengacara ataupun konsultan hukum “Palugada”.
Hendaknya sebagai penyedia jasa hukum, tidak bermain-main dengan nasib hukum para calon klien pengguna jasa, terlebih menjadikan kasus atau perkara mereka sebagai “kelinci percobaan”, yang tentunya harus dibayar mahal dijadikan objek eksperimen “uji coba” spekulasi “siapa tahu menang” demikian. Tanggung jawab profesi maupun etika berbisnis telah menegaskan, jangan tangani bila tidak menjadi kompetensinya. Ada kalanya menolak seorang calon klien merupakan bentuk tanggung-jawab tertinggi oleh seorang profesional dibidang hukum, terutama ketika masalah hukum sang calon klien diluar kompetensi yang dikuasai oleh sang penyedia jasa hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.