Kesia-Siaan Norma Tindak Pidana Korporasi, antara Harapan (Teori), Norma Hukum, dan Praktik Perseroan

ARTIKEL HUKUM
ANTARA “TINDAK PIDANA KORPORASI” & “TINDAK PIDANA PENGURUS / PEMILIK KORPORASI”, SALING BERJARAK NAMUN TIDAK PERNAH SALING TERPISAHKAN
Berkembang wacana, bahwa yang semestinya dipidana atas perbuatan ilegal suatu korporasi, ialah para pemegang saham selaku pengendali dan pemilik usaha (beneficial owner) dari suatu korporasi, bukan justru menjerat “alat” yang digunakan oleh sang pemegang saham pengendali. Namun, bila pada muaranya yang dituju, disasar, dan dijerat pidana ialah subjek hukum orang-perorangan (naturlijk persoon) seperti pemilik atau pengendali suatu perseroan, maka apa guna lagi konsepsi pengaturan norma perihal “tindak pidana korporasi” dimana subjek hukum berupa “badan hukum” (rechts persoon) dapat dijerat pula ancaman sanksi pemidanaan baik berupa denda, pencabutan izin usaha, hingga pembekuan usaha (analogi “dipenjara”, serta “dihukum mati” berupa dilikuidasi alias dibubarkan secara permanen.
Sekarang, mari kita telaah lebih mendalam mengenai “kemubaziran” konsep, teori, dan pengaturan norma “tindak pidana korporasi”, dimana penulis akan mengajak para pembaca untuk memahami lebih jauh lagi perihal fakta-fakta dibalik berbagai manuver ilegal berbagai “grub usaha” dalam praktik berbisnis secara tidak sehat kalangan pengusaha bermodal kuat di Indonesia. Uraian yang akan penulis bahas, berdasarkan pengalaman penulis secara pribadi ketika berurusan dengan berbagai “grub usaha” yang kerap menyalah-gunakan korporasi yang didirikannya sekadar untuk menjadi alat untuk melakukan kejahatan dan perbuatan ilegal lainnya (corporate as a tool of crime).
Pada mulanya beberapa tahun lampau saat penulis berpraktik sebagai Konsultan Hukum mendapati klien dengan permasalahan yang cukup unik, penulis merasa terheran-heran, mengapa sebuah badan hukum Perseroan Terbatas di Indonesia yang sudah memiliki cukup nama tenar (well estabilshed), namun ketika menyewa perusahaan penyedia jasa konstruksi, sang Perseroan Terbatas selaku pengguna jasa justru mendirikan berbagai anak usaha berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, dimana kemudian berbagai anak usaha berbentuk Perseroan Terbatas tersebutlah yang menandatangani kontrak jasa konstruksi dengan pihak penyedia jasa konstruksi yang sama, namun tiada satupun dari kontrak jasa konstruksi tersebut yang mendudukkan pengguna saja dari pihak Perseroan Terbatas induk usahanya—kesemua anak usaha itulah yang menjadi pihak pengguna jasa dalam kontrak.
Benarlah dugaan penulis, berbagai anak usaha milik Perseroan Terbatas induk tersebut, kemudian melakukan berbagai ingkar janji pembayaran jasa konstruksi terhadap pihak penyedia jasa. Ketika pihak penyedia jasa hendak menggugat berbagai Perseroan Terbatas tersebut yang notabene merupakan para pengguna jasa, maka terbenturlah pada satu kenyataan pahit, bahwa tiada satupun anak usaha milik Perseroan Terbatas induk demikian yang memiliki aset berupa harta yang dapat dieksekusi ketika kalah dalam gugatan wanprestasi yang diajukan oleh pihak penyedia jasa.
Itulah gambaran realita yang terjadi dalam konteks perdata, sebagaimana kerap dikeluhkan oleh berbagai penyedia jasa konstruksi di Tanah Air, salah satunya sebagaimana pernah dialami oleh klien dari penulis. Gambaran nyata demikian menjadi cerminan keruhnya praktik korporasi di Indonesia. Dalam ranah perkara pidana, modusnya lebih canggih dan lebih tersistematis, dimana berbagai anak usaha “boneka” didirikan semata sebagai alat untuk melakukan kejahatan (doll company).
Memang, dalam konsepsi “tindak pidana korporasi”, mengingat badan hukum termasuk dalam kategori “subjek hukum” yang bisa dipidana denda maupun pencabutan izin, namun kesemua ancaman demikian adalah “mubazir” belaka (kemubaziran), sehingga menjadi percuma saja pengaturan dan ancaman sanksinya, mengingat pada praktiknya berbagai “grub usaha” sedari awal telah secara sengaja merancang dengan mendirikan berbagai anak usaha berbentuk Perseroan Terbatas sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Adalah suatu pemborosan dan “over regulated”, bagi kita untuk menyibukkan diri dengan berputar-putar pada wacana perihal “tindak pidana korporasi”—sebagaimana akan penulis buktikan pada uraian berikut di bawah ini.
Bila kita menyimpangi konsepsi “tindak pidana korporasi” dengan konsep-konsep doktrin lain semacam “ultra vires” pemegang saham yang ternyata menjadi pengendali efektif langsung jalannya perseroan untuk melawan hukum, maka tanggung-jawab pasif sebatas modal saham menjelma tanggung jawab renteng hingga harta kekayaan pribadi sang pemegang saham, maka konsepsi “piercing the corporate veil” (menyingkap tabir perseroan) demikian lagi-lagi justru berbalik pada konsepsi lama, bahwa hanya subjek hukum orang-perorangan yang dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana, sehingga panjang-lebar membahas wacana “tindak pidana korporasi” menjadi sebentuk kemubaziran dan kesia-siaan yang hanya berputar-putar pada wacana yang sama dan meletihkan.
Perlu kita sadari terlebih dahulu apa yang menjadi latar belakang pendirian suatu badan hukum seperti Perseroan Terbatas. Asumsi para pembentuk regulasi, membuat badan hukum amatlah sukar. Faktanya, menunjukkan sebaliknya, mendirikan Perseroan Terbatas maupun Koperasi amatlah mudah, simpel, murah, serta sederhana (sesederhana “membalik telapak tangan” pada era “obral perizinan” oleh rezim pemerintahan sekarang ini dengan mengatasnamakan “menggenjot” pertumbuhan ekonomi dan menjadi negara ramah insvestor), semata sengaja didirikan untuk mengalihkan resiko manuver bisnis saja—terutama bagi manuver bisnis yang ilegal dan melanggar hukum, menjadi “bumper” belaka. Itulah misi utama pendirian berbagai badan hukum oleh seorang pengusaha yang bermental “licik” dan kerap mengakali pengawasan maupun penindakan dan ancaman hukum. Didirikan, memang untuk dikorbankan dan ditumbalkan, dengan harga yang sangat murah dan mudah.
Terdapat bahaya dibalik konsep “tindak pidana korporasi”, seolah menjadi pengalihan isu, dimana seharusnya pribadi pengurus maupun pengendali badan hukum / korporasi yang melakukan kegiatan ilegal seyogianya dapat dijerat sanksi pidana penjara, namun berbagai regulasi memperlihatkan norma yang bersifat tentatif berupa mengancam sanksi pidana bagi “korporasi dan/atau pengurus dan pengendalinya”. Dimanakah letak bahayanya?
Norma demikian dapat menjadi sarat “transaksional”, dimana cukup sang korporasi belaka yang diberi sanksi hukuman pidana seperti denda dan pencabutan izin—itu pun bila badan hukum korporasi bersangkutan memiliki harta, dimana kerap kali fakta menunjukkan bahwa sebuah “doll company” sama sekali tiada memiliki aset apapun untuk dieksekusi—sementara pihak pengendali, direksi, hingga beneficial owner-nya berlindung di balik layar dengan tangan-tangan tak terlihatnya (invisible hand) tak tersentuh oleh hukum. Adam Smith mungkin akan terkejut, mendapati fakta bahwa “tangan-tangan tak terlihat” yang mengendalikan pasar sejatinya hanya dikendalikan oleh segelintir pihak, bukan sejati mekanisme pasar.
Mati satu tumbuh seribu, itulah fenomena praktik korporasi di indonesia. Berbagai pemodal dan pemilik “grub usaha”, tidak pernah menjadikan perseroan well established miliknya untuk dijadikan “bumper” dalam melakukan berbagai manuver bisnis yang ilegal. Untuk “mengakali” kelemahan hukum korporasi di Indonesia, mereka akan semudah mendirikan berbagai badan hukum korporasi baru yang sedari sejak awal memang ditujukan semata untuk merugikan para penyedia jasa bermodal kecil yang dijadikan rekanan usaha, hingga untuk melakukan berbagai kegiatan ilegal yang melawan hukum.
Dalam istilah kaum pebisnis ilegal, mendirikan Perseroan Terbatas ialah dalam rangka “mitigasi” dan “distribusi” resiko bisnis. Pernah penulis jumpai dengan mata-kepala sendiri, satu buah kantor suatu “grub usaha”, ternyata menjadi tempat pengendalian hingga lebih dari enam puluh badan hukum Perseroan Terbatas yang didirikan dibawah naungan “grub usaha” dengan seorang pemilik yang sama. Lini usaha sang pengusaha tidak mencapai puluhan bidang usaha, namun mengapa dapat mendirikan hingga lebih dari enam puluh Perseroan Terbatas? Apakah motif serta modus yang hendak “dimainkan” dengan strategi bisnis terselubung demikian?
Sistem hukum perseroan di Indonesia tidak mengenal pembatasan atau pemberlakuan kuota maksimum bagi seorang subjek hukum orang-perorangan untuk hanya diperkenankan menjadi pemegang saham sekian Perseroan Terbatas dan afiliasinya atau beneficial owner atas sekian Perseroan Terbatas saja. Itulah tepatnya celah hukum yang kerap dimainkan secara apik dan disalah-gunakan secara tersistematis meski sejatinya polanya dapat kita amati secara mudah.
Terlebih canggih, sang “beneficial owner” melakukan pula rekayasa guna mengecoh otoritas, lewat mempergunakan direksi dan komisaris hingga pemegang saham “boneka” (nominee). Praktis, sekalipun dalam Akta Pendirian maupun Anggaran Dasar suatu perseroan tercantum nama orang-orang lain sebagai susunan anggota direksi, komisaris, hingga pemegang saham, namun sejatinya mereka semua “diikat” oleh perjanjian nominee secara “dibawah tangan” yang disembunyikan dari pengawasan pemerintah.
Selalu penulis utarakan, bahwasannya konsep norma “tindak pidana korporasi” hanya efektif “menakut-nakuti” Perseroan Terbatas yang sudah terkenal brand dan nama badan hukumnya memiliki nilai keekonomisan yang tinggi, namun dalam realitanya mana ada pemilik perseroan yang bersedia menjadikan Perseroan Terbatas terkenal miliknya untuk dijadikan alat / tangan dalam melakukan kejahatan bisnis secara ilegal. Mereka, para pengusaha berotak ilegal tersebut akan selalu memilih opsi membuat berbagai Perseroan Terbatas baru untuk melakukan aksi kotornya. Cukuplah berbagai Perseroan Terbatas “seumuran jagung” tersebut untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor dan mengotori tangannya, untuk kemudian dibuang dan “dimati-surikan” (dinonaktifkan).
Ketika sebuah Perseroan Terbatas terjerat hukuman “tindak pidana korporasi” seperti vonis pidana denda dan pencabutan izin, maka pihak Kejaksaan selaku eksekutornya tidak mampu menghimpun dana dari terpidana korporasi karena memang tiada aset yang dapat dieksekusi dari narapidana Perseroan Terbatas tersebut, sementara sang pemilik usaha akan seketika menelantarkan Perseroan Terbatas bersangkutan dan semudah mendirikan berbagai Perseroan Terbatas baru berikutnya untuk melancarkan aksi dan manuver bisnis ilegal berikutnya—sementara pihak pengendali yang sesungguhnya menikmati aksi ilegal oleh Perseroan Terbatas yang dihukum piadna, tidak akan pernah tersentuh oleh hukum.
Karenanya, dalam hemat penulis, konsepsi dan norma terkait “tindak pidana korporasi” jarang benar-benar mampu memberi ancaman yang menakutkan atau momok bagi kalangan pelaku usaha bermental “ilegal” yang kerap melanggar dan melawan hukum. Selama kuota pendirian badan hukum tidak diberi limitasi bagi seorang beneficial owner, maka selamanya ancaman dibalik norma “tindak pidana korporasi” sama sekali tidak efektif. Hukum pidana semestinya memfokuskan diri untuk menjerat pihak beneficial owner yang selalu adalah seorang natuurlijk persoon, alias orang-perorangan sebagai “otak intelektual” pengendali dan pengurusnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.