Tuntutan Masyarakat yang Irasional, Berdiam Diri ketika Dirugikan olwh Warga Lainnya Bukanlah Cerminan Warga Negara yang Baik

ARTIKEL HUKUM
Kita selalu berasumsi bahwa masyarakat kita selalu mau dan mampu bersikap rasional, dan hukum kita pun berasumsi bahwa masyarakat kita memiliki sikap-sikap rasional—yang senyatanya dalam artikel singkat ini akan penulis buktikan fakta sebaliknya, bertolak-belakang dengan asumsi kita selama ini. Sebelum kita membahas lebih dalam, terlebih dahulu kita perlu memahami definisi “rasional”, yang penulis maknai sebagai daya kemampuan untuk berpikir sistematik, logis, holistik, empirik, imparsial, dan bernalar secara penuh tanggung-jawab. Sementara lawan kata dari “rasional”, ialah “irasional”.
Betapa tidak, “aneh namun nyata”, kejadian berikut ini dialami sendiri oleh keluarga penulis, sehingga menggambarkan realita secara apa adanya, tanpa bermaksud untuk mendramatisir, yang mungkin juga pengalaman yang sama pernah dialami langsung oleh sebagian warga negara lainnya. Ternyata, masyarakat kita dapat memiliki sebuah tuntutan yang sangat irasional, semisal : seorang warga tidak hanya dituntut untuk tidak mengganggu tetangga dan warga lainnya (meski seringkali terjadi “standar ganda”, beberapa orang warga seolah dibolehkan mengganggu dan merugikan warga lainnya), namun juga harus bersikap “diam” saja ketika disakiti dan dirugikan. Jika sang warga yang menjadi korban, bersikap melawan, maka artinya sikap perlawanan demikian adalah tidak sopan dan “tukang marah-marah”. Sementara orang-orang yang rasional akan menyadari, bahwa “hanya mayat” yang akan berdiam diri diperlakukan sewenang-wenang seperti apapun bentuk perlakuan yang ia alami.
Sejak kapankah, membela diri dan memperjuangkan hak-hak sebagai sesama warga, adalah hal yang tabu oleh komunitas sosial kita? Irasional kedua yang juga kerap penulis amati langsung di tengah-tengah masyarakat kita, yakni : korban yang justru dikritik (di-bully), dipersalahkan, di-cela, dan hanya sekadar dijadikan tontotan (alias tanpa perlu ditolong), sementara para pelakunya tidak perlu ditegur, ditahan perilaku jahatnya, terlebih dikritisi. Yang kuat selalu seolah paling benar, dan yang lemah selalu menjadi “mangsa empuk” dari pelaku yang serakah dan dari sesama warga yang lebih pandai “menghakimi”.
Ironis memang, korban sudah cukup menderita karena dirugikan dan terlukai, namun sesama warga justru turut menghakimi lewat aksi bully tanpa simpati ataupun kemampuan untuk berempati—pertanda bahwa masyarakat kita sangat tumpul dalam hal kecerdasan ber-empati dan daya prihatin terhadap warga negara lainnya yang sedang menjadi korban.
Sikap irasional ketiga yang tidak kalah kerap penulis jumpai : Jika kalah dari segi “otak”, ujungnya selalu bermuara pada kekerasan fisik “otot”, dimana kuantitas selalu akan mengalahkan pihak dengan jumlah yang lebih sedikit, alias perkelahian secara tidak gentlemen, penganiayaan secara “berkeroyok” (ironisnya terjadi terhadap korban yang hanya seorang diri), bahkan tidak jarang penulis jumpai seseorang yang tampak seperti penonton ajang perkelahian, ternyata bersekutu dengan pelaku lainnya dan diam-diam dari arah belakang justru ikut melancarkan serangan terhadap korban. Itulah fakta salah satu sikap paling pengecut dari Bangsa Indonesia.
Menyalahkan dan mengkritik korban, sama artinya membela dan membenarkan perilaku para pelaku yang melakukan kejahatan terhadap sang korban. Bila mereka tidak bersedia mengulurkan tangan untuk menolong, maka mengapa mereka merasa berhak untuk mengomentari, men-cela, hingga mengkritik dan mem-bully sang korban? Sebegitu “tumpul”-kah, hati nurani berkeadilan (sense of justice) dari masyarakat kita? Bahkan korban penganiayaan yang dipersalahkan oleh warga lainnya, tanpa empati, alih-alih mengutuk perilaku para pelakunya. Sebiadab itulah, wajah bangsa kita.
Kekerasan fisik dan melukai, secara hukum tergolong perilaku jahat dan kejahatan, alias kriminal. Bangsa beradab tidak pernah memakai cara-cara penganiayaan untuk menutupi perbuatan ilegal mereka, terlebih secara “berkeroyokan”, dan terlebih justru mencela korban yang melakukan perlawanan, tanpa mau mengakui dan melihat akar penyebab pokok persoalannya. Hanya bangsa biadab yang selalu mengandalkan kekerasan fisik dan semudah melakukan penganiayaan—namun tidak akan pernah berani bila ditantang “satu lawan satu” di atas ring tinju. Dari berbagai pengalaman penulis melakukan “street fighting”, para pelaku kekerasan fisik selalu adalah para pengecut yang hanya berani bermain “keroyokan” terhadap korbannya. Negara Indonesia, lebih menyerupai negeri “premanisme”—suka atau tidak suka, itulah faktanya, dan tiada dari kita yang perlu berkelit karena pastilah pernah kita saksikan sendiri fakta demikian, menjadi korban, penonton, atau bahkan sebagai pelakunya.
Antara “menghakimi” dan bersikap penuh keadilan (berkeadilan), adalah dua hal yang saling berbeda. Pandai “menghakimi” artinya pandai untuk membuat penghakiman dan penghukuman (sekalipun hanya berbentuk bullying) alih-alih membuat berbagai pertimbangan secara netral dan objektif serta rasional terhadap kondisi dan situasi seutuhnya dari seorang korban. Sebaliknya, “berkeadilan” bermakna lebih “pro” terhadap korban, mau memahami latar-belakang dan kondisi situasi yang dihadapi korban, dan memberi pertolongan kepada korban serta mencegah agar tidak timbul korban-korban selanjutnya, disamping menghentikan sikap-sikap jahat para pelakunya dan memberi hukuman / sanksi (setidaknya sanksi sosial) secara semestinya kepada para pelaku.
Gaibnya, kerap kali mekanisme “sanksi sosial” tidak pernah benar-benar berjalan di tengah kondisi masyarakat kita yang masih “menghamba pada penguasa dan pengusaha bermodal besar yang berkuasa”. Lagi dan lagi, yang kecil dan lemah, selalu tertindas. Timpangnya implementasi hukum yang kerapkali “tumpul ke atas namun tumpul ke bawah”, dapat diatasi dengan mekanisme “sanksi sosial” oleh warga masyarakat—namun ironinya “sanksi sosial” oleh masyarakat justru ditujukan kepada pihak korban, yang dalam istilah penulis ialah sebagai “penghakiman yang salah alamat”.
Fenomena irasional keempat, sesama warga yang telah tinggal selama puluhan tahun pada wilayah pemukiman yang sama dengan kediaman keluarga penulis telah tinggal dan menetap selama lebih dari 40 tahun lamanya, maka (semestinya) sangatlah mengetahui dan melihat kondisi maupun situasi wilayah pemukiman tersebut setiap hari dan sepanjang tahunnya. Namun, alih-alih dapat membuat “penghakiman” terhadap pelaku, para warga justru melakukan “penghakiman” terhadap korban, sekalipun para warga tersebut melihat sendiri kondisi pemukiman tersebut berubah fungsi dari perumahan menjadi tempat usaha seorang pengusaha ilegal dengan kendaraan-kendaraan kurir pesanan sang pengusaha diparkir secara liar di depan kediaman keluarga penulis secara tanpa izin, selama bertahun-tahun dan terjadi setiap harinya dari pagi hingga sore hari, terutama kurir-kurir dengan kendaraan bermotornya yang mencapai ratusan kurir dalam sehari—dimana mereka yang justru lebih “galak” ketika ditegur oleh pemilik rumah.
Sanksi sosial merupakan garda terdepan untuk menangkal penyimpangan-penyimpangan dan perilaku ilegal dalam suatu lingkungan pemukiman. Namun, setelah penulis telusuri, terdapat daerah-daerah atau wilayah-wilayah tertentu yang komunitasnya seolah “tanpa aturan”, kontras terhadap komunitas sosial warga yang “ketat” alias “sarat akan peraturan yang dibentuk lewat konsensus antar warga dalam lingkup Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), terutama ketika fungsi pengawasan pemerintah sangat lemah dan tidak dapat diandalkan.
Kembali kepada fenomena sikap irasional yang pertama dari sebagian warga masyarakat kita, yakni agar seseorang warga bukan hanya tidak pernah mengganggu tetangga ataupun warga lainnya, namun harus berdiam diri selama bertahun-tahun dan selama-lamanya ketika hak-haknya selaku warga dan pemukim dilanggar—semata agar dapat dinilai sebagai “warga yang manis”, “sopan”, dan “tidak suka ribut”.
Telah lebih dari 40 tahun lamanya, keluarga penulis tinggal dan menghuni kediaman tempat penulis lahir dan bertumbuh besar. Selama 40 tahun itu pula, keluarga penulis tidak pernah merugikan, mengganggu, terlebih melukai warga atau tetangga lainnya. Namun, yang selalu keluarga penulis jumpai, ialah sikap irasional para tetangga. Sebagai contoh sederhana, alih-alih berterimakasih atas oksigen dan peneduhan dari pohon “mangga raksasa” yang tumbuh di atas lahan kediaman rumah penulis, para warga setempat justru memprotes daun-daun tua yang berguguran—sekalipun pada wilayah pemukiman tempat keluarga penulis menghuni, hanya pohon yang tumbuh di atas kediaman penulislah satu-satunya pohon yang dapat dijumpai merindangi dan memberikan oksigen untuk dihirup para warga setempat. Lantas, apa tanggapan para warga tersebut ketika berdebat dengan penulis, mereka menjawab : “Saya tak butuh pohon. Tanpa oksigen pun, saya bisa hidup!” Sangat meletihkan, berdebat dengan warga yang irasional.
Ketika terjadi alih fungsi pemukiman menjadi sebuah tempat usaha berskala besar oleh seorang pengusaha ilegal, yang pada gilirannya mengganggu keluarga penulis selaku salah satu pemukim yang kebetulan berada tepat berseberangan dengan tempat usaha sang pelaku usaha ilegal, alih-alih warga setempat menekan (memberi sanksi sosial) pihak sang pengusaha ilegal untuk menutup tempat usahanya karena berbagai mobil box, mobil kontainer, hingga ratusan kurir online yang dipesan olehnya untuk mengantar barang, justru lebih mahir mengkritik keluarga penulis selaku warga pemukim (korban) ketika bersikap tegas dan keras setelah bertahun-tahun lamanya terganggu oleh kendaraan-kendaraan yang diparkir liar oleh sang pengusaha “serakah” yang memiliki bangunan tempat usaha demikian luas namun tidak bersedia membangun tempat parkir secara patut dan layak untuk kepentingan usahanya, dan menjadikan jalan milik umum dan halaman rumah warga sebagai tempat parkir. Pihak RT, tetap saja memungut iuran kebersihan dari sang pengusaha, sebagai pertanda adanya kolusi antar otoritas warga dan sang pengusaha ilegal.
Alhasil, tiadanya tempat parkir yang patut dan layak, para kurir-kurir pesanan tersebut memarkir kendaraannya tepat di depan pagar kediaman keluarga penulis, sehingga keluarga penulis kerap terjadi pertengkaran dengan para kurir tersebut ketika kendaraan keluarga penulis tidak dapat keluar ataupun masuk ke dalam kediaman rumah keluarga penulis sendiri, terhalangi oleh kendaraan yang terparkir secara ilegal, dan hal demikian terjadi sepanjang hari dan menahun.
Apakah untuk dapat disebut sebagai “sopan”, maka seorang warga harus berdiam diri ketika hak-haknya dirugikan, tanpa boleh melakukan perlawanan? Apakah untuk dapat disebut sebagai “anak manis” atau “warga yang tidak suka ribut-ribut”, maka kita selaku warga harus berdiam diri saja selama bertahun-tahun ketika diperlakukan secara tidak patut meski sejatinya kita adalah korban yang selama ini dikorbankan oleh para pelanggar ataupun para pelaku usaha ilegal?
Sebagai penutup, satu fakta berikut dapat kita jadikan pelajaran, bahwa TIDAK SELAMANYA “SILENT IS GOLDEN”. Bila Anda memiliki sebuah kediaman, lalu seorang pemilik usaha warung atau usaha lapak lainnya membuka lapak tepat di depan rumah Anda, dan Anda biarkan tanpa melakukan perlawanan sengit dari sejak semula, maka ketika hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun lamanya, maka janganlah kaget, ketika suatu hari nanti Anda tidak lagi dapat “mengusir” sang pedagang / pelapak liar demikian, sekalipun halaman rumah Anda menjadi kumuh, kotor, dan menjadi tempat parkir liar kendaraan-kendaraan bermotor.
Singkat kata, jika bukan kita yang melakukan perlawanan, maka siapa lagi yang akan berjuang bagi kepentingan kita? Sementara itu, diri kita sendirilah yang paling bertanggung jawab atas setiap kepentingan kita, dan diri kita sendiri pulalah yang paling mengetahui situasi dan kondisi yang kita alami sendiri—apapun komentar dan kritikan orang lain, karena bukan merekalah yang mengalaminya sendiri secara langsung secara utuh bertahun-tahun dan bukan mereka pula yang menjadi korbannya.
Jika bukan kita sendiri yang melakukan perjuangan, maka siapa lagi yang akan bersedia berjuang bagi kita? Cukup dengarkan kata hati kita sendiri, karena hanya diri kita sendirilah yang mendapat konsekuensinya bila hal demikian terus kita biarkan tanpa perjuangan, bukanlah mereka yang hanya pandai “menghakimi” dan “berkomentar” yang menjadi korbannya dan mengalaminya.
Ketika hukum negara, pemerintah daerah, maupun sanksi sosial tidak dapat diandalkan karena tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka cukuplah bagi kita untuk mengandalkan dua hal berikut ini : perjuangan oleh diri kita sendiri, dan selebihnya biarkanlah Hukum Karma yang akan bekerja bagi kita dan akan selalu bersikap adil kepada setiap korbannya dalam membalas perbuatan para pelakunya. Permata tetaplah sebuah permata, apapun komentar orang lain terhadapnya. Si dungu menyatakan itu adalah seonggok batu tak berguna dan disia-siakan, sementara yang memahaminya akan menghargai permata tersebut, mengamankan, dan melindunginya.
Pada akhirnya, siapa yang paling merugi? Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang unggul, namun mereka semua kebanyakan disia-siakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, pada gilirannya tersisihkan dan memilih untuk berkarya dan berkontribusi bagi negara lain. Dunia tidak “selebar daun kelor”. Masyarakat yang bodoh, hanya diisi oleh orang-orang yang bodoh, jadilah negara yang bodoh—memang sudah selayaknya dan sepatutnya demikian, bukankah begitu?
Apakah kita harus terlebih dahulu menunggu “dizolimi” hingga menjelma menjadi “mayat”, baru dapat disebut sebagai “anak (yang) manis”? Bukankah, memang hanya seonggok “mayat” yang demikian “manis”—berdiam diri saja ketika disakiti, dirugikan, dan dilukai dengan kesabaran yang tiada batasnya. Kita adalah makhluk hidup, dapat terluka dan merasa sakit, juga dapat MENJERIT. Menjerit adalah hak asasi manusia, terutama ketika disakiti, terlebih bagi seorang korban.
Berdiam diri, kadang justru menjadi pintu masuknya bullying dan berbagai aksi tidak manusiawi lainnya. Mulailah untuk menanggalkan asumsi, bahwa masyarakat kita selalu memiliki kesadaran yang rasional, karena faktanya masyarakat kita senantiasa diliputi perilaku irasional, sebagaimana Kepala Daerah yang pernah terjerat pidana kasus korupsi, kembali terpilih sebagai Kepala Daerah dan ironisnya kembali terjerat tindak pidana korupsi yang sama untuk kedua kalinya terkait penyalah-gunaan jabatan yang sama ketika kembali terpilih oleh rakyat kita sendiri.
Itulah Bangsa Indonesia, selamanya dikodratkan tertinggal dari bangsa-bangsa ASEAN lainnya akibat perilaku irasional bangsanya sendiri yang jauh dari kata “berkualitas”. Siapa pun presiden atau kepala negaranya, bila rakyatnya sendiri masih kerap mempertontonkan sikap-sikap irasional, selamanya negeri ini dikodratkan menjadi bangsa yang terbelakang dalam berbagai aspek dan selalu tertinggal dari bangsa-bangsa yang telah beradab. Bukanlah satu atau dua cerita serupa telah penulis simak dari penuturan sejumlah pihak, yang memilih “hengkang” dari Indonesia yang mereka nilai “belum beradab”—dan kebenaran pengungkapan demikian relevan sekali adanya di Indonesia, dimana para rakyatnya mengaku bertakwa pada Tuhan dan ber-Tuhan, namun jauh dari sikap-sikap Tuhan-is terlebih Human-is.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.