Penyalahgunaan Kata PERMISI, Bukan Menjadi ALASAN PEMBENAR maupun PEMAAF terhadap Pelanggaran. Modus Penipuan oleh Naga Suyanto, Pengacara Gembel yang Lebih Hina daripada Pengemis Spesialis Tipu-Menipu TUKANG LANGGAR

ARTIKEL HUKUM
Pelanggaran adalah Pelanggaran, Melanggar adalah Melanggar, dan Pelanggar adalah Pelanggar. Jika Sudah secara Tegas Dilarang, Mengapa Masih Juga Melanggar dan Dilanggar? MENTAL PELANGGAR.
Melanggar adalah melanggar, pelanggaran adalah pelanggaran, dan pelanggar adalah pelanggar, terlebih : kesengajaan melanggar atas apa yang telah tegas dilarang, sama artinya “mencari penyakit sendiri”, dan disaat bersamaan melecehkan orang lain atau melanggar hak-hak orang lain atas apa yang telah disepakati sebelumnya maupun terhadap suatu “term and condition” suatu penyedia layanan / jasa ataupun barang.
Bila suatu jalan, telah diberi papan peringatan maupun marka dan rambu-rambu perboden, atau dilarang stop, atau berbagai perintah dan larangan lainnya, apakah mengucapkan “PERMISI” bisa menjadi “alasan pembenar” untuk melanggar dan menerobosnya ataupun menjadi “alasan pemaaf” untuk lolos dari sanksi dan ancaman hukumannya bagi pelanggaran yang dilakukan oleh sang pelanggar? Bila norma larangannya banyak, mungkin masih bisa dimaafkan dan ditolerir bila melanggar satu atau dua rambu larangan (manusiawi), namun bila larangan hanya terdapat dua buah, dan kedua norma larangan tersebut seketika itu juga dilanggar, maka apakah motif diri bersangkutan yang melanggarnya?
Ibarat seorang gadis yang kita temui dan jumpai di jalan, yang bahkan tidak saling kenal, jelas akan menolak “digauli” oleh pria asing yang berpapasan dengannya. Sekalipun jelas sang gadis akan menolak “digauli”, apakah dengan menggunakan dalil alibi kata-kata “PERMISI” menjadi alasan pembenar ataupun alasan pemaaf untuk “menggauli” sang gadis? Bila ada diantara kita yang memiliki asumsi demikian, maka itu sama artinya dengan PEMERKOSAAN dan PELECEHAN terhadap harkat dan martabat warganegara lainnya.
Jika sudah tegas-tegas dilarang dan diberi peringatan larangan, namun tetap juga seketika “belum apa-apa sudah dilanggar” dengan memakai dalil mengucap “permisi”, seolah menjadi alasan pembenar maupun pemaaf bagi si pelaku pelanggar, maka apakah motif ataupun niat batin si pelaku pelanggaran bila bukan itikad buruk dan arogansi sang pelanggar yang merasa “bebas” melanggar dan tidak menghormati hak-hak pihak yang dilanggar? Yang disebut dengan warga yang patuh terhadap hukum, ialah artinya tidak melanggar apa yang telah demikian tegas dilarang.
Semisal bila kita telah bersepakat menggunakan suatu jasa atau pembelian produk dengan “syarat dan ketentuan” yang ada, dan kita tetap juga membelinya, maka artinya kita telah bersepakat untuk tunduk pada syarat dan ketentuan yang berlaku, baik pihak penjual maupun pihak pembeli. Namun ketika salah satu pihak mencoba melanggarnya dengan memakai dalil “permisi”, itu sama artinya dengan WANPRESTASI—dan hanya seseorang bermental “tukang langgar” yang seketika melanggar dan melakukan serangkaian pelanggaran dengan berbagai dalih dan pembenaran diri. Orang manakah yang akan senang, bila hak-haknya dilanggar dan menjadi korban wanprestasi? Mengapa, dapat terjadi seseorang berasumsi bahwa orang lain akan dengan senang hati dilanggar hak-haknya dan dijadikan korban wanprestasi?
Sama ibaratnya dengan larangan dalam norma pasal-pasal pemidanaan, semisal larangan untuk mencuri dan merampok. Apakah dengan memakai alibi ucapan “permisi”, seolah menjadi kata-kata sakti untuk dibolehkan melanggar dan menerobos rambu-rambu larangan demikian dan menjadi “kebal” dari ancaman sanksi hukumannya? Hanya mereka yang bermental “TUKANG LANGGAR” yang memiliki karakter gemar melanggar dan melakukan berbagai pelanggaran (bahkan mendebat ketika ditegur akibat melanggar, sebagai upaya pembelaan dan pembenaran diri), bahkan tanpa rasa malu dan merasa bangga karena melanggar seolah sebagai prestasi bagi yang bersangkutan untuk mencetak berbagai pelanggaran demi pelanggaran.
Sebagai contoh konkret, bagi pihak-pihak yang berminat membeli eBook yang penulis tulis dan pasarkan dalam website ini, dalam invoice pemesanan selalu penulis cantumkan format “term and condition” singkat saja, sebagai berikut:
Untuk membeli ebook berbentuk “.pdf” yang dapat dibuka pada berbagai gadget seperti laptop, PC, maupun perangkat “tablet” (telah kami desain tidak menyakitkan mata pembaca pada layar digital), terdapat 2 hal yang perlu kami sampaikan:
1. Dengan melakukan pembelian, Pembeli berkomitmen agar Hak cipta, Hak Moril, serta HAK EKONOMI atas karya intelektual jirih-payah Bapak Hery Shietra, S.H. selaku penulis dihargai dan dihormati. Lisensi ebook bersifat “END USER AGREEMENT” HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Dilarang untuk digandakan ataupun disebarkan tanpa seizin penulis dengan maksud apapun. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Kami tidak akan menjualnya bila pihak pemesan tidak sanggup memiliki komitmen untuk menghargai Hak Cipta dari penulis.
2. Invoice ini adalah untuk pembelian ebook, bukan untuk layanan sesi tanya-jawab seputar hukum, konsultasi, ataupun sejenisnya.
(+62) 085272111711, pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” (nagasuyantosh@gmail.com) justru MELANGGAR KEDUA PERINGATAN SEBAGAIMANA TELAH TEGAS DILARANG DALAM INVOICE PEMESANAN EBOOK MAUPUN BERBAGAI PERINGATAN DALAM WEBSITE INI, dengan cara menyalah-gunakan email kerja penulis untuk keperluan pemesanan dan pembelian eBook, dengan agenda tersembunyi (ada udang dibalik batu) untuk memperkosa profesi penulis selaku konsultan hukum, dari semula “ingin belajar soal cara berpikir” lalu bertendensi menyerempet menjadi “tanya-tanya soal hukum”—ciri khas modus penipuan.
Secara ilmu hukum pidana, niat batin (mens rea) dapat ditarik kesimpulan petunjuknya dari berbuatan lahiriah seperti rangkaian kata-kata (actus reus), terutama dalam tindak pidana “penipuan”. Untuk menarik kesimpulan motif serta niat batin jahat dari pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”, yang bahkan tanpa memperkenalkan dirinya (betapa sopan diri yang bersangkutan, dimana dikemudian hari baru penulis ketahui setelah penulis melakukan investigasi, ternyata dirinya berprofesi sebagai kompetitor dari profesi penulis, yakni pengacara yang kerapkali juga juga menjual jasa konsultasi hukum sebagai ladang bisnisnya dalam merauk keuntungan ratusan juta rupiah dari masyarakat pengguna jasa hukum), mengirimi penulis rangkaian kata-kata berisi modus penipuan dengan keping-keping puzzle motif buruk dengan rincian sebagai berikut: (silahkan para pembaca analisa sendiri niat batin serta rangkaian tipu-muslihat dibalik keping puzzle kata-kata sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”), dengan kutipan sebagai berikut:
“pagi pak shietra, buku e-book yang ingin saya pesan adalah berjudul Hukum Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial.. Mohon ijin apakah bpak punya whatsapp agar dapat saya kirimkan gambar buku yang saya maksud. dan jika berkenan mohon agar kiranya bapak bisa menambah saya sebagai teman bapak shietra yang baik. Ini nomor hp saya ya palk 085272111711 (Naga Suyanto).” Apa hubungannya, antara memesan eBook dengan meminta nomor HP? Membeli eBook cukup melampirkan screenshot lewat email atau link url sebagaimana pembeli lainnya, dan buat apa juga meminta “menambah saya sebagai teman”?
“Karena saya sangat kagum dgn bpk konsep dan pola pikir bpk shietra...sya ingin belajar lebih banyak tentang cara pikir bpk shietra..  Trima kasij..” Mari kita garisbawahi kata-kata bersangkutan tentang “ingin belajar lebih banyak tentang cara pikir bpk shietra”. Puja-puji, rata-rata menjadi indikator pertama modus penipuan (infiltrasi perdana aksi tipu-muslihat). Sehingga, tentunya tidaklah boleh dirinya menyerempet soal ingin “belajar soal ilmu hukum” kepada profesi penulis yang sudah jelas sedang mencari nafkah dengan menjual ilmu hukum sebagaimana tegas dalam peringatan di website ini. Bila sampai ada gelagat atau indikasi “menyerempet”, itulah bukti konkret dirinya telah menyalah-gunakan nomor kontak dan email profesi kerja penulis sebagaimana akan kita temukan indikasi demikian pada pesan berikutnya dari yang bersangkutan.
“Selagi kita memiliki pikiran baik,  ucapan baik dan perbuatan baik maka hasil sudahlah pasti baik, ... Ibarat jika kita menanam padi maka akan tumbuh padi serta rumput pun akan tumbuh bersama padi.  (padi = positif / rumput=negatif) ... dan saya memegang prinsip hidup itu tidak boleh keras dan kita harus hidup lentur saja, ... Hidup kita ditentukan dari masa saat ini dan sekarang,  yang akan terjadi ditentukan dari apa yg kita lakukan saat ini. ... bpk shietra krn bpk org yg bijaksana.” Betapa dirinya terkesan seperti malaikat suci yang jujur dan polos bersih, mendorong penerima pesan untuk berdana ilmu kepada dirinya (infiltrasi fase kedua dari seorang master ahli tipu-muslihat manipulatif, ciri khasnya ialah lewat rangkaian kata-kata manis dan bijaksana). Mari kita simak kelanjutannya, dan dapat merangkainya menjadi satu kesatuan dengan pesan berikutnya di bawah ini.
“Telah diterima dengan baik e book pada email sebelumnha,  ... Beri saya waktu agar dapat baca dengan maksimal ya pak kerena mengingat jumlah halaman sebanyak 405.. Dengan melalui email ini juga pak,  saya mohon ijin utk ebook saya print dalam kertas recycle kantor saya .... Adapun tujuan saya print adalah sebagai bahan bacaan dan arsip perpustakaan pada kantor saya pribadi,  mohon agar kiranya bpk berkenan serta mengijinkan sya print. ... Sya menghargai go green dan mencintai bumi alam semesta ini pak.” Ketika penulis minta konfirmasi yang bersangkutan, apakah maksud dibalik kata-kata “Beri saya waktu agar dapat baca dengan maksimal ya pak kerena mengingat jumlah halaman sebanyak 405..”, dirinya tidak mampu menjawab. Peringatan dalam invoice hanya berupa dua buah “term and condition”, namun seketika itu juga kedua larangan demikian dilanggar oleh yang bersangkutan (lihat kembali “syarat dan ketentuan” dalam invoice di atas maupun pada berbagai peringatan dalam website ini maupun tendensi dan gelagat sang pelanggar dalam pesan-pesan sebelumnya.
 Sekalipun telah tegas dilarang dalam “term and condition” dalam website maupun invoice, dimana hal tersebut tidak perlu lagi ditanya maupun untuk penulis jawab, dengan sangat terpaksa penulis harus memberi balasan pesan sebagai berikut: “Yang penulis jual adalah eBook, dan yang Bapak beli adalah eBook. Sudah dicantum dalam term and conditon invoice, bukan untuk tujuan kantor ataupun perpustakaan, mengapa masih Anda langgar? Bila tidak setuju, mengapa membeli? Pak Naga tidak perlu minta waktu untuk membacanya, karena itu tiada sangkut paut dengan penulis. Seperti yang telah tegas peringatan pada web maupun invoice: hanya klien pembayar tarif yang berhak konsultasi seputar hukum. Melanggar, ada sanksinya.”
Sang Pelanggar kembali memberi pesan dalil pembenaran diri yang selalu berkelit dan berkilah: “Baik pak, jika tidak diijinkan tidak saya print. Sebelum melakukan hendaklah permisi dahulu.” Dirinya menggunakan teknik apa yang disebut sebagai “jebakan mental”, dimana bila penulis tidak bersedia repot-repot untuk menyatakan keberatan atas kedua pelanggaran yang seketika dilakukan olehnya, sekalipun invoice telah tegas melarang, maka oleh yang bersangkutan akan dimaknai seolah sebagai pembenaran untuk diri yang bersangkutan melanggar berbagai peringatan dalam invoice. Yang sudah tegas dilarang, untuk apa juga masih ditanyakan selain menjadi motif modus itu sendiri?
Penulis terpaksa menanggapi kembali, bahwa penulis melihat dari gelagat yang bersangkutan, penulis mencium “bau amis”. Ucapan dan perilaku Anda, sebaiknya sinkron, agar tidak menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri. Pemisi? Sudah tegas dilarang dalam invoice, mengapa masih perlu permisi? Melanggar tetaplah melanggar, seseorang tidak perlu minta izin untuk melanggar. Pelanggar adalah pelanggar. Penulis menambahkan : “Karena Anda terus berkelit, sekarang saya tanya anda apa maksud anda berkata: ‘Beri saya waktu agar dapat baca dengan maksimal ya pak kerena mengingat jumlah halaman sebanyak 405..’ makna implisitnya sudah sangat jelas sekali, plus pesan2 anda sebelumnya, tendensinya, lagi2 untuk melanggar peringatan dan larangan syarat serta ketentuan baik di website maupun di invoice, mulai dari meminta nomor, tendensi ’ingin belajar’, hingga berbagai keping puzzle kata2 anda telah saya rangkai. Semiskin itukah anda, sampai2 melampaui hinanya seorang pengemis, dimana seorang pengemis saja tidak sampai merampok nasi dari piring profesi orang lain? Pengemis mana, yang punya masalah hukum terlebih masalah tenagakerja? Sekarang saya tantang anda untuk berdebat, semiskin itukah anda, sampai2 fee konsultasi saya yang tidak seberapa harganya, tetap membuat anda merancang modus sedemikian culas, dibumbui segala tipu muslihat dan pengingkaran (duplikasi perbuatan tercela, mulai dari niat buruk, berbohong, penipuan) dengan maksud untuk memperkosa profesi seorang konsultan? Pengemis, bahkan masih lebih mulia dari anda yang mencari kemewahan dengan cara merampok nasi dari piring profesi orang lain. Sikap anda, membuat anda tampak lebih hina daripada seorang pengemis. Semiskin itukah anda, sampai2 merancam modus yang demikian apik untuk memerkosa profesi orang lain? Selama ini anda makan dari uang hasil merampok nasi dari piring orang lain? Semiskin itukah anda? Atau, semurah itukah harga diri anda? Atau, semurah itukah nilai kejujuran diri anda? Saya bisa baca pikiran anda, silahkan berkelit, agar dapat ungkap lebih banyak lagi wajah anda. Dari sejak anda minta nomor HP dan grub saya saja, sudah bisa saya baca isi kepala anda. Grub? niat dibalik itu ialah untuk memerkosa secara terselubung, tidak lain tidak bukan. Jika anda menemukan tanda perboden, tetap juga mau anda langgar pakai alibi ‘permisi’? Anda tahu definisi pemerkosaan? Gadis tidak ingin digauli, lalu anda minta izin menggauli sang gadis dengan memakai segala tipu daya? Anda pandai sekali merancang modus, semua kata2 anda penuh tipu muslihat. Semurah itukah nilai diri anda? Apakah anda bangga, dapat memanipulasi orang lain lewat cara2 rendah demikian? Anda sendiri yang merendahkan martabat anda secara lebih hina daripada seorang pengemis. Semua orang yang saya tunjukkan puzzle kata2 anda, akan tahu niat dibalik kata2 anda semua itu. Anda tahu maksud kata2 saya tentang orang yang ‘tidak logis’? Tanpa anda sadari, akibat keserakahan anda sendiri, bahwa saya sedang menyinggung tentang anda. Konsultan yang begitu bodohnya dapat anda bodohi, artinya itu konsultan dungu. Opini hukum konsultan dungu semacam itukah yang hendak anda cari dan makan? Orang yang patuh hukum artinya, tidak sengaja melanggar, anda justru SENGAJA melanggar. Anda tahu salah, tetap saja melanggar.”
Namun, dengan sengit dirinya kembali berkilah : “jika bpk mampu memanfaatkan kelebihan lbh positif utk org byk tnpa memandang keakuan maka alangkah lebih mulia pak.” Baiklah, jika begitu, dirinya sendiri yang harus membuktikan, jadilah pengacara yang hanya menerima tarif fee jasa advokasi hukum berupa “batu” dari para kliennya, bukan berupa uang. Bila dirinya selama ini ternyata memungut dan mensyaratkan tarif jasa pengacara bagi masyarakat pengguna jasanya selaku pengacara, berarti dirinya MUNAFIK, “mata duitan”, serakah, dan hanya pandai “bersilat lidah”. Sejak kapan, mencari nafkah secara legal dan memungut imbalan jasa adalah hal yang tidak mulia? Bahkan Konstitusi RI saja menyatakan mencari nafkah dan menuntut imbalan ialah hak asasi manusia. Mengapa tidak dirinya saja, yang bekerja bagi kepentingan penulis sesuai profesi yang bersangkutan, agar keluarga dirinya tewas “makan batu”, alih-alih menuntut agar orang lain melayani dirinya tanpa mau dibebani kewajiban membayar tarif jasa layanan?
Sekalipun membuang-buang waktu produktif, penulis dengan terpaksa kembali menanggapi : “Bisnis adalah bsinis, saya punya hak mencari nafkah, dan anda TIDAK PUNYA HAK UNTUK MEMPERKOSA PROFESI ORANG LAIN YANG SEDANG MENCARI NAFKAH. Anda sudah melewati batas, dengan memutar balik fakta dengan kata2 tersebut, Anda LAYAK DIJATUHI SANKSI SESUAI APA YANG SENGAJA ANDA LANGGAR. Biar masyarakat yang menilainya, apa maksud dibalik semua puzzle kata2 Anda.” Namun tetap saja yang bersangkutan berkelit dan terus saja berkilah, sembari kembali terus mengemis agar tidak diberi sanksi yang sejatinya “you asked for it”.
Telah begitu banyak hingga tidak terhitung lagi pengorbanan penulis untuk menghadirkan publikasi ilmu hukum pada website ini, dari segi waktu, tenaga, hingga biaya, sehingga alih-alih berterimakasih, pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” justru membalas air susu dengan perkosaan terhadap profesi penulis, lengkap dengan kesengajaan untuk melanggar, ditambah tipu-muslihat yang sangat licik dan tidak manusiawi—perilaku yang bahkan lebih hina daripada seorang pengemis, dimana seorang pengemis tidak mencari makan dari merampok nasi dari profesi orang lain. Semudah itu meminta maaf dan dimaafkan, selain tidak mendidik, juga artinya tidak adil bagi hidup penulis secara pribadi dan tidak adil juga bagi keluarga yang butuh nafkah dan yang sejauh ini telah membiayai sekolah penulis.
Hanya untuk tarif “tidak seberapa” atas jasa konsultasi penulis yang sudah jelas sedang mencari nafkah dari layanan jasa tanya-jawab seputar hukum maupun pemberian ilmu hukum seperti training dan seminar seputar hukum, namun pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” lebih memilih untuk mengikuti dorongan “keserakahan” (asal muasal “mental pengemis”) serta “nafsu birahi”-nya untuk seenaknya memperkosa profesi penulis alih-alih membayar tarif jasa konsultasi seputar hukum untuk kepentingan profesi advokat diri sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”.
Apakah selama ini, pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” dibayar oleh kliennya dengan imbalan jasa berupa “batu” dan “makan batu”? Atas dasar hak apa bagi dirinya untuk menuntut agar orang lain “memakan batu” sementara dirinya sendiri ingn hidup mewah berkelimpahan fee advokat ratusan juta rupiah hasil “mencuri ilmu” dari profesi konsultan?
Apakah sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” mendapat gelar Sarjana Hukumnya dengan membayar biaya kuliah dengan “batu”? Mengapa pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” tidak mencari saja babysitter yang sudi diberi makan batu untuk setiap harinya mengganti popok bersangkutan, alih-alih memperkosa profesi orang lain dan meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif jasa SEPERAK PUN? Sudah jelas penulis sedang mencari nafkah dari menjual jasa ilmu hukum. Masih ditanya? Yang sudah jelas dilarang, maka dijawab ataupun tidaknya oleh pihak korban terlanggar atas dalil “permisi” sang pelanggar, tetap saja melanggar sebagai sebuah pelanggaran, dimana pelakunya disebut sebagai seorang pelanggar.
Sekujur website ini telah demikian tegas memberi peringatan, sebagaimana dapat para pembaca saksikan sendiri, mulai dari bagian header website, batang tubuh website, hingga footer website, dipenuhi peringatan tegas bahwa profesi penulis dalam mencari nafkah ialah sebagai konsultan hukum, dan hanya pembayar tarif jasa yang berhak untuk meminta ilmu hukum dari penulis—lengkap dengan ancaman sanksinya bagi pelanggar yang mencoba menyalah-gunakan email profesi maupun nomor kontak kerja penulis. Sehingga, adalah sebuah kebohongan konyol dengan menyatakan ketidak-tahuan, seolah penulis adalah anak kecil yang mudah mereka bodohi. Anak kecil pun, akan tahu bahwa penulis sedang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab serta ilmu pengetahuan.
Hanya untuk menghindari beban tarif konsultasi yang tidak seberapa harganya, pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” lebih memilih menggadaikan harga dirinya untuk mencuri nasi dari piring profesi penulis, lewat modus tipu-daya dan rangkaian tipu-muslihat yang sangat licik dan manipulatif disamping karakter munafik yang sangat kental pada berbagai lontaran kata-kata pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”. Pengacara, namun gemar melanggar dan bermental layaknya seorang pengemis penuh tipu-muslihat.
Ternyata, serendah dan semurah itulah nilai harga diri seorang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”. Ternyata, serendah dan semurah itulah nilai kejujuran seorang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”. Ternyata, serendah dan semurah itulah karakter seorang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”. Semiskin itukah, seorang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” seolah dirinya selama ini diberi makan “batu” oleh para kliennya yang berdasarkan penelusuran penulis, sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” banyak membela bajingan-bajingan kriminal (sesama penipu) dalam perkara pidana penggelapan dan sebagainya. Bila pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” tidak kompeten dibidang jasa layanan profesi hukum, maka mengapa dirinya tidak “mati” saja alih-alih memperkosa profesi konsultan hukum dan menjadikan profesi orang lain sebagai babysitter guna mengganti popok jorok diri sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”?
Penipu yang mengaku-ngaku sesuci malaikat, itulah tipikal karakter pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” (bukanlah asal menuduh, penulis memiliki arsip email dari pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” ini, dan penulis siap berperang secara hukum baik pidana maupun perdata terhadap sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”, dan kembali penulis tantang yang bersangkutan lewat artikel testimoni dari penulis ini).
Apakah penulis merendahkan harkat dan martabat sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”? Sama sekali tidak, penulis hanya memberikan sebuah testimoni atas pengalaman yang penulis pribadi alami selaku korban dari sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”. Sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” itu sendiri, yang demi mengelak dari tarif konsultasi yang tidak seberapa harganya, telah merendahkan dirinya sendiri hingga serendah lebih hina daripada seorang pengemis. Seolah, sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” tidak dapat mencari sesuap nasi untuk makan tanpa merampok nasi dari piring milik profesi orang lain.
Pengemis manakah yang memiliki masalah hukum, masalah tanah, terlebih masalah ketenagakerjaan? Sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” bukanlah tunawisma yang butuh mengemis ilmu hukum dari kalangan profesi konsultan, namun mencoba merampok ilmu milik penulis selaku konsultan hukum demi KEPENTINGAN BISNIS DAN KEUNTUNGAN PRIBADI PROFESI SANG PENGACARA PENGEMIS PENIPU BERNAMA “NAGA SUYANTO YANG SUDAH PUTUS URAT MALUNYA. Dirinya sedang berbisnis dibidang layanan jasa hukum (bahkan sejatinya merupakan kompetitor dari bisnis milik penulis), maka mengapa ketika menghubungi penulis, seolah dirinya adalah seorang pengemis yang butuh mengemis ke lembaga sosial?
Mengajari ilmu pengetahuan hukum bagi sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”, sama artinya mengajari dan membuat pintar seorang PENIPU MUNAFIK TUKANG LANGGAR yang hanya pandai MENIPU LEWAT TIPU MUSLIHAT & MEMPERKOSA PROFESI KONSULTAN HUKUM. Saran akhir dari penulis bagi sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”, yang Anda butuhkan ialah seorang babysitter yang sudi diberi makan “batu” untuk setiap harinya mengajari cara mengganti popok kotor jorok sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”.
Entah mengapa, sebagian besar penyalah-guna nomor kontak maupun email profesi kerja penulis maupun pihak-pihak yang melanggar peringatan dalam website profesi penulis ini, justru rata-rata berlatar-belakang profesi pengacara / advokat, sekalipun mereka bergelar Sarjana Hukum, namun faktanya kerap melanggar dan merasa “bebas” melanggar serta melanggar hak-hak warganegara lainnya.
Tahu hukum, tahu larangan dan peringatan yang ada, tahu pula ancaman sanksi hukumannya, namun tetap juga dilanggar (bahkan belum apa-apa sudah melanggar secara masif tanpa rasa malu terlebih rasa bersalah), itulah yang penulis sebut sebagai mental “TUKANG LANGGAR” dan “TUKANG PERKOSA” sebagaimana cerminan watak sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto” yang lebih cocok diberi gelar “Sarjana Gembel TUKANG LANGGAR”.
Artikel ini adalah TESTIMONI dari penulis selaku KORBAN, dimana korban berhak untuk menyuarakan pengalamannya atas perbuatan sang pelakunya—membungkam korban, artinya membungkam kebenaran. Besar harapan penulis, agar tidak jatuh korban-korban serupa akibat perbuatan sang pelaku pelanggar, sehingga dengan ini agar masyarakat dapat bersikap waspada dan berhati-hati terhadap sang “yang belum apa-apa sudah melanggar”, sang pengacara Pengemis Penipu bernama “Naga Suyanto”. Seolah, penulis tidak berhak untuk bekerja mencari nafkah secara tenang dan damai tanpa gangguan dari para predator demikian, dari para tukang langgar dan tukang perkosa profesi konsultan demikian. Mencari nafkah secara jujur dengan keringat sendiri adalah mulia, HANYA MENCARI MAKAN DENGAN MENGEMIS TERUTAMA MERAMPOK NASI DARI PIRING ORANG LAIN BARULAH PATUT DISEBUT BIADAB. Seolah, dan sejak kapankah mereka merasa memiliki hak untuk mengganggu dan memperkosa profesi orang lain yang sedang mencari sesuap nasi secara legal?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.