ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini kalangan profesi Akuntan yang bergelut dibidang disiplin ilmu akutansi, dikejutkan oleh kabar berita bahwa profesi Akuntan diprediksi akan akan segera tergantikan oleh “robot” alias pemrograman akutansi yang canggih dan otomatisasi. Tampaknya, yang akan lebih dahulu menuju “kepunahan”, ialah profesi-profesi lain diluar profesi hukum.
Profesi hukum, lebih menyerupai profesi “berseni”, seni merangkai kata, merancang strategi langkah hukum, dan seni untuk “maju dan mundur”—tidak pernah praktik hukum kita berjalan linear seperti angka-angka pada akutansi. Adil atau tidak adil, terletak pada satu ranah dengan “selera”, yakni sifat subjektivitas. Menafikan peran keadilan dan citarasa keadilan, sama artinya menjauhkan praktik hukum dari esensi dan tujuan atau final goal-nya itu sendiri. Itulah dilematika yang harus kita akui dan hadapi. Tidaklah dapat kita menutup mata dari fakta empirik demikian.
Kini, penulis akan menguraikan secara lugas mengapa profesi hukum tidak akan pernah tegerus oleh waktu maupun kecanggihan teknologi komputerirasi—baik di masa kini, maupun dimasa mendatang. Hukum, lebih cenderung masuk dalam ranah “subjektivitas”, sementara hanya ranah disiplin ilmu yang murni “objektivitas” yang dapat dimasuki otomatisasi kecanggihan teknologi digital. Itulah kabar baik yang mungkin paling menggembirakan bagi kalangan profesi hukum di seluruh dunia.
Hal “subjektif”, sifatnya tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi yang berbasis pemograman, sekalipun itu sebuah “AI” (artificial intelligence, atau “kecerdasan buatan”). Bagi mereka yang pernah berdiskusi dengan pakar AI, pasti tahu betul cacat dan kelemahan konsep AI—sama sekali tiada unsur “kecerdasan” dibalik sebuah AI, selain sekadar dinamakan demikian saja.
Salah satu contoh kecerdasan buatan yang saat kini populer kita gunakan—namun tidak pernah kita sadari—ialah Google Translate. Apakah menurut Anda Google Translate dimasa mendatang akan dapat benar-benar menggantikan profesi penerjemah? Terlampau sering pengguna Google Translate mengetikkan “dia cantik” sebagai “she is pretty”, maka ketika ada seorang pria yang terlihat feminis, tetap saja Google Translate akan menyebutnay sebagai “she is”. Nasib yang sama berlaku bagi wanita yang maskulin, “he is tomboi”.
Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan mengambil contoh sederhana saja, sebagai ilustrasi dan representasi wacana serta tema utama bahasan pada kesempatan kali ini. Alkisah, pada suatu ketika di masa mendatang yang canggih dan lebih modern, dimana kecanggihan robot membawa malapetaka bagi manusia yang lebih banyak menganggur dan menjadi pengangguran, “sekaleng” robot menjadi hakim yang menyidangkan perkara gugatan perdata dimana penggugat mempersengketakan sebuah guci yang dirusakkan oleh pihak tergugat.
Namun, sebelum sempat sang hakim menjatuhkan putusan, ketua Mahkamah Agung membuat kebijakan radikal-revolusioner, yakni mengganti seluruh jajaran hakim di pengadilan dengan sebarisan kaleng “robot”. Alhasil, sang robot duduk di bangku singgasana hakim yang menyerupai “hakim” yang “diktator” (ketika robot menghakimi manusia, mungkin itulah judul novel yang akan kelak penulis terbitkan, semoga banyak peminatnya), dengan membuat amar putusan dengan nada suara “dingin” dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Ah, hanya guci tua semata, barang rongsok. Jadi sampah yang mengumpulkan debu saja di rumah. Di pasar juga banyak yang jual guci baru yang lebih keren, hanya seharga 50.000 perak sebuahnya. Mengapa cengeng sekali si Penggugat satu ini. Buang-buang waktu dan energi baterai saya saja, seolah-olah tidak punya pekerjaan lain.”
Sang Penggugat menjerit dan memekik begitu kerasnya di ruang persidangan, “Dasar robot gila! Ini guci peninggalan Dinasti Sailendra yang begitu bernilai dan tidak ternilai harganya, dibilang guci rongsok? Kamu itu yang kaleng rongsok!”
Sang “hakim” robot ternyata bisa juga marah dan tersinggung. “Anda telah menyinggung dan melecehkan martabat hakim, contemp of court! Anda dipidana penjara karena telah menghina saya! Robot juga bisa sakit hati! TOK TOK TOK!!!”
“Robot gila! Robot gila!...” pekik Penggugat sembari diseret satpam yang juga robot-robot tak berperasaan. Rezim robot yang kemudian berkuasa atas manusia, menjadi sebentuk penindasan oleh tubuh robot yang dingin, dan sikap robot yang tidak kalah dinginnya. Itukah yang Anda harapkan?
Hakim, dalam berbagai wacana, hendak digantikan oleh robot karena hakim “manusia” dinilai terlampau subjektif dalam menilai dan memutus suatu perkara. Andaikan itu benar dan dijadikan hipotesis paling utama yang patut kita banggakan, maka wanita-wanita yang menjadi kalangan korban tindak pidana asusila-lah, yang pada gilirannya paling akan melakukan protes dan demonstrasi keras menentang diktatoriat para hakim robot—mungkin juga kelak parlemen akan diisi oleh robot-robot yang bertugas membentuk undang-undang.
“Ah, tidak logis tuntutan ini, mana mungkin seseorang dipidana penjara hingga kebiri hanya karena menggauli seorang gadis? Mengapa juga harus berkeberatan, bukankah memang itu fungsi ovarium, untuk menghimpun sel sperma dari pria?” demikian tutur si robot, yang logikanya ternyata benar-benar objektif sehingga tidak dapat menyerap unsur implisit dan metafisika dari kehidupan umat manusia. “’Anu’ saya saja bisa digantikan dengan onderdil serep cadangan, terlampau cengeng itu si korban pelapor. Sungguh kasihan si terdakwa ini.”
Lalu tutur sang Jaksa Penuntut Umum yang juga terbentuk dari “kaleng” robot, menanggapi keluhan sang hakim “robot” (yang ternyata bisa juga “mengeluh”): “Pak Hakim bisa saja bercandanya. Eh, ngomong-ngomong harus saya panggil Bapak Hakim atau Ibu Hakim ya? Kok tak jelas gender-nya? Saya juga bingung, mengapa manusia harus malu-malu? Kucing dan anjing saja bersetubuh di jalan tanpa rasa malu. Mengapa juga manusia harus malu-malu dan menutupi tubuhnya dengan baju? Memang sungguh tak logis, para manusia yang telah menciptakan kita, kaum robot jenius cerdas yang tidak pernah bisa salah ini.”
Jangan bayangkan hakim yang baik haruslah sebentuk robot yang sedemikian objektif, sampai-sampai tidak mampu berpikir subjektif. Bahkan, sosok imajinatif rekaan semacam Doraemon saja, digambarkan oleh tokoh penciptanya di layar kaca televisi sebagai demikian subjektif—semisal menyukai dan tergila-gila pada kue Doreyaki, dan kadang bisa juga nakal bersama Nobita.
Karena itulah, hakim yang “dingin” perasaannya saat memeriksa dan memutus suatu perkara, sangatlah menyerupai sebuah “robot” bersosok manusia. “Subjektivitas” di sini dimaknai sebagai mampu memahami dan berempati terhadap perasaan korban pelapor maupun alasan gugatan pihak penggugat, mengingat yang saling bersengketa bukanlah sang hakim, namun semata pihak Penggugat melawan Tergugat, dan Jaksa Penuntut melawan Terdakwa. Fungsi hakim, bukan memutus untuk dirinya sendiri, itulah fungsi perantara / mediasi lewat sosok seorang mediator ataupun hakim. Bersikap netral dan objektif, tidak harus dimaknai mematikan unsur “subjektivitas” seorang hakim untuk mampu merasa dan berempati.
Contoh, misal seorang hakim yang hanya mampu melulu memerhatikan “selera” dirinya sendiri, tanpa mau memahami perasaan korban pelapor, bisa jadi akan berkomentar “dingin” seperti berikut ini di persidangan perkara pidana tindak asusila. “Korban pelapor, wajah Anda sungguh jelek dalam persepsi selera pribadi saya. Saya hanya menyukai gadis berambut lurus dan berkulit putih. Anda sebaliknya, sama sekali tak sesuai selera saya. Masih untung ada yang mau menyentuh Anda, bagaimana jika Anda tidak laku sama sekali, barulah Anda berhak untuk protes.”
“Hakim Gila!”
“Lancang, contempt of court!”
Sekarang kita beralih pada bahasan yang sedikit lebih serius, agar perut Anda tidak “mules” mendapati kegilaan sang robot yang super jenius ini. Hakim “robot” akan mudah “dikadalin” oleh konsultan maupun kalangan lawyer yang paham betul bermain dalam tataran “celah hukum” dimana ranah aturan hukumnya masih “abu-abu” (grey area). Paling “banter”, sang hakim “robot” akan berkomentar dengan bahasa robotnya yang kaku dan dingin diplomatis:
“Sialan, aku sudah ‘kecolongan’. Tapi jangan salahkan saya, salahkan saja programmer tolol yang telah menciptakan robot tolol semacam saya. Alert! Alert! Baterai hampir habis. Mohom masuk dalam mode pengisi daya. Hibernasi dimulai.”
Di tempat terpisah, sang programmer kemudian “bersin”, meski ternyata sang programmer juga adalah sesama sekaleng robot. “Mengapa mengkambing-hitamkan saya? Saya juga robot.” Ternyata robot juga bisa “bersin”!
Analisa hukum yang tajam, mampu membuat yang “benar jadi salah”, dan yang “salah jadi benar” (teknik demikian benar-benar ada adanya, bukan hisapan jempol dan juga bukan mitos). Konsultan maupun lawyer yang mumpuni, sangat kompeten dalam ranah bermain logika, sehingga sangat terampil dalam permainan logika hukum semacam itu.
Mengajak hakim “robot” bermain dalam tataran logika demikian, sama artinya membuat sang robot akan mengalami “overhead” karena processor-nya bekerja demikian keras memproses input logika yang tidak akan pernah mampu dipahami oleh sang robot (bug), sampai akhirnya mengalami ERROR, dan rusak. Pada gilirannya, sang konsultan dan pengacara itulah yang akan tertawa terbahak-bahak melihat kepala sang hakim robot mengepulkan asap hitam, mulai “mencerau” sendiri, sampai akhirnya “konslet”.
Bagi robot, salah adalah salah, benar adalah benar, tiada dan tidak boleh ada rona “abu-abu” seperti “salah tapi benar” ataupun “benar tetapi salah” atau “asli tapi palsu”. Bagi sekaleng robot, “asli ya asli”, “palsu ya palsu”, “kucing ya kucing”, bagaimana mungkin bisa ada “serigala berbulu domba”? Itulah yang dikenal sebagai, “logika biner”.
Baiklah, mari kita anggap programmer di masa depan berhasil menemukan rumusan algoritma rahasia yang mampu membuat sebuah robot memiliki pula “subjektivitas”. Namun apa yang kemudian terjadi? Semula, robot digadang-gadang akan mampu menggantikan hakim “manusia” yang kerap tertangkap-basah melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Namun, subjek atau akar dari KKN ternyata ialah “subjektivitas” seorang manusia itu sendiri.
Menempatkan “subjektivitas” khas manusia kedalam kepala sekaleng robot, sama artinya “sama saja bohong” menggantikan hakim manusia dengan sekaleng robot. Sungguh tidak terbayangkan, sekaleng hakim robot tertawa terkekeh-kekeh sembari mengibas-ngibaskan kipas dari lembaran-lembaran uang dollar di balik meja kerjanya. Mungkin kelak pun akan ada penjara khusus robot, dan akan pula digodok konsep “hak asasi robot”, karena robot juga bisa “sakit hati” (subjektif). Bisakah Anda bayangkan dan imajinasikan oleh fantasi terliar Anda, sekaleng robot terkekeh-kekeh mengipaskan kipas uangnya sembari ditemani oleh sekaleng robot seksi? Hehehe... Eherm, mari kita kembali pada topik semula.
Menurut laporan yang sempat dilansir oleh Oxford terhadap bidang profesi yang rentan tergantikan oleh robot, salah satunya disebutkan profesi seperti ahli hukum, akuntan, dokter bedah, pekerjaan yang berhubungan dengan merakit seperti industri mobil dan elektronik. Yang masih “kebal” digantikan oleh robot, disebutkan seperti desainer (arsitek, ahli seni grafis), insinyur, psikolog, serta suster perawat. Suster dinilai paling “kebal” terhadap pergantian robot, karena merawat membutuh “sentuhan” manusia.
Pertanyaannya, bukankah sudah sejak semula, penulis membuat penegasan, hukum adalah ilmu tentang “seni” dan berseni. Mereka yang telah mencicipi asam-garam profesi hukum dan berkecimpung dalam praktik hukum, memahami betul makna pernyataan penulis tentang “seni” berhukum. Menulis surat gugatan, sebagai contoh, dibutuhkan kreativitas dan “sentuhan” manusia. Menuliskan amar putusan dan pertimbangan hukum, apakah tidak membutuhkan “sentuhan” manusia?
Apakah juga beda antara profesi arsitek serta insinyur maupun psikolog dengan para profesi hukum sekarang ini? Apakah hanya penulis, yang tidak mampu melihat letak perbedaannya? Adakah profesi hukum kita yang tidak menggunakan sentuhan “seni” dan kreativitas untuk merancang, merakit argumentasi hukum, maupun menjalankan layanan sesi konseling hukum?
Sang hakim “robot” kini diutus untuk menyidangkan perkara gugatan perdata perceraian. Sang hakim “robot” kembali membuat ulah : “Apa itu cinta? Bagaimana juga bisa mungkin terjadi, 1 ditambah 1 sama dengan tiga atau bahkan menjadi empat (beranak-pinak)? Rupanya ada yang tidak beres dengan dunia manusia. Mengapa pria harus berambut pendek dan wanita harus berambut panjang? Mengapa pria tidak boleh memakai sepatu high heel? Bukankah bagus, jika pria juga boleh memakai lipstik? Jika sesama wanita boleh bergandengan tangan, mengapa sesama pria tidak boleh? Kenapa juga presiden tidak boleh dipilih oleh MPR, bukankah MPR adalah wakil dari rakyat?”
Akhir kata, mari kita heningkan cipta sejenak bagi kalangan profesi diluar profesi hukum. Artikel ini tidak bermaksud menertawai profesi diluar hukum. Namun sebagai refleksi kita bersama untuk menyikapi kemajuan teknologi dan zaman yang tidak dapat kita bendung ataupun pungkiri. Hanya persoalan waktu, dan kalangan profesi hukum yang tidak berinovasi dalam layanannya pun pada gilirannya akan tergeserkan oleh teknologi, suka atau pun tidak suka.
Sekarang ini sudah terlihat maraknya (tren baru) gugatan oleh masyarakat awam tanpa menggunakan jasa seorang pengacara. Survival of the fittest bukan dimaknai sebagai mereka yang kuat, namun mereka yang mampu beradabtasi-lah yang mampu bertahan dari gerusan zaman yang kian keras persaingannya ini. Zaman sekarang ini, siapa yang tidak dapat mengakses peraturan perundang-undangan, maupun format surat gugatan?
Namun, tetap saja ada hal-hal tertentu yang hanya dikuasai keterampilannya oleh kalangan profesi hukum, yakni keterampilan analisa hukum. Sebaliknya, mereka yang sebelumnya hidup berkelimpahan karena memonopoli akses terhadap peraturan perundang-undangan maupun format baku surat gugatan, kini mulai berangsur-angsur tergerus oleh perubahan zaman lewat digitalisasi medium internet.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.