Norma Hukum Bentukan Preseden (Praktik ‘Best Practice’ Peradilan) Bersifat Retroaktif, namun Mampu Menutup Celah Hukum

ARTIKEL HUKUM
Semua “preseden” (norma hukum yurisprudensi bentukan best practice praktik peradilan) selalu bersifat retroaktif (berlaku surut) adanya. Dengan demikian, apakah keberlakuan asas retroaktif dalam norma hukum bentukan “preseden” demikian, adalah melanggar ketentuan konstitusi perihal hak asasi manusia? Membiarkan praktik hukum dalam masyarakat tanpa adanya peran “preseden sebagai faktor pembentukan hukum nasional”, justru akan lebih melanggar konstitusi, mengingat “preseden” seringkali dibutuhkan sebagai tuntutan nyata praktik peradilan untuk dibentuk dan diterapkan demi menawarkan kepastian hukum bagi masyarakat, dengan menghindari “chaos” akibat ketiadaan norma hukum yang mengatur suatu perbuatan ataupun peristiwa hukum.
Tanpa penulis pungkiri, betul bahwa sifat keberlakuan “preseden” yang retroaktif saat pertama kali dibentuk dalam praktik peradilan, memang bersifat berlaku surut bagi tergugat maupun bagi seorang terdakwa—karena sebelumnya tidak ada aturan semacam itu yang diatur oleh regulator. Karena itulah hukum pidana menerapkan “asas legalitas” secara tegas dan ketat, mengingat “asas retroaktif” dinilai akan melukai “asas keadilan” bagi masyarakat. Namun, tanpa adanya kepastian hukum, maka dapat dipastikan tiada pula keadilan hukum, sama sekali.
“Asas legalitas” itu sendiri, yang sangat dibangga-banggakan oleh kalangan akademisi hukum pidana di Indonesia, ternyata memiliki kelemahan berupa “cacat bawaan lahir” dari segi teoretis maupun falsafahnya. Betapa tidak, “asas legalitas” ternyata bertopang pada fondasi rapuh bernama “argumentum a contrario”—yang bila diterjemahkan artinya bermakna sebagai : apa yang tidak dilarang, artinya dibolehkan untuk dilakukan. Terdapat potensi ancaman moral hazard dalam pemberlakuan “asas legalitas” secara kaku dan membuta—terlebih ketika undang-undang pidana bersangkutan telah berusia “sangat ketinggalan zaman”.
Mengapa fondasi demikian, sejatinya demikian rapuh? Karena “asas legalitas” berdiri pula pada asumsi sangat rapuh, bahwa (asumsi) aturan hukum telah lengkap dan sempurna, dan tidak lekang digerus oleh perkembangan zaman maupun dinamika sosial-kemasyarakatan. Sejatinya, secara falsafah, tiada aturan pada peraturan perundang-undangan yang telah bersifat lengkap dan tuntas sejak saat pembahasannya sekalipun, namun selalu tertinggal setidaknya satu langkah dari realita yang diatur olehnya (het recht hink achter de feiten aan).
Karenanya pula, istilah semacam “celah hukum” atau adanya “kekosongan hukum” (recht vacuum), hanya dapat kita jumpai dalam bahasan perihal undang-undang, tidak dalam tataran diskusi praktik peradilan. Tiada yang lebih membosankan ketimbang membahas dan mendalami peraturan perundang-undangan (karenanya pula, dapat dijadikan objek penelitian ilmiah, apakah kapasitas otak mahasiswa hukum justru menciut akibat rasa bosan yang mereka derita selama empat tahun proses perkualian ataukah sebaliknya, terlebih perasaan kecewa karena ratusan jam membaca undang-undang “menguap” sia-sia akibat saat kini undang-undang yang dibahas oleh dosen pada bangku perkuliahan ternyata kini telah diganti dengan undang-undang baru). Namun, sebaliknya, kontras dengan sifat kaku “tekstual” norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, norma hukum bentukan praktik peradilan demikian “hidup”, “kontekstual”, serta kaya akan “the living law” (hukum yang “hidup”).
Norma hukum bentukan best practice praktik peradilan bernama “preseden” ini, meski bersifat “retroaktif” saat pertama kali dibentuk, akan tetapi tidak pernah membiarkan terjadinya “celah hukum”, baik “kekosongan (aturan) hukum” ataupun adanya aturan hukum yang jahat (norma hukum “sponsor” ataupun yang memiliki motif yang patut diragukan dalam proses pembentukan legislasinya). Karena itulah, dalam perspektif sistem hukum Common Law pada negara-negara dengan budaya hukum Anglo Saxon, pembentukan hukum nasional selalu bertopang pada titik tumpuan utamanya pada praktik peradilan, bukan semata mengandalkan peraturan perundang-undangan.
Karenanya juga, sarjana-sarjana hukum pada negara-negara Anglo Saxon, lebih terampil dalam menyebutkan nama kasus-kasus yang sebelumnya pernah diadili dan diputuskan, ketika mendapati perkara serupa yang kini sedang disidangkan, seperti “... Vs. ... tahun ... oleh pengadilan ...”. Demikian “sakral” dan pentingnya derajat “preseden” dalam negara-negara dengan sistem Common Law, sampai-sampai dapat dikatakan bahwa tiada lagi dapat kita jumpai “celah hukum” dalam praktik berhukum pada negara-negara Common Law.
Bahkan, para praktisi hukumnya mampu memprediksi bahwa suatu perkara dipastikan akan menang atau akan mendapati kekalahan, jauh sebelum perkara gugatan maupun tuntutan diajukan ke hadapan persidangan. Adapun perihal kekuasaan kehakiman pada negara-negara Common Law, seorang hakim pemutus perkara terikat oleh semacam “blangko” putusan bernama “preseden” itu sendiri—sehingga, adalah percuma saja mencoba menyuap seorang hakim di negara-negara tersebut, sehingga integritas hakim akan dihormati integritas profesinya dari patuh atau tidaknya diri sang hakim saat memutus terhadap “preseden” yang telah ada sebelumnya.
Tidaklah mengherankan, bila semboyan paling utama para praktisi dan akademisi hukum di negara-negara Common Law, ialah : “The binding force of precedent”. Karenanya juga, tidaklah mengherankan ketika para Sarjana Hukum di negara-negara Common Law secara kompak mendefinisikan ilmu hukum sebagai “ilmu tentang prediksi”. Sekali lagi, tiada simpang-siur praktik peradilan dalam negara-negara Common Law, sebab parameter korup-kolusi atau tidaknya seorang hakim, ialah dapat terlihat indikatornya pada produk putusan sang hakim itu sendiri, alias patuh atau tidak diri sang hakim terhadap norma hukum bentukan “preseden”. Istilah “the binding force” bukan sekadar slogan gimmick semata dalam praktik berhukum di ruang persidangan mereka.
Sekalipun harus “dibayar” dengan harga berupa keberlakuan surut (retroaktif) sifat suatu norma bentukan “preseden” (saat pertama kali dibentuk oleh praktik peradilan, biasanya oleh lembaga peradilan tertinggi, yakni Mahkamah Agung), namun tawaran adanya sebentuk “kepastian hukum” (bahkan sampai-sampai dapat diprediksi dan dipastikan akan menang atau akan mengalami kekalahan jauh sebelum gugatan maupun tuntutan diajukan ke hadapan lembaga peradilan), membuat pada gilirannya Mahkamah Agung Belanda, Hoge Raad, telah secara resmi mendeklarasikan dirinya berpindah haluan dari “sistem hukum Civil Law ala budaya hukum Eropa Kontinental” kini menjelma / mengadopsi “sistem hukum Common Law ala budaya hukum Anglo Saxon” sehingga baik hakim maupun akademisi hukum di Belanda, kini lebih banyak menginvestasikan waktu mereka dalam riset “preseden”.
Memang harus dibayar mahal berupa sifat “retroaktif”, namun bersikukuh menerapkan sistem hukum Civil Law yang hanya bertopang pada peraturan perundang-undangan belaka semata, yang sifatnya “tekstual” alih-alih “kontekstual” (itulah kelemahan utama sistem hukum Civil Law), harus dibayar secara jauh lebih mahal oleh seluruh stakeholder pencari keadilan, yakni nasib hukum publik luas itu sendiri.
Dari hasil penelusuran penulis, ternyata tiada praktik peradilan negara manapun yang sekaku, “sekolot”, se-orthodoks sistem hukum di Indonesia. Berbagai negara-negara yang pada mulanya melahirkan sistem hukum Civil Law seperti Perancis dan Belanda, kini pun perlahan namun pasti telah menunjukkan gelagatnya berpindah haluan kepada / menjelma budaya hukum Common Law.
Hidung milik siapakah yang patut kita tunjuk dan persalahkan? Dari pengalaman pribadi penulis, yang patut kita tuding ialah sistem “bobrok” metodologi berbagai Perguruan Tinggi ilmu hukum kita di Tanah Air. Perlu bukti untuk mendukung hipotesis penulis? Mudah saja, tanyakan kepada para fresh graduate Sarjana Hukum di Indonesia, baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta, telah berapa ribu-kan jumlah putusan peradilan yang telah dirinya eksaminasi dan bedah sejauh ini? Jawabannya akan sangat mengejutkan, rata-rata kurang dari 5 (lima) buah putusan peradilan yang dikantungi oleh seorang mahasiswa untuk dapat lulus dan mendapat gelar Sarjana dibidang ilmu hukum di Tanah Air—sangat kontras dengan tuntutan seorang Sarjana Hukum di negara-negara Common Law.
Sebetulnya, jika kita berbicara mengenai “investasi waktu” dan sumber daya, maka mendalami ilmu preseden jauh lebih efektif dan efisien. Mempelajari dan menghafal bunyi peraturan perundang-undangan, sangat tidak efisien, mengingat umur masa pakainya hanya hitungan tahun, sebelum kemudian diubah dan diganti oleh peraturan perundang-undangan baru lainnya yang merevisi, mengubah, atau bahkan menghapus peraturan perundang-undangan lama sebelumnya.
Sebaliknya, norma hukum bentukan “preseden” jauh lebih rigid. Praktik di Amerika Serikat, sebagai contoh, putusan perkara tahun 1950-an pun masih kerap dipakai sebagai rujukan relevan dalam merumuskan dalil dan pertimbangan hukum dalam suatu putusan peradilan masa kini. Mengapa dapat demikian konsisten? Karena memang budaya hukum Common Law menekankan faktor konsistensi hakim saat memutus dengan “preseden” yang telah ada sebelumnya, sehingga norma hukum bentukan “preseden” demikian menjadi terbakukan dan terlembagakan, bahkan sama sakralnya dengan konstitusi itu sendiri yang demikian dihormati dan disegani.
Dari pengalaman pribadi penulis mengenyam pendidikan tinggi ilmu hukum selama empat tahun proses perkuliahan pada ibukota di Indonesia, TIDAK PERNAH SEKALIPUN DISINGGUNG NORMA BENTUKAN PRESEDEN, semata hanya membahas undang-undang secara membosankan yang SEJATINYA DAPAT DIBACA SENDIRI BAHKAN OLEH ORANG AWAM SEKALIPUN DARI RUMAH. Sejak kapankah, Sarjana Hukum dimaknai sebagai Sarjana Undang-Undang tatkala tiada satupun negara di luar Indonesia yang Sarjana Hukumnya hanya dibekali teori disamping bunyi pasal-pasal dalam undang-undang?
Mengapa simpang-siur praktik peradilan di Indonesia, dapat terjadi? Itulah imbas tidak langsung dari tidak mengikatnya norma hukum bentukan “preseden” di Indonesia. Bila kita telisik lebih dalam, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan sifatnya hanya “tekstual” semata, sehingga ketika diimplementasikan kedalam kasus-kasus konkret, terjadi bias makna, ambiguitas, multitafsir, “ke-canggung-an” tersendiri, hingga bahkan seringkali antara “konteks” peristiwa nyata dan “tekstual” bunyi undang-undangnya tidak “maching” sehingga cenderung terkesan “dipaksakan” pemberlakuan pasal-pasalnya dalam peristiwa konkret saat hakim memutus suatu perkara.
Berbeda wacana dengan sifat “kontekstual” keberluan suatu norma hukum bentukan “preseden”, dimana detail peristiwa harus dipastikan karakternya serupa atau identik sedekat mungkin sebelum norma bentukan “preseden” dapat dirujuk dan diberlakukan dalam pertimbangan hukum saat membuat putusan atas perkara yang kini harus diperiksa dan diputus. Singkat kata, jika boleh penulis simpulkan, pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan mengandalkan titik topangnya pada “tekstual”, sementara berkebalikan dengan itu, secara kontras, norma hukum bentukan “preseden” bertopang pada karakteristik spesifik bernama “kontekstual”.
Yang hendak penulis berikan penekanan dalam kesempatan ini ialah, yang disebut dengan “preseden” tidak pernah cukup hanya berupa bunyi pertimbangan hukum hakim saat memutus, namun satu kesatuan berkas perkara, mulai dari kronologi peristiwa, alat bukti, hingga pertautan antara fakta hukum yang satu dan fakta hukum yang lainnya sebagai landasan pembentukan pertimbangan hukum Majelis Hakim sebelum kemudian terbit putusan yang kemudian menjadi “preseden”.
Sayangnya, terdapat salah kaprah ditengah-tengah cara berpikir para akademisi maupun praktisi hukum kita di Tanah Air, seolah-olah yang disebut dengan “preseden” ialah hanya sebatas “pertimbangan hukum hakim” dalam suatu putusan—itu merupakan salah kaprah yang sangat amat berbahaya disamping menyesatkan.
Semata mencermati pertimbangan hukum hakim dalam putusan, maka apalah bedanya dengan “tekstual” bunyi pasal dalam undang-undang? Bila ada diantara pembaca yang berlatar-belakang Sarjana Hukum, namun tidak mampu membedakan apa yang disebut dengan “tekstual” dan kontrasnya terhadap sifat keberlakuan “kontekstual”, maka yang bersangkutan tidak layak disebut sebagai “Sarjana Hukum”, namun semata sebagai “Sarjana Undang-Undang”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.