Upaya Hukum dalam Nebis In Idem, Kemelut dan Solusinya

LEGAL OPINION
Question: Apakah ada trik atau tips untuk mengatasi atau upaya hukum dalam perkara yang berpotensi diputus “nebis in idem”?
Brief Answer: Bagi seorang litigator yang kreatif, dalam derajat tertentu tiada terkungkung oleh kata “nebis in idem” dalam kamus praktik mereka. Terdapat 1001 cara menuju Roma. Ketika satu pintu tertutup bagi kita untuk mengajukan upaya hukum, maka terbuka pintu lainnya bagi kita untuk masuk dan melakukan “penetrasi”. Bekerja “cerdas”, bukan bekerja secara “keras” belaka.
PEMBAHASAN:
Nebis in idem”, secara mudahnya SHIETRA & PARTNERS maknai sebagai suatu esensi pokok perkara, dimana melibatkan para pihak yang sama dengan objak sengketa yang sama ternyata telah diberi status hukum lewat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka tidak dapat digugat ulang dalam register perkara terpisah—guna menghindari tumpang-tindih (overlaping) antar putusan yang dapat menimbulkan ketidak-pastian dan blunder dalam praktik peradilan yang baik dan sehat, dan yang terlebih penting: agar putusan dapat dieksekusi.
Namun, “norma hukum selalu sarat pengecualian” (escape clause). Semisal putusan dalam perkara sengketa tanah, sekalipun gugatan telah diputus dalam tingkat Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI, tidak jarang putusan inkracht demikian dikemudian hari ternyata mampu dianulir dalam suatu putusan dalam register perkara “perlawanan” (baik derden verzet maupun partij verzet) yang dalam tata administrasi peradilan memang dipisahkan antara “gugat-perlawanan” dengan register perkara “gugatan”.
Telah banyak penulis uraikan contoh-contoh konkret perkara-perkara “perlawanan” yang diputus secara TIDAK “nebis in idem” oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (itulah gaibnya, putusan kasasi Mahkamah Agung RI dapat dianulir oleh putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri), dan bahkan mengamputasi putusan perkara “gugatan” yang sebelumnya telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap sehingga menjelma “menang di atas kertas” oleh sebab tidak lagi dapat dieksekusi (non-executeable).
Sama halnya dengan perkara “gugatan” yang diputus secara “verstek” (tidak hadirnya pihak tergugat), maka seketika putusan bersifat inkracht—tidak terbuka peluang upaya hukum banding, kasasi, dan tidak juga terbuka peluang upaya hukum luar biasa bernama Peninjauan Kembali. Namun, Hukum Acara Perdata (HIR/RBg) ternyata membuka peluang bagi pihak Tergugat untuk sewaktu-waktu mematahkan dan menganulir putusan yang telah inkracht demikian, tanpa resiko tersandung asas “nebis in idem”.
Kini, SHIETRA & PARTNERS akan mengungkap sebuah “rahasia” dalam praktik peradilan yang bahkan tidak banyak diketahui oleh para litigator berpengalaman sekalipun dalam bidang gugat-menggugat. Kata kuncinya ialah merumuskan “petitum” (pokok permintaan dalam gugatan) yang berlainan dengan gugatan semula, maka “gugatan” dapat diajukan ulang terhadap putusan atas “gugatan” dengan objek, subjek, dan pokok perkara yang sama.
Contoh konkret yang pernah terjadi, dimana “gugatan ulang” didaftarkan pada register perkara “gugatan” terhadap putusan “gugatan” yang sebelumnya telah inkracht (gugatan terhadap putusan atas gugatan), ialah ketika suatu putusan perkara gugatan sengketa pertanahan tatkala Penggugat memenangkan gugatannya, dimana sertifikat tanah milik Tergugat dinyatakan batal karena adanya cacat saat proses “peralihan hak” ataupun pembuatan sertifikasi tanah milik Tergugat.
Namun, yang tidak diketahui oleh Penggugat, sekalipun gugatannya dimenangkan dan pihak Tergugat dinyatakan sebagai pihak yang “kalah” dan sertifikat hak atas tanah miliknya dinyatakan “batal” lewat putusan pengadilan yang kini telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi ternyata sebelumnya pihak Tergugat telah sempat mengalihkan hak atas tanah dimaksud (objek sengketa) kepada pihak ketiga yang menjadi pihak pembeli tanah yang dijual oleh Tergugat tanpa sepengetahuan pihak Penggugat.
Dalam gugatan semula yang telah inkracht, pihak ketiga tersebut tidak turut digugat, karena pihak Penggugat tidak mengetahui keberadaan pihak ketiga tersebut yang ternyata sebelumnya telah membeli hak atas tanah dari pihak Tergugat, juga tidak mengetahui bahwa sertifikat hak atas tanah telah beralih dari atas nama pihak Tergugat menjadi atas nama pihak ketiga dimaksud.
Ketika Penggugat hendak mengeksekusi putusan yang telah berstatus berkekuatan hukum tetap, ternyata pihak Jurusita maupun otoritas pada Kantor Pertanahan menolak permohonan eksekusi, mengingat (ternyata) terdapat keberadaan pihak ketiga yang sebelumnya telah membeli hak atas tanah dari pihak Tergugat, dan hak atas tanah pun telah “dibalik-nama”-kan ke atas nama pihak ketiga bersangkutan.
Pihak Penggugat kemudian mengajukan “gugatan ulang”, dalam register perkara “gugatan” perdata terhadap putusan perkara “gugatan” yang sebelumnya telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap, hanya saja dalam “gugatan” baru ulangan ini TIDAK MENGGUNAKAN PETITUM YANG SAMA DENGAN PETITUM GUGATAN SEMULA—namun membuat rumusan petitum baru dengan tujuan agar segala peralihan dan sertifikasi milik pihak ketiga terkait pihak Tergugat, dinyatakan turut tidak sah dan batal demi hukum. Dapat kita saksikan sendiri, petitum yang berlainan sekalipun berwujud “gugatan ulang”, tidak melahirkan putusan “nebis in idem” oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus “gugatan ulang”.
Asas “nebis in idem” tidaklah selalu menjadi sandera yang demikian ditabukan dan sedemikian menakutkan, sepanjang pokok tuntutan dalam gugatan dibuat / dirumuskan berlainan, sekalipun atas pokok perkara yang sama, subjek hukum yang sama, dan objek sengketa yang sama. Mengapa? Secara falsafah, sebuah gugatan ketika diputus, dibatasi oleh keberlakuan putusan yang bersifat “non ultra-petitum”—yang bermakna hakim tidak dapat mengabulkan melebihi apa yang diminta dalam surat gugatan—sehingga mengajukan “gugatan ulang” dengan petitum yang berlainan, dianalogikan sebagai menjadi satu-kesatuan dengan petitum dalam gugatan semula untuk dapat diperiksa dan diputus di kemudian hari.
Kini, sebagai tambahan contoh kasus yang bukan tidak mungkin dapat dan/atau telah terjadi di tengah masyarakat kita, ialah sebuah “gugatan” “class action”, dimana ratusan warga yang terdampak pencemaran air oleh sebuah korporasi yang melakukan aktivitas usaha berupa ekploitasi terhadap lingkungan hidup yang menghasilkan polutan berbahaya yang mencemari sumber mata air milik warga setempat, mengakibatkan ratusan warga mengalami sakit dan berpenyakit.
Kuasa hukum para warga yang mengajukan gugatan, berhasil memenangkan “gugatan” dengan tuntutan sebesar sekian Miliar Rupiah guna membiayai pengobatan warga dan juga atas rusaknya ekosistem milik warga yang terdampak luas. Putusan demikian telah berkekuatan hukum tetap, dan dibayarkan oleh pihak Tergugat dalam eksekusi putusannya yang tidak mendapat perlawanan dari pihak Tergugat. Euforia, para warga merasakan keadilan telah berpihak kepada mereka, dan kuasa hukumnya mulai diperlakukan sebagai “pahlawan” legendaris oleh warga setempat.
Ternyata, seiring berjalannya waktu, tanpa diduga-duga sebelumnya oleh segenap para warga, penyakit yang mereka derita akibat cemaran lingkungan tersebut sangatlah mematikan, hanya saja efek jangka panjangnya berjalan sangat lambat, sehingga kematian baru menunjukkan fenomenanya setelah berselang sekian tahun setelah selama ini hanya menunjukkan gejala-gejala sebatas sakit fisik menahun.
Menjadi pertanyaan besar, apakah artinya kejadian meninggalnya para warga tersebut, yang menunjukkan bahwa seriusnya pencemaran yang (ternyata berpotensi) menimbulkan korban jiwa, sementara pihak korporasi yang menjadi Tergugat telah dihukum oleh putusan perkara gugatan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap demikian, secara langsung telah “menyandera” para ahli waris sang warga guna menggugat-ulang pihak korporasi yang telah mengakibatkan pencemaran sebagai biang-keladi jatuh sakit dan meninggalnya para warga setempat?
Ternyata, pihak korporasi-lah yang berada dibalik layar untuk merancang “gugatan” pertama / semula, dimana pihak korporasi menyewa seorang pengacara (secara rahasia, tentunya), untuk meyakinkan warga agar mengajukan gugatan terhadap sang korporasi, sehingga pihak korporasi hanya dihukum ganti-rugi sejumlah sekian Rupiah, setelah itu pihak korporasi untuk selamanya akan terbebas dari resiko yuridis atas jatuhnya korban jiwa di tengah-tengah masyarakat yang telah menerima ganti-kerugian sesuai amar putusan perkara gugatan pertama?
Bila ahli waris para warga kemudian mengajukan “gugatan ulang” alias gugatan untuk kedua kalinya, maka apakah mereka akan terbentur dan tersandera oleh asas “nebis in idem”? Yang dituntut dalam gugatan semula, ialah biaya pengobatan dan ganti rugi kerusakan lingkungan, sementara dalam “gugatan ulang”, ahli waris warga menuntut ganti-rugi jatuhnya korban jiwa, sekalipun atas penyebab dan atas pokok perkara yang sama. Akankah Majelis Hakim menolak gugatan atau menyatakan “gugatan tidak dapat diterima” dan menyatakan sebagai gugatan dengan kriteria “nebis in idem”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.