Ragam Wajah Pengacara Indonesia, Musuh ataukah Kawan, ataukah “Musuh dalam Selimut”?

ARTIKEL HUKUM
Pada era keterbukaan informasi serta digitalisasi sekarang ini dimana peraturan perundang-undangan maupun format baku surat gugatan ataupun pledooi nota pembelaan dapat diakses dengan mudah oleh siapapun dan dimana pun, bahkan kian mudahnya akses lembaga peradilan lewat eCourt, menjadi sangat mengherankan bila masih terdapat masyarakat kita yang bersedia merogoh-kocek ratusan juta Rupiah semata hanya untuk menggugat ataupun membantah gugatan dengan “tangan yang teramputasi” sebagai konsekuensinya (mengingat seluruh berkas perkara beralih ke tangan sang pengacara, sehingga secara politis nasib klien selalu terdegradasi sejak menit awal diberikannya Surat Kuasa Khusus menggugat bagi sang Lawyer).
Tidak sedikit diantara para klien dari penulis, yang merasa terbantu karena baru mengetahui, bahwa banyak sisi negatif, resiko, dan kerugian dibalik upaya hukum berupa gugatan, bahkan baru mengetahui adanya cara-cara nonlitigasi, mitigasi, serta solusi lainnya setelah melalui sesi konseling seputar hukum. Terdapat juga klien yang baru “tersadarkan”, bahwa dirinya sendiri memiliki kontribusi kesalahan, sehingga sebaiknya “mengalah satu langkah” atau mengedepankan “win win solution” atau “amicable solution” sebagai opsi langkah yang paling rasional agar tidak memperkeruh permasalahan hukum dengan pihak yang sedang saling berseteru—dimana bila sang klien tetap pada pendirian untuk menggugat sesuai niatnya semula yang “menggebu-gebu” hendak menggugat, maka dapat dipastikan hasilnya menjelma kontraproduktif bagi kepentingan sang klien itu sendiri.
Pengetahuan-pengetahuan demikian hanyalah akan dapat diperoleh lewat sesi konsultasi hukum yang netral dan objektif sifatnya, mengingat seorang penyedia jasa Konsultasi Hukum yang tidak merangkap sebagai seorang penyedia jasa beracara (pengacara), tidak memiliki conflict of interest terhadap dimajukan atau tidaknya niat “menggebu” demikian untuk menggugat suatu pihak lainnya.
Idealnya, masyarakat umum sebelum menggunakan jasa Advokat, terlebih dahulu mengkonsultasikan niat melakukan upaya hukumnya kepada seorang profesional dibidang konseling tanya-jawab seputar hukum yang netral dan objektif, yakni seorang Konsultan Hukum “murni”. Ketika seorang warga masyarakat “termakan” oleh niat “menggebu” hendak menggugat, lantas berjumpa Pengacara yang merangkap sebagai Konsultan Hukum, maka memberi opini hukum bahwa niat menggugatnya tidak layak karena diprediksi justru akan berbuntut “gugatan balik” dari pihak seberang, hal itu sama artinya membuang kesempatan untuk memakan “ratusan juta Rupiah fee lawyering” ketimbang tarif jasa konsultasi yang hanya hitungan sekian juta Rupiah selama beberapa jam sesi konseling. Ibarat keluar dari “mulut serigala, masuk mulut harimau”, itulah gambaran realita yang dialami oleh masyarakat awam hukum kita selama ini, hendak terbebas dari masalah hukum justru “hilang sapi berbuntut hilang mobil”.
Karena itu jugalah, penulis berpandangan bahwa seseorang yang berprofesi sebagai Advokat, tidak boleh dan harus dilarang untuk merangkap jabatan sebagai seorang Konsultan Hukum—karena memang bidang layanan jasanya saling bertolak-belakang. Seorang Lawyer, selalu memiliki conflict of interest untuk mendorong agar kliennya mengajukan upaya hukum—sementara layak atau tidaknya itu untuk diajukan, bukan menjadi “concern” dari kalangan profesi Pengacara yang memang tetap memakan tarif “lawyering” ketika dipakai jasanya guna beracara di persidangan, alias mencari-cari acara dan memperkarakan hal-hal yang seringkali justru tidak perlu diperkarakan dan tidak jarang kian memperkeruh keadaan seperti gugatan Minimarket ALFAMART terhadap konsumen sekaligus donaturnya sendiri dimana pihak pemilik waralaba minimarket diwakili oleh kuasa hukumnya, Yusril Izra Mahendra justru membuat langkah yang sama sekali kontraproduktif terhadap kepentingan pihak kliennya sendiri, yakni rusaknya citra Minimarket ALFAMART di mata masyarakat pada umumnya dan konsumen pada khususnya. Dengan kata lain, pihak Minimarket ALFAMART telah mencoreng reputasi serta wajahnya sendiri, dan mengambil sikap sebagai antagonis dari konsumen dan para donaturnya sendiri.
Apa pula yang melatar-belakangi desakan agar Undang-Undang Advokat maupun Kode Etik Profesi Advokat perlu direvisi dengan memasukkan klausul limitatif cakupan layanan jasa seorang Advokat, agar tidak lagi dibolehkan menyediakan jasa terkait konsultasi seputar hukum? Tidak lain tidak bukan adalah selalu adanya “benturan kepentingan” (conflict of interest) itu sendiri. Tidak ada pengacara di Tanah Air yang “sebodoh” tidak segera “memakan hidup-hidup” klien yang “buta hukum” untuk ditelan dan jika perlu dimakan hidup-hidup seperti contoh yang terbilang ekstrim dari pengacara “kondang” di atas, sekalipun sudah jelas-jelas niat “primitif” pemilik waralaba Minimarket ALFAMART (sang klien) sangatlah tidak rasional serta hanya “mencari penyakit sendiri”.
Perihal rusak-tercorengnya reputasi sang klien oleh gugatan sang pengacara “kondang”, seolah bukan menjadi urusan sang pengacara “kondang” yang tetap saja senang-puas-kenyang memakan “fee lawyering” dan jika syukur spekulasi bernama gugatan yang diajukannya ini menang maka juga bisa memakan “success fee” sekalipun bila gugatan Minimarket ALFAMART terhadap konsumen sekaligus donaturnya sendiri mendapati kemenangan di pengadilan, maka dapat dipastikan Minimarket ALFAMART akan menjadi “musuh bebuyutan” segenap masyarakat yang notabene selaku konsumen.
Mengapa Pak Pengacara tidak memberi tahu kami sejak dari semula saat konseling pertama kali, bahwa gugatan semacam ini tidak diperlukan, tidak layak diajukan, bukankah Bapak Pengacara juga di plang kantor hukum ini menuliskan menawarkan jasa konsultasi hukum juga karena Pengacara merangkap Konsultan Hukum?
Ayolah, jangan seperti anak kecil bicaranya. Sudah tahu antara tarif Konsultasi Hukum itu hanya ‘recehan’ sekian juta Rupiah, hitungan beberapa jam pula. Bandingkan dengan tarif lawyering yang dapat bernilai ratusan juta Rupiah, menang atau kalah tetap makan ‘fee lawyering’. Anda pikir saya buka kantor ini untuk ‘jual rugi’? Janganlah naif, Lawyer adalah Lawyer, Konsultan Hukum adalah Konsultan Hukum. Anda datang ke kantor saya dengan maksud untuk menggugat konsumen dan donatur Anda sendiri, sekarang sudah saya gugat sesuai keinginan Anda, lalu Anda ingin menyalahkan saya? Anda terlampau naif. Salahkan sikap naif milik Anda sendiri. Jangan lupa bayar sisa fee lawyering saya, atau Anda juga akan saya gugat jika menunggak melunasi fee saya.”
Kini kita beralih pada fakta bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) gugatan terkait sengketa kredit dan pembiayaan antara Debitor Vs. Lembaga Keuangan / Lembaga Pembiayaan, selalu berujung pada “DITOLAK” atau setidaknya dinyatakan “TIDAK DITERIMANYA GUGATAN PENGGUGAT”. Bahkan, gugatan terkait sengketa kredit dan pembiayaan di BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam tingkat kasasi 100% (seratus persen) berujung pada antiklimaks vonis “MENOLAK PERMOHONAN KASASI, MENYATAKAN GUGATAN PENGGUGAT TIDAK DITERIMA”—karena BPSK tidak memiliki “kompetensi absolut” untuk menangani perkara sengketa kredit ataupun pembiayaan—suatu vonis yang sejatinya sudah dapat diprediksi jauh hari sebelum niat menggugat diajukan lewat telaah preseden seorang Konsultan Hukum.
Ironisnya, sebagian besar perkara gugatan di atas, diwakili oleh kuasa hukum berupa Pengacara yang mewakili debitor menggugat kreditornya sendiri. Alih-alih mencicil dan melunasi, para debitor demikian justru menggunakan dana kredit pinjaman kreditornya bahkan untuk menyewa Lawyer guna menggugat kreditornya sendiri. Etis ataukah tidaknya hal demikian, bukanlah itu urusan seorang Lawyer, karena Lawyer identik dengan “mencari makan dari beracara”, yang artinya dapat juga dimaknai sebagai : “mencari-cari perkara dan membuat-membuat acara bila tiada acara”. Namun bukanlah itu yang hendak kita bahas dalam kesempatan ini, sekadar intermezo semata.
Dalam perkara-perkara gugatan sengketa kredit maupun pembiayaan, pihak debitor selaku penggugat diwakili oleh Advokat, sementara seringkali pihak Kreditor Perbankan ataupun Lembaga Pembiayaan Finance hanya diwakili oleh Legal Staff yang sama sekali tidak bergelar Pengacara, bahkan seringkali hanya berupa lulusan “fresh graduate”. Yang memalukan, faktanya 99% gugatan Pengacara demikian kalah melawan seolah Legal Staff “hijau” yang sama sekali tidak berstatus sebagai Pengacara. Menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, bagaimana mungkin, Pengacara justru kalah kompeten dibanding seolah Legal Staff semata? Fakta tersebut adalah fakta empirik-yuridis sekaligus fakta lapangan yang tidak terbantahkan.
Bahasa diplomatisnya, “Pengacara dipercundangi oleh Legal Staff”. Jika menurut Anda itu kurang memalukan, maka apa yang paling tepat untuk menyebut kalangan profesi Advokat? Gelar sebagai “kurang kerjaan” yang bisa juga dijuluki “tukang gugat”, “si pemancing di air keruh”, “si tukang ribut”, atau “tukang gugat kurang kerjaan” demikian justru adalah pihak kalangan Pengacara yang mencoreng wajah profesinya sendiri dengan tetap memajukan gugatan yang tidak patut dimajukan yang bahkan dapat diprediksi olehnya sendiri (sejujurnya) akan berakhir sia-sia atau bahkan berpotensi “digugat balik” oleh pihak pembeli lelang objek agunan yang dieksekusi oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan maupun Fidusia.
Penulis sering menyebutnya sebagai, biaya beracara yang sejatinya hanya membakar-bakari uang debitor yang notabene kliennya sendiri kini sedang terjerat Lelang Eksekusi akibat kredit macet. Apakah kelakuan tidak etis demikian dapat dimajukan ke hadapan Majelis Sidang Etik profesi Advokat, agar pengacara “kurang kerjaan” demikian ditindak dan didisiplinkan? Semua sudah sama-sama tahu, idealisme adalah “omong kosong” dalam dunia profesi Pengacara. Itulah sebabnya Organisasi Advokat dikodratkan selalu terpecah.
Kalangan profesi Pengacara yang terlampau jujur, ironisnya dan dilematikanya, selalu berbenturan dengan tuntutan profesi, akan berakhir pada “gulung tikar” karena akan lebih banyak menganggur ketimbang beracara di persidangan. Karenanya juga, janganlah masyarakat umum terlampau “naif” dengan menuntut “terlampau banyak” agar kalangan profesi Pengacara bersikap objektif serta jujur dalam memberi rekomendasi maupun saat memberikan opini hukum bagi kliennya yang hendak menggugat.
Fakta berikut ini akan membuat siapa pun terkejut membacanya: faktanya, bukanlah sang Legal Staff yang lebih kompeten, tidak sama sekali, NAMUN KLIEN SANG PENGACARA YANG MEMANG SEDARI SEJAK SEMULA TIDAK PERNAH PATUT MENGGUGAT—berhutang, tidak bersedia melunasi, namun pada gilirannya ditagih melunasi alih-alih melunasi justru berniat menggugat kreditornya sendiri. Gugatan dengan tuntutan irasional demikian memang sudah sepatut dan selayaknya diganjar vonis penolakan oleh hakim pada peradilan manapun.
Apakah seluruh kalangan profesi Pengacara, tahu dan sadar betul akan hal ini? Sebagaimana yang sebelumnya telah penulis urai panjang-lebar, janganlah ada diantara para pembaca yang notabene selaku masyarakat umum terlampau “naif” dengan menuntut agar kalangan profesi Pengacara menjadi semacam “malaikat” penyelamat atau sesosok “dewa” adil yang jujur dan penuh budi pekerti—sifat “naif” milik masyarakat umum selaku klien itu sendiri yang pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri bersangkutan dikemudian hari.
Kini, pada era bangkitnya pemberdayaan masyarakat awam hukum untuk maju tampil sendiri di persidangan tanpa kuasa hukum yang mewakili, menggguat ataupun melawan gugatan / dakwaan tanpa didampingi Pengacara, terutama pada era mulai bersinarnya supremasi eCourt, peran Pengacara kian tersudutkan dan termarginalisasi. Banyak diantara klien penulis yang memilih untuk maju sendiri dengan berbekal panduan, analisa, serta bahan-bahan materi hukum dilengkapi Legal Opinon yang penulis rancang dan berikan khusus bagi masing-masing klien pengguna jasa sesi konsultasi, para masyarakat awam hukum sekalipun dapat menjadi penuh percaya diri maju bersidang menghadapi gugatan seseorang warga lain yang diwakili oleh Pengacara sekalipun.
Akan tidak kalah memalukan dan terpukulnya seorang bergelar Sarjana Hukum lengkap dengan status Pengacara-nya, harus menerima kenyataan pahit dirinya terpaksa atau dipaksa bertekuk-lutut menghadapi masyarakat awam hukum yang maju sendiri ke persidangan tanpa diwakili Pengacara manapun. Selama ini masyarakat seolah takut dan “tabu” (meski sejatinya tidak sama sekali) untuk menghadap dan tampil sendiri ke ruang persidangan dan gedung pengadilan, sehingga yang maju pada gilirannya ialah Lawyer Vs. sesama rekan Lawyer. Jika Lawyer satu kalah dari Lawyer lain, sang pecundang dapat melakukan dalih sekaligus penghiburan diri, “Lawan saya seorang Lawyer, setidaknya saya tidak dipercundangi oleh orang awam hukum.” Kini, alasan serupa sudah tidak bisa lagi menjadi tameng andalan untuk bersembunyi dari fakta yang sudah berada tepat di depan mata.
Fakta berikutnya, lebih dari 70% upaya hukum kasasi berakhir pada vonis “MENOLAK PERMOHONAN KASASI” sekalipun keseluruh permohonan kasasi demikian selama ini dibuat serta diajukan oleh seorang Lawyer. Bahkan, telah demikian bosannya Mahkamah Agung RI menerima permohonan Peninjauan Kembali “sampah” dalam perkara sengketa ketenagajerjaan, permohonan Peninjauan Kembali kini ditutup selama-lamanya dari perkara berjenis sengketa hubungan industrial.
Apa yang dapat kita simpulkan dari seluruh fakta empirik dan fakta yuridis demikian? Sebagai orang awam sekaligus pengguna jasa yang cerdas, ketika seorang penyedia jasa “lawyering” (Lawyer) menyanggupi untuk menjadi kuasa hukum atas niat Anda untuk menggugat, janganlah bersenang hati terlebih dahulu. Ingat selalu, kantor hukum pengacara mana pun merupakan “sarang buaya”—ia pada suatu waktu dapat membela Anda, namun pada suatu ketika lainnya dapat menjadi lawan yang menyerang kepentingan Anda.
Kembali pada sosok seorang public figure sekalipun pengacara “kondang” senior Yusril Izra Mahendra, menjadi kuasa hukum HTI di Pengadilan Tata Usaha Negara menghadapi Presiden Jokowi, menyerang kebijakan pemerintah ketika membrendel HTI. Namun, disaat bersamaan, sang pengacara “kondang” juga menjadi kuasa hukum Presiden Jokowi saat Pilpres 2019. Semestinya Anda selaku orang awam hukum, sudah tahu dari sejak awal Anda menginjakkan kaki pada kantor pengacara mana pun, bahwasannya seorang pengacara memiliki “empat hingga selusin buah kaki” (bukan lagi “dua buah kaki”).
Bila kalangan Pengacara menjual “angin surga” yang hembusannya saja melenakan calon klien (iming-iming semanis kembang gula berbunga-bunga diawal, namun bisa jadi pahit pada penghujungnya), maka seorang profesi Konsultan Hukum “murni” memiliki karakter spesifik yang khas yakni “pahit didepan, ketimbang pahit pada gilirannya”.
Itulah sebabnya, seorang profesi yang menyediakan jasa konseling hukum “murni” tanpa merangkap sebagai profesi Pengacara, selalu merupakan pilihan paling ideal dalam mendapatkan opini hukum yang netral serta objektif, karena memang tiada “konflik kepentingan” guna mendorong sang klien pengguna jasa untuk mengajukan gugatan yang bisa jadi hanya menyakiti kepentingan dirinya sendiri. sebagaimana pengalaman penulis pribadi dalam memberikan konseling hukum bagi para klien dari berbagai latar-belakang, opsi menggugat seringkali bukanlah opsi satu-satunya, dan seringkali pula lebih banyak mudaratnya ketimbang faedahnya. Mencerahkan dan memberi wawasan bagi klien pengguna jasa, adalah misi dan visi seorang Konsultan Hukum—itulah pembeda paling utama antara kalangan profesi Konsultan Hukum dan para penyedia jasa kepengacaraan di Tanah Air.
Perbedaan mencolok kedua, seorang Pengacara “tabu” untuk memprediksi hasil perkara, karena jika klien sejak semula diberi tahu prediksi niatnya menggugat akan berujung ditolak hakim atau bahkan digugat balik, sama artinya bersenggolan dengan “konflik kepentingan” sang pengacara itu sendiri yang memang bertujuan mencari-cari acara—dan jika perlu membuat-membuat perkara. Apakah Anda pikir kalangan hakim menaruh hormat terhadap kalangan Pengacara di Tanah Air? Bagi penulis saja, seringkali gugatan “sampah” demikian diajukan oleh “badut-badut” pengadilan berpakaian jas dan toga yang mentereng namun “konyol” adanya seringkali.
Seorang Konsultan Hukum, sebaliknya, bukanlah seorang spekulan, sehingga tidak menjual jasa dengan mengajak para kliennya untuk turut “ber-ju-di” layaknya kalangan profesi Pengacara. Yang selalu dibutuhkan oleh klien pengguna jasa konseling hukum, ialah tidak lain tidak bukan prediksi atas niatnya menggugat itu sendiri—secara netral dan objektif, tentunya, tanpa tendensius mendorong sang klien untuk segera menggugat secara tidak rasional, jika perlu “dipanas-panasi” layaknya kalangan profesi Pengacara sang “kompor”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.