Sikap Mau Menang Sendiri, Pendebat yang Tampak Seolah Unggul namun Sekaligus sebagai Komunikator yang Terburuk

ARTIKEL HUKUM
Terdapat sebuah “resep / formula rahasia” tatkala seorang penulis naskah membuat skrip atau naskah suatu adegan dialog antar para tokoh dalam suatu sinema atau film drama, yang membuat para penontonnya terpikat untuk setia meluangkan waktu mengikuti dari detik awal tayangan hingga “ending” akhir kisah penutupnya yang mencapai puluhan episode, yakni : dialog antar tokohnya saling menggunakan bingkai “komunikasi yang logis”, baik dialog antar tokoh protagonisnya, ataupun ketika sang tokoh protagonis sedang berdialog sengit dengan tokoh antagonis.
Tokoh antagonis sekalipun, meski telah di-setting oleh sutradara atau oleh penulisnya atau dirancang agar menjadi tokoh jahat yang selalu melawan dan bertentangan dengan sang tokoh protagonis, namun perihal komunikasi dan dialog pada suatu tayangan drama ataupun novel dan sejenisnya, selalu dibuat oleh Script Writer-nya sebagai dialog-dialog yang logis dan masuk akal. Bahkan, seorang tokoh yang diilustrasikan demikian “jahat”, digambarkan memiliki alasannya sendiri sehingga berubah atau menjelma menjadi sesosok tokoh yang jahat, sehingga sang tokoh protagonis terlibat dialog yang juga logis dengan sang tokoh antagonis.
Tiada satupun diselingi dialog ala masyarakat kita yang serba “maunya menang sendiri” dengan memakai lontaran kata-kata yang masif namun miskin “akal sehat”, diwarnai lontaran / berondongan kata-kata “tidak logis”, dan nuansa yang kental akan sikap “mau menang sendiri”—itulah yang membuat serial televisi maupun sinema produksi negara-negara Barat (dialog antar tokohnya yang dirancang demikian logis) ataupun Korea Selatan (kelugasan dan kepolosan karakternya), Jepang (terutama, dengan kompleksitas karakternya), Thailand, dan China menjadi demikian digemari pasar penonton global.
Kualitas naskah yang berisi dialog produksi negara-negara tersebut tergolong mendidik dan berkualitas, karena mengajak para penontonnya bukan untuk meneladani sang tokoh antagonis, namun untuk berprinsip “SELALU BERBICARA DENGAN AKAL SEHAT, LOGIS, DAN JANGAN PERNAH BERBICARA DENGAN GAYA BERTUTUR-KATA ‘MAU MENANG SENDIRI’”.
Mengapa dialog perdebatan antara orang-orang berperilaku buruk terhadap warga lainnya di Indonesia yang menjadi korbannya, selalu tidak pernah menarik untuk disimak? Karena, sangat jauh dengan gambaran ataupun bayangan kita dengan dialog-dialog seru dalam film-film drama yang selama ini kita saksikan dengan kualitas dialog berintelektual tinggi ala film-film Hollywood. Bollywood, maupun film-film Korea Selatan, Jepang, Thailand, dan China.
Yang kemudian menjadi unik dari tipikal gaya dialog yang saling logis antar karakter penokohannya dalam film sinema maupun serial drama produksi negara-negara yang telah penulis sebut di muka, mengakibatkan tidak jarang seorang tokoh protagonis mengakui kebenaran ucapan sang tokoh antagonis, dan juga sebaliknya tidak jarang tokoh antagonisnya diceritakan mengakui kebenaran ucapan sang tokoh protagonis. Tiada satupun diselipi ujaran-ujaran tidak logis antar tokohnya, karena para penulis dan sutradaranya tahu betul bahwa tayangan mereka dapat ditinggalkan penonton ketika menyaksikan dan mendapati adanya unsur-unsur gaya komunikasi antar penokohannya yang tidak logis bahkan “mau menang sendiri”.
Dialog cerdas demikian sangat sukar kita jumpai pada serial televisi produksi Indonesia, dimana antar karakter penokohannya digambarkan kerap berbicara “secara seenaknya”, “mau menang sendiri”, “tidak logis”, “tidak rasional”, hingga “serampangan”. Sementara sebagaimana kita ketahui bersama, untuk menciptakan komunikasi yang “nyambung”, kedua belah pihak harus menempatkan cara atau gaya berbicara yang sama-sama logis dan rasional, dilandasi oleh akal sehat dalam melontarkan kata-kata maupun ketika membantah. Ketika salah satu pihak bersikap “mau menang sendiri” dan “tidak logis”, maka yang terjadi kemudian ialah dialog yang satu arah, “tidak nyambung”, monoton, linear, dan tidak cerdas—alias bentuk-bentuk “arogansi” verbal.
Karena itu jugalah, selalu penulis tekankan, bahwasannya tiada gunanya berdebat dengan orang-orang yang tidak logis gaya bertutur-katanya, tidak memiliki akal sehat, dan “mau menang sendiri”. Menghadapi orang-orang bertipe demikian, sangat tidak dianjurkan berdebat di jalan (“perdebatan jalanan”), karena yang dikedepankan kemudian olehnya ialah secara vulgar mempertontonkan arogansi “mau menang sendiri” alias menutup telinganya rapat-rapat sementara mulutnya terbuka lebar-lebar—yang penulis juluki sebagai model gaya bicara ala “preman”, sekalipun diri yang bersangkutan berpendidikan tinggi dan belatar-belakang ekonomi cukup mapan.
Boleh saja bagi kita untuk berhadapan dan menghadapi orang-orang bertipe tidak logis, tidak rasional, dan “mau menang sendiri”, dengan syarat: 1.) terdapat moderasi oleh pihak ketiga yang netral dan objektif; 2.) terdapat hakim atau juri yang menilai, memutuskan “siapa yang paling benar dan yang kalah”, sekaligus sebagai otoritas yang mampu memberi sanksi bagi yang melanggar kaedah tata-tertib debat; dan 3.) terdapatnya publik sebagai penonton (public audiens) yang dapat memberikan penilaian secara netral serta transparan, manakah pihak-pihak yang logis dan patut didukung argumentasi ucapannya.
Ketika perdebatan dikondisikan layaknya aturan main di sebuah “ring tinju” yang tidak memungkinkan salah satu pesertanya untuk bertindak sesuka hati dan serampangan, maka pengkondisian demikian sejatinya paling menguntungkan peserta debat yang selalu mengedepankan akal sehat, berpikir dan bertutur-kata secara logis, dan mampu berbicara dan beragumentasi secara rasional—dan disaat bersamaan menjadi mimpi buruk bagi pihak-pihak yang selama ini mengandalkan “otot” (kekerasan), dimana tentunya sikap komunikasi “mau menang sendiri” tidaklah laku pada ajang perdebatan yang dimoderasi serta diawasi oleh juri dan hakim.
Selama ini mereka merasa berada “di atas angin” dengan bersikap “mau menang sendiri” (terutama bila memiliki banyak suporter / simpatisan pendukung yang sama-sama irasional secara subjektif) melawan pihak lain yang minoritas dari segi jumlah, semata karena tiada juri atau hakim yang menjadi penengah dan tiada aturan main dalam ajang “perdebatan jalanan” demikian. Namun yang menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, sesering apakah pengkondisian menyerupai aturan main dalam ajang kompetisi “ring tinju” demikian dapat mudah kita jumpai di tengah-tengah komunitas masyarakat kita yang masih jauh dari sikap “fair play”?
Dari hipotesis yang penulis uji, akar asal-muasal sikap dibalik ucapan yang tidak logis, tidak rasional, dan tidak berakal sehat, selalu dimulai dari mental / karakter “mau menang sendiri”. sikap “mau menang sendiri”, menjadikan orang-orang bermental demikian kerap mempertunjukkan secara vulgar perilaku ujaran yang penuh ucapan tidak logis, irasional, serta tidak memiliki akal sehat dalam berdebat, membantah, ataupun tatkala melontarkan dalil-dalil argumentasinya.
Sebagai ilustrasi sederhana yang konkret, kerap kali pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menghubungi penulis dengan menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis selaku Konsultan Hukum pada website ini yang sudah sedemikian jelas hanya diperuntukkan bagi klien pembayar tarif, semata untuk “memperkosa” profesi penulis dengan meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum tanpa bersedia membayar tarif seperak pun. Ketika sebagai responsnya, penulis tegur “Anda sudah tahu saya mencari nafkah sebagai konsultan. Anda suruh saya makan batu?” Ternyata pihak-pihak tersebut alih-alih merasa bersalah dan malu, justru kemudian memaki dan menghujat penulis—sudah dijadikan korban “perkosaan”, mereka melakukan pula kesalahan kedua yakni alih-alih meminta maaf, justru membuat kejahatan baru dengan melecehkan profesi orang lain.
Dunia ini damai, dan hidup ini indah, tatkala seluruh penduduknya saling mampu menghargai satu sama lain, tidak bersikap “mau menang sendiri”, yang pada gilirannya antar penduduknya berkomunikasi secara logis, saling menghormati harkat-martabat serta hak-hak masing-masing warga negara, gaya berbicara yang rasional, dan mengedepankan selalu akal sehat ketika berdialog ataupun ketika terjadi perselisihan untuk diselesaikan bersama. Itulah, yang disebut sebagai bangsa beradab—patut disebut beradab karena mampu berdialog secara beradab, bukan mengandalkan arogansi verbal “mau memang sendiri” terlebih mengandalkan cara-cara kekerasan secara fisik setiap kali membuat masalah (bukan menemui masalah, namun justru membuat-membuat masalah dengan warga negara lainnya dengan cara melanggar hak-hak orang lain tersebut). Itu jugalah, negara-negara Barat, India, Korea Selatan, Jepang, Thailand, maupun China begitu maju sementara Indonesia jauh tertinggal di belakang.
Mencerdaskan sebuah bangsa, bukanlah dengan cara mengimpor berbagai teknologi asing yang canggih ke dalam negeri, ataupun sekadar menjadi konsumen berbagai produk digital dengan harga mahal, namun dimulai dari menanggalkan cara-cara berbicara yang serba “mau menang sendiri”, gaya berdialog yang tidak logis, cara berpikir yang irasional, hingga mempertontonkan “akal sakit” orang-orang “sakit secara mental” secara berjemaah dan masifnya—terlebih cara-cara kekerasan yang menjadi tipikal bangsa “bar-bar” yang terbelakang secara mental.
Bangsa terbelakang dan belum beradab (alias biadab), selalu dicirikan oleh ketidak-mampuan warga negaranya untuk saling berdialog secara logis. Sebuah konflik ataupun sengketa, selalu dimulai dari salah satu pihak yang bersikap “mau menang sendiri”. Sejatinya, bila kita jauh dari sikap-sikap “mau menang sendiri” demikian, tiada akan pernah terjadi perdebatan, konflik sosial, arogansi verbal maupun fisik, terlebih sengketa di ruang pengadilan.
Utopia bagi Bangsa Indonesia, namun bila para pembaca pernah mengunjungi Negeri Thailand, sebagai salah satu contoh konkretnya agar tulisan ini tidak dipandang sebagai wacana belaka, “kedamaian di dunia” ternyata ada dan eksis, ditandai oleh gaya komunikasi antar penduduknya yang saling logis, rasional, selalu dilandasi akal sehat serta tidak pernah menampilkan sikap-sikap “mau menang sendiri”. Konflik sosial, karenanya sangat jarang dijumpai di Thailand, sekalipun dengan kemajemukan penduduknya tidak kalah dengan Indonesia. Datang dan lihat sendiri secara langsung, sebagai pembuktiannya, dan bandingkan sendiri kontrasnya dengan wajah atau perangai Bangsa Indonesia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.