Tidak Selamanya Bersikap Diam adalah Emas, Menggoda Sikap Buruk Orang Lain untuk Menyalahgunakannya

ARTIKEL HUKUM
Pepatah mengatakan, pepatah klasik tentunya, bahwa diam adalah emas (silent is golden), bahwa kesabaran ialah tiada batasnya, dan penyabar tanpa protes adalah kesopanan sementara menjerit kesakitan adalah wujud ketidak-sopanan. Jika memang benar demikian, maka siapa yang paling diuntungkan dan yang paling merasa senang, bila bukan orang-orang jahat yang kerap mengambil untung, merugikan, dan menyakiti orang-orang pendiam yang acapkali “diam seribu bahasa” (yang lebih dapat menjadi mangsa empuk ketimbang seorang pendiam)?
Sebaliknya, seseorang yang bijaksana akan selalu memberikan sinyal-sinyal, entah lewat bahasa lisan maupun bahasa tubuh, bahwa dirinya tidak suka disakiti, dirinya tidak menerima untuk dirugikan, bahwa dirinya akan menolak dimanipulasi, bahwa dirinya tidak bisa dieksploitasi, bahwa dirinya “ada batas kesabaran”, bahwa dirinya punya kesadaran untuk menjaga dirinya sendiri, bahwa dirinya punya tanggung jawab untuk memperjuangkan harkat dan martabat dirinya sendiri, dan bahwa dirinya akan melakukan perlawanan jika diperlukan untuk menghentikan kesemua “penzoliman” itu agar tidak terus berlanjut bila pelakunya tidak mulai “sadar diri” dan untuk “tahu diri”.
Mengapa pemberian “sinyal-sinyal” tersirat maupun secara tersurat demikian, menjadi penting? Percaya atau tidak, berdasarkan begitu banyak pengamatan penulis terhadap psikologi karakter dan psikologi perilaku, mulai dari lingkup rumah tangga, lingkup lingkungan pendidikan, hingga lingkungan komunitas kerja maupun lingkungan sosial kemasyarakatan kita, terdapat sebuah hipotesis yang penulis uji dan mendapat kesimpulan yang mencengangkan : kerapnya masyarakat kita berasumsi atau memiliki pemikiran “gila” bahwasannya orang lain akan senang dan tidak berkeberatan bila dieksploitasi, dimanipulasi, disakiti, dirugikan, ditindas, dianiaya secara fisik, dilukai perasaannya, dan diperlakukan secara buruk maupun secara tidak patut.
Karenanya, menyampaikan “sinyal-sinyal” baik secara lisan maupun setidaknya lewat bahasa tubuh, menjadi penting bagi kita agar tidak senantiasa menjadi korban dan agar tidak dikorbankan / ditumbalkan oleh ego dan keserakahan orang lain yang kerapkali tidak mampu membendung dan mengontrol kekotoran batin diri mereka sendiri sehingga kerap kali memangsa hak-hak dan kehidupan orang lain (menjadi predator bagi sesamanya).
Sinyal-sinyal lisan tidak harus selalu berupa perkataan ujaran seperti “Aku tidak setuju...”, atau “Saya keberatan...”, atau seperti “Tidak dapat saya ikuti kemauan Anda itu untuk...”, dan lain sebagainya, namun dapat cukup sekadar “tidak memberi respons ucapan apapun” (alias menjawab dengan sikap mendiamkan tanpa memberi persetujuan apapun) dan seketika menghindar, menjaga jarak, dan tidak banyak berbicara dengan sang pelaku (menutup dan menjauhkan diri itulah sinyal-sinyal penolakannya).
Bersikap bungkam tidak memberi tanggapan ataupun persetujuan dan tidak mengikuti keinginan orang bersangkutan, sudah cukup dapat memberi sinyal implisit bahwa diri kita tidak dapat didikte, tidak ingin dimanipulasi, serta tidak bersedia dieksploitasi. Tips tersebut cocok bagi seorang anak yang memiliki ketimpangan posisi sosiologi ketika menghadapi orangtua ataupun kerabat yang lebih tua dari segi umur, yang tidak mampu menghargai harkat dan martabat seorang anak atau anggota keluarga yang lebih junior.
Banyak diantara orang-orang di sekitar kita yang sejatinya memiliki karakter “tidak tahu diri”. Sebagai contoh sederhana, tetangga kita memiliki rumah dan garasinya sendiri, namun kerap kali justru memarkir kendaraannya tepat di depan pintu gerbang kediaman rumah tinggal kita. Aneh namun nyata, itulah perilaku “tidak logis” masyarakat kita yang kerap penulis jumpai pada kehidupan nyata di keseharian. Karenanya, penting bagi kita untuk memberi “sinyal-sinyal” ketidak-setujuan dengan menolak praktik demikian, dan mulai “menyadarkan” si pelaku bahwa perilaku demikian adalah memalukan dan tercela. Mendiamkan, sama artinya menyuburkan perilaku yang semakin hari dapat dipastiakn akan semakin “menjadi-jadi”—jika itu sampai terjadi, maka salahkanlah sikap diam Anda sendiri yang telah mendiamkan dan berdiam diri selama sekian lamanya.
Telah banyak terjadi dalam berbagai kesempatan sebelumnya, penulis secara sukarela memberi bantuan berupa konseling tanya-jawab seputar hukum kepada seseorang yang manipulatif. Namun, bagai “air susu dibalas air tuba”, mereka justru berbalik membalas kebaikan hati penulis dengan berbagai “pemerkosaan” terhadap profesi penulis “tanpa rasa malu”, dan bahkan berani secara lancang membantah dengan menyatakan : “Pak Hery sendiri yang secara senang hati membantu saya.” Baiklah, selanjutnya tiada lagi sikap “baik hati” ataupun “Mr. Nice Guy” kepada orang-orang semacam itu. Mulai kini, bisnis adalah bisnis, pengemis silahkan masuk “tong sampah” (pengemis mana juga yang memiliki masalah seputar hukum ketenagakerjaan atau masalah hukum pertanahan dan kredit perbankan?).
Pernah juga suatu ketika, seorang pengusaha pemilik PT. AUDITSI UTAMA mengeksploitasi jasa dan tenaga penulis yang sudah jelas sedang mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum, namun selama hampir 200 jam melakukan pekerjaan hukum bagi kepentingan pengusaha bersangkutan, alih-alih merasa bersalah karena tidak membayar seperak pun tarif jasa yang menjadi hak dari penulis, mereka justru “tanpa malu” menuntut kembali dilayani tanpa ada setitik pun “rasa bersalah”. Mereka, para pelaku usaha serakah tersebut, merasa bahwa penulis “merasa senang” dieksploitasi dan dimanipulasi. Mereka adalah orang-orang dewasa yang berpendidikan tinggi, namun ternyata sangatlah tidak logis, dimana otak maupun isi pikiran mereka dipenuhi oleh asumsi-asumsi “gila” bernuansa egoistik, bahwa orang lain akan bersikap senang hati dirugikan dan dieksploitasi serta disuruh “mati makan batu”.
Sama halnya, telah ribuan pihak yang penulis blacklist karena menghubungi penulis dengan maksud untuk meminta dilayani (bahkan tidak sedikit diantaranya yang “menuntut” dilayani) atas masalah hukum pertanahan senilai belasan miliar Rupiah, masalah kredit dan agunan tanah yang pastinya bukanlah orang miskin, hingga masalah ketenagakerjaan dimana para buruh tersebut menuntut upah atas keringatnya, namun disaat bersamaan memakai asumsi “gila” bahwa penulis akan secara senang hati diminta untuk melayani mereka sementara profesi penulis mereka “perkosa” secara seenaknya dan disuruh “mati makan batu”. Memperkosa, namun mengharap dilayani? Asumsi “gila” yang benar-benar insane, alias “sudah putus urat malunya” akibat “nafsu birahi / libido” diri mereka sendiri yang tidak mampu mereka bendung sehingga orang lain yang terkena getahnya.
Betapa memprihatinkan dan betapa “segila” itulah isi otak Bangsa Indonesia, memakai asumsi serampangan yang sangat tidak manusiawi, sementara diri mereka sendiri tentunya akan menolak jika diperlakukan demikian sebagaimana perbuatan diri mereka terhadap orang lain. Segala asumsi “gila” itulah yang pada gilirannya menimbulkan berbagai konflik sosial maupun konflik hukum. Itulah, akar penyakit dari segala anomali sosial-kemasyarakatan kita, sebuah “asumsi gila” yang “tidak logis”.
Jangankan dalam lingkup diluar rumah, dalam keluarga kita sendiri pun tidak jarang kita menemui anggota keluarga yang eksploitatif, tidak terkecuali orangtua terhadap anak kandungnya sendiri seperti orangtua yang melecehkan dengan melakukan perbuatan asusila terhadap anak gadisnya sendiri, atau orangtua yang menjadikan anaknya sebagai “mesin ATM”. Realita tidak pernah semanis dunia dongeng dimana semuanya tampak ideal, dengan diskusi antar karakter tokohnya yang saling logis.
Apa jadinya bila kesemua praktik “gila” akibat perilaku “tidak logis” dan “tidak tahu diri” masyarakat kita dibiarkan begitu saja tanpa diberikan sinyal-sinyal penolakan dan ketidak-setujuan? Mereka, para pelakunya, akan berasumsi dan meneguhkan asumsinya bahwa kita tidak berkeberatan disakiti, tidak menyampaikan komplain ketika dirugikan, tidak menyadari ketika dimanipulasi, tidak menolak ketika dieksploitasi, dan tidak melawan ketika sakiti, yang pada gilirannya akan menjelma “kebiasaan” yang kian “membesarkan hati” para pelakunya—alih-alih merasa “malu” dan “sadar diri”, para pelakunya dapat dipastikan akan semakin “menjadi-jadi”. Hipotesis demikian, lagi-lagi penulis afirmasi dan menemukan kebenarannya dalam dunia nyata—sehingga apa yang penulis uraikan bukanlah wacana ataupun teori belaka.
Pepatah, lagi-lagi pepatah usang, menyebutkan bahwa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Alhasil, para guru berasumsi bahwa diri mereka selalu benar dan murid selalu lebih bodoh daripada mereka. Aturan pertama, guru tidak pernah salah. Aturan kedua, jika jika guru salah maka lihat aturan pertama. Asumsi “gila” demikian menjadikan berbagai kalangan guru hingga dosen di Indonesia menyerupai diktator atau menjelma otoriter antikritik dan tidak toleran terhadap peserta didik mereka. Guru kerdil, menghasilkan pula murid-murid yang kerdil. Praktik pedagogi di luar negeri, sangat kontras dengan wajah praktik pendidikan di Indonesia, dimana seorang guru ataupun dosen yang dikritik dan diprotes oleh murid, bukanlah hal yang ditabukan, sehingga mereka masing-masing dapat saling berkembang.
Hanya bersikap diam, berdiam diri, barulah menjadi keliru ketika kita tidak memberikan “sinyal-sinyal” ketidak-sukaan, ketidak-setujuan, dan penolakan atau bentuk-bentuk keberatan lainnya, baik secara lisan maupun lewat bahasa tubuh. Berikanlah sinyal-sinyal untuk menyampaikan pesan tersirat bahwa orang lain tidak bisa mendikte kita, tidak bisa memanipulasi kita, dan tidak bisa mengeksploitasi diri kita, serta kita tidak senang ketika dirugikan, disakiti, dibohongi, diberi janji palsu (ingkar janji), ataupun dilukai.
Ketika kita hanya berdiam diri, bungkam, namun lalai memberikan sinyal-sinyal penolakan dan ketidak-sukaan demikian, maka sama artinya kita membuka diri menjadi “mangsa empuk” bagi serigala-serigala lapar bernama manusia yang “tidak tahu diri” yang memiliki asumsi-asumsi “gila” dalam otak mereka bahwa orang lain akan “senang” dan “tidak berkeberatan” ketika disakiti, dilukai, dirugikan, dimanipulasi, serta dieksploitasi segala hak-hak maupun martabatnya.
Pepatah klasik yang lebih bijak menyebutkan, perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Sementara pepatah yang lebih modern mengajarkan agar kita memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Menjadi polemik, ketika kita hanya berdiam diri ketika “diculasi” tanpa memberikan sinyal-sinyal penolakan demikian, maka bisa jadi mereka (para pelakunya) akan membentuk semacam justifikasi mental bahwa benar diri kita “senang” diperlakukan secara serampangan dan sewenang-wenang oleh mereka, bahwa seorang korban akan senang dikorbankan.
Manusia, pada dasarnya senang melakukan apa yang disebut sebagai “pembenaran diri”. Ketika seseorang “tidak tahu diri” memiliki asumsi-asumsi “gila” semacam yang telah penulis urai berulang-kali pada paragraf sebelumnya, lantas mendapat justifikasi seolah orang lain tersebut “senang” dan “tidak keberatan” dimanipulasi serta dieksploitasi, maka itulah celah atau pintu masuk bagi praktik “pembenaran diri” sang pelakunya.
Entah karena kesalahan pola asuh atau karena kekeliruan metodologi pendidikan formal kita di Tanah Air, mengapa asumsi “gila” semacam itu bisa menyusupi begitu banyak warga dan masyarakat kita di Indonesia, sekalipun para pelakunya tersebut sudah dewasa, berpendidikan, dan “agamais”? Mereka berpikir dan berasumsi bahwa orang lain hanyalah sekadar “alat pemuas nafsu” mereka belaka, siap untuk “ditumbalkan” dan “dikorbankan”, menyerupai seekor serigala yang memburu dan menunggu sebelum kemudian menyergap untuk menerkam mangsanya hidup-hidup, yang notabene lebih menyerupai kanibalisme “manusia memakan sesama manusia”—serigala bagi sesamanya.
Mungkin dua patah kata ini yang lebih tepat mewakili fenomena masif demikian yang penulis jumpai dalam berbagai kesempatan dan berbagai kondisi serta berbagai situasi maupun tempat, yakni “tidak logis-nya” masyarakat kita. Itulah akar penyakit serta penyebab atau biang keladinya, betapa “tidak logis” atau jauhnya cara berpikir masyarakat kita dari kemampuan berpikir logis yang paling mendasar dan paling sederhana, bahwa orang lain tiada satu pun dari mereka yang akan merasa senang dieksploitasi dan dimanipulasi demi kepentingan dan keuntungan orang lain. Tiada satupun buku pendidikan di bangku sekolah maupun pelajaran keagamaan yang mengajarkan pemikiran “segila” demikian, sehingga besar kemungkinan teladan dalam lingkup keluarga maupun lingkungan pergaulan yang menjadi biang-keladinya.
Bagi penulis secara pribadi, itulah yang menjadi instrumen guna menilai matang atau belumnya tingkat kedewasaan berpikir seseorang, bukan perihal umur, namun daya berpikir logis atau tidaknya dari seesorang individu, yakni semudah memakai benchmark sederhana berupa instrumen yang mampu menelisik isi asumsi paling mendasar dari isi pikiran seseorang, apakah mereka memiliki asumsi “gila” semacam itu?
Bagaimanakah untuk mengujinya? Semudah memberikan mereka kesempatan untuk menampilkan “wajah asli” mereka dengan membuka sedikit celah diri kita untuk mereka memasukkan “serangan terselubung” (yang sejatinya sedang kita awasi dan amati), atau seiring berjalannya waktu maka riak-riak karakter sejati mereka pun akan tampil juga secara sendirinya. Ketika sikap-sikap yang hendak mengorbankan orang lain demikian kita dapat kita lihat gelagatnya, maka itu sudahlah cukup untuk dapat menilai karakter dan sikap batin dari orang bersangkutan, apakah dirinya “logis” ataukah tidaknya. Sayangnya, dan kabar buruknya, jarang terdapat seseorang yang lolos dari uji moril ini berdasarkan pengamatan penulis. Apakah sesukar itu, hidup tanpa mengorbankan kehidupan atau hak-hak milik orang lain?
Bila seseorang senang “menyakiti” orang lain, belumlah tentu orang lain yang menjadi korbannya akan turut senang pula “disakiti”. Disakiti dan menyakiti, adalah dua hal yang sangat berlainan, yang satu ialah aksi pelakunya dan satu lainnya ialah akibat bagi korbannya. Namun, mengapa masyarakat kita yang telah cukup umur dan cukup berpendidikan sekalipun, kerapkali gagal untuk memilah dan memisahkan kedua aspek tersebut yang sejatinya tidak sama dan bertolak-belakang? Siapa juga yang tidak senang menyakiti, namun siapa juga yang akan senang jika disakiti? Ibarat seorang penipu gemar menipu orang lain, namun akan marah ketika tertipu.
Seorang penipu pastilah gemar “menipu”, namun mengapa diri mereka mampu memiliki asumsi “gila” bahwa orang lain yang menjadi korbannya akan dengan senang hati “ditipu”? Seorang perampok jelas sangat senang “merampok” (merampok harta milik orang lain, tentunya), namun bagaimana mungkin mereka mampu memiliki asumsi dalam psikologi karakter mereka maupun pola berpikir mereka, bahwa seolah-olah para korbannya akan dengan senang hati “dirampok”?
Siapapun senang bila dapat mengeksploitasi orang lain, memanipulasi orang lain, menindas orang lain, menyalah-gunakan posisi dominan, ataupun mengambil keuntungan atas penderitaan dan mengambil keuntungan ditengah-tengah kesempitan yang dialami oleh orang lain seperti kartel harga bahan kebutuhan pokok di pasar ternyata tetap dibeli juga oleh konsumen. Tetap laku, artinya konsumen tetap bersenang hati membelinya?
Namun, yang selalu menjadi masalah, ialah pola berpikir “tidak logis” (alias cara berpikir “gila”) seolah-olah orang lain yang dijadikan sebagai korbannya akan senang hati diperlakukan demikian, semata karena diam, bungkam seribu bahasa, dan tanpa memberikan sinyal-sinyal penolakan apapun sama sekali? Bila “diam” atau “bungkam” dimaknai sebagai persetujuan, itu pun adalah asumsi Anda pribadi, bukan mencerminkan isi pikiran seseorang ataupun orang lain.
Yang paling berat hidup di tengah-tengah negeri ini, ialah tetap menjadi orang baik-baik di tengah kerumunan “manusia serigala”. Menjadi manusia baik, selalu dipandang dan dijadikan sebagai “mangsa empuk” yang menjadi buruan para “manusia serigala” yang tidak pernah kenal puas dan selalu merasa kelaparan. Indonesia, dapat disebut sebagai surga para “manusia serigala”, dan disaat bersamaan menjadi negara yang sangat tidak ramah terhadap manusia baik-baik, dimana untuk memberikan sinyal penolakan saja dikatakan sebagai “tidak sopan”, seolah perilaku-perilaku buruk seperti menyakiti dan merugikan orang lain ialah “sopan”?
Sejak kapankah, di negeri ini, bersikap buruk sebagai “sopan” dan menjadi korban yang menjerit ialah “tidak sopan”? Hanya di Indonesia tampaknya, putar-balik logika moril demikian berlangsung secara masif, secara “tidak logis”. Meski demikian, yang paling terburuk dari kesemua tragedi sosial di atas, ialah fenomena “unik” dimana para masyarakat justru memberi komentar “miring” kepada pihak korban sebagai “tukang marah” ketimbang alih-alih sibuk mengkritik dan mencela perilaku buruk para pelaku yang melakukan kejahatan dan pelanggaran. Masyarakat kita, lebih pandai menghakimi korban, ketimbang menghadirkan keadilan bagi korban—alias watak “tidak logis” itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.