Hari Gini, masih Menilai seorang Profesional dari Gelar Akademik?

ARTIKEL HUKUM
Tidak jarang, penulis ditanyai calon klien maupun calon pembeli buku karya tulis penulis, perihal gelar akademik terakhir yang penulis miliki. Seolah, prestasi dan kompetensi seseorang ditentukan dari gelar akademik yang disandang olehnya, sekalipun telah banyak nama tokoh-tokoh besar yang kini menjadi milioner dan fenomenal prestasinya ternyata adalah hasil Drop Out perguruan tinggi.
Don’t jugde the book by its cover. Janganlah pula menilai seseorang berdasarkan gelar akademik, karena akan sangat mengecoh—mengecoh orang lain dan mengecoh dirinya sendiri, seolah dirinya telah “dewa” dibidang tersebut yang pada gilirannya akan membuat “kerdil” dirinya yang bersangkutan itu sendiri. Gelar yang dimiliki, dapat menjelma sebuah “jebakan mental”. Itulah sebabnya, seringkali kalangan Profesor begitu “kering”, hanya gemar merepetisi teori yang usang, karena dirinya sudah merasa di puncak ilmu pengetahuan—alias menyerupai “zona nyaman” (comford zone).
Negeri tercinta kita ini tidak pernah kekurangan para Doktor, Magister, hingga Profesor Hukum. Namun pertanyaannya, mengapa praktik hukum kita begitu simpang-siur, penuh disparitas, hingga bahkan peraturan perundang-undangan masih menggunakan produk hukum peninggalan Kolonial Belanda? Apakah menurut Anda, keadilan dan kebenaran adalah monopoli seorang Doktor dan Profesor dibidang hukum? Realitanya, praktik hukum kita di ruang persidangan maupun parlemen saat membentuk regulasi, masih menyerupai cara berhukum yang primitif. Ironis sekali bila kita berasumsi bahwa keadilan dan kebenaran perihal hukum dimonopoli kalangan yang mampu membeli gelar akademik.
Keadilan dan kebenaran, bahkan bukan monopoli kalangan Sarjana Hukum. Jika memang keadilan adalah monopoli kalangan profesi Sarjana Hukum dan Pengacara, mengapa juga kini tren dan fenomena terbaru justru memperlihatkan sebaliknya: orang awam kini lebih tertarik masuk sendiri ke persidangan ketimbang diwakili pengacara untuk menggugat ataupun untuk membantah gugatan.
Dalam pandangan penulis, pertanyaan semacam “apakah gelar akademik terakhir Anda”, merupakan sebuah pertanyaan yang mencirikan betapa kerdil daya kapasitas berpikir diri sang penanya itu sendiri. Terhadap pertanyaan semacam itu, penulis tidak lagi pernah tertarik untuk mendebat terlebih berpanjang lebar, seketika akan penulis tutup komunikasi dari yang bersangkutan. Untuk apa juga membuang waktu produktif yang begitu berharga hanya demi memberitahu hal yang sedemikian sederhana seperti tiadanya relevansi antara gelar akademik dan kompetensi dibidang suatu profesi.
Seseorang prefesional, hendak diukur kompetensinya dari sebatas alat ukur “pendek” bernama “gelar” akademik? Penulis tidak pernah tertarik untuk menempuh gelar Magister maupun Doktoral Hukum, bukan semata tidak mampu membayar untuk biaya perkuliahan, namun semata karena FAKTA : PROGRAM MAGISTER DAN DOKTORAL HUKUM HANYALAH MEMBUANG-BUANG UANG BELAKA. Penulis menyebutnya sebagai, program “buang-buang waktu” dan program “buang-buang uang”. Apakah masih belum cukup juga, segala teori itu? Mohon maaf saja, penulis sudah sedemikian “kenyang” dengan teori saat masih berkuliah sebagai mahasiswa. Faktanya, perpustakaan hukum selalu kosong dari peminat dan buku-buku hukum tidak pernah dijamah oleh mereka yang memiliki deretan gelar akademik.
Terkecuali program kenotariatan, program perkuliahan Strata Dua maupun Strata Tiga hukum lebih menekankan aspek teoretis semata, bukan aspek keterampilan praktis. Bila program S2 maupun S3 hukum, hanya menekankan aspek teoretis, maka yang selama ini menjadi pertanyaan bagi penulis, untuk apa membayar mahal hingga ratusan juta rupiah semata hanya untuk menyandang gelar “M.H” ataupun “Dr.” Belaka? Secara kalkulasi bisnis, lebih baik dana sebesar itu ditempatkan dalam instrumen deposito pada lembaga keuangan.
Mengapa pertanyaan tidak mulai kita ubah, agar menjadi lebih relevan dengan mengajukan pertanyaan secara lebih cerdas, seperti : Berapa ribu putusan yang telah Bapak teliti? Berapa puluh ribu jam terbang profesi Bapak? Siapa saja klien Bapak selama ini? Bidang-bidang hukum apa saja yang pernah Bapak tangani sebagai Konsultan Hukum? Karya-karya ilmiah dan tulis apa saja yang pernah Bapak hasilkan? Spesialisasi hukum apa yang Bapak kuasai? Prestasi apa saja yang pernah Bapak cetak selama berprofesi sebagai seorang Konsultan Hukum?
Tidak pernah penulis mengemis-mengemis agar orang-orang / si penanya tersebut agar menggunakan jasa profesi hukum penulis. Tidak pernah juga penulis membutuhkan model klien semacam itu, setidaknya itulah kabar baik dari penulis bagi diri penulis pribadi. Alih-alih merasa kecewa ataupun rendah diri, penulis justru hanya tersenyum, mendapati masih adanya kapasitas berpikir yang demikian dangkal dalam menilai seorang profesional. Penulis memang tidak pernah bermaksud untuk memuaskan semua pihak, karena penulis berfokus pada klien-klien yang memahami betul kompetensi penulis. Selebihnya, bukan urusan penulis. Biarlah orang-orang demikian menikmati layanan para “Magister”, “Doktor”, hingga “Profesor” hukum dengan teori-teori mereka yang tebal namun tidak dapat digunakan dalam tataran praktik.
Website yang penulis asuh ini, merupakan wujud nyata konkret betapa kalangan mahasiswa calon Magister maupun Doktoral Hukum menjadikan website ini sebagai sumber rujukan. Begitupula berbagai Perguruan Tinggi ilmu hukum juga menjadikan telaah dan kajian hukum dalam website ini sebagai sumber rujukan. Tidak terkecuali para profesional hukum, mulai dari Pengacara, Akademisi (Dosen), hingga kalangan Hakim bahkan juga turut membeli dan membaca karya-karya tulis ilmiah hukum yang penulis tulis dan terbitkan.
Negeri kita ini tidak pernah kekurangan orang-orang bergelar “Magister” maupun “Doktor” Hukum. Namun negeri ini selalu kekurangan orang-orang yang mendalami ilmu hukum praktis bernama “berketerampilan” berhukum. Penulis pernah mengenyam PKPA (Pelatihan Khusus Profesi Advokat), ternyata isinya hanya sekadar repetisi teori yang sejatinya bisa dibaca sendiri di dalam buku bahkan oleh orang-orang yang awam dibidang hukum, sekalipun PKPA tersebut berbiaya hampir mencapai sepuluh juta Rupiah dan diadakan oleh Universitas Indonesia—yang pada akhirnya penulis juga tidak pernah tertarik mengikuti ujian Advokat yang penulis nilai hanya menggemukkan pundi-pundi monopolis kalangan swasta bernama lembaga asosiasi Perhimpunan Advokat.
Merasa kecewa dengan berbagai “wajah” Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, penulis sampai pada satu kesimpulan, yakni : belajar sendiri ilmu hukum, masih jauh lebih efektif ketimbang MEMBUANG-BUANG UANG UNTUK PENDIDIKAN HUKUM YANG TIDAK TEPAT GUNA, TIDAK EFEKTIF, TIDAK APPLICABLE. Semua Magister hingga Doktor Hukum tersebut, adalah spesialis “teori” belaka. Biarlah mereka cukup puas berbangga diri dengan gelar akademik mereka, sementara penulis melaju terus dalam kecepatan penuh sebagai seorang spesialis “preseden”—ilmu tentang prediksi.
Fakta kedua, tiada lulusan Magister Hukum maupun Doktor Hukum yang siap pakai dalam dunia kerja profesi hukum. Seringkali, mereka yang menempuh pendidikan Strata Dua Hukum, adalah mereka yang tidak mendapat pekerjaan setelah lulus sebagai Sarjana Hukum, lalu mengisi waktu mereka dengan menempuh program Magister hingga Doktoral Hukum.
Fakta ketiga, jika memang para Magister dan Doktoral Hukum tersebut memang kompeten dibidang hukum, mengapa juga Anda masih seringkali justru membaca ulasan penulis dalam website ini? Mengapa tidak Anda memilih untuk selalu membaca karya-karya tulis para Doktor dan Profesor Hukum tersebut, alih-alih membaca berbagai ulasan hukum penulis? Fakta keempat, mengutip pernyataan Mao Tze Tung, “Tidak penting kucing putih ataukah kucing berwarna hitam, yang terpenting ialah dapat menangkap tikus.”
Fakta kelima, meski yang bukan paling akhir, penulis sudah sejak lama menjadi mahasiswa yang menempuh pendidikan ilmu hukum dari “CsUK”, alias Calon Sarjana Universitas Kehidupan. Dengan demikian, tidak pernah penulis merasa rendah diri ataupun berkecil hati dengan mereka yang memamerkan deretan gelar akademik mereka, yang memenuhi kartu nama yang bersangkutan dengan penuh kebanggaan—sebetapa kosong pun isi kepala mereka sejatinya, selain sekadar penuh oleh teori yang tidak pernah tepat guna.
Sebaliknya, penulis selalu tersenyum setiap kali mendapati karya-karya tulis kalangan Magister, Doktor, hingga Profesor Hukum tersebut yang banyak tbertebaran di dalam publikasi jurnal maupun internet—tidak praktis, bertele-tele, membosankan, dan tidak tepat guna, alias hanya berisi teori, teori, dan teori tebal yang membuang-buang waktu. Penulis tidak pernah tertarik mengikuti jejak mereka menjadi kalangan teoretis. Sangat jarang sekali, bila tidak dapat disebut tidak pernah, tertarik untuk menyentuh karya-karya tulis ilmiah semacam itu ketika mengkaji hukum atas masalah hukum yang dihadapi klien.
Penulis memilih untuk menjadi praktisi, belajar dari praktik, dan hidup dari praktik yang praktis dan applicable. Bagi mereka yang masih mengejar “gelar”, maka janganlah lagi Anda menjejakkan kaki dalam website ini, terlebih menghubungi penulis—karena penulis bukanlah teoretis yang terlampau banyak waktu untuk dibuang bermanja-manja demi teori yang membuang-buang waktu.
Pembelajaran ialah proses sepanjang hayat, itulah yang penulis dapati dari “CsUK”, yang tidak pernah didapatkan oleh mereka “jebolan” Magister ataupun strata Doktoral Hukum yang hanya hitungan dua atau tiga tahun semata, produk “karbitan” yang tidak pernah merasakan kerasnya dunia hukum. Tiada yang terhebat dalam dunia ilmu hukum, di atas langit masih ada langit. Itulah sebabnya, setiap mahasiswa dari “CsUK” bahkan masih lebih kompeten ketimbang Magister maupun Doktoral Hukum manapun yang akan terbata-bata ketika dimintai opini perihal dunia praktik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.