Bullying artinya Menyepelekan / Meremehkan Perasaan Korban Perundungan, PENGHAKIMAN SECARA VERBAL

ARTIKEL HUKUM
Yang bukan turut menjadi korban, tidak pernah berhak untuk menghakimi seorang korban, karena hanya pihak korban dan sesama korban itu sendiri yang paling tahu kondisi dan situasi yang dialami seorang korban. Penting untuk kita ingat selalu, kita hanya berhak berkata “itu hanya hal sepele” kepada diri kita sendiri. Kita tidak pernah berhak menghakimi orang lain, terlebih seorang korban, dengan menyatakan bahwa yang dialaminya hanyalah hal “sepele” semata. Hanya diri individu bersangkutan masing-masing yang paling mengetahui kesulitan hidup dan latar-belakang situasi yang dialaminya sendiri sepanjang hidupnya, bukan orang lain, dan bukan pula para komentator yang berhak menghakimi seseorang individu lainnya.
Hal kedua yang akan penulis bahas dan kaitkan, karena memang saling terkait erat, ialah fenomena betapa masyarakat kita, belum memiliki “sense of justice”, yang seringkali justru menghakimi dan mendiskreditkan pihak korban—alih-alih menyalahkan dan mengkritisi pihak yang telah merugikan, mengintimidasi, menyudutkan, ataupun menyakiti pihak korban. Penulis menyebutnya sebagai, “komentar tidak berempati” alias “penghakiman” yang “salah alamat”.
Dimanakah letak korelasinya antara hal pertama, dan hal kedua tersebut di atas? Jika para pembaca dari sejak awal telah mencermati makna tersirat dibalik judul artikel ini, maka sebetulnya disitulah letak jawabannya dan telah terjawab secara sendirinya. Hal pertama dan hal kedua tersebut di atas, korelasinya ternyata ialah sebuah praktik yang bernama “perundungan” alias “bullying”—tidak banyak diantara masyarakat kita yang mampu memahami hal yang sebetulnya sesederhana ini.
Tidak jarang, dalam persidangan perkara tindak pidana asusila, pihak terdakwa selaku pelaku (bahkan juga hakim) justru menyalahkan pihak korban, dengan menyebutkan bahwa 'dikarenakan sang korban memakai rok pendek' atau 'tergoda akibat sang korban terlampau cantik-jelita'. Sebagai contoh lainnya, sekadar untuk memudahkan pemahaman, tidak sedikit komentar tidak berempati terhadap penulis, yang sudah demikian jelas sedang mencari nafkah dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum (konsultasi hukum). Ketika seseorang mencoba menghubungi penulis, meminta dilayani tanya-jawab seputar hukum tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN, lantas penulis menanggapi secara keras, dengan nada yang “pedas”, banyak komentator yang justru “menghakimi” penulis dengan sebutan “hal sepele saja begitu murka”—alih-alih mengkritisi perilaku sang pelaku. Siapa yang tidak akan murka, “disuruh bekerja namun diberi makan batu” (perkosaan terhadap profesi konsultan)? Komentar tidak berempati itulah, yang disebut sebagai “perundungan”, tanpa mau memahami kondisi penulis, yang bekerja mencari nafkah sebagai seorang Konsultan Hukum.
Entah bagaimana, dalam realita yang marak terjadi dan penulis amati serta alami di tengah-tengah kehidupan sosial-masyarakat kita, seringkali “penghakiman” justru “salah alamat”, ditujukan kepada pihak korban—alih-alih berempati dan turut bersimpati, justru “menghakimi” pihak korban (seolah kondisi sedang lemahnya dan rentannya pihak korban menggoda menjadikannya sebagai sasaran empuk “bullying”), dan sama sekali tidak mengkritisi perilaku pihak-pihak yang merugikan ataupun melukai korban mereka.
“Penghakiman salah alamat demikian”, tidak lain tidak bukan ialah praktik “perundungan”—dimana para komentator yang lebih pandai “menghakimi tersebut” (“hakim rakyat” yang buruk) sama sekali tidak mau memahami, dan memandang remeh perasaan korban (menyepelekan kondisi dan latar-belakang situasi yang dialami sang korban). Praktik perundungan, selalu terdapat unsur “meremehkan” ataupun “menyepelekan”, terhadap perasaan korban si pelaku. Itulah esensi paling mendasar dari praktik perundungan—tidak ada rumusan lain yang lebih mendekati unsur esensial dari sebuah “bullying”.
Saat uraian ini penulis susun, kembali jatuh korban jiwa akibat perundungan, dimana seorang artis Korea Selatan, meninggal dunia bunuh diri akibat “cyber bullying”, dimana para pelaku “cyber byllying” tersebut senantiasa selalu meremehkan dan menyepelekan perasaan sang korban perundungan, berasumsi bahwa komentar tidak simpatik mereka, hanyalah komentar sinis “sepele”. Kita tidak pernah berhak untuk menyepelekan perasaan orang lain, terlebih perasaan dan situasi seorang korban.
Sebagai contoh konkret lainnya, dimana kejadian berikut ini adalah nyata, dan baru-baru ini terjadi dimana disaksikan langsung oleh penulis. Pada suatu lingkungan perumahan padat penduduk, dimana tata ruang wilayahnya ialah untuk peruntukan pemukiman, namun terdapat seorang pengusaha, yang mengubah bangunan miliknya di tengah-tengah pemukiman tersebut, menjadi tempat usaha berskala besar dengan banyak pegawai dan arus keluar-masuk barang yang tergolong berskala tinggi.
Usaha ilegal, tetaplah ilegal di mata hukum, karena usaha demikian didirikan di tengah zona pemukiman, bahkan kondisinya padat penduduk serta jalan yang kecil. Tidak ada di mata hukum, istilah “sepela” ataupun “tak sepele”. Usaha ilegal, ialah ilegal dan secara normatif harus ditutup. Zona hijau, adalah zona hijau, tidak ada kompromi. Zona merah, adalah zona merah.
Tidak ada zona “abu-abu” dalam perspektif hukum. Kriminil adalah kejahatan, tidak ada kekerasan fisik yang mengakibatkan luka dalam hingga memar dan berdarah sebagai perbuatan yang “sepele”. Kriminil adalah kriminil, kejahatan adalah kejahatan. Menyepelekan tindak kriminil, sama artinya merendahkan martabat hukum. Melanggar hukum tetaplah melanggar hukum, tidak ada istilah pelanggaran hukum yang “sepele”. Kriminal adalah kriminal, tiada dikenal istilah kriminal yang “sepele”.
Contoh berikut ini akan mengajak pembaca untuk sedikit berfalsafah. A menyebut B sebagai “anjing”. C, D, E, maupun F, tidak akan mampu memahami perasaan B, ketika disebut sebagai “anjing”. Hanya B yang paling tahu isi perasaannya ketika disebut sebagai “anjing”. Maka, berhakkah C, D, E, maupun F “menghakimi” B yang menjadi “murka”, bahkan itu “hanya hal sepele”? C, D, E, maupun F, bahkan tidak mengetahui, bahwa ada latar-belakang, yang mengakibatkan (ada “asap”, pastilah didahului oleh “api”) A melontarkan kata-kata tersebut pada B, ialah respons akibat perilaku B terhadap A.
Maka, berhakkah kita yang tidak mengetahui betul keadaan utuh atau gembaran lengkap kejadiannya, menyebut bahwa A sebagai “causa prima”-nya, sekaligus membuat penghakiman “itu (perilaku B terhadap A) hanya hal sepele”? Hanya A yang paling tahu betul isi perasaannya akibat perbuatan B terhadapnya, yang mana seringkali kejadian di latar-belakang tersebut tidak diketahui oleh banyak orang yang acapkali hanya melihat kejadian di permukaan.
Pada gilirannya, seiring berjalannya waktu, sang pengusaha dalam setiap harinya memanggil puluhan hingga ratusan “ojek online” maupun mobil box kurir jasa ekspedisi hingga mobil kontainer berukuran besar, untuk mengirim dan menerima barang-barang jualan maupun bahan baku produksinya—yang kian hari kian tinggi intensitasnya—hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum menjelma konflik sosial dengan warga pemukim setempat. Gaibnya, sang pengusaha sekalipun memiliki luas bangunan yang sangat besar, tidak mau membuat sepetak pun tempat parkir, mengakibatkan, terjadinya keresahan bagi warga setempat, dimana para kurir tersebut memrkir kendaraannya persis di depan pagar rumah-rumah warga, akibat tiadanya tempat parkir yang patut.
Hal demikian terjadi bertahun-tahun lamanya, dari pagi hari hingga sore hari, enam hari dalam seminggu. Pada akhirnya seorang warga, tidak lagi dapat menoleransi gangguan demikian, dimana para “ojek online” kerap memarkir kendaraannya tepat di depan pagar pintu kediaman warga, sehingga menyukarkan penghuni kediaman untuk keluar dan masuk dari kediamannya sendiri, sehingga tidak jarang terjadi bersitegang dengan pihak driver “ojek online” demikian semata untuk dapat keluar dan masuk ke dan dari rumah sendiri. Sang warga mencoba melaporkan pada pihak Pemerintah Daerah, namun tidak membuahkan hasil—sebagaimana yang sudah-sudah, negeri ini sangat menyerupai “negeri tanpa kehadiran negara”, yang berlaku kemudian ialah “hukum rimba”, siapa yang kuat maka ia yang bertahan.
Pihak pengusaha yang memesan / memanggil kurir-kurir tersebut, tidak bertanggung-jawab atas puluhan hingga ratusan kurir yang hilir-mudik dari dan ke tempat usahanya, tepat di tengah-tengah pemukiman padat penduduk tersebut, dengan alasan “salah si pengemudi ojek online dan kurir tersebut yang parkir di sembarang tempat”—sementara sang pengusaha itu sendiri, tidak memiliki izin usaha terlebih izin lokasi (zona pemukiman), dan sama sekali tidak membuat lahan untuk tempat parkir tamu-tamu dan kurir yang dipesan olehnya. Bahkan, mengirim paket barang dengan menggunakan alamat milik warga setempat.
Ketika seorang warga seringkali berselisih dengan kurir-kurir pesanan sang pengusaha, merasa tidak lagi dapat memberi toleransi pada pengusaha tidak bertanggung-jawab dan usahanya yang ilegal demikian, karena sudah menyerupai “raja jalanan” dan mengusai lingkungan pemukiman padat penduduk tersebut yang diubahnya menjadi “tempat parkir” bagi kepentingan ekonomi sang pengusaha, akhirnya pecah “perang dingin” hingga bermuara apda terjadinya aksi penganiayaan secara fisik oleh sang pengusaha beserta puluhan karyawannya secara keroyokan terhadap sang warga yang telah menghuni di pemukiman tersebut selama 40 tahun lamanya, guna membungkam sang warga yang melakukan protes keras.
Namun, yang paling menyakitkan bagi sang warga, ketika salah seorang driver “ojek online” yang bukan warga setempat, kemudian merasa berhak mengatur-ngatur dan menghakimi sang warga yang menjadi korban, tanpa sedikit pun empati atas luka fisik yang diderita sang warga, dengan menyatakan “hal sepele saja ribut-ribut”—dirinya sama sekali tidak menghujat para pelaku yang melakukan kekerasan fisik terhadap sang warga, dan dirinya pula kerapkali “ngetem” di perempatan jalan sehingga mengakibatkan “bottle neck” bagi lalu-lintas pejalan kaki maupun pengendara—semata karena dirinya adalah driver “ojek online” yang juga sering mendapat order dari sang pengusaha (ada bias kepentingan dari si komentator, itu yang harus kita waspadai dan pelajari dari contoh kejadian demikian, bahwasannya tidak semua komentator adalah netral dalam melontarkan komentar).
Sama sekali tidak ada nada empati terhadap sang warga yang menjadi korban, yang sama artinya “penghakiman secara salah alamat”—sekaligus termasuk kategori “bullying” itu sendiri, karena tidak mau memahami perasaan warga yang menjadi korban, dan meremehkan / menyepelekan perasaan korban. Pantaslah dirinya tidak dapat berprofesi sebagai seorang hakim di pengadilan, namun hingga usia tuanya hanya bernasib menjadi seorang driver “ojek online”.
Saat kini, maraknya “online shopping”, mengakibatkan banyak terjadi perubahan fungsi tata ruang “secara politis”—dari yang sejatinya tata ruang untuk pemukiman, mulailah terjadi terganggunya ketenteraman warga pemukim akibat penjual “online” yang memanggil kurir-kurir, yang mengakibatkan warga-warga setempat menjadi terganggu kedamaian hidupnya. Hanya warga pemilik rumah yang paling tahu benar betapa mengganggunya fenomena demikian, bukan orang lain yang bukan warga setempat.
Sehingga, membuat “penghakiman” bahwa “itu hanya hal sepele” (kurir-kurir yang parkir sembarangan di depan rumah warga setempat) akibat sang penjual “online” tidak menyediakan tempat parkir khusus untuk kurir-kurir yang dipesan olehnya, sama artinya “bullying” itu sendiri—alias meremehkan dan menyepelekan perasaan warga setempat. By the way, yang paling sukar ketika menghadapi watak Warga Indonesia, ketika mereka kalah dalam perdebatan logis, selalu menjurus pada jika tidak ujaran irasional, maka menjurus pada kekerasan fisik, merusak harta-benda, hingga praktik pengeroyokan (pengusaha bermodal dengan jumlah banyak karyawan, tends to corrupt).
Berulang-ulang perlu penulis tegaskan serta tekankan, bahwa kita tidak pernah berhak untuk menghakimi orang lain, dimana hanya orang itu sendiri yang paling mengetahui kehidupannya, dengan berkata bahwa yang dialami oleh seorang korban, hanyalah hal “sepele”. Kata-kata “sepels” tersebut, hanya dapat kita tujukan kepada diri kita sendiri—bukan digunakan untuk mendiskreditkan pihak lain, terlebih bagi seorang korban yang tidak pernah dapat kita pahami isi perasaan dan kondisi keadaan maupun gambaran utuh latar-belakang kejadiannya.
Berulang-ulang pula penulis selalu menekankan, definisi “bullying” atau perundungan, ialah “meremehkan / menyepelekan perasaan orang lain” yang menjadi korban dari perundungan. Sadarkah Anda, menghakimi orang lain yang menjadi korban suatu petaka, bencana, ataupun tragedi dan konflik sosial, sebagai “hanya hal sepele”, juga termasuk sebagai kategori “bullying”? Bila Anda masih belum memahami maksud dibalik pernyataan tersebut, maka silahkan rujuk kembali definisi “bullying”.
Lantas, bagaimanakah caranya menghentikan praktik “bullying”? Tidak lain harus dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu, dengan menghentikan sikap “menyepelekan” dan “meremehkan” perasaan orang lain. Hanya gunakan kata “sepele” untuk ditujukan bagi diri kita sendiri—bukan ditujukan bagi pihak lain, dan mulai menjadi seorang penilai yang adil dengan justru tidak mendiskreditkan pihak korban. Ketika unsur “meremehkan” atau “menyepelekan” demikian, kita sisihkan, maka praktik “bullying” akan surut secara sendirinya. Masyarakat kita ironisnya lebih pandai menjadi “penghakim” yang buruk dan “salah alamat”—dimana ujung-ujungnya selalu kekerasan fisik yang harus kita hadapi, berkali-kali terjadi baik di pemberitaan media massa maupun dapat kita lihat dengan mata-kepala kita sendiri di keseharian.
Akhir kata, sebagai penutup, tanpa bosan penulis kembali mengingatkan, bahwa kita tidak pernah berhak untuk menghakimi kondisi orang lain, dengan lontaran komentar ataupun kata-kata “itu hal sepele”. Tunggu sampai Anda sendiri menjadi korbannya, maka jangan kaget bila hukum karma membuat Anda akan dikomentari sebagai “itu hanya hal sepele”, dan dihakimi demikian tanpa pernah mau mengetahui latar-belakang situasi serta kondisi yang Anda alami. Tidaklah mungkin seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya semata karena satu buah ejekan di media sosial (cyber bullying), karena faktanya tidaklah sesepele itu, yakni bisa jadi telah terjadi secara menahun, atau bombardir perundungan demi perundungan yang intens. Satu hari di-bully, mungkin adalah hal yang sepele, namun tidak tertutup kemungkinan dirinya telah bertahun-tahun di-bully, dimana hanya si korban itu sendiri yang mengetahui secara pasti kondisi perasaannya--dan hanya si korban itu sendiri yang paling mengetahui seberapa banyak dirinya telah babak-belur" bertahun-tahun menderita luka oleh bully, sekalipun orang lain mungkin hanya beranggapan satu kali atau sesekali saja dirinya di-bully (asumsi orang lain adalah penghakiman itu sendiri, ketika kita menyepelekan peristiwa yang dialami orang lain sementara kita tidak pernah mengetahui keadaan sebenarnya dari kehidupan sang korban).
Bullying tidak pernah ditafsirkan sebagai lontaran kata-kata pedas dan sadistik, namun komentar serta “penghakiman” yang tidak berempati, cenderung “meremehkan” atau “menyepelekan” serta bahkan ditujukan secara “salah alamat”, itulah esensi paling terperinci perihal praktik perundungan. Mereka yang menyepelekan, kelak akan diremehkan, itulah bagian dari hukum karma. Namun, mereka yang tidak mau belajar dari telah “diremehkan” demikian, kelak dirinya yang akan menjadi bagian dari pelaku “meremehkan”—bagai sebuah “lingkaran setan”.
Penulis sama sekali tidak merasa heran, bila sang driver “ojek online” yang melontarkan komentar “sepele” tersebut, bernasib sekadar menjadi driver “ojek online” sekalipun rambutnya sudah memutih. Dirinya sebetulnya terlampau “sepele” untuk dihiraukan, terlampau “sepele” untuk ditanggapi, dan terlampau “sepele” untuk disinggung-singgung dalam tulisan ini. That’s why, he can not be a judge at any court. Dirinya adalah ke-sepele-an itu sendiri. Dirinya adalah si “sepele” itu sendiri, sehingga tanpa dirinya pun dunia ini tidak akan pernah kekurangan apapun, terlampau “sepele” sebetulnya bahkan untuk sekadar diingat dan disebut-sebut.
Beruntung, kisah dalam contoh yang penulis angkat, tidak benar-benar “bad ending” sepenuhnya (meski tetap saja pengusaha bermodal kuat KEBAL HUKUM dan masyarakat kecil selalu menjadi korban keserakahan pengusaha bermodal kuat), karena ternyata tidak semua driver “ojek online” yang selancang itu terhadap sang warga saat terjadinya kejadian. Terdapatnya seorang driver “ojek online” lainnya yang sekalipun di-order oleh sang pengusaha, ternyata lebih bersimpati pada sang korban dan mencoba menghiburnya—sejatinya dirinya telah tidak menyepelekan dirinya sendiri, dengan semata tidak menyepelekan kondisi serta perasaan orang lain.
Menjadi ingat akan pepatah klasik, menjunjung harkat dan martabat orang lain, sejatinya menjunjung harkat dan martabat diri kita sendiri. Kita tidak perlu berfokus pada orang-orang negatif, cukup kita berfokus pada hal dan orang-orang positif, demikian orang bijak membuat nasehat. Kita pun dapat belajar dari sikap orang-orang positif sebagaimana sikap driver “ojek online” yang bersimpati pada sang warga dan mau memahami perasaan sang warga atas kondisinya tersebut, alih-alih memfokuskan emosi kepada driver “ojek online” yang notabene “si serba sepele”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.