Lex Spesialis Vs. Lex Posterior, Dua Asas Hukum Paling Mendasar yang Saling Bertarung Memperebutkan Supremasi Tertinggi

ARTIKEL HUKUM
Pada keempatan kali ini, penulis akan mengajak para pembaca untuk berandai-andai. Mari kita andaikan, parlemen bersama pemerintah menyusun dan membahas bersama Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang kemudian disahkan bersama menjadi “KUHP (versi) Baru”, menggantikan “KUHP (versi) Lama”.
Namun, apakah betul hanya cukup sampai disitu? Hendaknya kita tidak terlampau cepat untuk tersenyum bangga, karena telah memiliki produk hukum asli “karya anak bangsa” made in Indonesia. Apakah KUHP Baru tersebut juga mengamputasi dan menutup / menderogasi keberlakuan Undang-Undang “sektoral” lainnya seperti Undang-Undang Tindak pidana korupsi (Tipikor) yang dibentuk jauh sebelumnya? Itulah pertanyaan yang tidak pernah berani dibahas oleh kalangan akademisi mana pun—yang selama ini lebih menyibukkan diri dengan kegenitan “teori” lawas yang terus saja digaungkan semester demi semester tahun perkuliahan, meski kalangan mereka sendiri tahu teori klasik tersebut telah tertinggal zaman.
Dalam KUHP Baru, diatur pula pasal-pasal terkait Tipikor, namun dengan ancaman maksimum hukuman pidana penjara hanya separuh, alias jauh dibawah ancaman maksimum hukuman pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tipikor yang dibentuk, katakanlah, sepuluh tahun lampau sebelum dibentuknya KUHP Baru.
Dalam teori ilmu hukum, dikenal dua asas yang paling mendasar dalam konsep peraturan perundang-undangan, yakni:
1.) Lex spesialis derogat legi generalis, dalam artian: ketentuan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dengan tingkat / level yang sama, yang diberlakukan ialah norma pasal dalam peraturan yang lebih spesifik ketimbang menggunakan norma pasal dari peraturan yang lebih umum sifatnya. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang tentang Fidusia juga diatur perbuatan terlarang seperti “penggelapan” disertai ancaman sanksi pidananya, sehingga ketentuan itulah yang kemudian berlaku, alih-alih menerapkan pasal “penggelapan” dalam KUHP dalam kasus penggelapan terhadap objek barang yang telah diikat jaminan fidusia;
2.) Lex posterior derogat legi priori, dalam pengertian: ketentuan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dengan tingkat / level yang sama, yang diberlakukan ialah norma pasal dalam peraturan yang lebih terbaru diterbitkan ketimbang menggunakan norma pasal dari peraturan yang diterbitkan pada zaman dahulu sifatnya. Sebagai contoh, ialah KUHP Baru itu sendiri, sejak disahkan dan diberlakukan, maka KUHP (versi) Lama menjadi tidak lagi berlaku dan telah digantikan versi terbaru.
Sejak penulis masih duduk di bangku pendidikan tinggi hukum, kebingungan dalam memahami kedua asas tersebut di atas, yang bisa jadi dan tidak tertutup kemungkinan untuk bertentangan demikian, pernah penulis kemukakan pada salah seorang dosen hukum bergelar Doktor, dimana namun alih-alih mendapat penjelasan secara “to the point”, dirinya justru memandang logika penulis terlampau abstrak untuk dapat menjadi kenyataan. Apakah betul? Mereka hanya berkata sebagai responsnya, “tidak mungkin itu terjadi”, bukan “bagaimana itu mungkin bisa terjadi?”
Asas “Lex Posterior” tidak akan pernah dapat dibenturkan dengan keberlakuan asas “Lex Spesialis”, demikian dituturkan oleh sang dosen sebagai antiklimaksnya. Namun, benarkah demikian? Setelah lama kemudian, ketika penulis telah lulus bergelar Sarjana Hukum dan lama berkecimpung dalam bidang profesi konsultasi hukum, ternyata barulah penulis ketahui, bahwa pertanyaan penulis adalah suatu “aib” yang “tabu” bagi kalangan akademisi untuk mereka bahas, karena mereka akan “malu” tidak mampu menjawabnya, sekalipun sang dosen telah bergelar “Doktor hukum”.
Sejatinya, pertanyaan demikian harus dijawab dan dijadikan wacana yang perlu sesegera mungkin dilempar kepada publik, oleh sebab tidak dapat selamanya kita bersembunyi dan menyimpan “kotak pandora” ini. Sebagai contoh, kini setelah terbit KUHP Baru yang salah satu pasal pengaturan di dalamnya mengatur pula delik “penggelapan”, maka apakah artinya pasal pidana “penggelapan” dalam Undang-Undang Fidusia, menjadi tertutup keberlakuannya dikarenakan telah terbit KUHP Baru berdasarkan asas “Lex Posterior”? Namun, kembali lagi, bukankah juga terdapat asas hukum yang berbunyi : “Lex Spesialis”?
Keduanya, antara asas “Lex Posterior” maupun asas “Lex Spesialis”, tidak ada yang lebih tinggi derajatnya. Undang-Undang, tetaplah sebuah Undang-Undang. Undang-Undang itu sendiri netral sifatnya, sementara kitalah sebagai “users” yang memberikan padanya penafsiran dan implementasi. Sehingga, ketika kedua asas tersebut “bertarung” untuk muncul sebagai asas dengan supremasi tertinggi, asas yang manakah yang akan kita pilih dan asas lainnya untuk kita korbankan? Sekali lagi dan kembali lagi, jangan tanyakan itu pada kalangan dosen akademisi. Berikan mereka “wajah” dan ruang untuk “bernafas”, agar tidak ditertawakan oleh para mahasiswa mereka karena gagal untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut sekalipun mereka telah bergelar “Doktor hukum”.
Sekalipun demikian, penulis hendak berpesan kepada para pembaca, agar hendaknya tidak meremehkan pertanyaan sederhana tersebut di atas, karena hanya perihal dan persoalan waktu sebelum kemudian “meledak” dan menjadi polemik hebat di tengah masyarakat kita, menjelma hari “kebingungan” nasional dan meramaikan jagat media dan pers kita.
Contohnya ialah KUHP Baru yang dibentuk dengan semangat “kodifikasi”, sehingga mengatur pula pasal pidana ancaman bagi Tipikor, sekalipun telah terdapat Undang-Undang sektoral seperti Undang-Undang Tipikor yang secara spesifik (khusus) mengatur Tipikor. Namun, yang membedakan antara KUHP Baru dan Undang-Undang Tipikor, ialah terletak pada ancaman pidana maksimum yang diatur pada masing-masing Undang-Undang tersebut yang ternyata mengatur delik terkait Tipikor yang sama.
Bila dalam Undang-Undang tentang Tipikor yang dibentuk 10 tahun sebelum ini, sebagai contoh, memiliki ancaman pidana maksimum berupa pidana penjara 4 tahun, sementara KUHP Baru yang baru dibentuk dan disahkan pada saat kini, hanya mengatur ancaman pidana maksimum separuh dari ancaman hukuman dalam Undang-Undang Tipikor, alias 2 tahun penjara. Pastilah banyak kalangan yang mengaku “pakar” hukum akan berseru lantang bak malaikat (kesiangan) : “Berlaku Undang-Undang Tipikor, karena ‘Lex Spesialis’ sekalipun Undang-Undang Tipikor dibentuk 10 tahun sebelum pembentukan KUHP Baru.”
Namun, bila penulis adalah seorang “Devil Counsultant” (penulis sedang berandai-andai, seperti yang telah kita sepakati di muka), berikut inilah yang akan penulis rekomendasikan kepada klien yang terjerat oleh perkara Tipikor yang disidik dan dituntut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): datangi “oknum” Jaksa Penuntut-nya, lakukan negosiasi “jual-beli” pasal, dengan menggunakan semata pasal ancaman pidana dalam KUHP Baru, alih-alih menggunakan rumusan dakwaan dan tuntutan berdasarkan Undang-Undang Tipikor.
Bagai mendapat “angin surga”, sang “oknum” Jaksa Penuntut Umum akan mendapat alibi sempurna untuk melancarkan aksi kolusi-konspirasinya, yakni dengan menggunakan Dakwaan Tunggal pasal pidana dalam KUHP Baru, yang memiliki ancaman hukuman pidana maksimum selama 2 tahun—sehingga terdapat selisih 2 tahun ancaman hukum pidana penjara yang dapat di-“hemat” oleh sang Terdakwa, sebagai “bonus / diskon spesial”. Alibi semacam apakah? Yakni alibi keberadaan asas yang bernama asas “Lex Posterior”.
Undang-Undang Tipikor dan KUHP Baru adalah Undang-Undang yang saling satu level, satu hierarkhi. Tidak ada satu Undang-Undang lebih tinggi ketimbang Undang-Undang lainnya, terlebih yang disebut kalah derajatnya dari Undang-Undang lainnya. Namun, yang jelas, bila “Lex Posterior” memang kalah pamor dengan “Lex Spesialis”, lantas untuk apa parlemen bersama pemerintah memasukkan juga pasal-pasal terkait Tipikor ke dalam KUHP Baru yang disahkan dan dibentuk baru-baru ini, sekalipun sudah lama ada pengaturannya dalam Undang-Undang Tipikor?
Ramalan dan prediksi yang telah penulis petakan sejak lama sebelum dibentuknya KUHP Baru, bahkan saat masih duduk di bangku perkuliahan sebagai calon Sarjana Hukum, ternyata tidak lama lagi akan benar-benar menjadi wacana serta polemik paling hebat menjelma “perang semesta” (star wars) di Indonesia.
KUHP Baru berpotensi menjadi blunder yang kian membuat gaduh praktik hukum kita, ketika berbagai “kodifikasi parsial terbuka” sudah demikian memecah-mecah / mempreteli KUHP Lama, kini ketika re-kodifikasi kembali dengan semangat “kodifikasi non-parsial tertutup”, akibatnya terjadi apa yang telah penulis cemaskan jauh sebelum semua wacana ini bergulir.
Ketika saatnya semua itu berpuncak pada suatu “ledakan” penuh ketidak-pastian, maka penulis hanya akan menjadi penonton. Sudah sejak lama penulis mengutarakan kecemasan demikian, sekalipun tidak terdengar gaungnya, namun bila tiada satu pun kalangan intelektual yang memperdulikannya, maka tiada lagi beban moril bagi penulis untuk mengurai benang kusut yang bermula bersumber dari rancunya teori yang diajarkan oleh bangku pendidikan tinggi hukum, dimana perihal kedua asas paling mendasar yang senyatanya saling “bertarung” demikian saja, tidak pernah mendapat sentuhan perhatian, maka terlebih asas-asas turunan lainnya yang jauh lebih “porak-poranda”. Mari kita tunggu tanggal mainnya, dan kita saksikan bersama. Pastilah suguhan yang akan kita saksikan akan mengasyikkan, meski harus diwarnai aksi “berdarah-darah” dan korban berjatuhan yang tidak sedikit (semoga ramalam ini keliru sepenuhnya).
Janganlah menyalahkan penulis, penulis sudah berbaik hati membuka isu hukum ini kepada publik lewat publikasi ini, atas isu yang selama ini ditutup rapat bahkan dianggap “tabu” bagi kalangan akademisi hukum (agar kebodohan para penghuni menara gading tersebut tidak pernah tercium baunya). Salahkan saja para dosen dan cendekiawan hukum yang telah membuat praktik dan perkembangan hukum kita “jalan di tempat” dengan menutup diri dari pertanyaan-pertanyaan kritis yang selama ini hanya “ditambal sulam” oleh teori-teori yang tidak kalah usang lainnya.
Rak-rak buku kita tidak pernah sepi terlebih kekurangan teori, namun miskin dan kering dari keberanian untuk mempertanyakannya, terlebih keberanian untuk menggugat teori-teori klasik demikian dan memperbaharuinya. Memperbaharui undang-undang, tidak akan pernah berjalan sempurna sepanjang teori yang melandasi pembentukannya masih dibiarkan menggantung dengan teori-teori usang yang sudah waktunya untuk dievolusi dan diregenerasi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.